Kondisi hukum kelembagaan dalam atribut Rapfish

245 pantai yang jaraknya kurang dari 6 mil bahkan kurang dari 3 mil dari pantai. Operator jaring arad saat ini berasal dari Muarareja yaitu suatu kawasan pantai yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes. Komunitas nelayan jaring arad di Muarareja pada tahun 2004 mencapai 356 unit dan pada pertengahan tahun 2005 yang beroperasi sekitar 225 unit. Di samping itu, nelayan jaring arad juga datang dari luar daerah Tegal yaitu dari Kabupaten Brebes dengan jumlah yang lebih besar. Walaupun sejak tahun 1980 dengan Keppres 391980 pengoperasian Trawl telah dilarang, namun kenyataannya nelayan pengguna jaring arad dari dua wilayah tersebut juga sering masuk di pantai perairan Tegal walaupun secara diam-diam dan menimbulkan konflik dengan nelayan yang bukan pengguna jaring arad. Kejadian tersebut di atas sudah berlangsung lama, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian secara tuntas. Nelayan bukan pengguna jaring arad, sangat menghawatirkan beroperasinya jaring arad di perairan pantai Suradadi, Munjung Agung dan sekitarnya karena dinilai sangat merusak terbukti dengan tertangkapnya habitat dasar seperti rajungan, tiga waja termasuk ikan-ikan lain yang masih berukuran kecilbelum dewasa. Ketidaktegasan penegakan hukum terbukti telah menimbulkan konflik sosial antar nelayan di perairan Suradadi, Pemalang dan sekitarnya. Kejadian ini berulang kali dengan frekuensi yang sangat tinggi.

9.3.2 Kondisi hukum kelembagaan dalam atribut Rapfish

Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi Hukum kelembagaan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan keadaan lapang daerah penelitian dan berdasarkan acuan dari kriteria yang telah dibuat. Hasil wawancara dan pengamatan lapang yang dilakukan pada dua wilayah yaitu Kabupaten Serang Pasauran, Kecamatan Cinangka dan perairan Pantai Kabupaten Tegal menghasilkan variabel atau atribut yang dapat dilihat pada Tabel 9.3 dan Lampiran 26. Untuk pendefinisian kriteria data dari variabel atau atribut pada Tabel 9.3 tersebut maka dilakukan analisis data sebagai fakta atau realita data dalam atribut Rapfish. 246

