Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Kabupaten Subang, Jawa Barat: Studi Kasus di Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan kini telah dipandang sangat penting bagi sebagian besar masyarakat seiring dengan perkembangan peradaban yang juga melahirkan banyaknya penyakit baru. Menurut Wakidi (2003), perwujudan perhatian yang besar terhadap kesehatan dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang berperilaku sehat, mulai dari lingkungan pemukiman dan cara hidup yang bersih dan sehat serta makanan yang cukup dengan nilai gizi yang tinggi. Selain itu, masyarakat pun telah mengetahui apa yang harus dilakukannya ketika sakit dan agar sakitnya cepat sembuh. Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang terakhir tersebut, maka kebutuhan terhadap sarana kesehatan termasuk obat pun harus cukup, baik jenis dan jumlahnya, aman penggunaannya dan mempunyai mutu yang memenuhi persyaratan serta tersebar merata hingga dapat terjangkau oleh masyarakat luas. Namun, tidak semua kalangan masyarakat mendapatkan semua sarana kesehatan yang disediakan pemerintah maupun pihak swasta, termasuk obat. Keterbatasan sejumlah masyarakat dalam mendapatkan sarana kesehatan berkaitan erat dengan keterbatasan terhadap akses, mengingat banyaknya masyarakat yang hidup di perdesaan di wilayah pelosok Indonesia. Selain itu, semua sarana kesehatan yang bermutu membutuhkan biaya yang cukup besar yang tidak semua masyarakat mampu membelinya.

Sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup di pelosok, hidup berkelompok membentuk suku-suku tertentu dan masih memegang erat pengetahuan atau kearifan lokal suku mereka termasuk cara pandang terhadap sakit, penyebabnya dan cara mengobatinya. Cara mengobati sakit sebagian besar dilakukan menggunakan tumbuhan yang berada di sekitar lingkungan mereka. Tak hanya sebagai obat, tumbuhan pun menjadi bagian dari semua aspek kehidupan mereka, mulai dari makanan, upacara adat dan sebagainya. Bila ditelaah lebih lanjut, tumbuhan berkhasiat obat tersebut berpeluang besar untuk dikembangkan, setidaknya dapat digunakan oleh masyarakat yang telah lama memanfaatkanannya dan lebih jauh lagi pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan


(2)

oleh masyarakat kelompok lain. Persoalan mengenai akses dan biaya yang besar terhadap kebutuhan obat dapat diatasi dengan obat yang berasal dari tumbuhan yang mudah dan murah. Mudah karena untuk dapat menggunakannya, masyarakat hanya tinggal mengambil dari pekarangan, kebun atau lingkungan sekitar mereka serta mengolahnya di rumah. Cara tersebut tentu lebih murah bila dibandingkan harus membawa si sakit ke rumah sakit.

Suku Sunda yang merupakan mayoritas suku yang tinggal di Jawa Barat, diantaranya di Kabupaten Subang. Pengetahuan mengenai tumbuhan obat yang dimiliki masyarakat Suku Sunda merupakan salah satu pengetahuan yang dapat dijadikan alternatif pengobatan disamping penggunaan obat kimia. Kabupaten Subang dibagi menjadi tiga zona berdasarkan topografinya, yaitu daerah pegunungan dan dataran tinggi (Subang bagian selatan), daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah) dan daerah dataran rendah (Subang bagian utara). Perbedaan kondisi tersebut akan menyebabkan perbedaan spesies tumbuhan untuk berbagai pemanfaatan. Salah satu pemanfaatan tumbuhan yang umum dilakukan oleh masyarakat adalah untuk pengobatan. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Kabupaten Subang belum banyak terungkap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Kabupaten Subang.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini, yaitu

1. Mengidentifikasi spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Subang;

2. Mengidentifikasi cara pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Kabupaten Subang;

3. Mengidentifikasi upaya pengembangan pengobatan dengan tumbuhan obat di Kabupaten Subang.

1.3 Manfaat

Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dan data dasar bagi upaya pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat di Kabupaten Subang. Upaya


(3)

pengembangan yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat tumbuhan obat dan dapat menjadi alternatif pengobatan bagi masyarakat.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Obat

Sandra dan Kemala (1994) mengartikan tumbuhan obat sebagai semua tumbuhan, baik yang sudah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan obat. Sedangkan Zuhud et al. (1994) menyatakan bahwa tumbuhan obat merupakan seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat tersebut dikelompokan menjadi :

1) Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui dan dipercaya memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisonal;

2) Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis;

3) Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan tradisional sulit ditelusuri.

