Deskripsi Hasil Penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tabel.2. Perkembangan Kredit Modal Kerja Tahun 1995-2009 Tahun Kredit Modal Kerja Rupiah Perkembangan 1995 609.269 - 1996 1.462.273 140,00 1997 1.053.471 - 27,95 1998 4.236.784 302,17 1999 3.866.801 - 8,73 2000 3.103.589 - 19,73 2001 4.435.814 42,92 2002 6.307.831 42,20 2003 6.812.379 7,99 2004 8.931.537 31,10 2005 12.405.057 38,89 2006 5.167.035 - 58,34 2007 18.757.792 263,02 2008 164.315.055 775,98 2009 164.315.055 0,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah

4.2.3. Perkembangan Tingkat Inflasi

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Tingkat Inflasi setiap tahunnya mengalami fluktuatif yang tidak tentu besarnya. Perkembangan Inflasi yang tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 86,1 ini dikarenakan adanya krisis yang melanda bangsa Indonesia dan pada umumnya kenaikan Inflasi terjadi dari kenaikan harga barang – barang yang tidak dikendalikan Pemerintah dan adanya kenaikan harga BBM. tetapi pada tahun 1999 terjadi perkembangan terendah sebesar - 94,97 . Hal ini bisa dilihat dari nilai Inflasi di tahun 1998 sebesar 95,21 menjadi 0,24 atau turun sebesar -94,97 . Tabel.3. Perkembangan Tingkat Inflasi Tahun 1995-2009 Tahun Tingkat Inflasi Perkembangan 1995 8,69 1996 6,68 - 2,01 1997 9,11 2,43 1998 95,21 86,10 1999 0,24 - 94,97 2000 10,46 10,22 2001 14,6 4,14 2002 9,69 - 4,91 2003 4,53 - 5,16 2004 5,62 1,09 2005 14,78 9,16 2006 6,32 - 8,46 2007 7,05 0,73 2008 7,95 0,90 2009 7,66 - 0,29 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah

4.2.4. Perkembangan Pendapatan Perkapita

Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Pendapatan Perkapita setiap tahunnya mengalami fluktuatif yang tidak tentu besarnya. Perkembangan tertinggi Pendapatan Perkapita adalah pada tahun 2006 sebesar 467,72 dan perkembangan terendah adalah pada tahun 1998 sebesar -22,99 . Hal ini disebabkan pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi sehingga Pendapatan Perkapita menurun. Pendapatan Perkapita tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar Rp.12.020.155,98 dan Pendapatan Perkapita terendah pada tahun 1998 sebesar Rp.2.039.447,89. Tabel.4. Perkembangan Pendapatan Perkapita di Sidoarjo Tahun 1995-2009 Tahun Pendapatan Perkapita Rupiah Perkembangan 1995 2519578,28 - 1996 2651696,63 5,24 1997 2648337,84 - 0,12 1998 2039447,89 - 22,99 1999 2035975,99 - 0,17 2000 2127601,39 4,50 2001 2149688,99 1,03 2002 2197948,07 2,24 2003 2235353,42 1,70 2004 2292417,12 2,55 2005 1825125,00 - 20,38 2006 10361617,32 467,72 2007 10534202,25 1,66 2008 11654990,49 10,63 2009 12020155,98 3,13 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah

4.2.5 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja

Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dapat disajikan dalam tabel di bawah ini : Tabel.5. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Tahun 1995-2009 Tahun Jumlah Tenaga Kerja jiwa Perkembangan 1995 33768 - 1996 34251 1,43 1997 35138 2,58 1998 36990 5,27 1999 38797 4,88 2000 42161 8,67 2001 45358 7,58 2002 48249 6,37 2003 51173 6,06 2004 51427 0,49 2005 52864 2,79 2006 81677 54,50 2007 82603 1,13 2008 63502 -23,12 2009 63502 0,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perkembangan Jumlah Tenaga Kerja selama 15 tahun 1995-2009 cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi Jumlah Tenaga Kerja adalah pada tahun 2006 sebesar 54,50 hal ini disebabkan pada tahun 2006 sudah stabilnya perekonomian di Indonesia karena pada tahun 2005 terjadi krisis harga minyak mentah dunia yang berdampak pada Indonesia dan perkembangan terendah adalah pada tahun 2008 sebesar -23,12 yang disebabkan pada tahun tersebut adanya krisis financial sehingga banyak tenaga kerja yang di PHK dan di rumahkan. Jumlah Tenaga Kerja tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 82603 jiwa dan Jumlah Tenaga Kerja terendah pada tahun 1995 sebesar 33768 jiwa.

4.3. Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik BLUE Best Linier Unbiased Estimator.

Agar dapat diperoleh hasil estimasi yang BLUE Best Linier Unbiased Estimator atau perkiraan linier tidak bias yang terbaik maka estimasi tersebut harus memenuhi beberapa asumsi yang berkaitan. Apabila salah satu asumsi tersebut dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE, sehingga pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t menjadi bias. Dalam hal ini harus dihindarkan terjadinya kasus-kasus sebagai berikut : 1. Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu data time series atau data yang diambil pada waktu tertentu data cross-sectional” Gujarati, 1995:201. Untuk mengujji variabel-variabel yang diteliti apakah terjadi autokorelasi atau tidak dapat digunakan uji Durbin Watson, yaitu dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson yang dihitung dengan nilai Durbin Watson dL dan du dalam tabel. Distribusi penetuan keputusan dimulai dari 0 nol sampai 4 empat. Kaidah keputusan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jika d lebih Makanan dan Minuman daripada d L atau lebih besar daripada 4-d L , maka hipotesis nol ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. 2. Jika d teletak antara d U dan 4-d U , maka hipotesis nol diterima yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika nilai d terletak antara d L dan d U atau antara 4-d L dan 4-d U maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti, untuk nilai- nilai ini tidak dapat disimpulkan ada tidaknya autokorelasi di antara faktor-faktor penganggu. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model penelitian maka perlu dilihat nilai DW tabel. Diketahui jumlah variabel bebas adalah 4 k=4 dan banyaknya data adalah n=15 sehingga diperoleh nilai DW tabel adalah sebesar d L = 0,688 dan d U = 1,977. Gambar 1. Kurva Statistik Durbin Watson Daerah Daerah Daerah Daerah Kritis Ketidak- Terima Ho Ketidak- Kritis pastian pastian Tolak Tidak ada Tolak Ho autokorelasi Ho 0 d L = 0,688 d U = 1,977 4-d U = 2,023 4-d L = 3,312 d 1,014 Sumber : Lampiran 2 dan 7 Berdasarkan hasil analisis, maka dalam model regresi ini tidak terjadi gejala autokorelasi karena nilai DW tes yang diperoleh adalah sebesar 1, 014 berada pada daerah antara dL dan dU yang berarti berada dalam daerah ketidak pastian.

2. Multikolinier

Multikolinieritas berarti ada hubungan linier yang “sempurna” atau pasti di antara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi. Dari dugaan adanya multikolinieritas tersebut maka perlu adanya pembuktian secara statistik ada atau tidaknya gejala multikolinier dengan cara menghitung Variance Inflation Factor VIF. VIF menyatakan tingkat “pembengkakan” varians. Apabila VIF lebih besar dari 10, hal ini berarti terdapat multikolinier pada persamaan regresi linier. Adapun hasil yang diperoleh setelah diadakan pengujian analisis regresi linier berganda diketahui bahwa dari keempat variabel yang dianalisis dapat dilihat pada tabel berikut :