9.3.2.1 Ketersediaan peraturan formal dan informal pengelolaan perikanan

Secara umum peraturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah Indonesia sudah cukup banyak. Permasalahan sebenarnya yang sering timbul dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut ini adalah masalah pengawasan dan penegakan hukum. Tabel 9.1 menunjukkan beberapa peraturan formal yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Tabel 9.1 Beberapa peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah pusat berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia No Jenis Peraturan Tentang 1 UU No 312004 Perikanan 2 UU No. 41960 Perairan Indonesia 3 UU No. 51983 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI 4 UU No. 151984 Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI 5 UU No. 91985 Perikanan 6 UU No. 171985 Pengesahan UNCLOS 7 PP No. 151990 Usaha Perikanan 8 PP No. 542002 Pungutan Pengusahaan Perikanan 9 PP No. 622002 Pungutan Hasil Perikanan 10 Keppres No. 391980 Pelarangan Trawl 11 Kepmen Pertanian No. 14KptsLK.41011996 Pengembangan Pelabuhan Perikanan 12 Kepmen Pertanian No. 51KptsLK.25011997 Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon 13 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 45MEN2001 Pungutan Perikanan Untuk Ijin Penangkapan Ikan 14 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 46MEN2001 Pendaftaran Ulang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan 15 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 47MEN2001 Pembaharuan Sistem Perijinan Penangkapan Ikan 16 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 58MEN2001 Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan 17 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 60MEN2001 Penataan Pemanfaatan ZEEI 18 Surat Edaran Menteri PPLH No. Larangan Pengambilan Batu 247 No Jenis Peraturan Tentang 408MNPPLH41979 Karang yang Dapat Merusak Lingkungan Laut 19 Surat Edaran Dirjen Perikanan No. 155111979 Larangan Pengambilan Batu Karang yang Dapat Merusak Lingkungan Laut 20 Keputusan bersama Menteri Pertahanan KeamananPanglima ABRI, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan dan Jaksa Agung No. Kep.B45XII 72, SK.901M1972, Kep.779MKIII121972, JSB 721, Kep.085J.A121972 Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut 21 SK Menteri KP No. 1 Tahun 2000 dan SK Menteri KP No. 34 Tahun 2003 Sertifikasi Ekspor Hasil Perikanan 22 SK Mentan No. 26Kpts OT.210198, SK BSN No.44KepBSN2002 Sertifikasi Pembenihan Ikan 23 Kepmentan no.6071976 jo 3921999 Jalur-jalur penangkapan Æ melindungi kepentingan nelayan kecil dan menghindari konflik antar nelayan 24 Kepmentan no. 5091995 Ketentuan mata jaring purse seine di mana bagian kantong minimal 1 inchi dan bagian sayap minimal 2 inchi, dengan maksud agar ikan dapat lolos; 25 Kepmentan no.5091995 Pola inti rakyat dalam kemitraan usaha 26 Kepmentan no.9951999 Potensi dan JTB Jumlah Tangkapan yang dibolehkan Sumber: Haryadi 2004, Susilo 2003 dan berbagai sumber peraturan. Selain peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagaimana dicatat pada Tabel 9.1, pemerintah daerah juga mengeluarkan peraturan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal dapat dilihat pada Tabel 9.2. Dalam semua agama sebenarnya mengandung ajaran-ajaran untuk mengelola sumbedaya alam secara arif dan bijaksana. Apalagi sebagian besar penduduk di kedua kabupaten ini menganut agama Islam yang mempunyai aturan- 248 aturan untuk tidak merusak alam, selalu menjaga kebersihan, bersikap arif terhadap alam dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Secara keseluruhan sebenarnya di dua kabupaten ini terdapat banyak peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam di kedua wilayah baik Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal 2, namun bagaimanapun banyaknya peraturan baik peraturan formal dan informal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut. Tabel 9.2 Beberapa peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah daerah berkaitan dengan sumberdaya perikanan di wilayahnya No Jenis Peraturan Tentang Pemerintah Kabupaten Serang 1 Perda Kab. Serang No. 9 Tahun 2001 Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan 2 Perda Kab. Serang No. 2 Tahun 2003 Restribusi Kegiatan Usaha Perikanan dan Kelautan 3 Perda Propinsi Banten No. 39 Tahun 2002 Ijin Usaha Perikanan, Ijin Usaha Penangkapan Ikan dan Ijin Usaha Budidaya Perikanan 4 SK Gubernur Banten No. 37 Tahun 2003 Surat Keterangan Mutu Perikanan 5 Perda Banten No. 40 Tahun 2002 Sertifikasi Ekspor Hasil Perikanan 6 SK Gubernur Banten Tahun 2003 Penyediaan Bibit Unggul 7 SK Gubernur Banten No. 38 Tahun 2003 Penyelengaraan Pelatihan Petani dan Nelayan Ikan 8 Renstrada Kabupaten Serang 2003-2008 Perencanaan Strategis Daerah termasuk pengelolaan perikanan dan kelautan 9 Renstrada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten 2003-2008 Perencanaan Strategis Daerah Pembangunan dan Pengelolaan Sektor Perikanan dan Kelautan Pemerintah Kabupaten Tegal 1 Renstrada Kabupaten Tegal 2004-2009 Perencanaan Strategis Daerah termasuk pengelolaan perikanan dan kelautan 2 Peraturan Daerah Jawa Tengah No.6 Tahun 1978 Usaha Perikanan Sumber : Pemerintah Kabupaten Serang. 2005 dan Pemerintah Kabupaten Tegal 2005 249

