Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan nusantara abad ke-XVIII

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh:

IBNU WICAKSONO

NIM: 105022000839

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh

IBNU WICAKSONO

NIM: 105022000839

Pembimbing,

Dr. Amelia Fauzia, M.A.

NIP: 197103251999032004

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Skripsi Berjudul KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Januari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 28 Januari 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A. NIP:195912221991031003

Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Usep Abdul Matin, S.Ag.,MA.MA. NIP: 196808071998031002 Anggota,

Penguji,

Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.A. NIP: 195608171986031006

Pembimbing,

Dr. Amelia Fauzia, M.A. NIP: 197103251999032004


(4)

i Ibnu Wicaksono

Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII

Perdagangan Nusantara semenjak abad XVII mulai mengalami kemunduran, yang diakibatkan oleh dua faktor, Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram di wilayah pantai Utara Jawa, ekspansi Kesultanan Mataram bertujuan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan agar semua wilayah-wilayah yang berada di pantai Utara Jawa di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Akibat ekspansi Kesultanan Mataram di pantai Utara Jawa perdagangan di wilayah ini menjadi tidak aman, yang mengakibatkan sebagian para pedagang mencari wilayah baru untuk berdagang. Faktor Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai menguasai pusat-pusat perdagangan di Nusantara seperti, Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar. Akibat monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC telah mengakibatkan berbagai pedagang mencari wilayah perdagangan baru yang belum tersentuh oleh VOC. Kedua faktor diatas mengakibatkan munculnya wilayah-wilayah pusat perdagangan baru termasuk Banjarmasin.

Akibat kedua faktor diatas Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII menjadi penampung baik para pedagang dari sebagian wilayah Nusantara yang telah dikuasai oleh VOC dan pedagang dari pantai Utara Jawa. Pelabuhan Banjarmasin mulai banyak disinggahi oleh para pedagang antara lain dari Jawa, Sulawesi, Cina dan sebagian bangsa Eropa untuk berlabuh. Sumber daya alam berupa lada, emas, intan dan hasil hutan merupakan komoditi utama yang di perdagangkan.

Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin dapat berkembang karena peran sultan Banjarmasin dalam menerapkan kebijakannya. Kebijakan sultan Banjarmasin diantaranya,Pertama, Kesultanan Banjarmasin melakukan perluasan ekspansi ke pedalaman untuk mendapatkan komoditi perdagangan.Kedua, peran aktif Sultan sebagai pemain aktif dalam perdagangan, selain ikut serta dalam perdagangan sultan telah memberikan kenyamanan para pedagang.

Skripsi ini bertujuan untuk memahami seberapa besar pengaruh kemunduran perdagangan di Nusantara yang telah memberikan kemajuan terhadap Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian sejarah heuristik, kritik, Interpretasi dan Historiografi dan Pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan dengan menggunakan

Multidimensional Approach (Pendekatan Multidimensional) diantaranya, ekonomi, politik, sosial dan ekologi. Pendekatan multidimensional digunakan untuk dapat memberikan gambaran sejarah tentang Kesultanan Banjarmasin secara menyeluruh, sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme.


(5)

ii

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar.

Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum).

Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Abdul Chair, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan seizinnya skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.


(6)

iii

Islam, yang telah banyak memberi kemudahan dalam pengajuan judul hingga pendaftaran ujian skripsi.

3. Bapak Drs. Usep Abdul Matin, S Ag.,MA.,MA. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Amelia Fauzia, MA. yang telah dengan sabar dan teliti dalam memberikan bimbingan kepada penulis.

5. Ibu Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. Dosen Penasehat Akademik, yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan.

6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

7. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), yang telah memberikan data referensi kepada penulis. 8. Kedua orangtua, ayahanda Sukidal dan Ibunda Pudji Astuti, yang telah

banyak memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang tak pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu besar.

9. Kakak-kakakku, Edi Soenarto dan istri, Astarika Retno Setiati S.Pd dan suami, dan adikku Efi Widiyanti, yang telah memberikan do’a, semangat, dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.


(7)

iv terselesaikannya skripsi ini.

Penulis hanya dapat berdo’a semoga bantuan dan amal baik Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antar sesama manusia untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 8 Januari 2010 Muharram 1431 H


(8)

v

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Kepustakaan ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII A. Letak Geografis... 16

B. Sumber Daya Alam ... 17

C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk ... 17

D. Iklim ... 21

E. Letak dan Fungsi Pelabuhan ... 22

F. Posisi Banjarmasin dalam Dunia Perdagangan ... 24

BAB III KESULTANAN BANJARMASIN A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin ... 28

B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin ... 30

C. Struktur Pemerintahan ... 33

D. Struktur Masyarakat ... 37


(9)

vi

A. Tumbuhnya Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin sebelum Abad XVIII ... 44 B. Peran Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII ... 49 C. Hubungan Perdagangan Banjarmasin dengan Bangsa Lain ... 61 D. Mundurnya Perdagangan Kesultanan Banjarmasin Akhir Abad XVIII ... 67

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 74

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3


(10)

vii

ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia EIC : East India Company

ENI : Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indië JSAH : Journal of Southeast Asian History

KITLV : Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde

m. : Memerintah

TBG : Tijdschrift van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

Real : Mata uang yang terbuat dari perak, atau sama dengan 61

4 dollar

Amerika pada tahun 1960-an.*

Pikul : Ukuran berat, pada sekitar abad ke-XVIII 1 pikul sama dengan 125 pon (0,5 kg)

* J.C. Van Leur,Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and Economic


(11)

viii Gambar 1. Peta Indonesia

Gambar 2. Wilayah Kesultanan Banjarmasin pada Abad XVIII Gambar 3. Peta Kalimantan abad XVII


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII telah menjadi sebuah kesultanan yang dipengaruhi oleh perdagangan. Kesultanan Banjarmasin menjadi sebuah pusat perdagangan karena letak geografisnya memang berada di pesisir pantai pulau Kalimantan, sehingga kehidupan dan mata pencaharian penduduknya secara normal menitikberatkan pada perdagangan. Perdagangan merupakan salah satu ciri penting kota maritim.2

Kesultanan Banjarmasin atau terkadang disebut “Kesultanan Banjar” yang merujuk pada nama suku Banjar,3 letaknya sangatlah menguntungkan untuk aktifitas perdagangan, karena letaknya yang strategis di tepi laut Jawa dan selat Makassar yang menjadi jalur perdagangan di Nusantara. Maka, pelabuhan Tatas yang terletak di muara sungai Barito, tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal dagang yang melewati jalur tersebut.4

Kesultanan Banjarmasin memiliki sumber daya alam yang cukup besar, berupa hasil pertanian, tambang dan hutan. Di antaranya, lada, emas, intan, rotan, kayu besi dan damar,5 yang dihasilkan di wilayah pedalaman Banjarmasin.

2 Uka Tjandrasasmita,Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia

(Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 46.

3 Suku Banjar adalah suku pendatang yang berasal dari pulau Sumatera atau sekitarnya,

tidak diketahui kapan awal mereka tiba di Banjarmasin. nenek moyang orang Banjar inilah yang membentuk pusat-pusat kekuasaan di Kalimantan Selatan. Lih. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar(Jakarta: Rajagrafindo, 1997), h. 3.

4 M. Idwar Saleh,Bandjarmasin(Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h. 5. 5 Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo,


(13)

Sumber daya alam tersebut yang kemudian diperjual-belikan di pasar-pasar pusat perdagangan, baik di Banjarmasin sendiri dan ke wilayah lain di Nusantara.

Munculnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah satu pusat perdagangan pada abad XVII disebabkan dua faktor eksternal penting. Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram ke pantai utara Jawa. 6 Akibat ekspansi Kesultanan Mataram ini perdagangan di pantai utara Jawa praktis mati, karena kota-kota perdagangan dihancurkan oleh Kesultanan Mataram. Inilah yang menyebabkan migrasi para pedagang secara besar-besaran ke daerah yang lebih aman, termasuk ke Banjarmasin.7

Kedua, adanya monopoli VOC atas beberapa pusat perdagangan di Nusantara. Pada abad XVIII Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) melakukan monopoli di wilayah Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar (1669).8 Kesulitan para pedagang Cina untuk mendapatkan rempah-rempah berupa lada di bagian barat Nusantara, menyebabkan mereka mencari pusat perdagangan lada di tempat lain yang belum tersentuh oleh VOC, yaitu Banjarmasin.

Situasi di atas pada akhirnya dimanfaatkan oleh Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin oleh Sultan Inayatullah (memerintah. 1637-1642) untuk mengadakan hubungan perdagangan bebas dengan pedagang-pedagang Cina, Bugis, Jawa, Belanda dan Inggris.9 Pelabuhan Tatas berkembang menjadi

6 H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 288-289.

7 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita,

1983), h. 64.

8 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and Economic

History (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1960), h. 5.

9 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG 2008), h. 225. Lihat juga, J.C.

Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, (Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 5.


(14)

pelabuhan pembongkar dan pemuat barang dagang dari dan ke Banjarmasin. Para pedagang dari luar membawa porselin, beras, garam, teh dan budak. Sebaliknya Banjarmasin menyediakan hasil hutan, emas, intan dan lada.10

Pada abad XVIII, Sultan Hamidullah (m. 1700-1734) berupaya untuk mengembangkan perdagangan di Banjarmasin, direalisasikan antara lain dengan mencari daerah dan tenaga kerja baru. Ini dilakukan antara lain dengan melakukan ekspedisi militer ke daerah pedalaman, seperti ke Tanah Dusun pada tahun 1740. Dengan melaksanakan ekspedisi militer sultan memaksa penduduk di pedalaman untuk menyerahkan tanah dan menanam komoditi perdagangan.

