5
penilaian keberlanjutan perikanan yang lebih komprehensif, maka perlu untuk melihat bagaimana interaksi antar aspek keberlanjutan. Aspek-aspek tersebut
adalah aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etik. Kelima aspek keberlanjutan itu dapat dijadikan satu patokan untuk melihat status keberlanjutan
suatu kawasan perairan sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan atau keberlanjutan
perikanan tangkap di kawasan tersebut. Penelitian ini perlu dan sangat penting dilakukan mengingat perikanan
tangkap di Indonesia masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Di samping itu, penilaian atribut-atribut pada masing-masing dimensi keberlanjutan
untuk perikanan skala kecil yang berbeda karakteristiknya belum pernah dilakukan di Indonesia. Dalam disertasi ini dilakukan evaluasi keberlanjutan
perikanan tangkap skala kecil di dua lokasi penelitian yang berbeda dengan metode multi variabel yang disebut multidimensional scaling MDS. Metode ini
relatif baru dikembangkan dan dikenal dengan nama Rapfish Rapid Appraisal for Fisheries. Beberapa contoh penggunaan Rapfish di Indonesia adalah Fauzi dan
Anna 2002a, Taryono 2003, Masydzulhak 2004, Susilo 2003. Metode Rapfish ini dapat dikembangkan dan diberi labelnama sesuai dengan fokus
kajiannya. Susilo 2003 dengan metode Rapfish membuat indeks sustainability pembangunan pulau-pulau kecil dan dinamai dengan RAPSMILE Rapid
Appraisal of Small Islands Development. Metode multidimensional scaling yang digunakan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil
ini akan dinamai RAPSMALLFISH Rapid Appraisal of Small Scale Fisheries.
1.2 Perumusan Masalah
Beberapa isu penting tentang keberlanjutan perikanan tangkap diantaranya adalah isu sumberdaya, isu sosial dan ekonomi serta isu kelembagaan. Isu sumber
daya meliputi kerusakan habitat, konflik penggunaan alat tangkap dan isu peningkatan upaya penangkapan Kusnadi, 2002; FAO., 1999. Dalam konteks
operasional, isu sumberdaya juga terkait dengan aspek teknologi Monintja et al., 2002.
6
Isu sosial dan ekonomi meliputi isu konflik antar nelayan, yaitu nelayan asli dan pendatang, perebutan sumberdaya antar pengguna alat yang berbeda
tingkat teknologinya dan faktor lainnya, sedangkan isu ekonomi dapat berupa rendahnya harga produk perikanan di tingkat nelayan. McGoodwin 1990 yang
diacu dalam Alder et al. 2000 menyatakan bahwa dalam penilaian sistem manajemen perikanan, konsekuensi ekologis, sosial dan ekonomi juga
dipertimbangkan secara seimbang, seperti halnya konsekuensi teknologi dan etika. Isu kelembagaan antara lain mencakup terbatasnya peran formal dari
kelompok nelayan dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan. Isu yang dilaporkan mengisyaratkan bahwa masyarakat nelayan sebagai pelaku utama
dalam perikanan di wilayah pantai memiliki kapasitas yang rendah dalam penetuan kebijakan pengelolaan perikanan.
Pada masa lampau rekomendasi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil maksimum yang
lestari maximum sustainable yield - MSY. Konsep ini diadopsi para pengelola perikanan nasional untuk menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan
yaitu daya pulih dan laju eksploitasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.
Seperti diterangkan di atas bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap, agar keberlanjutannya terjamin
sekurang-kurangnya harus mempertimbangkan aspek biologi, ekonomi dan sosial. Dari aspek biologi harus dapat menjaga kelestarian sumberdaya, secara ekonomi
harus layak dan menguntungkan, dan dari aspek sosial dapat menyerap tenaga kerja dan pemerataan pendapatan.
Dalam masyarakat yang menganggap sumberdaya ikan adalah milik bersama common property, eksploitasi sumberdaya ikan cenderung sulit
dikendalikan dan berkembang menuju kondisi padat atau lebih tangkap Nikijuluw, 2002. Perkembangan buruk dapat semakin cepat jika setiap individu
nelayan berpikiran bahwa upaya penangkapan ikan harus ditingkatkan untuk mengantisipasi ketidakpastian, baik akibat ketidakjelasan distribusi dan
keberadaan sumberdaya ikan maupun akibat persaingan dengan nelayan lainnya.
7
Secara spesifik permasalahan mendasar yang berkaitan dengan keberlanjutan perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang
komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas
penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumberdaya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi lima aspek besar yaitu aspek ekologi, sosial ekonomi, teknologi dan sumberdaya manusia dari perikanan tangkap. Di sisi lain untuk mempertahankan
keberlanjutan usahanya, nelayan kecil sebagai pelaku perikanan tangkap masih memiliki berbagai permasalahan klasik, yaitu terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha, manajemen usaha bersifat tradisional dan dengan teknologi terbatas,
terbatasnya akses informasi dan pasar, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung.
