Karakterisasi Mikropartikel Natrium Alginat yang Mengandung Serbuk Getah Pepaya (Carica papaya L.) yang Dipreparasi dengan Metode Gelasi Ionik

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI MIKROPARTIKEL NATRIUM

ALGINAT YANG MENGANDUNG SERBUK GETAH

PEPAYA (

Carica papaya

L.) YANG DIPREPARASI

DENGAN METODE GELASI IONIK

SKRIPSI

WINA OKTAVIANA

1111102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISASI MIKROPARTIKEL NATRIUM

ALGINAT YANG MENGANDUNG SERBUK GETAH

PEPAYA (

Carica papaya

L.) YANG DIPREPARASI

DENGAN METODE GELASI IONIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

WINA OKTAVIANA

1111102000002

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Wina Oktaviana NIM : 1111102000002 Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Karakterisasi Mikropartikel Natrium Alginat yang Mengandung Serbuk Getah Pepaya (Carica papaya L.) yang Dipreparasi dengan Metode Gelasi Ionik

Mikroenkapsulasi merupakan suatu proses penyalutan bahan inti dengan polimer yang akan mempertahankan stabilitas dan aktivitas enzim papain yang terkandung di dalam serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) yang tidak tahan terhadap pengaruh lingkungan. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi jumlah serbuk getah pepaya terhadap karakteristik mikropartikel yang dihasilkan. Mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya dibuat dengan menggunakan metode gelasi ionik dalam dua formula dengan memvariasikan jumlah serbuk getah pepaya, yaitu F1 0,4 mg dan FII 0,8 mg. Karakterisasi mikropartikel yang dilakukan meliputi uji perolehan kembali, kadar air, distribusi ukuran partikel, bentuk dan morfologi mikropartikel, dan aktivitas proteolitik enzim. Hasil karakterisasi mikropartikel FI dan FII berturut-turut yaitu perolehan kembali 35,114% dan 40,542%, kadar air 8,82% dan 8,92%, diameter rata-rata partikel 488,91 µm dan 508,26 µm, bentuk mikropartikel kedua formula tidak sferis dengan permukaan tidak rata dan berlubang, serta aktivitas proteolitik 0,0004624 TU dan 0,0007621 TU. Seiring peningkatan jumlah serbuk getah pepaya yang digunakan akan meningkatkan nilai perolehan kembali, kadar air, diameter rata-rata partikel, dan aktivitas proteolitik.

Kata kunci : mikropartikel, serbuk getah pepaya (Carica papaya L.), natrium alginat, metode gelasi ionik


(7)

ABSTRACT

Name : Wina Oktaviana NIM : 1111102000002 Major : Pharmacy

Title : Characterization of Sodium Alginate Microparticles Containing Papaya (Carica papaya L.) Latex Powder was Preparated with Ionic Gelation Method

Microencapsulation is a core material coating process with a polimer that will maintain the stability and activity of papain enzyme contained in papaya (Carica papaya L.) latex powder that is not resistant to the environmental influence. This study aims to determine the influence of variations in the amount of papaya latex powder on the characteristics of the resulting microparticles. The Sodium alginate microparticle containing papaya latex powder was preparated ionic gelation method in two formulas by varying the amount of papaya latex powder which were FI 0,4 mg and FII 0,8 mg. The characterization of microparticles included recovery test, moisture content, particle size distribution, shape and morphology of microparticle, and proteolytic activity of enzyme. The characterization results of FI and FII microparticles respectively are 35,114% and 40,542% of recovery value, 8,82% and 8,92% of water content, 488,91 µm and 508,26 µm of particles size distribution, the form of both microparticles are not spheric with uneven surfaces and potholes, and 0,0004624 TU and 0,0007621 TU of proteoliytic activity. As the amount of papaya latex powder increased, the value of recoveries, water content, average particle diameter, and proteolytic activity increased as well.

Keyword : microparticle, papaya (Carica papaya L.) latex powder, sodium alginate, ionic gelation method


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena dengan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, serta kita sebagai umatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakterisasi Mikropartikel Natrium Alginat yang Mengandung Serbuk Getah Pepaya (Carica papaya L.) yang Dipreparasi dengan Metode Gelasi Ionik.”

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari, penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap yang telah ikut membantu dalam penyelasaian skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Nelly Suryani, Ph.D.,Apt dan Yuni Anggraeni, M.Farm.,Apt sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan, ilmu, bimbingan, waktu, tenaga, dan dukungan kepada penulis.

2. Dr. Arief Soemantri, SKM,M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Yardi, Ph.D.,Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.

5. Laboran-laboran Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas dukungan dan kerjasama selama kegiatan penelitian.


(9)

6. Kedua orang tua, ayahanda Hasan, S.Pd dan Ibunda Sartinah, serta adik Qalesya Afraa Aqila yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dan doa yang tidak pernah putus, serta dukungan moril maupun materil.

7. Seluruh keluarga atas semangat, kasih sayang, dan doa yang tidak pernah putus.

8. Heni Siti Nuraeni, Mira Rizki, dan Putri Nadia atas semangat, doa, dukungan, serta tanpa lelah selalu mendengarkan cerita selama penulis kuliah hingga melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.

9. Mida Fahmi, Nurhayati Nasution, Herlina Pertiwi, Rizki Hidayanti Rambe,

Khabbatun Ni’mah, Nurul Hikmah Tanjung, Sutar, Askandari, Aziz Iqbal, Teletubbies, dan Tabletters atas kebersaaman, persaudaraan, bantuan, semangat, motivasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman Farmasi 2011 atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama

perkuliahan.

11. Pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan Allah SWT., senantiasa membalas segala bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian studi dan penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini dapat diterima. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, dalam rangka penyempurnaan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Ciputat, 9 Oktober 2015 Penulis


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ORISINILITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Pepaya... 4

2.1.1. Klasifikasi Tanaman ... 4

2.1.2. Morfologi Tanaman ... 5


(12)

2.1.4. Serbuk Getah Pepaya ... 6

2.2 Natrium Alginat ... 9

2.3 Kalsium Klorida ... 10

2.4 Mikropartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat ... 11

2.4.1. Definisi ... 11

2.4.2. Tujuan ... 12

2.4.3. Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi ... 12

2.4.4. Faktor Keberhasilan Mikroenkapsulasi ... 13

2.4.5. Komponen Penyusun Mikropartikel ... 13

2.4.6. Metode Pembuatan Mikropartikel ... 14

2.4.7. Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikropartikel ... 18

2.5 Gelasi Ionik ... 19

2.6 Evaluasi Mikropartikel ... 21

2.6.1. Uji Perolehan Kembali ... 21

2.6.2. Penetapan Kadar Air ... 22

2.6.3. Penentuan Distribusi Ukuran Mikropartikel ... 22

2.6.4. Efisiensi Penjerapan ... 23

2.6.5. Uji Aktivitas Proteolitik ... 24

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2 Alat dan Bahan ... 25

3.2.1. Alat ... 25

3.2.2. Bahan ... 25

3.3 Formula Mikropartikel ... 25

3.4 Pembuatan Mikropartikel ... 26

3.5 Evaluasi Mikropartikel ... 27


(13)

3.5.2. Penetapan Kadar Air ... 27

3.5.3. Penentuan Distribusi Ukuran Partikel ... 27

3.5.4. Pemeriksaan Bentuk dan Morfologi Mikropartikel ... 28

3.5.5. Uji Aktivitas Proteolitik Enzim dalam Mikropartikel ... 28

3.5.5.1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Tirosin .... 28

3.5.5.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi Tirosin ... 28

3.5.5.3. Pengujian Aktivitas Proteolitik ... 28

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Formulasi Mikropartikel ... 30

4.2 Evalusi Mikropartikel ... 32

4.2.1. Uji Perolehan Kembali ... 32

4.2.2. Penetapan Kadar Air ... 33

4.2.3. Penentuan Distribusi Ukuran Partikel ... 34

4.2.4. Pemeriksaan Bentuk dan Morfologi Mikropartikel ... 37

4.2.5. Uji Aktivitas Proteolitik Enzim dalam Mikropartikel ... 38

4.2.5.1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Tirosin ... 38

4.2.5.2. Pembuatan Kurva Kalibrasi Tirosin ... 38

4.2.5.3. Pengujian Aktivitas Proteolitik ... 39

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) ... 4

Gambar 2.2 Struktur Papain dalam Getah Pepaya ... 7

Gambar 2.3 Struktur Natrium Alginat ... 10

Gambar 2.4 Struktur Kalsium Klorida ... 11

Gambar 2.5 Diagram Skematik Ilustrasi Mikropartikel ... 12

Gambar 2.6 Diagram Pelepasan Zat Aktif dari Mikropartikel ... 19

Gambar 4.1 Mikropartikel Sebelum dan Sesudah Dikeringkan ... 32

Gambar 4.2 Diagram Distribusi Ukuran Partikel ... 34

Gambar 4.3 Hasil Pemeriksaan Morfologi Mikropartikel Menggunakan Mikroskop Optik dengan Perbesaran 100 kali ... 37


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Formula Mikropartikel Natrium Alginat-Serbuk Getah Pepaya .. 26

Tabel 4.1 Viskositas Mikropartikel Natrium Alginat-Serbuk Getah Pepaya 31 Tabel 4.2 Hasil Uji Perolehan Kembali ... 32

Tabel 4.3 Hasil Penetapan Kadar Air ... 33

Tabel 4.4 Rata-rata Ukuran Partikel ... 34

Tabel 4.5 Distribusi Ukuran Partikel Formula I ... 35

Tabel 4.6 Distribusi Ukuran Partikel Formula II ... 35


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 49

Lampiran 2. Gambar Alat dan Bahan Penelitian ... 50

Lampiran 3. Hasil Uji Viskositas ... 51

Lampiran 4. Hasil Uji Perolehan Kembali ... 51

Lampiran 5. Contoh Perhitungan Perolehan Kembali ... 52

Lampiran 6. Hasil Uji Kadar Air ... 52

Lampiran 7. Distribusi Ukuran Partikel ... 53

Lampiran 8. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Tirosin dalam Medium Aquadest ... 54

Lampiran 9. Data Absorbansi Kurva Standar Tirosin dalam Medium Aquadest ... 54

Lampiran 10. Kurva Kalibrasi Tirosin dalam Medium Aquadest ... 55

Lampiran 11. Hasil Perhitungan Aktivitas ... 55

Lampiran 12. Contoh Perhitungan Aktivitas Proteolitik ... 56

Lampiran 13. Sertifikat Analisis Serbuk Getah Pepaya ... 58

Lampiran 14. Sertifikat Analisis Natrium Algninat ... 59

Lampiran 15. Sertifikat Analisis Kalsium Klorida ... 60

Lampiran 16. Sertifikat Analisis Tirosin ... 61


(17)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan suatu bahan inti baik berupa padatan, cairan atau gas dengan suatu polimer sebagai dinding pembentuk mikropartikel (Lachman, 1994). Suatu zat aktif akan terjerap pada lapisan inti, ditutupi, dan dilindungi oleh dinding penyalut (Agus et al., 2010). Zat yang tidak tahan terhadap pengaruh lingkungan, seperti protein dan enzim dapat dipertahankan stabilitasnya dengan mikroenkapsulasi (Sharma et al., 2011).