Zein (2005) mengatakan bahwa tumbuhan obat memiliki kelemahan sebagai obat, yaitu

1) Sulitnya mengenali spesies tumbuhan dan berbedanya nama tumbuhan berdasarkan daerah tempat tumbuh;

2) Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat, terutama di kalangan profesi dokter;

3) Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka yang kurang menarik dan kurang meyakinkan dibandingkan dengan penampilan obat paten; 4) Kurangnya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi dari tumbuhan obat

ini di kalangan profesi dokter;

5) Belum adanya upaya pengenalan terhadap tumbuhan yang berkhasiat obat di institusi pendidikan yang sebaiknya dimulai dari pendidikan dasar.


(5)

2.2 Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat merupakan komponen penting dalam pengobatan tradisional yang telah digunakan sejak lama di Indonesia. Beberapa bukti yang menunjukan hal tersebut adalah ditemukannya beberapa naskah yang berisi pengetahuan mengenai pengobatan tradisional menggunakan tumbuhan obat,

antara lain naskah pada daun lontar “Husodo” (Jawa),“Usada” (Bali), “Lontarak Pabbuara” (Sulawesi Selatan) dan sebagainya (Aliadi & Roemantyo 1994).

Keuntungan obat tradisional yang langsung dirasakan oleh masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri di rumah, sehingga hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada tubuh selama hidupnya, baik ketika masih bayi, anak-anak maupun setelah dewasa. Penggunaan tumbuhan obat tetap besar di masyarakat karena manfaatnya secara langsung dapat dirasakan secara turun-temurun, walaupun mekanisme kerjanya secara ilmiah masih belum banyak diketahui. Selain manfaat yang dirasakan, penggunaan tumbuhan obat pun dilatarbelakangi sulitnya jangkauan fasilitas kesehatan, terutama di daerah-daerah pedesaan yang terpencil (Zein 2005).

Terdapat tiga kelompok masyarakat yang dapat dibedakan berdasarkan intensitas pemanfaatan tumbuhan obat menurut Aliandi dan Roemantyo (1994), yaitu

1. Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan tradisonal, umumnya tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan. Kelompok ini berusaha mencari sendiri pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit, sesuai dengan norma dan adat yang berlaku;

2. Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga, umumnya tinggal di pedesaan yang memiliki sarana dan prasarana terbatas. Pada daerah ini sudah tersedia puskesmas, namun tenaga medis, peralatan dan obat-obatan yang tersedia terbatas. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat pun umumnya masih rendah sehingga pengobatan tradisional merupakan alternatif dalam pemenuhan kesehatan


(6)

masyarakat. Pada kelompok kedua ini, pemerintah telah memasyarakatkan TOGA (Tanaman Obat Keluarga). Program ini sesuai untuk kelompok masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat dalam skala keluarga dan bertujuan untuk penanggulangan penyakit rakyat, perbaikan status gizi dan melestarikan sumberdaya alam hayati;

3. Kelompok ketiga adalah kelompok industriawan obat tradisional.

Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk kepentingan pengobatan tradisional. Pengetahuan yang dimiliki suku-suku tersebut mengenai pengobatan tradisional berbeda-beda, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan obat (Aliandi & Roemantyo 1994). Roosita et al. (2007) mengatakan bahwa masyarakat Sunda memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap obat tradisional. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan, yaitu masyarakat Sunda menggunakan obat tradisional untuk dua dari tiga kasus gangguan kesehatan, baik melalui penggunaan sendiri (60,9%) maupun dengan bantuan ahli pengobatan (6,5%).

Para ahli pengobatan yang menggunakan obat tradisional menurut Roosita

et al. (2007) menciptakan 96 terapi untuk mengobati berbagai gangguan kesehatan yang diklasifikasikan menjadi 23 kategori dengan menggunakan 117 spesies tumbuhan. Menurut hasil penelitian tersebut, terdapat 257 spesies tumbuhan yang digunakan untuk mengobati gangguan kesehatan. Penduduk Kampung Dukuh di Garut Jawa Barat misalnya mengenal 137 spesies tumbuhan obat dari 52 suku. Pemanfaatan terbesar tumbuhan obat di kampung ini adalah sebagai perawatan kesehatan ibu melahirkan, yaitu sebanyak 41 spesies tumbuhan (Santhyami & Sulistyawati 2011).