Guna mengembangkan perdagangan Kesultanan Banjarmasin menjalin hubungan perdagangan yang erat dengan para pedagang Eropa, di antaranya Inggris dan Belanda. Inggris dengan Bandar dagangnya East India Company (EIC) pada tahun 1702 diizinkan oleh Sultan Hamidullah untuk mendirikan kantor dagangnya di Banjarmasin. Namun, tidak berlangsung lama. Pada tahun 1707 kantor dagang Inggris di Banjarmasin dihancurkan oleh rakyat Banjarmasin di bawah perintah Sultan Hamidullah akibat sikap orang Inggris yang mencoba menguasai perdagangan di Banjarmasin.11

Bangsa Belanda sudah cukup lama menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjarmasin. Namun upaya Belanda untuk membangun perusahan dagang di Banjarmasin berkali-kali mengalami kegagalan. Tantangan yang hebat setidaknya pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Belanda di Banjarmasin pada tahun 1607 dan 1638. Selain berusaha mendirikan perusahaan dagang, Belanda telah melakukan perjanjian kontrak beberapa kali dengan Kesultanan

10 A.A. Cense,De Kroniek van Banjarmasin (Santpoort: C.A. Mees, 1928), h. 93-94. 11 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K.


(15)

Banjarmasin pada tahun 1635, 1660, 1664, dan 1733. Semua perjanjian bertujuan menjamin tersedianya rempah-rempah untuk VOC dengan imbalan Belanda akan memberikan perlindungan terhadap sultan jika mendapat serangan dari luar.12 Namun, semua perjanjian kontrak itu selalu mengalami kegagalan. Hal di atas telah membuktikan kuatnya kedudukan sultan dalam mempertahankan kekuasaanya dari pengaruh asing. Inilah yang membuat Banjarmasin tetap ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri hingga pertengahan abad XVIII.

Kemunduran perdagangan di Banjarmasin terjadi pada akhir abad XVIII yang disebabkan oleh perpecahan politik antar penguasa di istana. Gejala kemunduran perdagangan terlihat ketika Sultan Natadilingga (1761-1801) harus menghadapi kemenakannya sendiri Pangeran Amir. Pangeran Amir ingin mengambil haknya sebagai sultan yang di warisi oleh ayahnya Sultan Muhammad (m. 1759-1761). Pangeran Amir melakukan penyerangan terhadap Sultan Natadilingga pada tahun 1784 sampai 1786. Namun, penyerangan ini dapat dihentikan oleh Sultan Natadilingga dengan bantuan dari VOC.

Karena khawatir akan kekuasaannya, Sultan Natadilingga akhirnya mengadakan perjanjian dengan VOC pada tahun 1787. Dalam perjanjian tersebut sultan Natadilingga mengakui kedaulatan VOC atas Kesultanan Banjarmasin, dengan jaminan VOC memberikan pengakuan hak atas tahta kerajaan turun temurun kepada keturunan sultan Natadilingga.13

12 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium

Sampai Imperium,Jilid 1, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 255.

13 Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC,


(16)

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa berkembangnya Banjarmasin menjadi salah satu bandar niaga terpenting abad XVIII tidak dapat dipisahkan dari beberapa faktor. Pertama, faktor eksternal berupa pertumbuhan bandar-bandar lain di Nusantara khususnya Asia Tenggara, dan Asia Timur pada umumnya. Kedua, adanya kemampuan untuk mengembangkan perdagangan didorong oleh kondisi fisik berupa letak geografis dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin. Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah perdagangan telah menjembatani majunya perekonomian.Ketiga,

adanya peran Kesultanan Banjarmasin dalam mengembangkan perdagangan.

keempat, adanya hubungan perdagangan dengan bangsa lain baik antar perorangan maupun antar kelompok yang telah turut serta dalam pelaksanaan perdagangan. Karena hal di atas maka studi ini diberi judul, Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII .

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Untuk pembahasan mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII, tidak dapat dipisahkan dari dinamika perdagangan yang telah terjadi di Nusantara. Periode yang diteliti di sini pada abad XVIII, yakni dalam masa empat pemerintahan sultan yaitu: Sultan Hamidullah (1700-1734), Sultan Tamjidillah (1734-1759), Sultan Muhammad Aliudin Aminullah (1759-1761), dan Sultan Natadilingga (1761-1801). Periode ini diambil karena pada abad ini Kesultanan Banjarmasin telah menjadi bandar pelabuhan perdagangan di Nusantara, pada abad ini juga telah terjadi pasang surut perdagangan di Banjarmasin akibat intervensi oleh orang Eropa. Selain itu, akibat


(17)

dari perdagangan juga telah membawa perubahan dan pembaharuan terhadap kondisi sosial masyarakat Banjar.

Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan di analisis dalam penyelidikan ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan.

Faktor penguasa yakni Kesultanan Banjarmasin dalam kekuasaan dan monopoli perdagangan sangat menentukan pertumbuhan perdagangan di Banjarmasin, terlebih mempengaruhi kegiatan dagang di Kota Banjarmasin. Hal tersebut juga merupakan faktor pendorong yang mengundang usaha perebutan hak monopoli perdagangan dari pihak luar. Perebutan monopoli perdagangan merupakan salah satu unsur penting yang membawa perubahan perdagangan Banjarmasin.

Merujuk pada lingkup di atas studi ini difokuskan pada tiga pertanyaan. 1. Bagaimana peran Kesultanan Banjarmasin dalam memainkan kebijakan

politiknya dalam perdagangan pada abad XVIII?

2. Faktor internal serta eksternal apa saja yang mempengaruhi perdagangan di Kesultanan Banjarmasin?

3. Komoditi apa sajakah yang diperdagangkan di Banjarmasin dan bagaimanakah aktifitas perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga gambaran sejarah nasional menjadi makin lengkap, disamping untuk mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar Jawa seperti pengkajian sejarah Banjarmasin ini sangat penting artinya terutama dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme.

Seperti sejarah lokal lainnya sejarah Banjarmasin memiliki lokalitas dan karakteristik tersendiri, sehingga unik dan komplek. Namun demikian sepanjang pengetahuan penulis belum banyak sarjana Indonesia meneliti sejarah Banjarmasin, lebih-lebih mengenai aspek Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII.

2. Memahami sejarah perdagangan di Nusantara di abad XVIII, dimana hasil bumi Nusantara pernah menjadi sebuah komoditi terpenting dalam perdagangan internasional.

3. Menyumbang hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya dan fakultas Adab dan Humaniora jurusan Sejarah dan Peradaban Islam khususnya.


(19)

D. Tinjauan Kepustakaan

Seperti telah diungkapkan di atas penulisan tentang sejarah Nusantara khusunya di luar Jawa masih sangatlah minim. Namun ada beberapa sejarahwan asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang daerah Banjarmasin. Sumber lokal penting bagi kajaian Banjarmasin adalah Hikayat Banjar . J.J. Ras telah menyunting dan menerjemahkan naskah ini dalam bukunya berjudul

Hikayat Banjar .14 Namun sayang tulisannya tidak menyinggung masalah peranan Kesultanan Banjarmasin dalam perdagangan. Pembahasannya cenderung membahas tentang keterkaitan antara cerita Hikayat Banjar versi Jawa dengan cerita Hikayat Banjar versi Melayu. Hikayat Banjar ini merupakan satu-satunya sumber lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan. Meskipun berbentuk hikayat yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Ras, dalam karyanya ini telah mengkritisi naskah ini sehingga relevan untuk digunakan sebagai sumber sejarah.

A.A. Cense dalam bukunya yang berjudul Kroniek van Bandjarmasin 15

telah memberikan informasi tentang situasi dan kondisi masyarakat Banjarmasin sejak masa kerajaan Hindu (Negara Dipa dan Negara Daha) hingga masa kerajaan Islam (Kesultanan Banjarmasin). Ada beberapa aspek yang diteliti, antara lain masalah hubungan Banjarmasin dengan Demak, usaha VOC menanamkan kekuasaan di Banjarmasin dan sebagainya.

Uraian lain tentang sejarah Banjarmasin telah ditulis dalam kisah perjalanan yang pernah dilakukan oleh Daniel Beeckman, dalam bukunya yang

14 J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography (The Hague: Martinus

Nijhoff, 1968), h. 7-10.


(20)

terbit tahun 1718, berjudul A Voyage to and from the Island of Borneo .16 Isi buku ini antara lain menginformasikan pengalaman Daniel Beeckman waktu berkunjung di Banjarmasin. Ia menginformasikan tentang keadaan iklim, penduduk, perdagangan di kota Banjarmasin. Kisah perjalanan juga pernah ditulis oleh Carl Bock dengan bukunya berjudul The Head-hunters of Borneo 17 yang menceritakan tentang sumber daya alam di Banjarmasin.

Tulisan lain tentang Banjarmasin juga telah dilakukan oleh P. Suntharalingan, dalam Jurnal of Southeast Asian History, dengan judul, The British in Banjarmasin: An Abortive Attempt at Settlement 1700-1707,18 dalam jurnal ini banyak memberikan gambaran tentang hubungan perdagangan antara Kesultanan Banjarmasin dengan maskapai perdagangan Inggris setelah diberikan izin oleh Sultan untuk mendirikan perusahaan dagangnya di Banjarmasin pada tahun 1615, dan mendapat saingan terbesar yakni pedagang dari Cina dan Belanda. Namun pada tahun 1707 setelah Banjarmasin lepas dari kendali kerajaan Jawa, untuk melindungi pengaruh dari luar maka Inggris diusir keluar dari Banjarmasin. Ditandai dengan penyerangan perusahaan-perusahaan dagang yang berada di Banjarmasin.

Sejarah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII, pernah ditulis oleh Sulandjari dalam tesisnya Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787 .19 Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan lada yang meningkat pada abad XVIII berpengaruh terhadap kondisi politik

16 Daniel Beeckman, A Voyage to and from the Island Of Borneo, In The East-Indies,

(London. 1718), h. 1-3.

17 Carl Bock,The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low 1882), h. 31-39. 18 P. Suntharalingan, the British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement,K. G.

Treganning, ed., Journal of Shoutheast Asian History, vol. IV (Singapore: T.pn., 1964), h. 50-70.