Papain merupakan enzim protease yang terkandung di dalam getah pepaya (Carica papaya L.) yang berkemampuan memecah molekul protein pada tempat-tempat tertentu di dalam molekul protein (Rizki et al., 2014).Papain dalam getah pepaya dapat digunakan sebagai sediaan topikal untuk peeling (Claudineia et al., 2007). Papain dalam getah pepaya dapat mengangkat sel-sel kulit mati yang melekat pada kulit, noda, atau flek, sehingga kulit menjadi halus dan bersih (Futuchul et al., 2012).

Keterbatasan penggunaan papain dalam getah pepaya sebagai suatu sediaan adalah masalah stabilitas kimia yang rendah (Claudineia et al., 2011). Aktivitas enzimatik papain dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti suhu, cahaya, oksigen, kelembaban, dan kemasan (Claudineia et al., 2011). Aktivitas enzimatik papain menjadi tidak aktif jika disimpan pada suhu ruang (250C) selama satu bulan (Claudineia et al., 2011). Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Fernando et al (2011), stabilitas enzim papain tetap konstan dalam bentuk mikropartikel pada suhu 370C selama 7 hari, karena adanya perlindungan dari penyalutan polimer yang digunakan. Mikroenkapsulasi juga merupakan sistem yang stabil disebabkan adanya pelapisan bahan yang memberikan perlindungan secara fisik dan membentuk suatu penghalang bagi adanya oksigen maupun molekul kecil lainnya (Klein et al., 2015). Berdasarkan hal tersebut, papain dalam getah pepaya yang memiliki potensi dalam sediaan kosmetik perlu dibuat dalam bentuk mikropartikel, kerena kemampuan mikropartikel untuk


(18)

melindungi suatu zat aktif yang labil, sehingga mampu untuk menjaga stabilitas dan aktivitasnya sebagai enzim proteolitik (Sharma et al., 2011).

Dalam penelitian ini dibuat mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya dengan menggunakan metode gelasi ionik. Serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) yang digunakan merupakan crude

papain yaitu getah pepaya segar yang langsung dikeringkan tanpa perlakuan sebelumnya (Jean, 2015). Jadi, di dalam serbuk getah pepaya tersebut selain mengandung enzim papain, juga masih mengandung senyawa-senyawa lain (Widiastuti, 2011).

Pemilihan natrium alginat sebagai penyalut didasarkan pada sifat dari natrium alginat yang biokompatibel, tidak beracun bila digunakan secara oral, bersifat bioadhesif untuk mempertahankan pelepasan obat, serta berguna dalam meningkatkan waktu tinggal obat di lokasi absorpsi, sehingga efektivitas dan ketersediaan hayati obat meningkat (Lay huai tan et al., 2009). Natrium alginat juga sudah digunakan secara luas sebagai pembawa makromolekul, seperti DNA dan protein (Tu et al., 2005).

Metode gelasi ionik dipilih karena memiliki sifat biokompatibilitas yang baik, aplikasi metode mudah, tidak membutuhkan pelarut organik dalam jumlah yang banyak, sehingga membutuhkan biaya yang relatif murah (Saraei et al., 2013). Dalam metode gelasi ionik, dibutuhkan agen sambung silang untuk membentuk butiran mikropartikel. Kalsium klorida digunakan sebagai agen sambung silang terhadap natrium alginat, karena sifat kalsium klorida yang tidak toksik dan mudah disambung silang dengan natrium alginat melalui terikatnya ion Ca2+ pada residu asam glukoronat yang merupakan komponen natrium alginat (Hariyadi et al., 2013).

Pembuatan mikropartikel papain menggunakan natrium alginat sebagai penyalut dengan metode gelasi ionik sudah pernah dilakukan oleh Permatasari (2007) dengan memberikan hasil bahwa karakteristik mikropartikel paling baik dengan konsentrsi natrium alginat 1%, papain yang digunakan 200 mg, dan kalsium klorida 0,1 M yang dibuat dengan kecepatan pengadukan 300 rpm. Dalam penelitian Permatasari (2007), mikropartikel yang terbentuk ditujukan untuk penggunaan oral.


(19)

Ruang lingkup penelitian ini mencakup pembuatan mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya dengan menggunakan metode gelasi ionik untuk penggunaan topikal sebagai agen exfoliating (agen pengelupas kulit) dalam sediaan scrub dengan memvariasikan jumlah serbuk getah pepaya yang digunakan. Mikropartikel yang telah terbentuk, kemudian dikarakterisasi dalam beberapa evaluasi. Evaluasi yang dilakukan terhadap mikropartikel antara lain uji perolehan kembali, kadar air, distribusi ukuran partikel, serta uji aktivitas proteolitik serbuk getah pepaya yang terdapat di dalam mikropartikel, sehingga diharapkan dapat mengetahui pengaruh variasi jumlah serbuk getah pepaya terhadap karakterisasi mikropartikel yang dihasilkan.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh variasi jumlah serbuk getah pepaya (Carica papaya

L.) terhadap karakteristik mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) yang dipreparasi dengan menggunakan metode gelasi ionik?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh variasi jumlah serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) terhadap karakteristik mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) yang dipreparasi dengan menggunakan metode gelasi ionik.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh variasi jumlah serbuk getah pepaya terhadap karakteristik mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya (Carica Papaya L.) yang dipreparasi dengan menggunakan metode gelasi ionik.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pepaya

Tanaman pepaya (Carica pepaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis (Pangesti et al., 2013 ). Tanaman pepaya (Carica pepaya L.) cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh pada ketinggian tempat 1-1.000 m dari permukaan laut dan pada suhu udara 22°-26°C (Pangesti et al., 2013).

Gambar 2.1 Tanaman Pepaya

(Sumber : Jeana et al., 2013)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuh-tumbuhan, tanaman pepaya (Carica papaya L.) diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Nama Latin : Carica papaya L. b. Divisi : Spermatophyta c. Subdivisi : Angiospermae d. Kelas : Dinocotyledonae e. Bangsa : Caricales

f. Suku : Caricaceae


(21)

2.1.2 Morfologi Tanaman

a. Habitus berbentuk perdu, tinggi ± 10 m.

b. Batang tidak berkayu, silindris, berongga, putih kotor.

c. Daun tunggal, bentuk bintang, diketiak daun, berkelamin satu, berumah dua. d. Bunga jantan terletak pada tandan yang serupa malai, kelompok kecil, kepala

sari bentangkai pendek atau duduk, berwarna kuning, mahkota berbentuk terompet, tepi berlaju lima, bertabung panjang, berwarna putih kekuningan. Bunga betina berdiri sendiri mahkota lepas, kepala putih lima, duduk, bakal buah satu, putih kekuningan.

e. Buah buni, bulat memanjang, berdaging, masih muda berwarna hijau setelah tua jingga.

f. Biji berbentuk bulat atau bulat panjang kecil, bagian luar dibungkus selaput berupa cairan, masih muda berwarna putih setelah tua hitam.

g. Akar tunggang, bercabang, bulat putih kekuningan ( Depkes, 1991 dalam Jean, 2015).

2.1.3 Kandungan dan Khasiat Tanaman

Pada umumnya semua bagian dari tanaman pepaya (Carica papaya L.) dapat dimanfaatkan (Pangesti et al., 2013). Daun pepaya (Carica papaya L.) mengandung senyawa seperti, polifenol, alkaloid karpain, flavonoid, dan pada daun pepaya yang masih segar juga diketahui banyak menghasilkan getah yang mengandung enzim papain (Haryani et al., 2012). Biji pepaya mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, steroid dan saponin yang dapat berefek sitotoksik, anti androgen atau berefek estrogen (Pangesti et al., 2013). Buah pepaya matang mengandung beta karoten, beta cryptoxanthin, lutein, zaexantin, vitamin A, vitamin C, dan potassium memiliki efek sebagai antioksidan (Estika, 2010). Getah pepaya mengandung enzim papain, kimopapain, terpen, alkaloid, dan asam amino bebas (Jeana et al., 2013). Getah pepaya terdapat diseluruh bagian tanaman, namun getah pepaya yang paling banyak dan memiliki daya enzimatik tinggi terdapat pada buah yang masih muda (Wulandari et al., 2012).


(22)

Flavonoid merupakan senyawa golongan fenol yang memiliki khasiat sebagai antimikroba, karena kemampuannya membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta dinding sel mikroba melalui ikatan hidrogen, sehingga akan merusak dinding sel mikroba. Flavonoid juga bersifat anti inflamasi, sehingga dapat mengurangi peradangan serta mengurangi rasa sakit. Flavonoid dikenal sebagai antioksidan dan mampu meningkatkan kerja sistem imun, karena dapat menghasilkan leukosit dengan cepat dan lebih cepat mengaktifkan limfoid (Haryani et al., 2012).

Alkaloid karpain merupakan senyawa alkaloid khas yang dihasilkan oleh tanaman pepaya. Alkaloid karpain bersifat toksik terhadap mikroba, sehingga efektif membunuh bakteri dan virus, bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun dalam tubuh, serta mampu meningkatkan daya tahan tubuh (Hariyani et al., 2012). Alkaloid berefek sitotoksik yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme sel spermatogenik (Pangesti et al., 2013).

Triterpenoid memiliki khasiat menghambat pertumbuhan bakteri berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri

Escherichia coli dan Staphilococcus aureus dengan merusak membran sel bakteri, sehingga menyebabkan kerusakan pada komponen struktural membran sel bakteri (Pangesti et al., 2013). Antioksidan yang terdapat di dalam buah pepaya yaitu vitamin A, vitamin C, vitamin E, dan beta karoten dapat meredam dampak negatif oksidan dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan (Estika, 2010). Beta karoten dapat meningkatkan enzim Glutation S Tranferase (GST) sebagai unsur pencegah kanker kulit dan paru-paru (Estika, 2010). Enzim papain yang terdapat pada getah pepaya dapat menghancurkan protein sehingga terurai menjadi polipeptida dan dipeptida (Wulandari et al., 2012).