Walaupun konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat dipahami, sampai saat ini kita masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis
mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri. Kesulitan ini terutama ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi dari
keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etik Fauzi dan Anna, 2002. Dengan kata lain
bahwa, keberlanjutan perikanan tangkap, masih lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi atau
pada beberapa kasus referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass atau struktur umur Smith, 1993 yang diacu dalam Fauzi dan Anna,
2002. Pendekatan pendugaan stok ikan secara konvensional biasanya difokuskan
pada aspek biologi untuk spesies tunggal dan jarang sekali memasukan isu ekologi, ekonomi, teknologi dan etik. Pendekatan yang demikian tidak dapat
menjawab secara akurat pertanyaan dan solusi keberlanjutan perikanan secara komprehensif. Kode etik perikanan yang bertanggung jawab Code of Conduct for
Responsible Fisheries yang diperkenalkan FAO mengisyaratkan banyak faktor yang harus dipenuhi dalam pengelolaan perikanan di samping faktor ekologi.
8
Pelanggaran terhadap kesepakatan ini dapat berakibat pada keberlanjutan perikanan di suatu wilayah bahkan suatu negara.
Seperti diuraikan terdahulu bahwa secara empiris perkembangan teknologi ekploitasi sumberdaya perikanan di beberapa wilayah penangkapan ternyata telah
memberikan dampak yang luas terhadap aspek-aspek keberlanjutan. Oleh karena itu, penilaian keberlanjutan sumberdaya perikanan sekarang ini telah berkembang
tidak hanya pada aspek biologi-ekologi dan teknik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan etika. Kerangka dasar pemikiran ini dapat dipahami bahwa status
aspek bio-ekologi stok sumberdaya perikanan adalah hasil akumulasi interaksi aspek sumberdaya perikanan dengan aspek-aspek lain.
Berdasarkan alur pikir di atas, dapat dikembangkan pola pemikiran bahwa kondisi status sumberdaya perikanan sangat dipengaruhi oleh hasil interaksi
dengan teknologi penangkapan yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Aspek teknologi tersebut berhubungan dengan aspek ekonomi dan etika
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Sedangkan aspek ekonomi dan etika berkaitan dengan kondisi sosial nelayan dan masyarakat perikanan lainnya di
lokasi tersebut. Hasil interaksi aspek-aspek tersebut, akan mencerminkan status keberlanjutan perikanan yang berbasis kelestariankeberlanjutan sumberdaya
perikanan. Oleh karena itu, untuk menilai keberlanjutan perikanan, perlu dilihat kondisi aspek-aspek lain seperti aspek teknis, sosial, ekonomi dan etika.
Salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk mengevaluasi status keberlanjutan dari perikanan tersebut adalah Rapfish. Dengan
Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga
akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, sebagaimana yang disayaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fiseries FAO, 1995.
Perikanan di pantai utara Jawa, khususnya perikanan skala kecil di perairan pantai Kabupaten Tegal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
perikanan skala kecil di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang namun diasumsikan memiliki permasalahan yang hampir serupa. Oleh karena itu analisis
9
ini diperlukan untuk mengetahui status keberlanjutan masing-masing daerah tersebut. Mengacu pada karakteristik perikanan di kedua lokasi dengan keragaman
alat tangkap di masing-masing wilayah, maka kajian ini juga akan dikembangkan lebih lanjut dengan melihat kondisi masing-masing jenis alat tangkap.
Secara ringkas, permasalahan yang dihadapi dalam keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di perairan pantai Pasauran Serang dan Tegal
meliputi berbagai hal diantaranya adalah kondisi perairan yang padat tangkap sehingga sumberdaya ikan SDI semakin terbatas, upaya penangkapan terus
meningkat namun produktivitasnya semakin menurun sehingga pendapaan nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat
yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya
aturan dan belum efektifnya penegakan hukum. Di sisi lain partisipasi nelayan dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan masih relatif kecil. Kondisi
tersebut dapat mempengaruhi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. Berdasarkan analisis berbagai masalah di atas, setidaknya dapat
dirumuskan sejumlah pertanyaan penelitian tentang : 1 Gambaran umum perikanan tangkap skala kecil di lokasi penelitian,
2 Posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan alat
tangkap yang digunakan, 3 Posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta kelembagaan
dan hukum terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan lokasi penangkapan,
4 Upaya-upaya yang tepat dilakukan untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan skala kecil di kedua lokasi penelitian.
Rumusan permasalahan di atas memberi isyarat bahwa perikanan perlu dikelola secara bijaksana dan perlu menerapkan kebijakan yang menangani
masalah-masalah signifikan. Hasil dan pembahasan butir 1 gambaran umum perikanan tangkap disajikan dalam Bab 4, sedangkan butir 2 posisi relatif
dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta hukum dan kelembagaan terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil berdasarkan alat tangkap yang
10
digunakan dan butir 3 posisi relatif dimensi ekologi, teknologi, sosial, ekonomi serta kelembagaan dan hukum terhadap keberlanjutan perikanan skala kecil
berdasarkan lokasi penangkapan disajikan dalam Bab 5 sampai dengan Bab 9. Hasil dan pembahasan tentang upaya untuk mempertahankan keberlanjutan
perikanan tangkap skala kecil disajikan dalam Bab 10. Hasil analisis keberlanjutan perikanan tangkap ini diharapkan dapat
dijadikan salah satu acuan bagi pengelolaan perikanan nasional dan kebijakan lokal agar keberlanjutan perikanan dapat dipertahankan.
1.3 Hipotesis