2.3 Pengembangan Tumbuhan Obat

Menurut Hamzari (2008), tumbuhan obat yang beranekaragam spesies, habitus dan khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan hutan. Karakteristik berbagai tumbuhan obat yang menghasilkan produk berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan dikembangkan bersama dalam hutan di daerah tertentu. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dengan berperannya tumbuhan obat dalam hutan


(7)

adalah pendapatan, kesejahteraan, konservasi berbagai sumberdaya, pendidikan nonformal, keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan nasional. Di Indonesia, pemanfaatan dan pemasaran bahan tumbuhan obat dapat digolongkan menjadi bentuk jamu gendong, jamu kemasan modern dan fitofarmaka (Sangat 2000).

Pengembangan obat bahan alam khas Indonesia yang dikenal sebagai

„jamu‟, dimana tanaman obat menjadi komponen utamanya memiliki arti strategis

dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan kemadirian Indonesia di bidang kesehatan. Hal tersebut mengingat saat ini Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap obat dan bahan baku obat konvensional impor yang nilainya mencapai US$ 160 juta per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2007).

Sangat (2000) mengatakan bahwa pengembangan jamu dimulai dari keberadaan usaha jamu gendong, yaitu jamu yang diramu dan dipasarkan dalam gendongan yang merupakan warisan jaman kuno yang sampai saat ini masih digemari masyarakat Indonesia, terutama orang Jawa. Jamu kemasan modern merupakan dampak terhadap perubahan citra jamu gendong dengan pemberian kemasan yang baik dalam bentuk serbuk, kapsul maupun pil. Jamu kemasan modern telah memunculkan adanya industri-industri jamu, baik dalam skala kecil maupun besar.

Industri jamu berkembang seiring dengan meningkatnya pemanfaatan tanaman obat. Adanya industri tersebut, menuntut keberadaan bahan baku secara kontinyu. Begitu pula dalam proses pembuatannya yang memerlukan tenaga ahli dan tenaga kerja. Peningkatan kualitas sumberdaya produsen, yaitu petani produsen tanaman obat harus mengikuti perkembangan IPTEK, seperti penggunaan bibit yang unggul. Cara pembudidayaan yang sesuai untuk tanaman obat adalah cara pembudidayaan secara organik tanpa menggunakan pestisida, mengingat banyaknya tanaman obat yang langsung dikonsumsi tanpa diolah terlebih dahulu (Hoesen 2000). Sedangkan dalam peningkatan perusahaan dan pabrik, peningkatan kualitas jamu secara tidak langsung ditunjukan dengan adanya ijin resmi dari pemerintah terhadap produk jamu yang dibuat. Contoh perusahaan jamu skala besar yang produknya telah dikenal di dalam maupun di


(8)

luar negeri adalah Sido Muncul, Mustika Ratu, Sari Ayu, Air Mancur dan Nyonya Meneer (Sangat 2000).

Fitofarmaka mengandung komponen aktif tertentu yang berasal dari tumbuhan obat, mempunyai khasiat penyembuhan penyakit lebih khusus dan dikemas seperti obat modern. Jika berhasil dikembangkan, peluang penggunaannya selain dapat dijual secara bebas juga dapat diperoleh melalui resep dokter. Hal tersebut menyebabkan fitofarmaka dapat bersaing dengan obat-obatan modern. Hingga saat ini, fitofarmaka belum banyak diproduksi. Industri farmasi yang sudah memproduksi fitofarmaka, yaitu Kimia Farma dan Endo Farma (Sangat 2000).

Tukiman (2004) mengatakan bahwa upaya pengobatan tradisional dengan tumbuhan obat merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan penerapan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan. Dalam lingkup pembangunan kesehatan keluarga, upaya pengobatan tradisonal dengan pemanfaatan tumbuhan obat dapat diwujudkan melalui apotik hidup atau TOGA. TOGA adalah singkatan dari tanaman obat keluarga, yaitu berbagai spesies tumbuhan yang dibudidayakan dengan memanfaatkan lahan di halaman atau sekitar tempat tinggal dan merupakan persediaan obat bagi keluarga atau tetangga sebelum mendapat pengobatan dokter atau puskesmas. Pengembangan TOGA atau apotek hidup ditujukan sebagai alternatif penggunaan maupun pendamping obat kimia sintetik (Hoesen 2000).