2.1.4 Serbuk Getah Pepaya

Getah pepaya tersusun atas 3 jenis enzim yaitu papain (10%), kimopapain (45%), dan lisozim (20%), serta senyawa kimia lain termasuk sulfur 1,2% dan asam malat (0,4%) (Purwogati, 1991; Winarno, 2010 dalam Jean, 2015). Dari ketiga enzim yang terkandung dalam getah pepaya, papain memiliki daya


(23)

proteolitik yang paling besar (Jean, 2015). Enzim papain merupakan senyawa aktif yang memiliki kemampuan mempercepat proses pencernaan protein. Enzim papain sebagai protease sulfhidril dapat diaktifkan oleh zat-zat pereduksi dan menjadi tidak aktif jika terdapat zat pengoksidasi. Enzim papain memutus ikatan peptida pada residu asparagin-glutamin, glutamat-alanin, leusin-valin, dan penilalanin-tirosin (Rizki et al., 2014).

Gambar 2.2 Struktur Papain dalam Getah Pepaya

(Sumber : Amri, Ezekiel and Florence Mamboya, 2012 )

Papain tampak sebagai serbuk putih atau putih keabu-abuan dan bersifat agak higroskopik. Praktis larut dalam air dan gliserol, tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik (J. Biol, 1961 dalam Permatasari, 2007). Papain aktif pada pH 5 tetapi dapat berfungsi dalam medium netral hingga basa. Serapan UV maksimal pada 278 nm (J. Biol, 1961 dalam Permatasari, 2007). Papain dapat diidentifikasi dengan menggunakan bubuk skim milk dalam asam asetat pH 5,5 pada suhu 370C yang akan membentuk koagulan (Vishal et al., 2013). Formulasi yang terdiri dari papain dan enzim lainnya yang ada di pasaran membutuhkan kondisi penyimpanan pada suhu dingin (2-80C) atau pada kondisi sejuk (8-250C) (Sankalia et al., 2005). Ada beberapa kualitas papain, yaitu:

1. Crude Papain (papain kasar)

Crude papain merupakan getah pepaya segar yang langsung dikeringkan tanpa perlakuan sebelumnya, kecuali penambahan antioksidan.


(24)

2. Refined Papain (papain bersih)

Refined papain merupakan getah segar yang sudah diberi perlakuan seperti pemisahan kotoran (batang, daun, dan serangga) yang selanjutnya dikeringkan menjadi papain.

3. Pure Papain (Papain Murni)

Papain murni merupakan getah setelah dibersihkan dari benda asing dan melalui proses pemurnian dari zat bukan enzim (Voight, 1995 dalam Jean, 2015).

Papain dalam getah pepaya dapat dibuat menjadi bentuk serbuk setelah mengalami beberapa tahapan dalam pembuatannya, meliputi:

1. Proses Pengumpulan Getah Pepaya

Pengumpulan getah pepaya segar dilakukan pada buah pepaya berumur 2,5-3 bulan. Penyadapan getah pepaya dilakukan pada pagi hari (05.30-08.00 WIB) atau sore hari (17.30-18.30 WIB) dengan cara membuat paling banyak 5 torehan pada setiah buah dari pangkal hingga ujung buah menggunakan pisau sadap dengan kedalaman 1-2 mm dan jarak antara torehan 1-2 cm. Getah ditampung pada nampan yang dilapisi plastik, kemudian ditambahkan 0,7% larutan natrium metabisulfit dengan perbandingan 4 kali jumlah getah (1:4) (Kusumastyaningrum, D., 2002 dalam Jean, 2015).

2. Pembuatan Serbuk Kasar Papain ( Crude Papain)

Getah pepaya dari hasil penyadapan dicampur dengan 0,7% larutan natrium metbisulfit (1:4), kemudian diaduk dengan alat pengaduk hingga homogen. Campuran getah pepaya dengan larutan natrium metabisulfit akan membentuk suspensi getah berwarna putih susu yang agak kental. Suspensi dikeringkan dengan menggunakan alat semprot kering (spray drying) dengan suhu

inlet 1700C dan suhu outlet 60-700C, sehingga diperoleh serbuk getah pepaya kasar (crude papain) (Arifin M.F. dan Nurhidayanti L., 2008 dalam Jean, 2015).

Menurut Tekno Pangan dan Agroindustri (2008), manfaat dari papain adalah: a. Dapat digunakan sebagai bahan aktif dalam preparat farmasi seperti untuk obat

gangguan pencernaan protein, dispesia, gastritis, serta obat cacing.

b. Sebagai bahan aktif dalam pembuatan krim pembersih kulit, terutama muka. Ini disebabkan papain dapat melarutkan sel-sel mati yang melekat pada kulit dan sukar terlepas dengan cara fisik.


(25)

c. Sebagai bahan aktif dalam pembuatan pasta gigi. Papain dalam pasta gigi dapat membersihkan sisa protein yang melekat pada gigi. Sisa protein ini sering menimbulkan bau busuk bila terlalu lama dibiarkan.

d. Dapat digunakan sebagai bahan penghancur sisa atau buangan hasil industri pengalengan ikan menjadi bubur ikan atau konsentrasi protein hewani.

e. Pada industri penyamakan kulit, papain sering digunakan untuk melembutkan kulit. Kulit yang lembut dapat dibuat sarung tangan, jaket, bahkan kaos kaki. f. Papain sangat berperan dalam industri bir atau sering disebut sebagai obat

antidingin atau stabililiser.

g. Bahan pencuci kain sutera (deterjen) untuk membuang serat yang berlebihan. h. Bahan pencuci lensa sehingga menjadi lembut.

i. Bahan pelarut geltin dalam proses perolehan kembali (recovery) perak dari film yang sudah tidak terpakai.

j. Bahan perenyah dalam pembuatan kue kering seperti cracker.

k. Bahan penggumpal susu pada pembuatan keju sehingga menghilangkan keraguan sebagian konsumen tentang pemakaian renin dari usus babi untuk menggumpalkan susu (Silaban et al, 2012).

2.2 Natrium Alginat

Nama lain dari natrium alginat adalah algin, asam alginat, garam natrium, E401, kelcosol, keltone, protanal, dan natrium polymannuronat. Natrium alginat terdiri dari garam natrium dari asam alginat yang merupakan campuran asam poliuronat yang terdiri dari residu asam D-manuronat dan asam L-guluronat. Pemerian natrium alginat berupa serbuk putih pucat hingga berwarna coklat-kekuningan, tidak berbau dan berasa (Rowe, Paul, Marian, 2009).

Natrium alginat praktis tidak larut dalam etanol (95%), eter, kloroform, campuran etanol-air (kadar etanol lebih besar dari 30%), praktis tidak larut dalam pelarut organik lainnya, dan larutan asam dengan pH kurang dari 3, tetapi perlahan-lahan larut di dalam air membentuk larutan koloid kental. Natrium alginat bersifat higroskopis, walaupun stabil jika disimpan pada kelembaban yang relatif rendah dan suhu dingin. Natrium alginat stabil pada pH 4-10, jika di


(26)

bawah pH 3 akan menghasilkan endapan asam alginat (Rowe, Paul, Marian, 2009).

Gambar 2.3 Struktur Natrium Alginat

(Sumber : Agnessa, 2008)

Natrium alginat digunakan dalam berbagai formulasi farmasi oral dan topikal. Natrium alginat juga telah digunakan dalam formulasi sustained release

oral, karena dapat menunda pelepasan obat dari tablet, kapsul, dan suspensi. Natrium alginat telah digunakan untuk mikroenkapsulasi obat. Sistem hidrogel yang mengandung alginat juga telah digunakan untuk pengiriman protein dan peptida sebagai obat (Rowe, Paul, Marian, 2009).

2.3 Kalsium Klorida

Sinonim dari kalsium klorida adalah calci chloridium. Kalsium klorida berupa bubuk berwarna putih atau kristal, butiran, atau massa kristal, dan bersifat higroskopis (deliquescent). Sifat khas dari kalsium klorida yaitu memiliki pH 4,5– 9,2 (5% w/v larutan), titik didih >16000C, titik leleh 7720C, sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%), tetapi tidak larut dalam dietil eter (Rowe, Paul, Marian, 2009).

Kalsium klorida berfungsi sebagai antimikroba, agen terapeutik, dan agen yang dapat menyerap air (adsorben). Aplikasi kalsium klorida di bidang farmasi sebagai eksipien yang berhubungan dengan sifat dehidrasi, telah digunakan sebagai pengawet antimikroba, sebagai desikan, dan sebagai astringent dalam lotion mata. Kalsium klorida telah digunakan untuk mengontrol pelepasan bahan aktif dari bentuk sediaan oral dengan silang pektin, atau dengan kitosan. Bentuk


(27)

murni kalsium klorida beracun jika diberikan secara intravena, intramuskular, intraperitoneal, dan rute subkutan, serta beracun jika dikonsumsi, menyebabkan gangguan lambung dan hati, iritasi mata yang parah,serta dapat menyebabkan dermatitis (Rowe, Paul, Marian, 2009).

Gambar 2.4 Struktur Kalsium Klorida

(Sumber : Pubchem)

Secara kimiawi kalsium klorida merupakan zat yang stabil, namun harus dilindungi dari kelembaban. Penyimpanan kalsium klorida dalam wadah kedap udara, ditempat yang sejuk dan kering. Kalsium klorida tidak kompatibel dengan larutan karbonat, fosfat, sulfat, dan oksalat. Kalsium klorida bereaksi dengan bromtrifluorida dan seng, akan melepaskan gas hidrogen yang mudah meledak. Kalsium klorida memiliki reaksi eksotermis dengan air, ketika dipanaskan terjadi dekomposisi yang akan memancarkan asap beracun klorin. Kalsium klorida mengiritasi mata, sistem pernapasan, dan kulit, sehingga diperlukan pemakaian sarung tangan, pelindung mata, respirator, dan pakaian pelindung lainnya (Rowe, Paul, Marian, 2009).

2.4 Mikropartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat 2.4.1 Definisi

Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan suatu bahan inti baik berupa padatan, cairan, atau gas dengan suatu polimer sebagai dinding pembentuk mikropartikel (Lachman, 1994). Mikropartikel adalah partikel padat yang berukuran 1-1000 µm. Mikropartikel terbuat dari bahan inti yang disalut dengan bahan penyalut seperti polimer, lilin, dan beberapa bahan protektif lain seperti polimer sintetik yang biodegradabel dan produk alam yang termodifikasi seperti


(28)

Mikropartikel yang sferis disebut mikrosfer, terdapat 2 jenis mikrosfer yaitu mikrokapsul dan mikromatrik. Mikrokapsul merupakan mikrosfer berinti padat, cair atau gas yang dikelilingi oleh suatu bahan tertentu yang berbeda dengan intinya, sedangkan mikromatrik merupakan mikrosfer dimana terdapat senyawa yang didispersikan dalam matriksnya (Agus et al., 2010).

