17
angin musim yang berubah tujuan setiap setengah tahun sehingga angin memutar haluannya 180
.
23
Perubahan musim ini sudah lama dikenal pelaut-pelaut Nusantara. Dengan memanfaatkan perubahan angin, pada bulan Oktober kapal-kapal sudah berangkat
dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di kota-kota sebelah barat, adapun pada bulan Maret dengan menggunakan angin barat biasanya dimanfaatkan oleh
pedagang yang berada di bagian Barat seperti Malaka, Riau, Johor, dan Batavia, untuk berlayar ke arah Timur.
D. Posisi Ternate dalam Dunia Perdagangan
Hall
24
yakin bahwa pada sekitar abad ke-XIV dan permulaan abad ke- XV terdapat lima jaringan perdagangan commercial zones. Pertama, jaringan
perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka, Birma kini Myanmar, dan pesisir Utara dan Barat Sumatera.
Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir Timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan
untuk memudahkan, kita sebut jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir Barat Luzon,
Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir Utara Kalimantan Brunei Darussalam. Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara,
Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian Selatan
23
Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17,Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, h. 3
24
Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia Honolulu: University of Hawai Press. 1985, h. 24.
18
Sumatera. Jaringan perdagangan yang di sebut terakhir berada di bawah hegemoni Majapahit.
25
Sejarah jalur lautan mempunyai arti penting bagi sejarah awal Indonesia dan masa-masa berikutnya, karena mengandung episode penting dalam sejarah
politik dan sejarah kebudayaan yang terkait erat dengan perdagangan dan jalur perdagangan.
26
Dengan pulau dan lautan yang lebih luas dari daratannya, Indonesia mempunyai letak yang strategis dan potensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan tersebut antara lain didorong faktor lautan yang menjadi jalur pelayaran
internasional. Dengan jalur pelayaran tersebut, terjadilah jaringan perdagangan antar-pulau dan antar-suku bangsa yang kemudian berkembang menjadi
jaringan perdagangan internasional atau perdagangan antar-bangsa.
27
Ternate sebagai bandar jalur sutera mengalami masa jaya pada abad ke- 16 M. Pada masa itu Ternate berhasil meluaskan kekuasaannya di seluruh
wilayah yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya. Ke Barat kekuasaannya diakui sampai ke pesisir Timur Sulawesi termasuk Sulu dan Kepulauan
Banggai, ke Selatan Ternate meluaskan kekuasaannya ke Seram Barat Jazirah Hoamal dan kepulauan Ambon. Kekuasaan yang begitu jelas didukung oleh
sumber daya manusia dan sarana yang cukup kuat, seperti perahu, junk, atau kapal sebagai alat untuk menjangkau antar-pulau yang membutuhkan cengkeh.
Tanpa dukungan yang kuat tidak mungkin mampu mengadakan ekspansi
25
Majapahit runtuh pada abad ke-15 M, antara tahun 1475-1478.
26
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara Jakarta: PT. Gramedia, 2009, h. 37.
27
Ibid., h. 38.
19
politik. Hal ini erat kaitannya dengan peranan Ternate sebagai bandar jalur sutera. Munculnya Ternate sebagai bandar jalur sutera berkaitan erat dengan
interaksi jalur dagang darat maupun jalur dagang laut. Di Ternate terdapat Pelabuhan Samudera “Ahmad Yani” dan Bandar
Udara “Babullah”. Kota Ternate sendiri berlokasi di pesisir Timur pulau Ternate menghadap pulau Halmahera, posisi ini sangat potensial
28
. Kedudukan yang demikian ini menyebabkan kota Ternate memiliki peranan yang sangat
penting dalam ekonomi perdagangan lintas Halmahera. Selain itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi Utara.
Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini
berkembang dalam jalur perdagangan di daerah Maluku Utara. Rempah-rempah dari Maluku menemukan pasar yang makin meluas,
karena dibawa dalam jumlah besar ke Eropa lewat Mesir dan Venesia. Karena Maluku hampir merupakan satu-satunya produsen rempah-rempah, maka segera
menjadi tempat yang penting secara politik. Kedatangan Portugis ke Maluku mulai berupaya memonopoli
perdagangan rempah-rempah. Namun, menurut Howard Federspiel, usaha Portugis tidak terlalu berhasil, akibat tidak mampu menggantikan sistem
perdagangan yang telah ada.
29
Lebih lanjut, Des Alwi menjelaskan, bahwa perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh Portugis di Maluku tidak lain
semacam sistem barter yang sangat memberi keuntungan besar kepada Portugis
28
RZ. Leirissa, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 80.