19 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787


(21)

Kesultanan Banjarmasin. Karya Sulandjari ini cukup relevan digunakan oleh penulis, karena di dalam tesis ini Sulandjari menggunakan arsip-arsip yang berada di Den Haag, Belanda. Namun jika dilihat karya ini hampir sama dengan disertasi yang ditulis oleh J.C. Noorlander, yang berjudul “Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18deEeuw .20

Jadi, jika melihat dari berbagai tulisan yang telah membahas tentang Banjarmasin, belum banyak yang terfokus khususnya sejarahBanjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII, meskipun sudah ada seperti yang ditulis oleh Sulandjari, namun pembahasannya lebih memfokuskan pembahasannya terhadap perdagangan lada, tidak melihat komoditas lain seperti intan, emas, dan hasil hutan yang telah menjadi komoditi perdagangan pada abad XVIII. Dengan penulisan sejarah Banjarmasin yang dilakukan oleh penulis ini diharapkan dapat melacak sejarah perdagangan di Banjarmasin, khususnya tentang peran Kesultanan Banjarmasin hingga berbagai aktifitas perdagangan yang terjadi disana.

E. Metodologi Penelitian

Untuk pembahasan “Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII diperlukan konsep-konsep ilmu politik, sosial, dan ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan tentang Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara pada abad XVIII, sebagai contoh, konsep kekuasaan untuk membantu menjelaskan hubungan raja dengan rakyat. Konsep elite, untuk membantu menjelaskan pelapisan sosial.

20 J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie In de Tweede Helft der 18de

Eeuw (Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 1-4.


(22)

Konsep sistem demand dansupply, membantu menerangkan hubungan monopoli perdagangan, hubungan pasar dengan komoditi, dan sebagainya. Pendekatan ekologi diharapkan dapat menjelaskan dinamika masyarakat Banjarmasin, sebagai akibat interaksi antara masyarakat dengan lingkungan.

Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multidimensional. Dengan menggunakan pendekatan multidimensional diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.21

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Deskriptif Analitis, yang dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau menggambarkan suatu peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XVIII yang telah membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin.22

Teknik Bibliographical Survey penulis gunakan sebagai langkah awal pengumpulan data/sumber terkait tema yang akan dibahas dengan menggunakan beberapa sumber pustaka baik primer maupun sekunder, seperti arsip, buku-buku, laporan penelitian dan jurnal.

Ada berberapa tahap yang penulis gunakan untuk menulis skripsi ini,

pertama, pengumpulan data. Untuk pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Bibliographical Survey (penelitian kepustakaan), yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta

21 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 87.


(23)

menelaah buku-buku dan dokumen yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis teliti.

Dalam usaha mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang tema yang telah penulis angkat.

Tahap kedua, pengolahan data, setelah data-data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah mengklasifikasikan data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data-data tekstual seperti arsip, buku, dan jurnal yang telah didapatkan, kemudian diolah serta dimasukkan sebagai data penunjang untuk tema yang sedang dibahas.

Tahap ketiga, analisa data, metode analisis dilakukan dengan cara pendekatan kualitatif yakni dengan merinci pokok masalah yang diteliti, kemudian melacak, mencatat, mengorganisasikan setiap data yang relevan dengan fokus penelitian, terakhir menyatakan penelitian dari apa yang dapat dipahami memakai “bahasa kualitatif” yang deskriptif dan interpretatif. Penyajian meliputi


(24)

hasil penelitian, kesimpulan dan penutup, yang setiap bagiannya terjabarkan dalam bab-bab dan sub bab, yang jumlahnya tidak ditentukan.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:

Bab I adalah pendahuluan berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian, survey kepustakaan, serta sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tentang bagaimana akar-akar pelabuhan Banjarmasin ini dapat terbentuk. Karena letaknya yang strategis di antara laut Jawa dan selat Makassar telah menjadikan Banjarmasin banyak disinggahi oleh para pedagang dari luar antara lain Cina, Bugis, Inggris dan Belanda untuk menjalin hubungan dagang. Ketertarikan para pedagang asing untuk singgah ke Banjarmasin adalah karena sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin cukup besar di antaranya intan, emas, hasil hutan dan paling terutama lada.

Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal terbentuknya Kesultanan Banjarmasin. Serta membahas struktur pemerintahan dan masyarakat yang telah terbentuk di Kesultanan Banjarmasin. Hal ini diperlukan untuk melihat siapakah yang memegang peran utama dalam perdagangan di Kesultanan Banjarmasin, maka di dalamnya membahas struktur masyarakat Banjarmasin dari tingkat paling atas hingga bawah.

Bab IV membahas tentang periode dimana Kesultanan Banjarmasin telah berperan dalam perdagangan di Nusantara, pokok bahasan dalam bab ini membahas seberapa besar peran Kesultanan Banjarmasin dalam memajukan


(25)

perdagangan. Serta melihat bagaimana aktifitas perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin, disajikan juga gambaran umum barang impor dan ekspor Kesultanan Banjarmasin, alat transaksi perdagangan dan pelaksanaan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. Bab ini juga membahas hubungan yang terjalin antara Kesultanan Banjarmasin dengan bangsa asing dan meninjau pengaruh perdagangan terhadap kondisi politik Kesultanan Banjarmasin, yang mengakibatkan mundurnya perdagangan di Banjarmasin.

Bab V Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.


(26)

15

PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII

Alfred Thayer Mahan, seorang ahli yang membahas pengaruh laut terhadap sejarah, menyatakan bahwa apabila keadaan pantai suatu negeri memungkinkan orang turun ke laut maka penduduk negeri itu akan bergairah mencari hubungan ke luar untuk berdagang, kecenderungan ini selanjutnya memunculkan kebutuhan untuk memproduksi komoditas.1

Pendapat Mahan tersebut mengacu pada dua hal penting, yaitu kondisi wilayah dan penduduk. Kondisi wilayah bukan hanya menyangkut letak dan keadaan alam tetapi juga kedudukannya dalam dunia perdagangan. Sementara yang terakhir menyangkut matapencaharian penduduk serta pemerintahan.

Telah dipahami bahwa pada masa-masa awal kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara memiliki dua corak yaitu, kerajaan yang bercorak maritim karena letaknya yang berada di pesisir pantai, dan kerajaan yang bercorak agraris karena letaknya yang berada di pedalaman. Kerajaan maritim biasanya lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat kaitannya dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Ini adalah suatu ciri penting pula dan erat hubungannya dengan suasana politik serta perluasannya.2 Ciri kerajaan maritim ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam. Sebaliknya kerajaan yang bercorak agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada

1 J.C. van Leur dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia

(Jakarta: Bharatara, 1974), h. 6.

2 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia


(27)

pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih dititik beratkan pada angkatan darat. Ciri ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaaan pada zaman Indonesia Hindu. Namun, tidak semua kerajaan pada zaman Indonesia-Hindu bercorak agraris, contoh kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak campuran agraris-maritim.3

A. Letak Geografis

Banjarmasin adalah sebuah kota yang terletak di wilayah Kalimantan Selatan. Asal kata Banjarmasin dalamDaghregister Batavia sebagaimana dikutip oleh Idwar Saleh, Banjarmasin disebut Bandjermassih atau Bandjermassingh. Sementara itu menurut Van der Ven dalam artikelnya di Majalah TBG no. 9, Banjarmasin berasal dari kata Bandar Massih yang merupakan nama ibukota Kesultanan Banjarmasin pertama di bawah pemerintahan Sultan Suriansyah (m. 1526-1550).4

Kesultanan Banjarmasin terletak di tepi aliran sungai Kuin (Cerucuk) yang bermuara ke sungai yang besar, yaitu sungai Barito, dan sungai Martapura, serta berada pada posisi 30 18’ Lintang Selatan 1140 35’ Bujur Timur dengan luas wilayah 9.291,975 km2,5 dengan tanahnya yang berawa-rawa dan banyak terdapat sungai-sungai yang mengitari wilayah kesultanan. Kesultanan ini meliputi Tanah Laut di sebelah selatan, di sebelah timur daerah sekitar gunung Pamaton, ke Utara daerah sekitar sungai Negara serta di sebelah barat meliputi daerah sekitar aliran sepanjang sungai Barito. Kemudian kesultanan ini bertambah luas, sehingga pada

3Ibid.

4 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h.

24.

5 J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Bagian I,’s-Gravenhage: Martinus


(28)

akhir abad XVIII meliputi seluruh selatan dan timur Kalimantan, yaitu Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin.6

B. Sumber Daya Alam

Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan Banjarmasin cukup besar hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lapisan tanahnya yang banyak mengandung bahan tambang antara lain, intan dan emas. Intan misalnya terdapat di Martapura, emas di sepanjang sungai Bahan. Hasil-hasil hutannya adalah rotan, kayu besi, damar, sedangkan sarang burung terdapat di daerah pedalaman sekitar sungai Negara dan sungai Barito. Hasil-hasil pertaniannya adalah, lada, sayur-sayur yang terdapat di daerah Tanah Laut, Negara, Tabalong, dan Alai. Untuk cerana dan lilin terdapat di daerah Dusun dan Bakumpai. Beras terdapat di daerah Hulu sungai (yaitu, daerah Benua Lima dan Margasari). Danau dan sungai banyak pula menghasilkan ikan, umpamanya dari danau Telaga, sungai Halalak, sungai Martapura, dan sungai Barito.

Di samping hasil bumi terdapat pula kerajinan anyaman berupa tikar, dan kerajinan alat-alat rumah tangga di Tabalong. Pembuatan perahu terdapat di daerah Negara. Pembuatan senjata api dan senjata lainnya seperti keris, pisau dan mandau, terdapat di daerah sungai Barito dan sungai Negara.7

C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk

Untuk menentukan populasi penduduk di Banjarmasin pada awal abad XVIII sangat sulit sekali, karena dalam abad XVIII perhatian terhadap masalah

6 Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), (Skripsi

Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984), h. 1.


(29)

kependudukan merupakan pemikiran teoritis belaka dan belum sampai pada usaha untuk melakukan pencacahan jumlah penduduk.8 Laporan tentang jumlah penduduk di Banjarmasin baru dilakukan pada akhir abad XVIII, sekitar tahun 1790 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah kekuasaan VOC.