Spesies tumbuhan obat yang ditanam di TOGA atau apotek biasanya merupakan tumbuhan yang relatif mudah tumbuh tanpa perawatan intensif dan biasanya digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit ringan yang sering diderita anggota keluarga. Hoesen (2000) mengatakan bahwa Zingiberaceae merupakan famili tumbuhan yang biasanya paling umum dan banyak ditanam pada TOGA. Selain itu, sering juga dijumpai tumbuhan dari famili Euphorbiaceae, Acanthaceae, Apocynaceae dan Lamiaceae. Tumbuhan-tumbuhan tersebut biasanya dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti batuk, sariawan, sakit gigi, mencret, demam, pegal linu, sakit perut, cacingan, penyakit kulit dan mimisan. Namun, tumbuhan TOGA pun dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kronis, seperti ginjal, diabetes, asma, TBC, penyakit hati,


(9)

tekanan darah tinggi dan tekanan darah rendah. Selain untuk pengobatan, tumbuhan TOGA ada yang berfungsi ganda sebagai sayuran, bumbu, tanaman hias/pelindung rumah dan ada juga yang digunakan untuk menambah penghasilan keluarga.


(10)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Subang, yaitu Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan. Pada masing-masing kecamatan terdapat tiga desa yang menjadi lokasi pengambilan data. Desa-desa yang menjadi lokasi penelitian pada setiap kecamatan disajikan pada Tabel 1. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni hingga Juli 2011.

Tabel 1 Kecamatan dan desa-desa lokasi penelitian.

No Kecamatan lokasi penelitian Desa lokasi penelitian

1 Kecamatan Jalancagak

1. Desa Jalancagak 2. Desa Bunihayu 3. Desa Tambakmekar

2 Kecamatan Dawuan

1. Desa Manyeti 2. Desa Rawalele 3. Desa Sukasari

3 Kecamatan Tambakdahan

1. Desa Tambakdahan 2. Desa Rancaudik 3. Desa Kertajaya

3.2 Objek dan Alat

Objek penelitian adalah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat dari sembilan desa di tiga kecamatan di Kabupaten Subang dengan instrumen penelitian berupa panduan wawancara. Alat-alat yang digunakan, yaitu kamera dan alat tulis.

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah data-data pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan, Kabupaten Subang dan informasi mengenai program pengembangan tumbuhan obat di Kabupaten Subang. Data sekunder yang


(11)

dikumpulkan terdiri dari data kondisi umum lokasi penelitian, demografi masyarakat desa dan data kesehatan masyarakat dari puskesmas. Jenis dan teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini secara rinci disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data No Jenis

Data Data dan Informasi yang Dikumpulkan

Metode Pengumpulan

Data

1 Primer 1. Pemanfaatan tumbuhan obat:

Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan yang meliputi:

a. Nama lokal b. Nama ilmiah c. Famili d. Habitus e. Kegunaan

f. Bagian tumbuhan yang digunakan g. Sumber/asal pengambilan tumbuhan h. Cara penggunaan tumbuhan

i. Cara pengolahan tumbuhan

Wawancara dengan masyarakat, studi literatur dan pengamatan langsung

2.Potensi tumbuhan obat di sekitar tempat tinggal/lingkungan masyarakat Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan: spesies yang ditanam dan ditemukan di sekitar tempat tinggal/lingkungan masyarakat

Pengamatan langsung/observasi , wawancara dengan masyarakat 3. Upaya pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat

oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan: Program/kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, lembaga kesehatan masyarakat, seperti puskesmas, posyandu maupun lembaga sosial masyarakat, seperti PKK dan lain-lain

Wawancara dengan masyarakat dan lembaga terkait

2 Sekunder 1. Kondisi umum lokasi penelitian 2. Data demografi masyarakat desa 3. Data kesehatan masyarakat desa

Studi literatur

3.3.2 Tahapan penelitian

Tahapan penelitian dan aspek yang dikaji dalam kajian pemanfaatan tumbuhan obat di Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan

Tambakdahan dilakukan dalam empat tahapan utama, yaitu Tahap 1 : Kajian pustaka terhadap beberapa literatur berupa laporan dan

dokumen lainnya yang terdapat di kantor setiap desa yang menjadi lokasi penelitian di Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan


(12)

Kecamatan Tambakdahan serta puskesmas pada masing-masing kecamatan tersebut.