9.3.2.2 Keadilan dalam hukum

Keadilan hukum masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan di kedua wilayah tersebut. Contoh ketidakadilan hukum di Kabupaten Serang adalah kasus pembakaran kapal bolga yang menggunakan alat tangkap purse seine besar dan diberi nama bolga di perairan Selat Sunda beberapa tahun silam. Nelayan yang berdomisili di pantai Pasauran merasa sangat marah karena kapal- kapal bolga ini merusak rumpon-rumpon yang telah mereka buat di tengah laut walaupun seringkali mereka peringatkan. Kemarahan nelayan Pasauran ini sudah tidak dapat diatasi lagi sehingga hampir semua nelayan Pasauran yang bergerak dan membakar kapal bolga tersebut. Pemilik kapal bolga yang dibakar ini menuntut penyelesaian hukum dari aparat keamanan. Pada saat itu polisi tidak dapat masuk ke Pasauran untuk menangkap orang-orang yang membakar kapal bolga tersebut, namun tetap harus ada yang bertanggung jawab terhadap aksi pembakaran dari desa tersebut. Seorang warga Pasauran ditangkap polisi dan ditahan di sel selama 6 bulan, yaitu Pak Omod orang yang tidak mengerti akar permasalahan sebenarnya karena baru pulang menjual hasil tangkapannya di Cilegon sehingga mudah sekali menangkapnya karena aparat keamanan tidak dapat masuk ke Pasauran. Kasus ini mencerminkan ketidakadilan hukum, yaitu bilamana terjadi aksi perusakan atau pembakaran maka harus ada yang bertanggung jawab walaupun orang tersebut tidak bersalah 0. Keadilan hukum dalam konteks pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Tegal yang paling dirasakan oleh nelayan lokal Suradadi dan Munjung Agung berupa tidak tegasnya aparat hukum dalam menangani berbagai kasus pelanggaran berupa penggunaan alat tangkap yang dilarang misalnya jaring arad dan garok yang datang dari luar daerah. Penggunaan alat tangkap arad telah menjadi berbagai konflik sosial dan perang laut antar nelayan lokal dengan pendatang yang menggunakan alat tangkap arad tersebut misal nelayan Brebes dengan nelayan Suradadi. Jenis pelanggaran lain adalah beroperasinya nelayan mini purse seine dengan menggunakan lampu galaxi yang menurut nelayan dapat menghabiskan ikan di wilayah pantai dan berakibat nelayan kecil tidak lagi mendapatkan hasil tangkapan atau hasil tangkapan semakin menurun. Wawancara dengan Sukirno PPNS Kabupaten Tegal menyingkapkan bahwa konflik sosial 250 antar nelayan di Tegal disebabkan oleh nelayan cantrang yang beroperasi diwilayah 3 mil zona 1A dan nelayan arad yang beroperasi di wilayah yang sama 3 mil. Pelanggaran tersebut tidak pernah ditindak dengan tegas sehingga dapat menjadi pemicu terjadinya penularan pelanggaran kepada nelayan lokal atau ikut melanggar. Di sisi lain nelayan lokal sudah sepakat untuk tidak menggunakan jaring arad. Kesepakatan yang dibangun di antara sesama nelayan Suradadi dan Munjung Agung adalah apabila ada nelayan lokal yang memiliki jaring arad harus segera dihentikan dan jaring aradnya harus dibakar sendiri oleh pemiliknya di depan para nelayan lain. Hal ini pernah dilakukan di sekitar TPI Larangan desa Munjung Agung pada bulan Maret 2005 dimana empat unit jaring arad dibakardimusnahkan sendiri oleh pemiliknya. Nelayan lokal merasa diperlakukan tidak adil di perairan Tegal karena aturan lokal berupa kesepakatan hanya berlaku bagi nelayan lokal sedang nelayan pendatang belum ada tindakan dari aparat, sehingga sering terjadi konflik di tengah laut 0.