Sersan F.J. Hartman, telah melaporkan bahwa populasi penduduk di Banjarmasin pada tahun 1790 sekitar 65.000 jiwa yang berada di sepanjang sungai Barito dan sungai Negara. Namun, menurut Han Knapen mungkin jumlahnya lebih besar lagi sekitar 100.000 jiwa, jika ditambahkan dengan populasi penduduk yang berada di anak sungai dari Negara dan Martapura.9 Di wilayah pedalaman sepanjang anak sungai Teweh, Hartman melaporkan populasi penduduknya lebih sedikit sekitar 1.500 jiwa.10 Penduduk tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yaitu, suku Dayak, Melayu, Bugis, Cina dan Jawa yang bercampur baur. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, namun bahasa komunikasi ini bercampur dengan dialek asalnya.11

Penduduk Banjarmasin yang tinggal di sepanjang sungai hingga yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, masyarakat Banjarmasin hidup dengan cara bertani, berkebun, meramu hasil hutan, penambangan dan berdagang.

Usaha-usaha pertanian, padi dan berjenis-jenis palawija, sudah sejak zaman kuno diusahakan oleh penduduk daerah dataran rendah aluvial sepanjang

8 P. Creutzberg, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, penerjemah: Kustiniyati Mochtar

dkk., (Jakarta: Obor, 1987), h. 8.

9 Han Knapen,Forest of Fortune? the Environmental History of Southeast Borneo,

1600-1880, (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 107.

10Ibid.

11 Syamsitah,Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), h. 5. Lihat

juga C.A.L.M. Schwaner, Borneo Beschrijving van het Stroomgebied van den Borneo en Reizen langs eenige voorname Rivieren van het Zuid Oostelijk Gedeelte van Dat Eiland, (Amsterdam, 1853), h. 55.


(30)

sungai Bahan dan cabangnya. Merekalah yang secara tradisional mencukupi kebutuhan akan bahan makanan bagi daerah sekitar Banjarmasin dan kota-kota pelabuhan lainnya.12 Wilayah yang dijadikan persawahan, yaitu rawa sekittar sungai Barito bagian selatan.

Bertani dan berkebun merupakan salah satu cara masyarakat Banjarmasin memanfaatkan sumber daya alamnya. Antara lain dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, baik yang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk dijual ke luar kesultanan. Hal ini mencerminkan bahwa telah dikenalnya dua tipe kegiatan pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsistem dan yang menggarap tanaman perdagangan.13 hasil pertanian dan perkebunan di antaranya adalah beras, lada, sayur mayur, kopi dan lain-lain.14

Selain bertani penduduk Banjarmasin juga memanfaatkan hasil hutannya. Karena luasnya areal hutan di Kalimantan Selatan adalah 2.013.600 ha, mengakibatkan penduduk memanfaatkan hasil hutan ini. Produk hasil hutan berupa kayu bulat, rotan, damar, jati dan lain-lain.

Wilayah Banjarmasin juga mengandung bahan tambang yang sudah dikenal sejak lama ialah intan dan emas. Penambangan intan dan emas telah dilakukan secara turun temurun. Wilayah penambangan intan yang paling terkenal ialah Martapura dan emas adalah Tanah Laut. Di wilayah ini para penambang intan melakukan proses penambangan dengan dua cara, yang diistilahkan dengan, luang dalam (lubang dalam) dan luang surut (lubang dangkal). Luang dalam

12 Untuk padi hanya cukup memenuhi keperluan daerah setempat, sedangkan untuk

kebutuhan Banjarmasin dan wilayah-wilayah pantai, diperlukan impor dari luar.

13 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo,Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial

Ekonomi (Yogyakarta: Penerbit Aditya), 1991, h. 15.

14 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan


(31)

adalah penambangan yang dilakukan apabila lapisan batu-batu yang mengandung intan terletak di kedalaman lebih dari 3 meter di bawah permukaan tanah. Luang dangkal adalah apabila lapisan batu-batuan tersebut dalamnya kurang dari tiga meter.15

Intan juga termasuk dalam penguasaan monopoli dari sultan, karena para pendulang intan diwajibkan untuk menjual intannya kepada para bangsawan yang mempunyai hak atas pungutan daerah tersebut dengan harga tertentu.16 Khusus untuk intan-intan yang besar-besar wajib dijual kepada sultan sendiri dengan harga yang ditentukan terlebih dahulu. Biasanya sultan memiliki pertambangan intanya sendiri, jika ada yang menambang di tempat ini diperlukan izin dari sultan dan intan harus dijual kepada sultan.17

Selain dari bertani, berkebun, dan penambangan, usaha perdagangan telah dilakukan oleh penduduk Banjarmasin. Usaha perdagangan besar dan menengah telah dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan kelas saudagar, di samping tentu saja saudagar-saudagar asing.18 Para bangsawan tinggi dan pembesar kesultanan mungkin sekali menjadi pembeli tunggal atas barang-barang hasil produksi rakyat daerah yang dikuasainya, yang menjualnya kembali kepada kelas saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke luar, atau menjualnya ke pedagang asing. Kelompok kelas saudagar melakukan usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi rakyat maupun mengimpor barang-barang kebutuhan rakyat, yang mereka lakukan

15Ibid., h. 121. 16 A. Van der Ven,

Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h. 112-113.

17 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar,h.

136.

18 Amir Hasan Kiai Bondan,Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: Fajar, 1953), h.


(32)

dengan kapal-kapal mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa, Arab, dan lain-lain, tetapi mereka tidak pernah berhubungan dengan para produsen.19

D. Iklim

Wilayah Kalimantan Selatan merupakan wilayah beriklim tropis dengan hawa panas dan sangat lembab dengan temperatur relatif antara 250 Celcius dan 350 Celcius, curah hujan di wilayah ini tidaklah merata di sebagian wilayah Kalimantan Selatan, khususnya hulu sungai dimana kondisi curah hujan dipengaruhi oleh gunung Meratus, iklimnya agak lebih rendah dari lainnya.20 Per-tahun curah hujan cukup banyak rata-rata 2000-2700 mm per-tahun, dengan frekuensi hujan rata-rata 6-15 hari sebulan.

Banjarmasin sama dengan wilayah di Nusantara lainnya, mengenal musim kemarau dan hujan. Perubahan musim ini bergantung pada keadaan muson. Musim hujan berlangsung antara November hingga April berkat angin muson barat, musim penghujan berakhir pada bulan Mei hingga Oktober ketika angin muson barat berhenti dan digantikan oleh angin muson timur.

Angin muson tidak hanya mempengaruhi perubahan musim tetapi juga pelayaran dan perdagangan. Perubahan angin yang terjadi di Indonesia setiap setengah tahun dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” berpindah-pindah dari Lintang Mengkara (Tropic of Cancer) ke Lintang padayat (Tropic of Capricorn). Maka,

19Ibid.

20 Knapen,Forest of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo,


(33)

angin pasat tenggara pada waktu melintas garis khatulistiwa akan berubah menjadi barat daya, sedangkan apabila angin pasat timur laut melintas khatulistiwa dalam perjalanan ke selatan ia akan berubah menjadi angin laut. Faktor kedua ialah lokasi Indonesia di antara dua kontinen, Asia dan Australia. Iklim panas di salah satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke selatan atau utara menurut musimnya sehingga merubah arah angin yang bersangkutan. Dengan demikian terjadilah angin musim yang berubah tujuan setiap setengah tahun sehingga angin memutar haluannya 1800. 21

Perubahan musim ini sudah lama dikenal pelaut-pelaut Nusantara. Dengan memanfaatkan perubahan angin, pada bulan Oktober kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di kota-kota sebelah barat. Adapun pada bulan Maret dengan menggunakan angin barat biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang berada di bagian barat seperti Malaka, Riau, Johor, dan Batavia, untuk berlayar kearah timur.22

E. Letak dan Fungsi Pelabuhan

Dalam dunia perdagangan maka tempat untuk kapal dagang berhenti adalah pelabuhan. Ramai atau tidaknya pelabuhan di suatu wilayah tergantung dari berbagai faktor, di antaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi. Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh, tetapi tempat kapal berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin dan arus yang kuat seperti yang tersirat dalam arti kataharbour(Inggris) danHaven (Belanda).

21 Adrian B. Lapian,Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17(Jakarta:

Komunitas Bambu, 2008), h. 3.


(34)

Tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh ke dalam. Namun, dalam hal ini lebar sungai membatasi perkembangan pelabuhan bersangkutan. Oleh sebab itu, banyak pelabuhan terletak di muara yang agak terbuka, atau meskipun kurang terlindung di dalam sebuah teluk. Dalam jaringan lalulintas di sebuah negeri kepulauan seperti di Nusantara, fungsi pelabuhan adalah sebagai penghubung jalan maritim dan jalan darat.23

Kesultanan Banjarmasin merupakan daerah yang banyak dialiri oleh sungai yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Sungai menjadi jalur transportasi yang sangat vital bagi kepentingan ekonomis sekaligus politis karena jalan darat masih sangat sulit disebabkan hutan yang lebat.24

Sungai Barito yang merupakan sungai terbesar di Kesultanan Banjarmasin merupakan sungai yang terpenting, karena pengangkutan barang dagangan dari pedalaman ke pantai dan sebaliknya serta operasi militer sering dilakukan melalui sungai ini.

Cabang terpenting dari sungai Barito yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman adalah sungai Banjarmasin dan sungai Negara. Di pusat pertemuan sungai Barito dengan sungai Banjarmasin terletak pelabuhan Tatas (Banjarmasin). Lebih kurang 20 km kearah timur dari kota pelabuhan Tatas terletak Kayutangi, tepatnya di tepi sungai Banjarmasin dimana istana sultan

23

Ibid.

24 Telah dipahami bahwa sungai merupakan akses masuk untuk memudahkan

pengangkutan barang dari wilayah pedalaman ke pelabuhan. Semua kerajaan di Asia Tenggara pada zaman perdagangan telah menggunakan fungsi sungai sebagai akses masuk. Lihat: The Cambridge History of Southeast Asia from early time to 1800, volume I, editor: Nicholas Tarling (Cambridge: Cambridge University Press 1992), h. 479.