Gambar 2.5 Diagram skematik ilustrasi mikrosfer. (A) mikrokapsul yang terdiri dari partikel inti yang terenkapsulasi dan (B) mikromatrik yang terdiri dari bahan aktif yang terdispersi homogen dalam partikel

(Swarbick, 2007)

2.4.2 Tujuan Mikroenkapsulasi

Dalam bidang farmasi, mikropartikel dapat digunakan sebagai penutup rasa pahit, perlindungan obat dari kondisi lingkungan (kelembaban, cahaya, panas, dan/atau oksidasi), solusi pada inkompatibilitas dengan komponen lain, mengembangkan sifat alir dari serbuk, mendapatkan sediaan lepas lambat, dan mencegah iritasi lambung (Agus et al., 2010).

2.4.3 Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi

Adapun keuntungan dari pembentukan mikroenkapsulasi senyawa obat yakni sebagai berikut.

a. Dengan adanya lapisan dinding polimer, bahan inti akan terlindung dari pengaruh lingkungan luar;

b. Dapat mencegah perubahan warna dan bau serta dapat menjaga stabilitas bahan inti yang dipertahankan dalam jangka waktu yang lama;

c. Dapat dicampur dengan komponen lain yang berinteraksi dengan bahan inti; Selain memiliki beberapa keuntungan seperti yang disebutkan di atas, mikroenkapsulasi juga memiliki kelemahan, diantaranya:


(29)

a. Biasanya penyalutan bahan inti oleh polimer kurang sempurna atau tidak merata sehingga akan mempengaruhi pelepasan bahan inti dari mikropartikel; b. Dibutuhkan teknologi mikroenkapsulasi;

c. Harus dilakukan pemilihan polimer sebagai penyalut dan pelarut yang sesuai dengan bahan inti agar diperoleh hasil mikropartikel yang baik (Lachman, 1994).

2.4.4 Faktor Keberhasilan Mikroenkapsulasi

Menurut Benita (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mikroenkapsulasi, antara lain:

a. Sifat fisikokimia bahan inti atau zat aktif;

b. Bahan penyalut yang digunakan, meliputi polimer ataupun monomer; c. Medium yang digunakan (air,pelarut organik, atau gas).

d. Tahap proses mikroenkapsulasi (tunggal/bertingkat);

e. Metode mikroenkapsulasi (metode kimia, fisiko kimia, atau mekanis);

f. Sifat (licin atau lengket) dan struktur dinding mikropartikel (tunggal atau berlapis-lapis);

g. Kondisi pembuatan (basah atau kering) (Benita, 1996 dalam Kasih, 2014).

2.4.5 Komponen Penyusun Mikropartikel

Pada prinsipnya terdapat tiga bahan yang terlibat dalam pembuatan mikropartikel ini, yaitu:

a. Bahan inti

Bahan inti merupakan bahan yang spesifik akan dilapisi oleh suatu penyalut, dapat berupa bahan padat, gas atau cair. Selain itu, bahan inti yang digunakan sebaiknya tidak larut atau tidak bereaksi dengan bahan penyalut dan pelarut yang digunakan (Lachman, 1994).

b. Bahan penyalut

Penyalut adalah bahan yang digunakan untuk menyalut inti dengan tujuan tertentu, seperti menutupi rasa dan bau yang tidak enak, perlindungan terhadap pengaruh lingkungan, meningkatkan stabilitas, pencegahan penguapan, kesesuaian dengan bahan inti maupun bahan lain yang berhubungan dengan proses


(30)

penyalutan serta sesuai dengan metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Bahan penyalut yang digunakan dapat berupa polimer alam, polimer semi sintetik, maupun polimer sintetik. Bahan penyalut harus mampu memberikan lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat bercampur secara kimia, tidak bereaksi dengan inti (bersifat inert), dan mempunyai sifat yang sesuai dengan tujuan penyalutan (Lachman, 1994).

c. Pelarut

Pelarut adalah bahan yang digunakan untuk melarutkan bahan penyalut dan dapat mendispersikan bahan inti. Pemilihan pelarut yang akan digunakan dalam pembentukan mikropartikel berdasarkan sifat kelarutan dari bahan inti dan bahan penyalut, sehingga pelarut yang digunakan tersebut tidak atau hanya sedikit melarutkan bahan inti, tetapi dapat juga melarutkan bahan penyalut (Lachman, 1994).

2.4.6 Metode Pembuatan Mikropartikel

Metode mikroenkapsulasi terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Presipitasi dengan Penambahan Non-Solvent (Koaservasi)

Dalam metode koaservasi, mikropartikel dibuat dengan mendispersikan partikel padat atau larutan obat ke dalam larutan polimer, diikuti pemisahan fase dengan menambahkan pelarut organik, di mana polimer tidak dapat larut. Penambahan non-solvent menghasilkan presipitasi polimer disekitar larutan obat untuk membentuk mikropartikel. Penambahan non-solvent dalam jumlah yang besar akan mengekstraksi polimer dan membuat mikropartikel semakin keras. Mikropartikel yang dihasilkan dengan metode ini memiliki distribusi ukuran yang luas, sehingga tidak disarankan untuk penggunaan klinis. Parameter-parameter dalam metode ini meliputi rasio polimer-pelarut, kecepatan pengadukan, suhu pembuatan, volume dan tipe non-solvent (Muhaimin, 2013).

b. Presipitasi Partikel dengan Partisi Pelarut

Metode ini dilakukan dengan cara melarutkan atau mensuspensikan obat dalam polimer atau pelarut organik dengan cara menginjeksikannya ke dalam minyak mineral. Pelarut organik akan larut di dalam minyak, sementara obat dan


(31)

polimer tidak larut dalam minyak, sehingga akan terjadi kopresipitasi obat dan polimer akibat dari partisi campuran ke dalam minyak. Hasil akan tergantung pada kelarutan obat. Jika obat larut dalam larutan polimer, obat dan polimer akan mengalami partisi secara bersamaan. Jika obat tertahan dalam larutan polimer, polimer akan mengalami presipitasi di antara partikel obat. Ukuran mikropartikel yang dihasilkan cukup besar dan beragam tergantung laju alir dan diameter jarum yang digunakan untuk menginjeksikan campuran obat-polimer. Parameter-parameter yang mempengaruhi metode ini meliputi rasio polimer, laju alir minyak mineral, dan polimer yang digunakan (Muhaimin, 2013).

c. Semprot Kering

Dalam metode semprot kering, obat dilarutkan ke dalam larutan polimer dan campuran tersebut dimasukkan ke dalam alat semprot kering untuk membentuk mikropartikel. Keuntungan dari metode ini adalah pada senyawa yang larut maupun tidak larut dapat dibuat menjadi sferik, tidak seperti metode emulsifikasi tunggal O/W yang tidak cocok untuk senyawa yang larut air. Metode ini dapat menghasilkan mikropartikel dengan ukuran diameter 5-125 µm (Muhaimin, 2013).

d. Metode Ekstraksi dengan Fluida Superkritis

Penggunaan fluida superkritis sebagai media ektraksi merupakan alternatif yang menjanjikan untuk pembentukan mikropartikel obat dan eksipien farmasi. Ada dua alasan utama untuk menggunakan metode ini, pertama pemilihan kemampuan melarut dari pelarut untuk memisahkan komponen partikular dari campuran multikomponen. Kedua, keuntungan transfer masa bebas dan tingginya solubilitas pelarut dalam fluida superkritis membuat pengeringan mikropartikel cepat dan efisien dengan sedikit residu pelarut (Muhaimin, 2013).

e. Metode Penguapan Pelarut

Metode ini telah digunakan secara luas untuk membuat mikropartikel yang mengandung obat. Parameter-parameter yang mempengaruhi sifat mikropartikel yang terbentuk yaitu kelarutan obat, morfologi, tipe pelarut, laju difusi, suhu, komposisi polimer, viskositas polimer, dan muatan obat. Keefektifan dari metode penguapan pelarut adalah untuk menghasilkan mikropartikel bergantung pada keberhasilan zat aktif terperangkap dalam partikel dan proses ini


(32)

lebih sering berhasil pada obat yang tidak larut atau kelarutannya yang buruk di dalam air. Ada beberapa perbedaan pembuatan mikropartikel dengan metode penguapan pelarut. Pemilihan metode ini dapat memberikan peningkatan efisiensi enkapsulasi obat, tergantung dari sifat obat hidrofilik atau hidrofobik (Muhaimin, 2013).

1. Proses Emulsi Tunggal

Proses ini melibatkan emulsi minyak dalam air. Sistem emulsi yang mengandung fase organik terdiri dari pelarut yang mudah menguap dengan melarutkan polimer dan obat yang akan dienkapsulasi, kemudian dienkapsulasi dalam fase air yang mengandung surfaktan terlarut. Metode ini banyak digunakan untuk obat yang tidak larut dan memiliki kelarutan yang buruk di dalam air. Metode ini merupakan metode paling sederhana di antara metode lain dalam penguapan pelarut (Muhaimin, 2013).

Kebanyakan sistem menggunakan emulsi minyak dalam air untuk membentuk mikropartikel, di mana pada fase organik mengandung pelarut yang mudah menguap pada polimer terlarut dan obat untuk dienkapsulasi sementara pada fase air yang mengandung surfaktan terlarut. Surfaktan organik dimasukkan ke dalam fase air untuk mencegah koalesen ketika droplet terbentuk. Larutan obat-polimer-pelarut diemulsifikasikan untuk membentuk emulsi O/W. emulsi dibuat dengan menggunakan pengaduk propeller atau batang magnetik untuk mencampur fase organik dan fase air. Surfaktan digunakan untuk menyetabilkan droplet yang terbentuk pada fase dispersi selama emulsifikasi dan mencegah koalesen. Ketika emulsi terbentuk, kemudian terfokus pada penghilangan pelarut dengan cara penguapan atau ekstraksi untuk mengambil droplet mikropartikel. Dalam penghilangan pelarut dengan cara penguapan, emulsi dijaga pada tekanan rendah atau tekanan atmosfer dan kecepatan pengadukan dikurangi untuk menguapkan pelarut (Muhaimin, 2013).