9.3.2.3 Ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal

Sebelum terjadi aksi pembakaran di perairan Kabupaten Serang terhadap kapal-kapal dari luar wilayah ini, personil penegak hukum boleh dikatakan tidak ada. Secara kelembagaan sebenarnya ada petugas Polairud Merak, namun dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum belum optimal mengawasi proses pelanggaran secara khusus di tengah laut, namun sejak kejadian tersebut aparat penegak hukum Polairud mengadakan kontrol terhadap wilayah perairan Kabupaten Serang walaupun hanya seminggu sekali 1. Dari berbagai kasus yang terjadi seperti juga terjadi di Kabupaten serang, tercermin bahwa aparat keamanan atau penegak hukum di Kabupaten Tegal baru berfungsi mengawasi supaya tidak terjadi konflik yang meluas dan aktif bergerak jika telah terjadi aksi. Di samping aparat keamanan atau penegak hukum Polairud dan aparat Pangkalan Angkatan Laut Lanal, sejak tahun 2002 di Kabupaten Tegal telah ada dua orang petugas penyidik pegawai negeri sipil PPNS yang ditempatkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari Tegal yang bertugas 251 mengawasi, menyidik kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal sehingga kalau dilihat dari keberadaannya dapat dikategorikan sering berada di tempat 2. 9.3.2.4 Demokrasi dan keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan Penentuan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Serang belum melibatkan pendapat langsung dari nelayan. Contoh untuk kasus ini adalah pada saat pemerintah Kabupaten Serang memberikan bantuan bergulir kepada nelayan. Bantuan ini diberikan kepada 2 orang nelayan, yaitu berupa kapal perikanan dan alat tangkap gillnet. Ketiadaan modal kerja, baik modal uang maupun modal keahlian untuk mengoperasikan kapal tersebut menyebabkan kedua nelayan tersebut membiarkan kapal tersebut di darmaga perikanan. Kondisi kedua kapal tersebut diyakini sudah mulai rusak dan akhirnya nelayan tersebut menyerahkan kembali ke dinas terkait yang memberikan bantuan. Ketiadaan koordinasi antara kedua lembaga tersebut juga diperparah dengan tidak melibatkan demokrasi atau keterlibatan nelayan dalam pemberian bantuan yang dibutuhkan nelayan. Bantuan dari DKP ini adalah berkarung- karung pelampung yang tidak jelas untuk alat tangkap apa dan bagaimana menggunakannya. Bahkan alat penangkap ikan tersebut akhirnya dibiarkan tidak terpakai karena menurut nelayan tidak ada gunanya. Hal tersebut sangat menjelaskan bahwa sebenarnya demokrasi dan keterlibatan nelayan baik dalam penentuan kebijakan, pengelolaan, pemberian bantuan dan lainnya di Kabupaten Serang tidak ada 0. Penentuan kebijakan pembangunan dan perikanan di Kabupaten Tegal ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Serang. Perbedaannya penentuan demokrasi dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan di Kabupaten Tegal lebih banyak dilakukan oleh LSM-LSM yang berkembang di kabupaten ini. Hal ini sebenarnya sangat merugikan nelayan karena kondisi ini sama saja LSM yang menyalurkan aspirasinya, bukan keterlibatan nelayan dalam menyampaikan pendapatnya secara langsung. Bantuan-bantuan perikanan yang akan diberikan harus melalui LSM-LSM ini, yang sering kali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, maka demokrasi dan keterlibatan nelayan dalam 252 penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan di Kabupaten Tegal juga dapat dikatakan tidak ada 0.