(35)

berada. Pada tahun 1771 istana dipindahkan lagi kearah timur, lebih kurang 18 km dari Kayutangi yaitu ke Martapura yang sering disebut sebagai Bumikencana.25

F. Posisi Banjarmasin Dalam Dunia Perdagangan

Hall yakin bahwa pada sekitar abad XIV dan permulaan abad XV terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisr timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam Selatan (untuk memudahkan, kita sebut jaringan perdagangan laut Cina Selatan). Keempat, jaringan perdagangan laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan yang di sebut terakhir berada di bawah hegemoni Majapahit.26

Wilayah Banjarmasin tidak disebut atau masuk dalam kelima jaringan perdagangan tersebut. Kendati demikian, daerah-daerah Kalimantan Utara dan Barat telah masuk dalam jaringan perdagangan tersebut yang sebagian besar berada di bawah pengawasan pedagang di Jawa.

Salah satu hal yang menguntungkan bagi Kesultanan Banjarmasin adalah letaknya yang strategis di antara jalur perdagangan di kepulauan pada saat itu. Di

25 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787

(Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 26.

26 Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia,


(36)

bagian selatan daerah ini dibatasi oleh laut Jawa, dan di bagian Timur oleh Selat Makassar. Sedangkan di bagian Barat dan Utara masing-masing dibatasi oleh Kotawaringin dan pegunungan Meratus.

Oleh karena letaknya yang diapit oleh Laut Jawa dan Selat Makassar itu maka Banjarmasin banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar antara lain dari Jawa, Sulawesi, Cina dan Gujarat. Kedudukan Banjarmasin yang berada di bawah pengaruh Demak pada akhir abad-XVI,27 menyebabkan terjadinya hubungan perdagangan antara kedua daerah itu. Emas, intan, lada dan hasil hutan merupakan mata dagang penting yang dicari oleh pedagang dari daerah pantai Utara Jawa dan ditukar dengan bawang merah, beras, asam dan garam.

Sampai pada pertengahan abad-XVII, bersamaan dengan runtuhnya pusat perdagangan di pantai Utara Jawa, seperti Demak, Tegal dan Jepara, Banjarmasin tumbuh sebagai pelabuhan dagang yang ramai, karena semakin banyak disinggahi oleh pedagang dari daerah itu dalam usahanya untuk mencari pelabuhan bebas. bersamaan dengan itu, kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di Banjarmasin pada belahan pertama abad XVII telah menempatkan Banjarmasin sebagai pelabuhan yang terpenting di Asia.

27 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement,K.


(37)

26

Penyebaran Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan pemeluk agama Islam yang datang ke wilayah Nusantara kemudian penduduk pribumi menganut agama Islam. Kedua, orang-orang asing, seperti Arab, India dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Nusantara, melakukan perkawinan campur dan mengikuti gaya hidup lokal, kedua proses itu mungkin sering terjadi secara bersamaan.1

Ada juga yang berpendapat Islam didakwahkan di Nusantara melalui tiga fase yakni oleh para pedagang Muslim dalam jalur perdagangan yang damai, kemudian datangnya para pendakwah Islam yang datang dari wilayah India atau Arab yang sengaja mengIslamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekuasaan atau memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.2

Seiring dengan ramainya perdagangan yang terjadi di Nusantara proses Islamisasi juga terdorong oleh motif ekonomi dan politik. Para penguasa menerima Islam agar mereka dapat memperoleh dukungan dari para pedagang Muslim dengan segenap sumber ekonomi mereka. Dengan menjadi Muslim, para penguasa di Nusantara bisa berpartisipasi dalam kancah perdagangan internasional, dengan menjadi Muslim dan meraih dukungan dari para pedagang,

1 M.C. Ricklefs,Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2008), h. 27. 2 H. J de Graaf,Southeast Asian Islam To The Eighteenth Century,dalam P.M. Holt,The


(38)

penguasa-penguasa dapat melegitimasi kekuasaan mereka dan dapat menahan pengaruh kerajaan Hindu Majapahit.3

Lebih jauh lagi motif penyebaran Islam merupakan akibat dari ancaman agama Kristen yang mendorong penduduk Nusantara masuk Islam. Jadi, masuknya Islam akibat dari persaingan antara Islam dan Kristen untuk memenangkan pemeluk baru di Indonesia. Penyebaran Islam di Nusantara terjadi ketika persaingan dan konflik semakin sengit di antara bangsa Portugis dan para pedagang Muslim.4

Namun, secara umum proses masuk dan berkembangnya agama Islam ini disepakati berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim untuk mengIslamkan rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan praktek keagamaan lain.

Perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”, ada yang memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti pengucapan dua kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam, sebagian lain mendefenisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembaga-lembaga sosial, budaya dan politik, jadi mereka menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu masyarakat.5

3 J.C. van Leur,

Indonesian Trade and Society(The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1955), 110-117.

4 B.J.O. Schrieke,Indonesian Sociological Studies,vol II (The Hague dan Bandung: W.

van Hoeve, 1957), h. 232-237.

5 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,


(39)

Hal tersebut menyebabkan konsep masuknya Islam atau Islamisasi masih dicampuradukkan antara “datang” (terdapat bekas Islam disuatu tempat), “berkembang”(mesjid ditemukan) dan munculnya Islam sebagai kekuatan Politik (sultan memerintah).6

Beberapa konsep proses Islamisasi di atas coba dikompromikan untuk menentukan proses Islamisasi di Banjarmasin. Dari data yang ada, berkembangnya Islam di Banjarmasin seiring dengan ramainya perdagangan yang telah terjalin di Nusantara. Masuknya Islam ke wilayah Kalimantan Selatan seiring dengan ramainya lintas perdagangan ke wilayah timur pada waktu itu. Muarabahan yang telah menjadi pusat perdagangan di Kalimantan Selatan telah banyak dikunjungi oleh orang-orang Keling, Cina, Melayu, Bugis, Bajao dan Gujarat.7

A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin

Kedatangan Islam ke Kalimantan Selatan diperkirakan telah ada sejak sekitar pertengahan abad XV, sekitar tahun 1475-1500 dimana telah adanya orang-orang Muslim di wilayah itu. Kesulitan akan sumber untuk pembanding dalam menentukan kapan awal masuknya Islam di Banjarmasin dikarenakan tidak adanya sumber asing yang menceritakan tentang awal hadirnya Islam di Banjarmasin. Salah satu sumber lokal yang didapat hanyalah Hikayat Banjar.

6 Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja Dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES,

1979), h. 1.

7 M. Idwar Saleh,

Bandjarmasin,(Bandung : B.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1975), h. 35. Keterangan telah adanya kaum Muslim sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin juga telah diyakini, bahwa di Banjarmasin sebelum Islam menjadi agama negara, Islam telah ada di kota-kota pelabuhan atau pemukiman-pemukiman yang lebih dekat di pantai. Lihat: Alfani Daud,Islam dan Masyarakat Banjar:Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 48.


(40)

Dalam sumber lokal yaitu, Hikayat Banjar diceritakan mengenai proses Islamisasi Kesultanan Banjarmasin. Ketika itu Pangeran Samudera memerlukan bantuan untuk memerangi Pangeran Tumenggung yang telah merebut takhta kerajaan Negara Daha dari Pangeran Samudera yang merupakan cucunya Raja Sukarana (raja Negara Daha sebelumnya). Untuk mengalahkan Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada sultan Demak. Namun, bantuan ini dijanjikan dengan syarat bahwa ia memeluk agama Islam. Pangeran Samudera menerima syarat tersebut dan sultan Demak kemudian mengirim 10.000 pasukan bersenjata di bawah pimpinan seorang penghulu, dengan jumlah tersebut pasukan Pangeran Samudera menjadi 40.000. selama 40 hari 40 malam berperang tidak ada juga pemenangnya. Kemudian diputuskan untuk mengadakan pertarungan antara kedua orang yang berambisi menduduki takhta, tetapi sebelum sempat bertarung Pangeran Tumenggung mengakui kesalahannya dan keduanya dapat berdamai, kemudian Pangeran Samudera diangkat menjadi sultan Banjarmasin.8

Setelah kemenangan, Pangeran Samudera memeluk Islam pada sekitar tahun 936 H/1526 M dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjarmasin. Seorang Arab memberi gelar Surian Allah9 kepada Pangeran Samudera dan dikenal dengan sebutan Sultan Suriansyah (m. 1526-1550).10 Setelah itu, rombongan pasukan Demak dan penghulunya kembali pulang, dengan

8 J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, (The Hague: Martinus

Nijhoff, 1968), h. 439-443, A. Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1986, 10-33, Kesultanan Banjar , dalam Ensiklopedia islamdi Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 1987, II, 487-493.

9 Gelar

Surian Allah (berjalan di jalan Allah) diberikan kepada Pangeran Samudera oleh Penghulu Demak yang bernama Khatib Dayyan ketika mengislamkan Pangeran Samudera. Lihat, Khoiril Umam, Pemikiran Akidah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35.

10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII


(41)

membawa banyak hadiah.11 Selanjutnya, semua raja Banjarmasin menggunakan nama Arab.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Islam telah berada di Banjarmasin sejak mulai ramainya arus perdagangan ke arah timur. Masuknya Islam terlebih lagi berkembang dengan cepat ketika Pangeran Samudera memeluk agama Islam. Agama Islam sangatlah berpengaruh terhadap kondisi keagamaan di Kesultanan Banjarmasin.