Untuk cara ektraksi, emulsi ditransfer ke dalam air atau medium lainnya yang mengandung droplet minyak. Laju penghilangan pelarut dengan cara ekstraksi tergantung pada suhu dari medium, rasio volume emulsi untuk medium, dan karakteristik kelarutan dari polimer, pelarut, dan medium pendispersi. Konsentrsi tinggi akan menghasilkan partikel dengan porositas tinggi yang dapat


(33)

memberikan profil pelepasan yang tidak diinginkan. Metode penghilangan pelarut dengan cara ekstraksi lebih cepat dibandingkan dengan proses penguapan pelarut. Salah satu kekurangan emulsifikasi O/W yaitu efisiensi ekapsulasi yang buruk untuk obat yang memiliki kelarutan sedang di dalam air. Proses emulsifikasi O/W paling banyak digunakan untuk enkapsulasi obat yang larut lemak. Untuk meningkatkan efisiensi enkapsulasi obat yang larut air digunakan metode emulsifikasi O/O, dalam metode ini obat dapat terlarut atau tertahan dalam fase minyak sebelum didispersikan dalam fase minyak lainnya (Muhaimin, 2013). 2. Proses Emulsi Ganda

Metode O/W tidak cocok untuk enkapsulasi obat yang bersifat hidrofilik. Hal ini dikarenakan oleh obat hidrofilik tidak dapat larut dalam pelarut organik dan obat akan berdifusi ke dalam fase kontinyu selama emulsifikasi yang akan menghasilkan kehilangan obat dalam jumlah besar (Muhaimin, 2013). Ada empat metode alternatif untuk proses enkapsulasi obat yang bersifat hidrofilik, yaitu : a. Emulsi ganda W/O/W

Dalam metode ini, larutan dari obat yang bersifat hidrofilik diemulsifikasi dengan fase organik (emulsi W/O). Emulsi kemudian didispersikan ke dalam air untuk membentuk emulsi ganda W/O/W.

b. Metode kosolven O/W

Ketika obat tidak larut dalam pelarut organik utama, pelarut kedua yang disebut kosolven dibutuhkan untuk melarutkan obat.

c. Metode dispersi O/W

Obat didispersikan untuk membentuk bubuk padatan pada larutan polimer dan pelarut organik.

d. Metode penguapan pelarut non air O/O

Pada metode ini, fase air untuk mendisfersikan obat diganti dengan minyak, contohnya minyak mineral (Muhaimin, 2013).

Proses emulsi ganda biasanya digunakan untuk obat yang tidak larut dalam pelarut organik. Proses emulsi padatan dalam minyak dalam air (S/O/W) dapat digunakan untuk enkapsulasi obat dalam ukuran kecil. Ukuran diameter kristal harus lebih kecil dibandingkan dengan diameter mikropartikel yang diinginkan untuk menghindari ledakan besar terkait proses disolusi. Ukuran kristal yang lebih


(34)

kecil akan terdistribusi homogen dalam droplet organik membentuk emulsi (Muhaimin, 2013).

Masalah dalam enkapsulasi obat yang bersifat hidrofilik adalah kehilangan obat ke dalam fase air ekternal selama pembentukan mikropartikel. Bersamaan dengan kehilangan obat dalam fase air ekternal, obat yang tersisa akan berpindah menuju ke permukaan droplet sebelum mengeras. Untuk meminimalisir masalah tersebut, droplet organik harus dikeraskan menjadi mikropartikel secepatnya dan semaksimal mungkin dengan cara menggunakan pelarut organik kental dari polimer dan obat. Volume terbesar kedua dari air dapat menarik larutan organik ke dalam fase air dengan segera. Fase dispersi kental meminimalisir volume pelarut organik, memberikan penghilangan yang cepat pada droplet dan membuat partikel obat sulit berpindah menuju permukaan, menghasilkan distribusi obat yang lebih homogen pada mikropartikel (Muhaimin, 2013).

Alternatif lain untuk enkapsulasi obat yang bersifat hidrofilik adalah dengan proses emulsi air dalam minyak dalam air (W/O/W). Larutan air dari obat ditambahkan ke dalam fase organik yang mengandung polimer dan pelarut organik dengan pengadukan konstan untuk membentuk emulsi W/O. Emulsi W/O yang terbentuk didispersikan ke dalam fase air lainnya yang mengandung surfaktan untuk membentuk emulsi W/O/W. Masalah yang muncul dalam emulsi ini adalah ketika emulsi pertama tidak stabil, sehingga akan menghasilkan kehilangan droplet air yang mengandung obat dalam fase air kedua. Pemilihan surfaktan yang dapat digunakan untuk menyetabilkan emulsi pertama terbatas pada bahan yang dapat melarut dalam pelarut organik. Surfaktan yang sering digunakan seperti ester asam lemak dari polioksietilen atau sorbitan, karena memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut organik, dan biokompatibilitas yang baik (Muhaimin, 2013).

2.4.7 Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikropartikel

Mekanisme pelepasan obat dari mikropartikel yang dihasilkan tergantung pada komposisi dan morfologi polimer, ukuran, dan kepadatan partikel yang terbentuk, serta sifat fisikokimia dari obat yang dimasukkan ke dalam


(35)

mikropartikel. Pelepasan secara in vitro tergantung pada pH, polaritas, dan adanya enzim dalam media disolusi (Rani et al., 2010).

Umumnya ada tiga mekanisme pelepasan zat aktif dari mikropartikel, yaitu difusi, degradasi atau erosi polimer, atau kombinasi antara difusi dan erosi.

Gambar 2.6 Diagram Mekanisme Pelepasan Obat

(Sumber : Kumar et al., 2011)

Mekanisme pelepasan zat aktif dengan cara difusi terjadi jika zat aktif kontak dengan cairan gastrointestinal, di mana cairan akan berdifusi menembus ke dalam partikel yang akan menyebabkan pelarutan zat aktif dan larutan zat aktif akan berdifusi keluar dari penyalut (Kumar et al., 2011). Beberapa penyalut dapat dirancang untuk terdegradasi secara perlahan-lahan. Degradasi atau erosi polimer merupakan hilangnya polimer diiringi dengan akumulasi monomer di dalam medium pelepasan. Erosi dari polimer dimulai dengan perubahan mikrostruktur dari pembawa penetrasi cairan di dalam penyalut (Kumar et al., 2011).

2.5 Gelasi Ionik

Gelasi atau pembentukan gel merupakan penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jarigan tiga dimensi dan dapat merangkap

Pelepasan Obat

Difusi Degradasi

Polimer

Degradasi

Enzimatik Hidrolisis

Erosi Permukaan

Erosi Keseluruhan

Kombinasi Kombinasi


(36)

dalam Tri, 2010). Gelasi ionik didasarkan pada kemampuan makromolekul untuk bertaut silang dengan adanya ion yang bermuatan berlawanan untuk membentuk hidrogel. Metode gelasi ionik telah banyak digunakan pada proses enkapsulasi polisakarida alam seperti alginat, pektin, kitosan, dan karboksimetil selulosa (Patil et al., 2010).

Pada pembentukan butiran mikropartikel dengan metode gelasi ionik, polisakarida dilarutkan dalam pelarut, kemudian diteteskan ke dalam larutan sambung silang dengan pengadukan konstan sehingga terbentuk butiran hidrogel. Butiran hidrogel yang terbentuk disaring, lalu dibilas dengan aquadest dan selanjutnya dikeringkan. Agen sambung silang yang digunakan untuk gelasi ionik dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu agen sambung silang berbobot molekul rendah, misalnya CaCl2, BaCl2, MgCl2, zink asetat, pirofosfat, tripolifosfat,

tetrapolifosfat, sedangkan agen sambung silang berbobot molekul tinggi, seperti lauril dan setilstearil sulfat (Racovita et al., 2009 dalam Tri, 2010).

Terjadinya ikatan silang (crosslink) secara fisik yang bersifat reversibel dari interaksi elektrostatik untuk menyetabilkan kompleks mikropartikel yang terbentuk (Park dan Yeo, 2007). Ikatan bersifat reversibel sehingga dapat menghindari adanya toksisitas reagen dan efek lain yang tidak diharapkan (Park dan Yeo, 2007). Contoh pasangan polimer yang dapat digunakan untuk gelasi ionik ini antara lain kitosan dengan tripolifosfat dan kitosan dengan karboksimetilselulosa (Park dan Yeo, 2007). Reaksi kimia antara natrium alginat dengan kalsium klorida akan membentuk mikropartikel kalsium alginat (Deshmukh et al., 2009). Menurut Patil et al (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi metode gelasi ionik, antara lain.

a. Konsentrasi polimer dan elektrolit sambung silang

Konsentrasi polimer dan elektrolit memiliki pengaruh besar pada formulasi partikel dengan metode gelasi ionik. Konsentrasi keduanya harus dalam rasio yang dihitung dari jumlah unit sambung silang.Variasi persen efisiensi penjerapan berasal dari jenis elektrolit dan konsentrasi elektrolit.


(37)

b. Suhu

Suhu juga memainkan peranan pada ukuran partikel yang terbentuk oleh metode gelasi ionik. Selain itu, waktu pendiaman juga berpengaruh, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk terbentuk ikatan silang.

c. pH larutan sambung silang

pH larutan sambung silang juga faktor yang dipertimbangkan selama formulasi, karena menunjukkan efek pada laju reaksi, bentuk, dan ukuran partikel. d. Konsentrasi obat

Obat yang akan terperangkap dalam partikel harus dalam rasio yang tepat dengan polimer, karena konsentrasi obat sangat mempengaruhi efisiensi penjerapan, jika rasio obat dengan polimer melebihi kisaran maka efek bursting

dapat diamati, densitas dari gelispheres meningkat, ukuran dan bentuk dari

gelispheres juga meningkat. e. Konsentrasi zat pembentuk gas

Agen pembentuk gas, seperti kalsium karbonat dan natrium bikarbonat yang ditambahkan ke dalam formulasi untuk menghasilkan gelispheres berpori, sangat mempengaruhi ukuran dan bentuk gelispheres berpori, lapisan gelispheres

rusak, dan hasilnya menjadikan permukaan tidak teratur.

2.6 Evaluasi Mikropartikel

Karekterisasi mikropartikel dapat digunakan untuk pengembangan formulasi, memperkirakan kinerja secara in vivo, dan untuk mengatasi masalah-masalah dalam proses pembuatan mikropartikel.

2.6.1 Uji Perolehan Kembali

Faktor perolehan kembali ditentukan dengan membandingkan total mikropartikel yang diperoleh terhadap total zat aktif dengan polimer yang digunakan pada pembuatan mikropartikel. Untuk menentukan faktor perolehan kembali digunakan rumus (Kumar et al., 2011) :


(38)

Keterangan : % PK = faktor perolehan kembali (%) , Wm = bobot mikropartikel yang diperoleh (g), Wt = bobot bahan pembentuk mikropartikel (g)

2.6.2 Penetapan Kadar Air

Mikropartikel diukur kadar airnya menggunakan alat pengukur kadar lembab (moisture balance) pada suhu 105⁰C. Lalu dihitung kadar air konstan (Sugindro, 2008 dalam Kasih, 2014).

2.6.3 PenentuanDistribusi Ukuran Mikropartikel

Ukuran dan distribusi partikel merupakan karakteristik paling penting untuk memperkirakan distribusi secara in vivo, biologis, toksisitas, dan kemampuan untuk targeting (Mohanraj dan Chen, 2006). Pelepasan obat juga dipengaruhi oleh ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas area permukaannya. Namun, semakin banyak obat yang bergabung menjadi atau mendekati permukaan partikel, akan menyebabkan pelepasan obat yang cepat. Bagaimanapun, partikel yang lebih besar memiliki inti yang besar di mana akan memungkinkan lebih banyak obat yang dapat dienkapsulasi dan sedikit demi sedikit berdifusi keluar.