Tahap 2 : Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat potensi tumbuhan obat di sekitar tempat tinggal/lingkungan masyarakat dengan melihat spesies tumbuhan obat yang ditanam dan ditemukan di sekitar tempat tinggal/lingkungan masyarakat tersebut. Selain itu, pengamatan langsung pun dilakukan untuk melihat kondisi masyarakat di lokasi penelitian secara umum melalui pengamatan secara visual dan untuk mengetahui masyarakat yang akan menjadi responden dan lokasi tempat tinggalnya sehingga memudahkan dalam pengumpulan data. Tahap 3 : Pengumpulan data pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di

Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan Kabupaten Subang dengan melakukan wawancara secara mendalam terhadap sejumlah responden di desa-desa yang menjadi lokasi penelitian di tiga kecamatan tersebut.

Tahap 4 : Pengolahan dan analisis data terhadap semua data dan informasi yang diperoleh dari tahap 1 hingga tahap 3.

3.3.3 Teknik pengambilan data

Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling atau teknik pemilihan responden dengan kriteria atau pertimbangan tertentu. Jumlah responden untuk setiap kecamatan ditetapkan sebanyak 90 orang atau sebanyak 30 orang pada setiap desa, sehingga jumlah keseluruhan responden adalah 270 orang. Terdapat dua kriteria responden berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan untuk keperluan pengobatan, yaitu

1. Responden merupakan orang yang dianggap paling mengetahui dan memanfaatkan tumbuhan obat di masyarakat. Jenis responden ini biasanya memanfaatkan tumbuhan obat untuk membantu pengobatan masyarakat lainnya, yaitu paraji (dukun beranak), dukun atau pengobat desa, tukang urut dan lain-lain.

2. Responden merupakan masyarakat lain selain responden sebelumnya yang juga memanfaatkan tumbuhan obat. Jenis responden ini biasanya


(13)

memanfaatkan tumbuhan obat hanya terbatas untuk keperluan pengobatan sendiri dan keluarga.

Metode pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara secara mendalam (depth interview) dan pengamatan atau observasi. Wawancara secara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang berisi daftar pertanyaan mengenai spesies-spesies tumbuhan yang digunakan sebagai obat, bagian-bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat, cara penggunaan dan pengolahan, waktu penggunaan, sumber informasi penggunaan/sumber pengetahuan, alasan penggunaan dan tempat tumbuh tumbuhan tersebut.

Pengamatan atau observasi dilakukan dengan berjalan tanpa menggunakan batasan plot dan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan bersama responden atau guide. Pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui spesies-spesies tumbuhan yang ditanam dan tumbuh di sekitar tempat tinggal atau lingkungan masyarakat. Untuk mendapatkan nama ilmiah dilakukan pengambilan contoh tumbuhan (spesimen) untuk dibuat herbarium dan selanjutnya diidentifikasi nama ilmiahnya.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi data spesies tumbuhan obat dan pemanfaatan tumbuhan obat. Data pemanfaatan tumbuhan obat meliputi bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat, kelompok penyakit/kegunaan tumbuhan obat dan cara pemanfaatan tumbuhan obat tersebut oleh masyarakat.

3.4.1 Klasifikasi kelompok penyakit/penggunaan dan macam penyakit

Penyakit-penyakit yang merupakan kegunaan tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat diklasifikasikan ke dalam kelompok penyakit/penggunaan berdasarkan sistem organ, organ yang diserang atau pun berdasarkan penggunaan/penyakit tersendiri, sebagaimana tersaji pada Tabel 3.


(14)

Tabel 3 Klasifikasi kelompok penyakit/penggunaan dan macam penyakit No Kelompok penyakit/penggunaan Khasiat/macam penyakit

1 Penyakit yang berhubungan dengan

sistem syaraf sakit kepala, ayan/epilepsi, pikun

2 Penyakit saluran pernafasan Batuk, sesak nafas, bronkhitis, asma, pendek nafas

3 Penyakit saluran pencernaan panas dalam, maag, perut kembung, diare, panas perut, sariawan, disentri, amandel, muntah darah 4 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati sakit ginjal, batu ginjal, liver/sakit kuning,

kencing manis

5 Penyakit saluran pembuangan ambeyen, melancarkan kencing, melancarkan BAB, BAB berdarah, BAB berlendir

6 Gangguan peredaran darah dan jantung darah tinggi, darah rendah, kurang darah, jantung, stroke

7 Penyakit dan perawatan kulit

koreng, bisul, jerawat, panu, gatal-gatal, menghaluskan kulit, cacar, luka, digigit serangga, noda hitam pada wajah