Jika di analisis konversi penguasa Banjarmasin ke agama Islam lebih terpengaruh oleh faktor politik, yaitu terdorong oleh motif perebutan kekuasaan. Berbeda dengan penguasa di bagian Indonesia Timur yang mengalami persaingan agama antara Islam dan Kristen.12 Di Banjarmasin tidak ditemukan persaingan agama ini, walaupun data yang ada menyebutkan adanya penyebaran agama Kristen oleh pastur Portugis pada tahun 1688 namun agama ini tidak berkembang dikalangan orang Banjar.13

B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin

Sebelum lahirnya Kesultanan Banjarmasin, wilayah Kalimantan Selatan telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh kerajaan Hindu-Budha. Hikayat Banjar dan Kotaringin telah menceritakan mengenai kerajaan yang pertama berdiri di wilayah ini. Dalam hikayat diceritakan tentang kehadiran saudagar besar yang sangat kaya

11Ibid.

12 Van Leur,Indonesian Trade and Society, h. 117.

13 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar,h.


(42)

yang berasal dari Keling,14 namanya Saudagar Mangkubumi. Saudagar Mangkubumi ini memiliki anak yang bernama Ampu Jatmaka yang setelah ayahnya meninggal mencari wilayah baru untuk membangun sebuah kerajaan.15

Ampu Jatmaka membuat kerajaan di Kalimantan yang diberi nama Negara Dipa.16 Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang bercorak Jawa,17 didirikan sekitar abad ke–XV. Kerajaan Negara Dipa ini kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha yang letaknya di pedalaman Muarabahan sampai sekitar tahun 1540. Kerajaan Negara Daha mengalami kehancuran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara keluarga raja.

Sewaktu Maharaja Sukarana memerintah kerajaan Negara Daha pada awal abad XVI, ia mencalonkan cucunya, yaitu Pangeran Samudera, untuk menduduki tampuk pemerintahan kerajaan Negara Daha sebagai penggantinya. Namun setelah Maharaja Sukarana meninggal dunia, jabatan tersebut menjadi rebutan para paman Pangeran Samudera, tetapi Pangeran Samudera dapat melarikan diri ke tempat kediaman Patih Masih18 di daerah muara sungai Kuin (Cerucuk). Sementara itu salah seorang pamannya, Pangeran Tumenggung, berhasil menjadi

14 Menurut analisa van der Tuuk yang dikutip oleh Ras,Hikayat Banjar: a Study in Malay

Historiography, bahwa orang-orang Jawa itu, adalah orang-orang Keling yang berasal dari kerajaan Kuripan atau Jenggala di Jawa Timur.

15 Roasyadi, Sri Mintosih dan Soeloso,

Hikayat Banjar dan Kotaringin (Jakarta: Depdikbud, 1993), h. 14.

16Ibid.

17 Pengaruh Jawa dalam wilayah Banjarmasin telah muncul sebelum terbentuknya

kerajaan Banjarmasin. Pengaruh Jawa terjadi dengan muculnya orang-orang Jawa pada abad ke-14, yang dipimpin oleh seorang pedaganag bernama Ampu Jatmaka, jalur lain masuknya pengaruh Jawa adalah dengan melalui perkawinan antara Putri Junjung Buih dari Negara Dipa dengan pangeran Surianata (Raden Putra) dari Kerajaan Majapahit. Ras,Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography,h. 183.

18 Patih Masih yaitu Patih yang mengepalai daerah Banjarmasin dan sekitarnya serta


(43)

raja terakhir Negara Daha, dengan membunuh saingannya, yaitu saudara kandung Pangeran Tumenggung sendiri (Pangeran Mangkubumi).19

Di tempat kediaman Patih Masih, Pangeran Samudera menyusun kekuatan untuk merebut kekuatan dari pamannya. Ia memperoleh bantuan dari para Patih selain Patih Masih, yaitu dari Patih Balit, Patih Balitung, Patih Muhur dan Patih Kuin. Hal ini kemungkinan karena Patih Masih merupakan pemimpin para patih di daerah tersebut.20 Wilayah kekuasaan para patih tersebut disebut Banjarmasin. Sementara itu Pangeran Samudera menjadikan daerah Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan dan tempat kediaman Patih Masih dijadikan istana, maka berdirilah kerajaan Banjarmasin pada sekitar tahun 1526.

Setelah Kesultanan Banjarmasin berdiri Kerajaan Negara Daha yang letaknya di pedalaman menjadi taklukan Kesultanan Banjarmasin, dan diharuskan membayar upeti. Sedikit demi sedikit kerajaan Negara Daha ditinggalkan rakyatnya yang pindah ke Kesultanan Banjarmasin. Pangeran Samudera kemudian memindahkan pusaka maupun perlengkapan kerajaan Negara Daha ke kerajaannya, yang mana tindakan ini mengakhiri kerajaan Negara Daha. Kerajaan ini semakin dikenal sebagai kerajaan Islam dengan Pangeran Samudera sebagai rajanya. Perkembangan selanjutnya Kesultanan Banjarmasin dapat menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya antara lain Sukadana, Sampit dan Kotawaringin.21

19

Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, M. Idwar Saleh, ed. (Jakarta: Depdikbud. 1977/1978), h. 37-38., lihat juga Ras,Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography,h. 378-382.

20 Ras,Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography,h. 45.

21 Saleh, Banjarmasih, h. 45-56., lihat juga Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay


(44)

C. Struktur Pemerintahan

Dalam struktur pemerintahan, Sultan dibantu oleh mangkubumi, yang bertindak sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Jabatan ini biasanya dipegang oleh seorang bangsawan keluarga dekat raja seperti putra mahkota atau saudara Sultan. Di bawah jabatan mangkubumi terdapat jabatanmantri panganan, mantri pangiwa, mantri bumi dan sejumlah 40 orangmantri sikap. Tiap-tiapmantri sikap

mempunyai petugas bawahan sebanyak 100 orang. mantri panganan dan mantri pangiwa mempunyai tugas mengurus bidang militer, sedang mantri bumi dan

mantri sikap bertugas untuk mengurus perbendaharaan istana dan pemasukan pajak sebagai penghasilan kesultanan. Pada tahun 1759, jabatan mantri sikap

dijabat oleh saudara tiri Sultan yang bernama Gusti Wiranggala,mantri panganan

dan mantri pangiwa dipegang oleh dua orang keponakan Sultan yaitu Pangeran Jiwakusuma dan Pangeran Jiwanegara. Jabatan tertinggi di bawah raja adalah

mangkubumi, dan selain itu jabatan di bawah mangkubumi ada lagi yaitu,

pangapit mangkubumiyang terdiri dari penghulu sebagai pemuka agama.22

Di samping pejabat-pejabat tersebut di atas, raja masih mempunyai beberapa pejabat khusus untuk mengurus rumah tangga istana. Untuk keamanan istana diserahkan kepada sarawisa mereka mempunyai anggota sekitar 50 orang yang dikepalai oleh seorang sarabraja. Petugas yang melakukan pekerjaan membersihkan kompleks istana diserahkan kepada para mandung yang anggotanya juga sekitar 50 orang dan dipimpin oleh seorang pejabat bernama Raksyayuda. Kelompok pengawal raja dan pengawal istana disebut managasari

yang terdiri dari 40 orang dan dikepalai seorang bernama Sarayuda. Petugas


(45)

khusus yang mengerjakan pemeliharaan dan membersihkan senjata disebut

saragani. Semua jenis senjata mulai dari meriam, bedil, tombak, keris, parang, panah, perisai dan sebagainya diurus, dipelihara dan dibersihkan oleh kelompok

saragani ini. Kepala kelompok bernama saradipa atau kadang-kadang disebut

wangsanala. Untuk pelaksanaan upacara kerajaan maka petugas yang dipercayakan mengerjakan pekerjaan tersebut adalah kelompokmangumbara.23

Dalam hal kedudukan Sultan dan sistem penggantiannya. Sultan memegang kedudukan pusat, namun dalam pelaksanaan pemerintahannya ia dibatasi oleh sebuah Dewan Mahkota yang beranggotakan sementara bangsawan keluarga terdekat Sultan dan pejabat birokrasi tingkat atas seperti mangkubumi, para mantri dan kyai. Dewan Mahkota ini berfungsi sebagai penasehat Sultan dalam memecahkan persoalan-persoalan penting seperti soal pemerintahan, penggantian takhta, pengumuman perang dan damai, hubungan dengan kekuasaan luar dan sebagainya. Pengaruh Dewan Mahkota terhadap sikap dan tindakan Sultan sangat besar.24

Sultan berhak untuk mengangkat, memindahkan ataupun memecat pejabat-pejabat pemerintahan, namun untuk pejabat pemerintahan tingkat atas, Sultan meminta nasehat pada Dewan Mahkota. Pengangkatan didasarkan atas jasa atau kecakapan seseorang. Pengangkatan seseorang pada jabatan birokrasi yang penting biasanya disertai dengan pemberian gelar. Pemecatan dilakukan terhadap pejabat-pejabat yang melalaikan tugas atau menunjukan sikap menentang terhadap Sultan.

23Ibid.,h. 51-52.

24

It a Syamsit ah, Kerajaan Banjarmasin di ambang kerunt uhannya (1825-1859), (Skripsi Fakult as Ilmu Budaya: Universit as Indonesia, 1984), h. 9.