Partikel-partikel yang memiliki ukuran kecil juga memiliki resiko tinggi mengalami agregasi selama penyimpanan dan distribusi. Hal ini selalu menjadi tantangan dalam memformulasi partikel dengan ukuran yang kecil namun dengan stabilitas yang paling maksimal (Mohanraj dan Chen, 2006). Ada banyak metode yang digunakan untuk mengetahui ukuran partikel, misalnya:

a. Mikroskopi

Menggunakan alat mikroskop optik untuk pengukuran ukuran partikel yang berkisar 0,2 µm sampai kira-kira 100 µm (Kasih, 2014).

b. Pengayakan

Pada metode ini menggunakan suatu seri ayakan standar yang dikalibrasi oleh The National Standars. Ayakan umumnya digunakan untuk memilih partikel-partikel yang lebih besar, tetapi jika digunakan sangat hati-hati, ayakan-ayakan tersebut dapat digunakan untuk mengayak bahan sampai 44 µm. Untuk menguji


(39)

kehalusan serbuk suatu sampel tertentu ditaruh suatu ayakan yang cocok dan digoyangkan selama waktu tertentu dan bahan yang melalui suatu ayakan ditahan oleh ayakan berikutnya yang lebih halus kemudian dikumpulkan dan ditimbang (Kasih, 2014).

c. Sedimentasi (Metode Andreason Pipette)

Penggunaan ultrasentrifugasi untuk penentuan berat molekul dari polimer yang tinggi. Sampel ditarik dari bawah menggunakan pipet, dan sejumlah padatan ditentukan dengan pegeringan dan penimbangan (Kasih, 2014).

2.6.4 Efisiensi Penjerapan

Idealnya, mikropartikel yang terbentuk memiliki kapasitas pembawa obat yang tinggi, sehingga akan mengurangi jumlah material matriks yang digunakan. Efisiensi penjerapan sangat bergantung pada kelarutan obat yang stabil dalam material matriks atau polimer, di mana akan berkaitan dengan komposisi polimer, bobot molekul, dan intraksi antar obat dengan polimer (Mohanraj dan Chen, 2006).

Penentuan kandungan obat mikropartikel dilakukan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang dapat terkapsulasi dan efisiensi metode yang digunakan. Mikropartikel dapat mengandung bahan inti sampai 99% dihitung terhadap berat mikropartikel. Metode yang digunakan tergantung dari kelarutan bahan penyalut dan bahan inti, salah satu metodenya yaitu dengan spektrofotometri UV-Vis.

Jika bahan inti dan bahan penyalut larut dalam pelarut bukan air, maka penentuan kandungan mikropartikel dilakukan dengan melarutkan mikropartikel dalam pelarut organik yang sesuai dan kadar obat kemudian ditentukan dengan metode analisa yang sesuai. Jika hanya bahan inti saja yang larut dalam air, sedangkan bahan penyalutnya tidak larut makan dapat dilakukan pelarutan mikropartikel dalam air dengan pengadukan kecepatan tinggi, sehingga bahan penyalut akan terlarut atau dapat pula dilakukan penggerusan mikropartikel, sehingga penyalut pecah dan inti dapat terlarut dalam pelarut yang sesuai. Setelah itu, dilakukan penyaringan untuk menghilangkan fragmen polimer yang tidak larut. Bahan inti selanjutnya ditentukan kadarnya dengan metode analisa yang


(40)

sesuai (Lachamn, 1994). Efisiensi penjerapan dapat ditentukan dengan menggunakan rumus (Kumar et al., 2011):

2.6.5 Uji Aktivitas Proteolitik

Kualitas serbuk getah pepaya sangat ditentukan oleh kekuatan atau kemampuan enzim protease untuk memecah protein yang disebut dengan aktivitas proteolitik (Rizki et al., 2014). Menurut Muchtadi (1992), aktivitas proteolitik dipengaruhi oleh konsentrasi, pH, suhu, waktu inkubasi, kekuatan ion dan tekanan. Aktivitas papain juga dipengaruhi oleh karakteristik getah pepaya yang digunakan untuk isolasi enzim protease serta pengeringan getah (Rosdianti, 2008).

Aktvitas proteolitik ditandai dengan proses pemecahan substrat menjadi produk oleh gugus histidin dan sistein pada sisi aktif enzim (Rosdianti, 2008). Beveridge (1996) memaparkan bahwa selama proses katalisis hidrolisis gugus-gugus amida, mula-mula gugus-gugus sistein yang bersifat sangat reaktif berikatan dengan substrat pada sisi aktif papain sehingga dihasilkan ikatan kovalen substrat dengan enzim. Kemudian gugus histidin terprotonasi sehingga berikatan dengan nitrogen yang terdapat di dalam substrat, akibatnya gugus amin pada substrat berdifusi dan kedudukannya digantikan oleh molekul-molekul air yang akan menghidrolisis hasil intermediet sehingg mengembalikan enzim ke dalam bentuk dan fungsinya seperti semula (Rosdianti, 2008). Aktivitas proteolitik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

Aktivitas proteolitik =

Keterangan: Tirosin : konsentrasi tirosin yang terbentuk; v : volume total sampel pada tiap tabung mL); q : waktu inkubasi (menit); p : jumlah enzim (mL); Fp: faktor pengenceran


(41)

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sediaan Padat, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Penelitian 2 Program Studi Farmasi, dan Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung selama 7 bulan, dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2015.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan meliputi syringe (5 mL) dan jarum (ukuran 30 G) (PT. Anugerah Argon Medica, Indonesia), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U-2910, Jepang), optical microscopy (Olympus 1x71), moisture balance (WIGGEN, Jepang), oven (Eyela NDO-400, Jepang), pengaduk magnetik (advantec SRS 710 HA), stand up stirrer (IKA RW 20 Digital, Jepang), timbangan analitik (AND GH-202, Jepang), pH meter (Horiba f-52, Jepang), termometer, mikropipet, dan alat-alat gelas lainnya yang umum digunakan di laboratorium.

3.2.2 Bahan

Serbuk getah pepaya (CV. Anugerah, Indonesia), natrium alginat (CV. Total Equipment, Indonesia), kalsium klorida (CV. Total Equipment, Indonesia), tirosin (Sigma Aldrich, Indonesia), kasein, sistein (Sigma Aldrich, Indonesia), natrium hidroksida (PT. Brataco, Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (PT. Brataco, Indonesia), tricloroacetic acid (TCA), dan aquadest.

3.3 Formula Mikropartikel

Formula mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya yang dibuat dengan menggunakan metode gelasi ionik disajikan pada tabel 3.1


(42)

Tabel 3.1 Formula Mikropartikel Natrium Alginat yang Mengandung Serbuk Getah Pepaya

3.4 Pembuatan Mikropartikel

Bahan-bahan yang digunakan, seperti serbuk getah pepaya (Carica papaya

L.), natrium alginat, dan kalsium klorida ditimbang secara akurat menggunakan timbangan analitik. Untuk mengembangkan natrium alginat digunakan aquadest yang telah dipanaskan di atas hot plate suhu 700C. Sedikit aquadest yang telah dipanaskan digunakan untuk membilas alu dan lumpang. Natrium alginat sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian 100 mL aquadest ditambahkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk hingga membentuk mucilago natrium alginat. Mucilago natrium alginat dipindahkan ke dalam beaker glass, kemudian diaduk menggunakan alat pengaduk stand up stirrer dengan kecepatan 300 rpm selama 30 menit. Serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) yang telah dilarutkan ke dalam 10 mL aquadest dimasukan ke dalam mucilago natrium alginat, selanjutnya diaduk kembali menggunakan alat pengaduk stand up stirrer dengan kecepatan 300 rpm selama 30 menit.

Larutan kalsium klorida dibuat dengan cara melarutkan 2 g kalsium klorida dalam 100 mL aquadest di dalam beaker glass sambil diaduk menggunakan batang pengaduk hingga terbentuk larutan kalsium klorida yang homogen. Mikropartikel serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) dibentuk dengan cara meneteskan dispersi mucilago natrium alginat- serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) melalui syringe (ukuran-30 G) ke dalam larutan kalsium klorida. Mikropartikel yang terbentuk dibiarkan dalam larutan kalsium klorida selama 30 menit, kemudian disaring dan dicuci dengan menggunakan aquadest. Mikropartikel yang terbentuk dikeringkan di dalam oven selama 10 jam pada suhu

Bahan Berat (g)

Formula I Formula II

Serbuk getah pepaya 0,4 0,8

Natrium alginat 2 2


(43)

370C, kemudian disimpan di dalam desikator selama 2 hari (Chakraverty, 2012, dengan modifikasi).

3.5 Evaluasi Mikropartikel 3.5.1 Uji Perolehan Kembali

Faktor perolehan kembali ditentukan dengan membandingkan bobot total mikropartikel yang diperoleh terhadap bobot bahan pembentuk mikropartikel. Uji perolehan kembali dilakukan dengan cara menimbang dengan seksama serbuk getah pepaya (Carica papaya L.), natrium alginat, dan kalsium klorida sebagai bobot bahan pembentuk mikropartikel. Mikropartikel yang terbentuk ditimbang dan dicatat sebagai bobot total mikropartikel yang diperoleh. Persentase faktor perolehan kembali diperoleh dari persamaan (Kumar et al., 2011) :

Keterangan : % PK = faktor perolehan kembali (%), Wm = bobot mikropartikel yang diperoleh (g), Wt = bobot bahan pembentuk mikropartikel (g)

3.5.2 Penetapan Kadar Air

Pengujian kadar air yang terdapat pada mikropartikel dilakukan dengan menggunakan alat pengukur kadar air (moisture balance). Mikropartikel yang terbentuk ditimbang di atas cawan aluminium sebanyak 1 g, selanjutnya alat diatur pada suhu 105⁰C untuk mengukur kadar air (Sugindro, 2008 dalam Kasih, 2014).

3.5.3 Penentuan Distribusi Ukuran Partikel

Penentuan distribusi ukuran mikropartikel serbuk getah papaya (Carica papaya L.) dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik (optical microscopy). Sejumlah mikropartikel diletakkan di kaca objek, kemudian dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali (Weekarody, 2008 dalam Kasih, 2014 dengan modifikasi).


(44)

3.5.4 Pemeriksaan Bentuk dan Morfologi Mikropartikel

Pemeriksaan bentuk dan morfologi mikropartikel dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik (optical microscopy). Mikropartikel yang terbentuk diletakkan di atas kaca objek, kemudian dianalisa menggunakan mikroskop optik dengan perbesaran 100 kali (Sari et al., 2012, dengan modifikasi).