8 Penyakit dan perawatan rambut melebatkan rambut, menumbuhkan kumis, menyuburkan rambut, rambut tubuh gundul

9 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan melahirkan

jamu setelah melahirkan, agar mudah melahirkan, agar darah tidak anyir setelah melahirkan, mengeringkan luka dalam setelah melahirkan, memperbanyak ASI, agar anak lepas menyusui, singkayo/garis kehamilan, memulihkan stamina setelah melahirkan 10 Penyakit dan perawatan wanita keputihan, nyeri haid, radang rahim

11 Penyakit tulang, otot dan sendi patah tulang, retak tulang, pegal-pegal, reumatik, asam urat

12 Penyakit mata dan hidung sakit mata, belekan, trakhoma, mimisan 13 Penyakit gigi dan gusi sakit gigi

14 Tonikum

menambah nafsu makan, obat kuat, menyegarkan badan, menambah daya tahan tubuh, menghangatkan badan

15 Kanker dan tumor kanker rahim, kanker payudara, kista, anti kanker

16 Penyakit dan perawatan kaki sakit pada telapak kaki, kaki pecah-pecah 17 Perawatan setelah sakit mencegah penyakit tidak kambuh, perawatan

setelah operasi

18 Panas, demam dan influenza panas, demam, influenza, panas dingin, masuk angin

19 Perawatan tubuh melangsingkan badan, awet muda 20 Sakit akibat binatang dan

pencegahannya anti ular

21 Lain-lain lumpuh, terkena buluh bambu


(15)

3.4.2 Persen habitus

Persen habitus (perawakan) dihitung untuk melihat banyaknya habitus tertentu dari seluruh spesies tumbuhan obat yang diperoleh dari hasil penelitian dan dinyatakan dalam persen (persentase). Hasil perhitungan akan memperlihatkan jumlah habitus terbanyak dan jumlah habitus yang paling sedikit secara keseluruhan. Kelompok habitus yang digunakan, yaitu liana, pohon, perdu, semak, herba, bambu dan kaktus. Analisis persen habitus dilakukan melalui perhitungan dengan rumus :

Persen habitus tertentu = ∑ spesies habitus tertentu x 100% ∑ seluruh spesies

3.4.3 Persen bagian yang digunakan

Persen bagian yang digunakan dihitung untuk mengetahui persentase setiap bagian tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan tumbuhan. Bagian tumbuhan yang digunakan meliputi daun, batang, buah, bunga, biji, akar, batang, buah, bunga, biji, kulit batang, rimpang, umbi, getah, semua bagian dan bagian lainnya. Persen bagian yang digunakan dihitung menggunakan rumus berikut:

Persen bagian tertentu yang digunakan = ∑ bagian tertentu yang digunakan x 100% seluruh bagian yang digunakan dari seluruh spesies

3.4.4 Persen tipe habitat tumbuhan obat

Persen tipe habitat tumbuhan obat dihitung untuk mengetahui persentase tumbuhan obat yang berasal dari habitat tertentu yang dimanfaatkan masyarakat. Tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat berasal dari hutan, sawah, ladang, pekarangan, kebun dan lain-lain. Persen spesies tipe habitat tumbuhan obat dihitung menggunakan rumus berikut:

Persen tipe habitat tumbuhan = ∑ spesies dari tipe habitat tertentu x 100% ∑ seluruh spesies dari seluruh tipe habitat

3.4.5 Persen frekuensi pemanfaatan spesies tumbuhan obat

Persen frekuensi pemanfaatan spesies tumbuhan obat dihitung untuk mengetahui frekuensi atau banyaknya spesies tumbuhan obat tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat dibandingkan dengan spesies tumbuhan obat


(16)

lainnya. Persen frekuensi pemanfaatan suatu spesies tumbuhan obat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Persen pemanfaatan spesies tumbuhan obat tertentu