(46)

Menurut adat kebiasaan dalam Kesultanan Banjarmasin, pengganti Raja adalah putra mahkota yang diangkat dari putera tertua Sultan dengan permaisuri dari golongan bangsawan. Dengan demikian putra dari isteri bukan golongan tersebut tidak berhak naik sebagai Sultan. Keruwetan timbul dalam istana, apabila di antara bangsawan keluarga raja ada yang mempunyai pendirian yang berbeda mengenai penunjukan pengganti Sultan. Timbulnya kericuhan dalam istana mengenai pengganti Sultan kerap kali terjadi dalam sejarah Kesultanan Banjarmasin. Penunjukan putra mahkota oleh raja belum tentu diterima oleh seluruh bangsawan.25

Dalam upacara kerajaan ada beberapa petugas yang memegang alat-alat keperluan raja seperti payung, tombak, tikar, tempat sirih dan para pembawa alat-alat ini disebut payong bawat, pamarakan atau pangadapan dan kelompok ini dikepalai olehrasajiwa. Kelompokpamarakan yang berjumlah 50 orang ini harus selalu dekat dengan Sultan karena mereka umumnya bertugas melaksanakan perintah Sultan. Yang bertugas mengurus bidang seni dan tari ialah pergamelan

dan kelompok seniman ini dikepalai oleh seorang astrapana. Jika Sultan hendak berburu ia dikawal oleh para tuhaburu yang dipimpin oleh seorang puspawana. Para petugas yang mengawasi dan sekaligus menjaga keamanan Sultan ialah

pariwala atau singabana. Urusan bea cukai di pelabuhan dikepalai oleh seorang bernamaanggarmata yang membawahi para petugas yang disebutjurubandar. Di bidang perdagangan umum kerajaan dibantu oleh seorang pejabat bernama Wiramartas. Para pejabat di luar istana yang dapat disebut sebagai pejabat daerah ialah lalawang yang mengepalai daerah setingkat kawedanan yang membawahi

25 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional


(47)

kesatuan daerah yang lebih kecil setingkat kecamatan yang dikepalai oleh lurah/mantri. Tiap-tiap lurah membawahi beberapa desa, sedangkan desa dikepalai oleh seorangpembekal. Desa-desa masih mempunyai daerah yang lebih kecil lagi disebut kampung yang dikepalai olehtetuha kampung.26

Untuk melakukan pemeriksaan urusan pemerintahan Sultan memerlukan laporan pelaksanaan pekerjaan. Untuk itu Sultan melakukan peraturan mengadakan seba atau sidang setiap hari sabtu bertempat di sitilohor. Disini Sultan sekaligus mengkontrol terhadap semua pejabat pemerintahan. Karena semua pejabat penting diwajibkan hadir pada acara seba ini.27 Dalam adat kebiasaan kerajaan-kerajaan di Indonesia seba juga dimaksudkan sebagai kontrol terhadap daerah yang dikuasainya. Jika wakil suatu daerah yang berada di bawah naungan kerajaan tidak hadir dalam acara seba maka dapat menimbulkan kecurigaan sang raja apalagi kalau tidak ada pemberitahuan maka dapat dianggap sebagai pembangkang.

Pada umumnya susunan jabatan dalam pemerintahan Kesultanan Banjarmasin tidak banyak berubah hingga akhir abad XIX. hanya terjadi beberapa perubahan misalnya pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857), yaitu adanya jabatan mufti atau kyai yang berfungsi sebagai hakim tertinggi, yang mengepalai hakim tingkat bawah yaitu penghulu. Tingkatan sesudah penghulu adalah: kaliba, kemudian lebai, khatib, dan bilal.28 Penghulu merangkap hakim dan bertugas memutuskan hukuman. Selain itu, ia juga merupakan pemuka agama, serta menjadi kepala masjid besar di kota kerajaan.

26Ibid.

27 Ras,Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 376.

28 A van der Ven,Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h.


(48)

D. Struktur Masyarakat

Dalam struktur masyarakat tradisional, struktur masyarakat memiliki dua pembagian kelas. Kelas elite dan non-elite. Mayoritas adalah non-elite yang diperintah, dan minoritas adalah kelas elite yang memerintah. Secara garis besar masyarakat Banjarmasin dapat digolongkan ke dalam empat lapisan: Pertama,

golongan bangsawan, merupakan golongan yang memerintah terdiri dari Sultan dan sanak keluarganya. Mereka mempunyai gelar pangeran, puteri, ratu, raden, gusti, dan andin. Pangeran dan puteri adalah gelar untuk anak-anak dari pihak ayah dan ibu keturunan raja, yang pria disebut pangeran dan yang wanita disebut puteri, yang bila sudah menikah bergelar ratu. Raden adalah gelar untuk anak seorang pangeran dengan isteri orang biasa; Gusti adalah gelar yang biasa digunakan oleh anak-anak raja, yang berasal dari selir, dan andin adalah gelar untuk anak-anak dari seorang gusti atau raden dengan isteri keturunan biasa. Golongan ini merupakan golongan yang dihormati dalam masyarakat.

Kedua, golongan agama, termasuk dalam golongan elite, terutama mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik. Namun, golongan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat. Di antara mereka ada yang bergabung dalam pemerintahan kerajaan, sehingga mempunyai kekuasaan yang syah dalam kerajaan. Tetapi jumlah ini tidak banyak. Sebagian besar golongan agama tersebar di pedesaan, mereka hidup di antara rakyat sebagai elite pedesaan, antara lain sebagai guru agama, juga sebagai wiraswasta (antara lain, membuat anyaman-anyaman tikar dan alat-alat rumah tangga, membuat perahu) dan pedagang, sehingga mereka memiliki kekayaan yang akan menambah mereka dihormati dan dipercayai rakyat.


(49)

Ketiga, golongan penduduk biasa. Mayoritas penduduk Banjarmasin adalah orang-orang Banjar dan Dayak.29 Orang Dayak dianggap sebagai penduduk asli di pulau Kalimantan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda dibanding dengan orang Banjar. Ini terlihat dari bentuk mata pencaharian hidup dan kepercayaan mereka. Pada umumnya orang Banjar yang tinggal di pantai hidup sebagai pedagang dan memeluk agama Islam. Sebaliknya orang Dayak kebanyakan tinggal di pedalaman hidup dari bercocok tanam serta mengumpulkan hasil hutan. Mayoritas orang Dayak memeluk keprcayaan asli mereka yakni Kahariyangan.30

Orang Banjar menempati status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Dayak karena mereka memegang jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti sultan dan mantri (kepala desa). Sedangkan orang Dayak jika ingin masuk kedalam struktur pemerintahan mereka harus memeluk agama Islam, dan hanya bisa menjabat sebagai Pembekal (kepala kampung). Dengan demikian agama Islam memegang peran penting bagi orang Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin.

Penduduk pada golongan ini kebanyakan hidup dari perdagangan, pertanian, menangkap ikan, kerajinan dan sebagainya.31 Golongan pedagang sangat besar jumlahnya, sebagian besar cukup kekayaannya. Golongan pedagang cukup dihargai di masyarakat, penghormatan pada seorang pedagang kaya akan

29 Han Knapen,

Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880( Leiden: KITLV Press, 2001), h. 77.

30 Carl Bock,The Head-hunters of Borneo, (London: Sampson and Low, 1882), h. 164,

lihat juga Victor King,People of Borneo, (Cambridge: Blackwell, 1953), h. 31-32.

31 Alfred B. Hoedson, The Padju Empat Ma anyan Dayak in Historical Perspective,


(50)

makin bertambah apabila pedagang tersebut masih ketururnan bangsawan. Penghormatan terhadap golongan pedagang biasanya dilihat dari besar kecilnya usaha ataupun kaya atau tidaknya pedagang tersebut.

Keempat, golongan Pandeling yaitu, mereka yang kehilangan kemerdekaan, akibat hutang-hutang yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan saudagar, bila hutangnya lunas mereka menjadi orang-orang yang merdeka, disebut mardika. Selain itu terdapat pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan perang. Susunan masyarakat tesebut merupakan susunan masyarakat sampai abad XIX di Kesultanan Banjarmasin.32

Dalam zaman perdagangan yang paling berperan dalam memainkan hak monopoli berada di tangan penguasa yaitu Sultan dan para pegawainya. Sultan berperan sebagai penguasa atas barang yang dihasilkan oleh penduduk di pedalaman.

E. Perkembangan Agama Islam

Semenjak abad XVIII agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.33 Penerapan hukum Islam di Kesultanan Banjarmasin adalah sejalan dengan terbentuknya Kesultanan Banjarmasin dan dinobatkannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang beragama Islam. Terbentuknya Kesultanan Banjarmasin menggantikan kerajaan Negara Daha yang beragama Hindu, dan merubah menjadi kerajaan yang bercorak Islam.

32 Soeri Soeroto,Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah Nasional

II, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta, hlm. 4-5. lihat juga, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,Sejarah Nasional Indonesia IV,h. 62.


(51)

Islam terus berkembang, awal dari upaya Sultan Suriyansyah menyebarkan dan mengembangkan Islam secara luas kepada masyarakat ialah dengan mendirikan sebuah Masjid. Namanya masjid “Sultan Suriyansyah” yang merupakan masjid pertama di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVI. Masjid ini berdiri hasil musyawarah Sultan dan para pembesar kesultanan masjid ini masih ada hingga kini di kampung Kuin, dan sudah beberapa kali dipugar.34 Dalam hal ini sultan tidak bertindak atas kemauannya sendiri, tetapi dibatasi oleh para petinggi kesultanan dan diatur dengan ketentuan kesultanan.35

Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah peran dari para Sultan Banjarmasin yang selalu menjadi tauladan rakyatnya yaitu antara lain dengan senantiasa memakai nama-nama Islam dan bertindak sesuai dengan cara-cara Islam. Tersebarnya Islam di daerah ini tidak dengan paksaan maupun kekerasan.36

Dengan berkuasanya Sultan dan didukung oleh para petinggi, maka Islam berkembang tanpa halangan melalui perdagangan, melalui jalan sungai yang menghubungkan antara pedalaman dan kota pelabuhan Banjarmasin. Rakyat Kesultanan Banjarmasin yang letaknya di pedalaman dapat dikunjungi oleh para pedagang yang juga merupakan guru agama, sehingga para petani, peternak dan nelayan dapat memeluk agama Islam.37

Hasil dari penyebaran Islam bukan saja tampak dalam bidang politik, sosial, keagamaan, tetapi juga dalam bidang budaya. misalnya huruf Arab yang digunakan dalam pelajaran membaca al-Qur’an dan menghafal bacaan shalat, juga digunakan untuk menulis perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara sultan

34 Basuni,Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 35-36.

35 Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin, (Laporan

Penelitian prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2009), h. 6.