9.3.2.5 Illegal fishing

Kegiatan penangkapan ilegal illegal fishing di perairan Pasauran Kabupaten Serang yang dilakukan oleh nelayan lokal Pasauran tidak ditemukan selama penelitian. Demikian juga berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan responden selama beberapa tahun terakhir ini tidak ada indikasi terjadinya illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan lokal baik pelanggaran wilayah penangkapan maupun jenis alat tangkap yang melanggar ketentuan. Sebaliknya nelayan beranggapan sering terjadi pelanggaran wilayah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang kemampuan teknologinya lebih tinggi, misalnya pengoperasian gardan trawl yang merusak lingkungan bahkan merusak rumpon milik nelayan payang bugis dari Pasauran, Kabupaten Serang. Demikian juga pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan andon yang menggunakan jaring purse seine jaring bolga: lokal yang menggunakan lampu galaxy sangat besar ribuan watt yang dapat menarik gerombolan ikan dari jarak jauh sehingga nelayan lokal beranggapan ikan di wilayah Pasauran cepat habis. Klasifikasi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan andon pengguna purse seine ini adalah karena kapal dengan bobot 30 GT atau lebih ini dioperasikan di perairan antara pantai Pasauran dan Pulau Rakata yang termasuk ke dalam wilayah I zona pantai. Hasil wawancara dengan nelayan Pasauran, Kabupaten Serang dan aparat Desa Umbul Tanjung Pasauran bahwa nelayan andon tersebut tidak pernah mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Labuan atau Pasauran, tapi dilakukan transhipment di tengah laut dan ikannya dibeli oleh para pelele yang didaratkan di TPI Panimbang dan TPI Labuan. Oleh karena transhipment dilakukan oleh sebagian nelayan andon dan tidak dilakukan oleh nelayan lokal, maka dapat dikategorikan sebagian nelayan melakukan transhipment 1. Penangkapan secara illegal berupa penggunaan alat tangkap atau wilayah penangkapan secara jelas telah terjadi di wilayah perairan Tegal. Penggunaan alat tangkap illegal adalah beroperasinya jaring arad yang ditarik dengan mesin dan 253 beroperasi di wilayah pantai 3 mil. Sejak dihapuskannya pengoperasian Trawl di Indonesia melalui Keppres 391980, alat tangkap ini sudah dilarang namun kenyataannya alat ini masih dioperasikan walaupun secara diam-diam. Demikian juga dengan pelanggaran wilayah penangkapan yang kadang-kadang dilakukan oleh nelayan cantrang yang melakukan penangkapan di wilayah pantai 3mil. Dari berbagai kasus yang terjadi seperti diterangkan di atas, illegal fishing di perairan Tegal dapat dikategorikan sering terjadi 2.

9.3.2.6 Peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan

sumberdaya perikanan Berbagai lembaga pemerintah sebagai lembaga formal yang dalam tugas pokoknya terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan agar kegiatan perikanan dapat berkelanjutan. Lembaga formal tersebut diantaranya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia wilayah Banten. Dari hasil wawancara dengan nelayan responden bahwa keberadaan lembaga tersebut belum banyak berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilyahnya. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang yang di wakili oleh TPI Pasauran belum memberikan andil besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, walaupun sudah dirasakan perannya dalam mengorganisir sistem pelelangan ikan hasil tangkapan sehingga ikan yang dihasilkan dapat dengan mudah dijual di TPI tersebut. Sebenarnya lembaga formal sangat diharapkan peranannya dalam berbagai hal misalnya pengaturan wilayah penangkapan dan pengawasannya, pencegahan munculnya konflik antar nelayan atau pengguna sumberdaya, pengawasan penerapan regulasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang berdampak terpeliharanya sumberdaya perikanan, peran itu dirasakan belum ada 1. Lembaga formal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di Kabupaten Tegal diantaranya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan, HNSI, dan PPNS. Lembaga-lembaga tersebut dirasa belum berperan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan, bahkan berbagai kasus pelanggaran yang berdampak pada rusaknya sumberdaya perikanan seperti illegal fishing belum 254 dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian lembaga tersebut sudah ada di lokasi namun belum dapat berperan secara penuh 1.

9.3.2.7 Ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan

Ketersediaan peraturan informal dalam hal ini peraturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dari masyarakat nelayan memang dibutuhkan. Peraturan informal ini dibentuk karena adanya kebutuhan diantara masyarakat nelayan akan kejelasan pengelolaan sumberdaya perikanan. Aturan informal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang disepakati sesama nelayan di perairan pantai Tegal adalah tidak diperbolehkannya menangkap ikan didalam kawasan ”karang jeruk” atau hanya boleh menangkap ikan diluar kawasan radius 100 m dari posisi karang jeruk tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dimana kawasan tersebut dapat dijadikan daerah asuhan dan perkembangbiakan ikan. Nelayan pengguna payang bugis di perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang mempunyai kesepakatan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang dinilai merusak sumberdaya seperti jaring arad. Demikian juga nelayan pengguna jaring udang mempunyai kesepakatan untuk tidak menggunakan cara-cara yang merusak dalam penangkapan udang lobster seperti penggunaan bom dan bius. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan peraturan informal pengelolaan perikanan telah ada dikalangan nelayan baik di Tegal maupun di Serang 1.