= ∑ responden yang memanfaatkan tumbuhan obat tertentu x 100%


(17)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kabupaten Subang merupakan salah satu kabupaten di kawasan utara provinsi Jawa Barat terletak diantara 107º 31' sampai dengan 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' sampai dengan 6º 49' Lintang Selatan. Secara administratif, Kabupaten Subang terbagi atas 253 desa dan kelurahan yang pada awalnya tergabung dalam 22 kecamatan, tetapi berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pembentukan Wilayah Kerja Camat, jumlah kecamatan di Kabupaten Subang bertambah menjadi 30 kecamatan. Batas-batas wilayah administratif Kabupaten Subang, yaitu sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang, sebelah timur dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Indramayu dan sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Kabupaten Subang memiliki luas 205.176,95 hektar yang dibagi ke dalam tiga zona, yaitu daerah pegunungan dan dataran tinggi (Subang bagian selatan), daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah) dan daerah dataran rendah (Subang bagian utara). Daerah pegunungan dan dataran tinggi (Subang bagian selatan) memiliki luas 41.035,09 hektar (20%), daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah) dengan luas 71.502,16 hektar (34,85%) dan daerah dataran rendah (Subang bagian utara) memiliki luas 92.639 hektar (45,15%) (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.2 Iklim

Secara umum wilayah Kabupaten Subang termasuk beriklim tropis. Curah hujan rata-rata kabupaten Subang adalah 2.352 mm per tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 100 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang dengan adanya lahan yang subur dan banyaknya aliran sungai menjadikan sebagian besar wilayah kabupaten Subang digunakan untuk pertanian (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).


(18)

Keterangan : = kecamatan-kecamatan yang menjadi lokasi penelitian

Gambar 1 Denah Kabupaten Subang dan kecamatan-kecamatan lokasi penelitian. 4.3 Topografi

Berdasarkan topografinya, wilayah Kabupaten Subang dibagi ke dalam tiga zona, yaitu

1. Daerah pegunungan (Subang bagian selatan)

Daerah ini memiliki ketinggian antara 500-1500 m dpl yang meliputi 20% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Kecamatan-kecamatan yang termasuk ke dalam daerah pegunungan adalah Kecamatan Jalancagak, Ciater, Kasomalang, Sagalaherang, Serangpanjang dan Tanjungsiang.

2. Daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah)

Daerah ini memiliki ketinggian antara 50-500 m dpl yang meliputi 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Zona ini meliputi Kecamatan Cijambe, Subang, Cibogo, Kalijati, Dawuan, Cipendeuy, sebagian besar Kecamatan Purwadadi, Cikaum dan Pagaden Barat.

Kabupaten Karawang

Kabupaten Purwakarta

Kabupaten Indramayu

Kabupaten Sumedang

LAUT JAWA

Kecamatan Tambakdahan

Kecamatan Dawuan

Kecamatan Jalancagak Kabupaten Subang


(19)

3. Daerah dataran rendah (Subang bagian utara)

Daerah ini memiliki ketinggian antara 0-50 m dpl yang meliputi 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Zona ini meliputi kecamatan Pagaden, Cipunagara, Compreng, Ciasem, Pusakanagara, Pusakajaya, Pamanukan, Sukasari, Legonkulon. Blanakan, Patokbeusi, Tambakdahan dan sebagian Pagaden Barat (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.4 Potensi

Potensi Kabupaten Subang meliputi bidang pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan perikanan dan peternakan), pertambangan dan energi serta industri. Pada bidang pertanian, Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang sekaligus merupakan penyumbang/kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Selain tumbuhan pangan, Kabupaten Subang pun memiliki potensi besar pada sektor pertanian lainnya berupa palawija dan sayur-sayuran serta buah-buahan. Kabupaten Subang dikenal sebagai penghasil nanas si madu, rambutan dan mangga.

Kabupaten Subang menjadi daerah perkebunan sejak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan hingga kini masih dijalankan, meliputi perkebunan karet, teh dan tebu. Kabupaten Subang memiliki areal hutan seluas 20.703,97 hektar pada tahun 2008 yang terdiri dari hutan produksi seluas 19.634,22 hektar dan hutan lindung seluas 1.069,75 hektar.