29
Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, h.23.
20
sedangkan Maluku menerima keuntungan yang sangat kecil saja. Membandingkan dengan harga dewasa ini maka volume dan nilai perdagangan
Portugis di Maluku dapat diperkirakan kira-kira pemasukan dan pengeluaran per tahun hanya sekitar 3.000 ton senilai 2 sampai 3 juta dollar AS. Tetapi 2-3
juta dollar pada abad ke-16 M setara dengan 20-30 juta dollar AS atau bahkan 50-100 juta dollar AS sekarang. Pada jalur Ternate-Lisabon, Portugis berhasil
memuat sekitar setengah juta pound setiap tahun dan seperempat juta pound pala dan fuli dengan nilai total yang dilaporkan sebesar sekitar 2 juta dollar AS
di pasaran Eropa.
30
Keuntungan sepihak inilah yang mengindikasikan Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dan Ternate tidak
mengalami sukses secara signifikan. Di Eropa, selama abad Pertengahan, rempah-rempah ini dijual dengan
harga sangat mahal, tapi harga itu sangat sedikit, karena masalah biaya produksi atau jumlah yang tersedia. Pembudidayaan cengkeh hanya membutuhkan
sedikit kerja, dan pohon itu terus berproduksi selama tigaperempat abad, yang sangat cukup menutupi ongkos selama periode lama pertumbuhan sebelum
mulai berbunga hampir 12 tahun. Yang membuat biayanya begitu mahal ialah biaya transportasi, serta resiko tinggi perjalanan panjang di laut. Penduduk
kepulauan Maluku tidak banyak beruntung dari perdagangan itu dibandingkan pedagang-pedagang Jawa, Gujarat, dan Cina.
31
30
Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 318-319.
31
Ibid, h.100.
21
Kepulauan rempah-rempah sudah menjadi legenda di Eropa sebagai sumber kekayaan terbesar di kawasan Timur. Cengkeh dan pala adalah
produknya. Cengkeh, kuncup bunga yang dikeringkan dari pohon cengkeh. Dengan perkembangan perdagangan cengkeh yang menyebabkan
perluasan perkebunan cengkeh dan menurunnya produksi bahan pangan, maka bahan makanan harus didatangkan dari luar, terutama dibawa oleh orang Jawa
dan Melayu. Orang Cina pun mula-mula berlayar sampai ke Maluku, akan tetapi sesudah abad ke-14 M mereka tidak lagi berhubungan langsung dengan
Maluku, mungkin karena tidak bisa menghadapi saingan berat dari pedagang Jawa dan Melayu. Yang jelas ialah bahwa pedagang Cina memperoleh rempah-
rempah Maluku dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Keadaan ini mungkin berubah pada abad ke-16 M. Sebab ketika orang Belanda khususnya VOC tiba
di Maluku awal abad ke-17 M
32
mereka bertemu dengan banyak orang Cina yang memainkan peranan penting di Maluku sebagai juru bahasa dan penilai
rempah-rempah. Mereka ini mungkin datang dari kepulauan Filipina bersama orang Spanyol.
Sekitar tahun 1630 M, Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perdagangan atas
perniagaan laut di Indonesia. Mereka berkuasa di Ambon, di pusat kepulauan penghasil rempah-rempah, dan mendirikan markas besar di Batavia yang
terletak di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1641 M, Malaka Portugis jatuh ke tangan VOC, dan pada tahun 1648 M, Perang Delapan Puluh Tahun di Eropa
32
Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Pra Sejarah Hingga 17 Agustus 1945 Jakarta: PUSPINDO, 1990, h. 45.
22
berakhir, mengakhiri permusuhan antara Belanda dan Spanyol. Akan tetapi, pada pertengahan abad XVII, menjadi jelas bawa hegemoni VOC tidak dapat
ditegakkan hanya dengan perjanjian-perjanjian perdamaian, pembangunan benteng-benteng, dan dipertahankannya keunggulan angkatan lautnya.
Kekuasaan-kekuasaan di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, masih tetap dapat megacaukan rencana-rencana VOC. Oleh karena itu, VOC harus
melakukan suatu kebijakan militer yang bahkan lebih agresif, dengan campur tangan secara langsung dalam urusan dalam negeri beberapa negara di
Indonesia. Dengan demikian, diletakanlah dasar-dasar bagi apa yang disebut sebagai imperium Belanda di Indonesia.
33
33
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008, h. 135.
23
BAB III KESULTANAN TERNATE