3.5.5 Uji Aktivitas Proteolitik Mikropartikel

3.5.5.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Tirosin

Untuk pengujian aktivitas proteolitik serbuk getah papaya (Carica papaya L.) dibuat kurva kalibrasi tirosin sebagai baku standar. Sebelum membuat kurva kalibrasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum tirosin dengan cara 10 mg tirosin dilarutkan dengan aquadest sampai 100 mL. Kemudian dilakukan pengukuran serapan tirosin pada panjang gelombang 250-350 nm dengan menggunakan spektofotometer UV-Vis. Dari hasil pengukuran, dapat diperoleh panjang gelombang maksimum dengan melihat serapan yang tinggi (Jean, 2015).

3.5.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Tirosin

Untuk membuat kurva kalibrasi, larutan induk tirosin dibuat dengan cara melarutkan 10 mg tirosin dalam 10 mL aquadest. Selanjutnya dibuat seri konsentrasi 25 ppm, 35 ppm, 45 ppm, 55 ppm, 65 ppm, 75 ppm, dan 85 ppm sebanyak 10 mL dari larutan induk. Tiap seri larutan diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh dengan menggunakan spektofotometer UV-Vis. Dibuat kurva kalibrasi yang menyatakan hubungan antara serapan dengan konsentrasi larutan (Jean, 2015).

3.5.5.3 Pengujian Aktivitas Proteolitik

Sebanyak 50 mg mikropartikel digerus di dalam mortar, kemudian dilarutkan dalam 25 mL dapar fosfat pH 6,5 dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik selama 45 menit. Sisa dinding mikropartikel dipisahkan dengan cara filtrasi. Filtrat sebanyak 2 mL, ditambahkan 2 mL EDTA, 2 mL


(45)

sistein, 2 mL kasein, kemudian campuran diinkubasi selama 20 menit pada suhu 370C. Reaksi dihentikan dengan penambahan TCA 6 mL, kemudian disaring. Filtrat diinkubasi selama 20 menit pada suhu 370C. Aktivitas proteolitik serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) ditentukan oleh jumlah tirosin yang dihasilkan dari reaksi dengan kasein melalui pengukuran menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (Fernando et al., 2011). Aktivitas proteolitik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Alviyulita, 2014):

Aktivitas proteolitik =

Keterangan: Tirosin (konsentrasi tirosin yang terbentuk); v (volume total sample pada tiap tabung dalam mL); q (waktu inkubasi dalam menit); p (jumlah enzim yang dgunakan dalam mL); Fp (faktor pengenceran).


(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Formulasi Mikropartikel

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya (Carica papaya L.) dengan menggunakan metode gelasi ionic. Mikropartikel yang terbentuk ditujukan untuk penggunaan topikal sebagai agen exfoliating (agen pengelupas kulit) dalam sediaan scrub. Sebelumnya, Permatasari (2007) telah berhasil membuat mikropartikel papain yang disalut dengan polimer natrium alginat menggunakan metode gelasi ionik untuk penggunaan oral. Proses pembuatan mikropartikel papain oleh Permatasari (2007) dilakukan pengoptimasian terhadap konsentrasi natrium alginat, konsentrasi kalsium klorida, dan kecepatan pengadukan untuk melihat pengaruhnya terhadap karakteristik mikropartikel yang terbentuk. Penelitian Permatasari (2007) memberikan hasil bahwa karakteristik mikropartikel paling baik dengan konsentrsi natrium alginat 1%, papain yang digunakan 200 mg, dan kalsium klorida 0,1 M yang dibuat dengan kecepatan pengadukan 300 rpm.

Pada penelitian Permatasari (2007) tidak dilakukan optimasi terhadap perbandingan polimer dengan papain sebagai zat aktif dalam pembuatan mikropartikel. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibuat mikropartikel natrium alginat yang mengandung serbuk getah pepaya dengan menggunakan metode gelasi ionik dengan cara memvariasikan jumlah serbuk getah pepaya untuk mengetahui karakteristik mikropartikel yang dihasilkan.

Pada proses pembuatan mikropartikel, natrium alginat didispersikan ke dalam aquadest hingga terbentuk mucilago, kemudian serbuk getah pepaya yang telah dilarutkan di dalam aquadest didispersikan ke dalam mucilage natrium alginat dengan bantuan alat pengaduk stand up stirrer pada kecepatan pengadukan 300 rpm selama 30 menit hingga terbentuk dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya yang homogen. Pemilihan kecepatan pengadukan 300 rpm dalam pembuatan mikropartikel didasarkan pada pembentukan ikatan sambung silang antara natrium alginat dengan kalsium klorida yang lebih sempurna, sehingga baik


(47)

morfologi maupun efisiensi penjerapannya lebih baik dibandingkan dengan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi (Permatasari, 2007).

Setelah terbentuk dispersi yang homogen antara natrium alginat-serbuk getah pepaya, dilakukan evaluasi viskositas menggunakan viscometer dengan

spindle nomor 3 pada berbagai kecepatan pengadukan. Hasil evaluasi viskositas dari setiap formula dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Viskositas Formula Mikropartikel Natrium Alginat yang Mengandung Serbuk Getah Pepaya (Carica papaya L.)

Berdasarkan evaluasi viskositas yang telah dilakukan, dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya dengan viskositas 873-885 cps dapat mengalir melewati syringe dengan ukuran needle 30 G. Penggunaan syringe dengan ukuran

needle 30 G diharapkan ukuran mikropartikel yang dihasilkan sekecil mungkin. Ketika dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya dialirkan melewati syringe

menuju ke dalam larutan kalsium klorida, terjadi ikatan sambung silang. Dalam reaksi sambung silang, satu ion kalsium dari kalsium klorida menggantikan dua ion natrium dari natrium alginat yang menyebabkan gerakan molekular terbatas dan menghambat pengembangan polimer dalam suatu media, sehingga menghasilkan mikropartikel kalsium alginat yang tidak larut di dalam air (Permatasari, 2007). Secara teoritis, pada saat natrium alginat didispersikan ke dalam aquadest terjadi pemutusan ikatan ion Na+ dengan monomer-monomer utama natrium alginat, yaitu asam glukoronat dan manuronat. Pada saat penetesan dispersi natrium alginat ke dalam larutan kalsium klorida terjadi repolimerisasi antara asam glukoronat dan manuronat dengan ion Ca2+ dari kalsium klorida yang ditandai dengan terbentuknya butiran berwarna putih (Abror et al., 2015).

Mikropartikel yang terbentuk dibiarkan di dalam larutan kalsium klorida selama 30 menit untuk membentuk butiran mikropartikel yang sempurna. Setelah

Formula Viskostas (cps)

FI 873,33±1,53


(48)

direndam selama 30 menit, mikropartikel dicuci dengan menggunakan aquadest untuk membersihkan sisa larutan kalsium klorida yang melekat saat sambung silang (Beshay, 2003).

Gambar 4.1 Mikropartikel Sebelum dan Sesudah Pengeringan a. Mikropartikel Formula I Sebelum Dikeringkan; b. Mikropartikel Formula I Setelah Dikeringkan;

c. Mikropartikel Formula II Sebelum Dikeringkan; d. Mikropartikel Formula II Setelah Dikeringkan.

Mikropartikel dikeringkan di dalam oven dengan suhu 370C, karena pada suhu 370C dapat menghasilkan aktivitas enzimatik yang tetap stabil (Fernando et al., 2011). Pengeringan mikropartikel di dalam oven dilakukan selama 10 jam, kemudian mikropartikel disimpan di dalam desikator selama 2 hari. Mikropartikel yang dihasilkan dari pengeringan berupa butiran berwarna putih kekuningan, keras, dan tidak larut di dalam air.

4.2 Evaluasi Mikropartikel 4.2.1 Uji Perolehan Kembali

Tabel 4.2 Hasil Uji Perolehan Kembali

Nilai perolehan kembali merupakan faktor yang penting untuk mengetahui metode yang digunakan sudah baik atau tidak (Rosidah, 2010). Nilai perolehan

Formula % Perolehan Kembali

F I 38,875±5,32

F II 41,719±1,67

a

b

c


(49)

kembali ditentukan dengan membandingkan total mikropartikel yang diperoleh terhadap total zat aktif dengan polimer yang digunakan pada pembuatan mikropartikel (Kumar et al., 2011). Dalam pembuatan mikropartikel dengan metode gelasi ionik, total mikropartikel yang diperoleh dibandingkan dengan total bahan pembentuk mikropartikel yang terdiri dari massa natrium alginat, kalsium klorida, dan serbuk getah pepaya sebagai zat aktif.

Nilai perolehan kembali dari formulasi mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya bobot serbuk getah pepaya yang digunakan, di mana nilai perolehan kembali pada Formula II lebih besar dari Formula I, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Dari perhitungan nilai perolehan kembali dihasilkan persentase yang cukup rendah yaitu 35,114 % untuk Formula I dan 40,542 % untuk Formula II.

Nilai perolehan kembali yang kecil kemungkinan disebabkan oleh dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya yang menempel pada bagian ujung syringe,

sehingga terjadi penumpukan dispersi natrium alginat-serbuk getah. Penumpukan dispersi terebut menyebabkan sulitnya dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya keluar dari needle. Hal ini memicu untuk melakukan pergantian needle

setiap kali syringe sulit mengeluarkan dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya, sehingga banyak dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya yang terbuang.

Selain itu, cara pengeringan mikropartikel menggunakan oven pada suhu 370C dapat menyebabkan menyusutnya ukuran mikropartikel setelah proses pengeringan, sehingga hilangnya kelembaban dari polimer. Berkurangnya kelembaban dari polimer akan mengurangi berat mikropartikel yang dihasilkan (Febrianisa, 2012).