9.3.2.8 Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal

Ketersediaan dan peranan tokoh masyarakat lokal yang betul-betul dipilih dan dapat dipercaya oleh nelayan setempat sangat diperlukan mengingat keragaman persepsi nelayan dalam pengelolaan perikanan secara umum. Peranan tokoh menjadi sangat penting terutama ketika terjadi hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti penanganan konflik antar nelayan, pengelolaan sumberdaya perikanan agar berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan perairan. Tokoh nelayan yang dipililh dan dipercaya oleh nelayan lokal dijadikan panutan sehingga kebijakannya akan dipatuhi. Tokoh masyarakat lokal yang ada dilapangan dapat diperankan oleh tokoh agama, tokoh nelayan, tokoh pemuda dan 255 tokoh masyarakat lokal lainnya. Keberadaan tokoh masyarakat lokal dalam komunitas nelayan pantai Pasauran Kabupaten Serang sangat terlihat peranannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial nelayan termasuk dalam menjaga lingkungan perairan dan daerah penangkapan ikan dari kegiatan-kegiatan yang merusak baik yang dilakukan oleh nelayan setempat maupun nelayan pendatang. Berperannya tokoh masyarakat lokal di pantai Pasauran disamping karena ketokohannya, juga disebabkan komunitas nelayan di pantai Pasauran relatif terkonsentrasi dalam perkampungan yang sama dengan jumlah nelayan yang tidak terlalu banyak, sehingga terlihat tokoh masyarakat lokal memegang peranan cukup besar 2. Berbeda dengan di Serang, peranan tokoh masyarakat lokal dalam komunitas nelayan di Kabupaten Tegal walaupun ada namun perannya relatif sedikit 1. Hal ini terjadi karena komunitas nelayan di pantai Tegal relatif lebih banyak dan tersebar dibeberapa desa dan kecamatan. Disamping itu sifat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sangat kompetitif adakalanya tidak menghiraukan anjuran-anjuran dari tokoh masyarakat lokal.

9.3.2.9 Peranan kelembagaan lokal informal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan

Kelembagaan lokal informal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan. Kelembagaan ini dibentuk karena adanya kebutuhan dari masyarakat nelayan para pengguna sumberdaya. Kelembagaan informal ini merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang menghawatirkan akan semakin menurunnya hasil tangkapan akibat beroperasinya kapal ikan dari luar daerah. Lembaga pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas PSBK di Tegal dan kelompok pemuda nelayan di Pasauran adalah merupakan kelembagaan informal yang berperan dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian secara keseluruhan kelembagaan informal yang mendudkung pengelolaan sumberdaya perikanan di kedua lokasi penelitian memang sudah ada dan cukup berperan 2. 256

9.3.2.10 Manfaat aturan formal untuk nelayan

Berdasarkan masukan dari para nelayan yang menjadi responden menyatakan bahwa aturan-aturan formal yang dibuat oleh pemerintah kadang- kadang dinilai menyulitkan nelayan. Aturan-aturan formal yang menyulitkan tersebut bilamana berhubungan dengan retribusi atau pungutan-pungutan yang dapat menurunkan tingkat pendapatan mereka. Disisi lain aturan-aturan formal juga diperlukan dan dirasakan ada manfaatnya yaitu pada saat munculnya kejadian yang berkenaan dengan pemanfaatan atau pengelolaan perikanan seperti ketika terjadi konflik antar nelayan yang berhubungan dengan masalah-masalah penjagaan sumberdaya perikananzonasi penangkapan dari nelayan luar atau yang bersifat landasan hukum formal ketika aturan informal sudah tidak dapat berfungsi secara maksimal. Secara keseluruhan dari pendapat nelayan di Kabupaten Tegal dan Kabupaten Serang menyatakan bahwa aturan-aturan formal yang ada saat ini dihawatirkan lebih mengarah pada pungutan-pungutan yang memberatkan mereka. Oleh karena itu secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa manfaat aturan formal bagi nelayan walaupun ada namun masih sedikit 1.

9.3.3 Skor atribut dan indeks keberlanjutan pada dimensi hukum kelembagaan