36 Basuni,Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 40. 37Ibid.


(1)

1 Sulandjari,

Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 147 SULTAN

M ANGKUBUM I DEWAN

M AHKOTA

M ANTRI PANGANAN

M ANTRI PANGIWA

M ANTRI SIKAP M ANTRI BUM I

SARADIPA SARADIPA

PRAJUTRIT ISTANA

SYAHBANDAR

M ANTRI

PEM BEKAL


(2)

Lampiran 3. Salah Satu Contoh Surat Perjanjian Antara VOC dengan Kesultanan Banjarmasin

VERNEUWD CONTRACT 18 MEI 1747*

Bahwa inilah surat perniagaan dan persahabatan yang telah dimufakatkan oleh Sultan Tamdjidallah serta Ratu Anom dan sekalian orang besar2yang ada memerintah dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Imhop serta dengan Raden pan India yang telah berbuat titah perintah kepada tiga orang Wilandia dan yang menjadi kepada perintah itu yaitu komandur Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yang seorang Jan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan de Beruh, maka yang tiga orang itu sama juga menangung titah itu.

Syahdan maka tersebutlah perjanjian yang telah lalu itu tatkala pada zaman itu adalah Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka tiba2 tiada orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu itu. Syahdan kemudian dari pada yang telah tersebut itu maka membuat perlu Kompeni Wilandia surat perjanjian tatkala pada zaman Seri Sultan Chamidullah maka pada zaman itu adalah seri Sultan sangat berkasih kasihan dengan Kompeni Wilandia maka se-kunjung2 tiada orang Banjar mengikut seperti perjanjian yang dahulu itu adalah seolah-olah tiada surat perjanjian yang tinggal lagi pada sekarang ini. Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jendral dan segala Raden2 pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia akan memahami surat perjanjian yang lebih patut pada antara kedua pihak itu supaya kekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat-bersahabat tiada berubah-ubahan dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yaitu Jan pan Suchtelen dan Danil pan der Breuh ialah yang akan membikin surat perjanjian yang baru ini.

Fasal yang pertama adalah Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom serta sekalian orang besar2 yang ada memerintahkan dalam negeri Banjar maka sekalian itu adalah bertetap-tetapan dengan Kompeni dari pada sahabat-sahabat antara kedua pihak itu tiada beruabah-ubah dalam keduniaan itu.

Fasal yang kedua adalah Kompeni Wilandia membuat perjanjian jikalau ada musuh dalam negeri banjar datang dari laut atau didarat itu maka adalah kompeni Wilandia menolong dari pada bahaya itu barang siapa2nya orang * Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. .Jakarta: ANRI, 1956, h. 33-38.


(3)

Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar dengan seboleh2 jua menjauhkan dari bahaya sekalian itu tiada dibilang seperti harga obat dan pelor.

Fasal ketiga adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian dengan Kompeni Wilandia jikalau ada raja2 berbantah dengan saudaranya atau dengan ananknya itu maka jikalau minta tolong pada Kompeni salah seorang tiada beroleh menolong melainkan barang siapa yang menang maka ia menjadi raja disanalah tempat Kompeni bersahabat.

Fasal yang keempat adalah Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji dengan Kompeni daripada memelihara akan hamba sahaya Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar maka sekalian kedua pihak itu pada menghukum dan membicarakan daripada aniaya orang Banjar adalah seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian yang demikian itu dengan orang Kompeni Wilandia dan jikalau ada umpamanya orang yang berbuat susah dalam memberi mudharat atas kedua pihak dan jikalau Kompeni membuat yang demikian itu melainkan Kompenilah yang menghukum dia dan jikalau orang Banjar berbuat aniaya kepada orang Wilandia melainkan Seri Sultan yang menghukumkan dia dengan bagaimanapun patut hukuman atasnya supaya jangan ada yang berbuat bencana dalam kedua pihak itu.

Fasal yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anom telah berjanji pada hal memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada yang didalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan dijualkan kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom mengerasi atas rakyat sekalian dalam negeri Banjar supaya jangan ada yang menjual pada pannya melainkan Kompeni jua yang membeli sekalian lada itu.

Fasal yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian dengan kompeni Wilandia daripada melarangkan jenis orang putih yang datang berniaga kenegeri Banjar daripada menjual dagangan atau membeli dagangan dan jikalau ada suruhannya dan jenis sekalipun sama juga dan jikalau ada umpamanya melawan dari pada lapangan hendak dilakukan dengan bagaimana patut hukuman atasnya.

Fasal yang ketujuh mengikat juga kiranya kompeni Wilandia seperti Bicara Seri Sultan dan Ratu Anom daripada sebuah wangkang Cina yang supaya boleh ia datang ke Banjar pada tiap2tahun satu wangkang dan akan dagangannya itu mena sekehendak orang memilih akan tetapi menjual lada itu sekali-kali tiada ia boleh orang Banjar menjual lada itu melainkan Kompeni juga yang boleh menjual lada dengan orang Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.


(4)

Fasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga lada dengan Seri Sultan dan Ratu Anom yang dalam sepikul itu enam real putus harganya selama-lama tiada berubah akan tetap yang dalam sepikul itu adalah seratus koti atau seratus dua puluh lima pun dacin Kompeni yang dipakai dan hendaklah lada itu kering dan bersih dalamnya jangan ada seperti ciri pasir atau batu yang kecil2 dan jikalau menimbang lada itu hendaklah ada dua orang pihak dari pada Seri Sultan dan dua orang pula daripada pihak Kompeni ialah yang akan menghadapi timbangan itu supaya jangan ada cidra-menyidrai dia dalam keduanya itu dan jikalau ada umpamanya bersalah-bersalahan dalam keduanya itu melainkan Seri Sultan sendiri memutuskan dia dengan barang siapa Kompeni Wilandia yang tinggal menjadi kepala dalam tanah banjar.

Fasal yang kesembilan adalah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa dengan Kompeni Wilandia yang tinggal dalam negeri Banjar daripada memeriksa sebuah2 perahu yang keluar dari negeri Bandjar dengan tiada menyusahi atas perahu itu melainkan jikalau ada ia lada yang termuat dalamnya itu maka adalah Kompeni mengambil lada yang didalam perahu itu serta membagi untung kepada jurutulis Sultan dan setengahnya kepada Kompeni.

Fasal yang kesepuluh adalah kompeni berjanji barang siapa orang yang suka berlayar maka adalah kompeni memberi hingga melainkan di Batavia dan di Jawa sekaliannya sampai Gresik dan Surabaya tiada boleh lebih daripada sebelah timur seperti ke Bali dan ke Bawean dan ke Sumbawa dan Lombok lain daripadanya itupun tiada jua boleh dan lagi yang sebelah barat dan utama seperti ke Palembang dan Malaka dan Johor dan Belitung lain daripadanya itupun tiada boleh maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi titah kepada sekalian rakyat yang belajar itu supaya jangan ia mendapat kerugian yang demikian itu dan jikalau tiada ia menurut titah itu adalah ia mendapat seperti kerugian yang demikian itu.

Fasal yang kesebelas jikalau ada barang seperti perahu yang datang berniaga dalam negeri banjar serta membawa dagangan yang dilarangkan oleh Kompeni seperti opium dan buah pala dan bunga pala dan cengkeh kayu manis Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa atas Kompeni daripada memeriksa perahu itu dan jikalau ada ia mendapat seperti larangan itu maka adalah kompeni menagkap orang yang berbuat demikian itu serta mengirimkan Kompeni kepada orang itu ke Batavia dan menghukumkan Kompeni dengan bagaimana patut hukuman atas orang yang berbuat demikian itu.

Fasal yang keduabelas Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji dengan Kompeni Wilandia daripada memberi suatu tempat yang baik boleh ia orang Kompeni duduk dan menyimpan barang suatunya perniagaan itu dan rumah itu


(5)

dibayar harganya dengan bagaimana patut dan seperti loji itu man kehendak Kompeni membuat dia karena perjanjian yang dahulu itu tatkala pada zaman Seri Sultan Chamidullah boleh kompeni membuat loji demikian pada zaman Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom sama jua memberi dia berbuat loji itu.

Tamat surat ini perjanjian yang telah jadi didalam istana Seri Sultan dan Ratu Anom di Kayutangi yang telah mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam Hidjrat Seribu seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulan Rabi’alawal dan pada hari Kamis dan yaitu dua surat yang telah jadi dan dalam keduanya itu sama jua serta dengan tiapnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal dibawah Seri Sultan dan Ratu Anom dan yang satu sama tinggal dibawah Kompeni.

(Cap lak coklat tua tidak pecah tetapi

tak kelihatan huruf2nya)

(Cap lak merah muda retak2: bentuk

segi delapan didalmnya dua

bujursangkar yang berpotonagan

merupakan segi delapan dan

di-dalamnya terbaca huruf Arab dari atas ke Bawah Allah

Tamjid Sultan)

Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Inhof dan segala Rad pan India telah memandang dan melihat serta membacanya surat perjanjian perniagaan sahabat bersahabat yang karib daripada kedua pihak yaitu Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom bersama2 dengan orang besar2 dinegeri Banjarmasin maka yaitu Kompeni telah menyuruh membaharui pula seperti mana operkupman Stephan Markus pan der Hiden serta dua Kupman yaitu Djan pan Suchtelen dan Danil pan de Beruh ialah yang telah disuruh membawa titah perintah pada waad perjanjian yang mutlak damai maka adalah kami dengan surat ini akan mangkabulkan dan mangastajabatkan bunyi surat waad perjanjian itu padahal berkekalan dengan tiada berkeputusan daripada pihak Kompeni mengikut dan memeliharakan tambahan pula barang siapa2nya yang ada tinggal dibawah chadamat Kompeni itupun mengikut dan menurut serta mangusahakan dan memeliharakan perihal ichwal yang demikian itu maka perjanjian itu akan sekarang ini adalah sesungguhnya kami mentakadkan dan meneguhkan serta meredakan akan perihal ichwal itu sebab itulah maka kami sekalian masing-masing menaruh tanda tapak


(6)

tangan dalam warkah ini serta dimeteraikan dengan cap Kompeni atasnya yaitu tanda berteguh2an jua adanya.

Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam kota intan Bataviah pada enambelas bari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh.

Cap lak Kompeni (tak Terbaca) Ter ordonnantie van haar Eds Den Gouverneur Generaal en de

Raden van India Ttd. J.A v.d. Parra