4.2.2 Penetapan Kadar Air

Tabel 4.3 Hasil Penetapan Kadar Air

Formula Kadar Air (%)

FI 8,83±0,04


(50)

Penetapan kadar air pada mikropartikel dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung di dalam mikropartikel, karena kadar air yang tinggi akan mempengaruhi stabilitas suatu sediaan. Kadar air yang tinggi lebih rentan terhadap pencemaran mikroorganisme. Syarat kadar air yang diperbolehkan adalah kurang dari 10% (Faradiba et al., 2013). Berdasarkan hasil pengukuran persentase kadar air di dalam mikropartikel, pada kedua Formula memenuhi persyaratan di mana kadar air di dalam mikropartikel yang dihasilkan kurang dari 10%, yaitu Formula I sebesar 8,83% dan Formula II sebesar 8,96 %

4.2.3 Penentuan Distribusi Ukuran Partikel

Tabel 4.4 Rata-rata Ukuran Partikel

Evaluasi distribusi ukuran partikel bertujuan untuk mengetahui diameter rata-rata ukuran mikropartikel yang didapatkan. Metode yang digunakan dalam pengujian distribusi ukuran partikel adalah mikroskop optik. Mikropartikel di simpan di atas kaca objek tanpa perlakuan apapun. Hal ini didasarkan pada ukuran mikropartikel yang dihasilkan cukup besar dan dapat dilihat secara kasat mata, sehingga tidak diperlukan pendispersian mikropartikel dalam suatu medium. Distribusi ukuran partikel dari tiap formula dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Diagram Distribusi Ukuran Partikel

0 5 10 15 20 25 30

0 200 400 600 800

Juml ah part ikel ( bu ah)

Diameter rata-rata (µm)

Formula I

Formula II Formula Rata-rata Ukuran

Partikel (µm)

FI 489, 68±1,08


(51)

Tabel 4.5 Distribusi Ukuran Partikel Formula I Rentang Ukuran Partikel (µm) Diameter Rata-rata (µm) Jumlah Partikel pengujian I (buah)

Jumlah Partikel Pengujian II (buah)

200 – 250 225 2 2

251 – 301 276 1 1

302 – 352 327 4 4

353 – 403 378 10 11

404 – 454 429 17 16

455 – 505 480 23 21

506 – 556 531 16 17

557 – 607 582 18 18

608 – 658 633 6 7

>658 658 3 3

Tabel 4.6 Distribusi Ukuran Partikel Formula II

Rentang Ukuran Partikel (µm)

Diameter Rata-rata (µm)

Jumlah Partikel pengujian I (buah)

Jumlah Partikel Pengujian II (buah)

200 – 250 225 0 0

251 – 301 276 0 0

302 – 352 327 2 3

353 – 403 378 8 6

404 – 454 429 19 19

455 – 505 480 28 30

506 – 556 531 12 14

557 – 607 582 13 11

608 – 658 633 9 10

>658 658 9 7

Menurut Chang (2013), sediaan yang mengandung agen exfoliating bentuk mikropartikel memiliki rentang ukuran 60-800 µm. Berdasarkan hasil pengujian, distribusi ukuran partikel dari kedua formula memenuhi persyaratan untuk dijadikan egen exfoliating. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian yaitu pada


(52)

memiliki diameter rata-rata sebesar 508,26 µm. Adanya sedikit perbedaan nilai diameter rata-rata ukuran partikel pada Formula I dan Formula II dipengaruhi oleh perbedaan jumlah zat aktif yang digunakan, di mana ukuran partikel akan meningkat dengan meningkatnya jumlah zat aktif (Sari et al., 2012). Pada Formula II dengan kandungan serbuk getah pepaya sebanyak 0,8 g memiliki rata-rata ukuran partikel yang lebih besar yaitu 507,97 µm dibandingkan pada Formula I dengan kandungan serbuk getah pepaya sebanyak 0,4 g memiliki rata-rata ukuran partikel yang lebih kecil yaitu 489,68 µm.

Penggunaan jumlah zat aktif yang berbeda dapat diasumsikan bahwa pada Formula I dan Formula II memiliki viskositas yang berbeda. Berdasarkan evaluasi viskositas, Formula II memiliki viskositas yang lebih besar jika dibandingkan dengan Formula I, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Viskositas akan berpengaruh terhadap distribusi ukuran partikel pada mikropartikel yang dihasilkan.

Ukuran diameter mikropartikel yang dibuat dengan metode gelasi ionik konvensional umumnya tergantung pada diameter needle yang digunakan selama proses pembuatan (Febrianisa, 2012). Pada proses pembuatan mikropartikel digunakan needle yang berukuran sama yaitu 30 G. Pada Formula II dengan viskositas yang lebih besar akan membutuhkan tekanan yang besar untuk mengeluarkan tetesan demi tetesan dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya. Viskositas yang lebih besar akan lebih mampu untuk mempertahankan bentuknya, karena tahanan untuk mengalirnya dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya lebih besar, sehingga pada saat diberi tekanan akan membentuk mikropartikel berukuran lebih besar. Sebaliknya, pada Formula I dengan viskositas yang lebih kecil memiliki tahanan yang kecil untuk mengalirnya dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya dan akan membutuhkan tekanan yang lebih kecil untuk mengeluarkan dispersi natrium alginat-serbuk getah pepaya, sehingga ukuran partikel yang terbentuk lebih kecil.

Metode pengeringan juga mempengaruhi ukuran mikropartikel karena proses pengeringan akan menyebabkan hilangnya kelembaban dari polimer, sedangkan ukuran partikel obat tetap sama setelah pengeringan (Das, Ka Yun Ng, dan Paul 2010).


(53)

4.2.4 Pemeriksaan Bentuk dan Morfologi Mikropartikel

Pemeriksaan morfologi mikropartikel dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik pada pembesaran 100 kali. Hasil pemeriksaan morfologi mikropartikel dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, bentuk mikropartikel yang didapatkan tidak sferis. Pada bagian ujung mikropartikel berbentuk lancip yang disebabkan oleh proses pembuatan dengan menggunakan syringe yang memiliki ujung needle

yang lancip. Permukaan mikropartikel dari kedua formula tidak rata dan berlubang. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh larutan yang tidak homogen, sehingga menyebabkan terperangkapnya gelembung-gelembung udara (Febriyenti

et al., 2013). Pengeringan juga berpengaruh terhadap morfologi mikropartikel. Sebelum pengeringan, mikropartikel yang dihasilkan berbentuk sferis, tetapi setelah dikeringkan bentuk mikropartikel menjadi tidak rata. Hal ini disebabkan karena transfer panas pada saat pengeringan, sehingga air yang terjerap pada mikropartikel basah terdesak keluar sehingga struktur mikropartikel menjadi tidak sferis (Sari et al., 2012).

Gambar 4.3 Hasil Pemeriksaan Morfologi Mikropartikel Menggunakan Mikroskop Optik dengan Perbesaran 100 kali. a. Mikropartikel

Formula I; b. Mikropartikel Formula II.

Pengamatan terhadap morfologi mikropartikel dengan menggunakan mikroskop optik menghasilkan tampilan mikropartikel yang kurang jelas, di mana hanya terlihat permukaan dari mikropartikel tanpa melihat bagian mikropartikel

a


(54)

optik ini, diperlukan pengamatan morfologi mikropartikel lebih lanjut dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy).

4.2.5 Uji Aktivitas Proteolitik Mikropartikel

4.2.5.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Tirosin

Penentuan panjang gelombang maksimum tirosin dibuat dalam larutan dengan konsentrasi 100 ppm pada medium aquadest dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Berdasarkan literatur, tirosin memiliki panjang gelombang 200-350 nm (Jean, 2015). Dalam penelitian Rizki et al (2014), tirosin memiliki panjang gelombang maksimum 274,80 nm. Berdasarkan hasil analisa menggunakan spektrofotometer UV-Vis panjang gelombang maksimum tirosin dalam aquadest sama dengan hasil penelitian Rizki et al (2014) yaitu 274 nm. Panjang gelombang maksimum tirosin yang dihasilkan, selanjutnya akan digunakan untuk pengukuran kurva kalibrasi tirosin. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

4.2.5.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Tirosin

Kurva kalibrasi tirosin dibuat dalam medium aquadest dengan membuat seri pengenceran dari larutan induk 100 ppm yang diukur serapannnya pada panjang gelombang maksimum 274 nm. Kurva kalibrasi tirosin dibuat antara konsentrasi larutan tirosin terhadap absorbansi berdasarkan hukum Lambert-Beer

(Rizki et al., 2014). Keabsahan kurva kalibrasi tirosin dapat diuji dengan menentukan harga koefisien korelasi (r) yang menyatakan ukuran kesempurnaan hubungan antara kosentrasi larutan standar dan absorbansinya (Rizki et al., 2014). Korelasi dinyatakan sempurna jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 (Rizki et al., 2014). Data persamaan regresi linier yang diperoleh yaitu y = 0,111x-0,006 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,999. Hasil kurva kalibrasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12.

Nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh mendekati 1, maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi layak, artinya titik-titik pada kurva kalibrasi mendekati kemiringannya (Rizki et al., 2014). Kurva kalibrasi tirosin digunakan untuk menentukan aktivitas proteolitik serbuk getah pepaya.


(1)

Serbuk Getah Pepaya

Abs = 0,025

y = 0,111x - 0,006 0,025 = 0,111x - 0,006 0,111x = 0,025 + 0,006

x =

x = 0,279 ppm = 0,279 µg/mL = 2,79 x10-4 mg/mL Diketahui : Tirosin = 2,79 x10-4 mg/mL= 0,000279 mg/mL

v = 14 ml p = 2 ml q = 20 menit Fp = 1

Ditanyakan : nilai aktivitas proteolitik ? Penyelesaian : Aktivitas proteolitik =

=

= 0,0000977 TU


(2)

(3)

Lampiran 14. Sertifikat Analisis Natrium Alginat


(4)

(5)

Lampiran 16. Sertifikat Analisis Tirosin

3050 Spruce Street, Saint Louis, MO63103USA Email USA: techserv@sial.com Outside USA: eurtechserv@sial.com

Certificate of Analysis

Product Name: Product Number: Batch Number: Brand: CAS Number: Formula: L-TYROSINE

reagent grade, >= 98 % HPLC T3754

BCBM9228V Sigma-Aldrich 60-18-4

4-(HO)C6H4CH2CH(NH2)CO2H

Formula Weight: 181.19

Quality Release Date: 10 APR 2014

Recommended Retest Date: FEB 2024

TEST SPECIFICATION RESULT

APPEARANCE (COLOR) WHITE TO OFF-WHITE WHITE

APPEARANCE (FORM) POWDER POWDER

PURITY (HPLC AREA %) 98 % 99.7 %

SPECIFIC ROTATION (20/D) -9.8 TO -11.2 DEGREES -10.9 DEGREES

CONCENTRATION C=5 IN 1M HYDROCHLORIC ACID

AT

C=5 IN 1M HYDROCHLORIC ACID AT

25 C 25 C

SOLUBILITY (COLOR) COLORLESS TO LIGHT YELLOW ALMOST COLORLESS

SOLUBILITY (TURBIDITY) CLEAR (< 3.5 NTU) CLEAR (<3.5 NTU)

SOLUBILITY (METHOD) 50MG/ML IN 1M HYDROCHLORIC ACID

50MG/ML IN 1M HYDROCHLORIC ACID

CARBON CONTENT 58.5 - 60.8 % 59.5 %

NITROGEN CONTENT 7.4 - 8.0 % 7.8 %

INFRARED SPECTRUM CONFORMS TO STRUCTURE CONFORMS

Dr. Claudia Geitner Manager Quality Control Buchs, Switzerland

Sigma-Aldrich warrants that at the time of the quality release or subsequent retest date this product conformed to the information contained in this publication.The current specification sheet may be available at Sigma-Aldrich.com. For further inquiries, please contact Technical Service. Purchaser must determine the suitability of the product for its particular use. See reverse side of invoice or packing slip for additional terms and conditions of sale.


(6)