Potensi perikanan Kabupaten Subang meliputi perikanan darat dan perikanan laut. Kabupaten Subang merupakan sentra produksi ikan air tawar dengan komoditi unggulan ikan mas dan nila. Perikanan laut di Kabupaten Subang terdiri dari budidaya ikan laut dan ikan tangkapan (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.5 Demografi

Penduduk Kabupaten Subang berjumlah 1.470.324 pada tahun 2009, dengan komposisi 725.561 orang laki-laki dan 744.763 orang perempuan. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 717 jiwa per km2 . Kecamatan Subang merupakan


(20)

daerah dengan tingkat kepadatan tertinggi, yaitu 2.077 jiwa per km2, sedangkan Kecamatan Legonkulon merupakan daerah yang paling rendah tingkat kepadatannya, yaitu 318 per km2 (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.6 Kecamatan Jalancagak

Kecamatan Jalancagak termasuk daerah pegunungan dan dataran tinggi (Subang bagian selatan) yang memiliki topografi pegunungan dengan ketinggian 700 m dpl dengan luas 416.891 hektar. Batas wilayah kecamatan ini, yaitu sebelah utara Kecamatan Cijambe, sebelah selatan Kecamatan Ciater, sebelah timur Kecamatan Kasomalang dan sebelah barat Kecamatan Sagalaherang. Kecamatan Jalancagak terdiri dari tujuh kelurahan/desa, yaitu Bunihayu, Tambakmekar, Kumpay, Jalancagak, Tambakan, Sarireja dan Curugrendeng (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.6.1 Desa Jalancagak

Desa Jalancagak memiliki luas wilayah sebesar 638.421 hektar. Desa tersebut berjarak 0,5 km dari ibu kota kecamatan dan 15 km dari ibu kota kabupaten. Penduduk Desa Jalancagak berjumlah 8164 orang dengan rincian 4156 orang laki-laki dan 4008 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Jalancagak sebesar 44 orang/km. Sebagian besar penduduk Desa Jalancagak memiliki mata pencaharian sebagai petani. Etnis Sunda merupakan etnis yang banyak tinggal di Desa Jalancagak dibandingkan etnis lainnya

Desa Jalancagak memiliki curah hujan sebesar 415 mm/tahun dengan jumlah bulan hujan sebanyak empat bulan. Desa tersebut terletak pada ketinggian 800 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 28,33°C. Tingkat kemiringan lahan sebesar 25° dengan bentang wilayah desa berbukit-bukit seluas 27.336 hektar. Dalam bidang pertanian, tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan tanaman apotik hidup merupakan komoditas yang dimiliki Desa Jalancagak. Komoditas hasil hutan Desa Jalancagak berupa kayu, bambu, kayu albazia, sarang burung dan gula enau. Hutan di Desa Jalancagak merupakan hutan lindung seluas 2300 hektar. Dalam bidang peternakan, ternak ayam broiler dan domba merupakan dua komoditas terbesar (Pendataan Profil Desa Jalancagak 2010).


(21)

4.6.2 Desa Bunihayu

Desa Bunihayu memiliki luas 960.355 hektar. Desa Bunihayu berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 15 km dari ibukota kabupaten. Penduduk Desa Bunihayu berjumlah 5332 orang dengan rincian 2691 orang laki-laki dan 2641 orang perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Bunihayu bermata pencaharian sebagai petani. Desa Bunihayu memiliki curah hujan 2346,6 mm/tahun. Desa tersebut berada pada ketinggian 550 mdpl dan memiliki suhu rata-rata harian 24,27°C.

Dalam bidang pertanian, komoditas Desa Bunihayu berasal dari tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman apotik hidup dan perkebunan. Hutan di desa tersebut merupakan hutan milik Perhutani seluas 60 hektar dengan hasil hutan berupa arang dan getah pinus. Saat ini sebanyak 20 hektar dari hutan tersebut dalam kondisi rusak karena dampak berubahnya fungsi hutan (Pendataan Profil Desa Bunihayu 2010).

4.6.3 Desa Tambakmekar

Desa Tambakmekar memiliki luas 331,39 hektar. Jumlah penduduk Desa Tambakmekar pada tahun 2010 sebanyak 5248 orang dengan rincian 2657 orang laki-laki dan 2591 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Tambakmekar, yaitu 750 orang/km. Sebagian besar penduduk Desa Tambakmekar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Mayoritas penduduk Desa Tambekmekar berasal dari etnis Sunda.

Desa Tambakmekar memiliki curah hujan 1177 mm/tahun dan suhu rata-rata harian 22 – 24°C. Komoditas Desa Tambakmekar dalam bidang pertanian berasal dari tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan tanaman apotik hidup. Hutan di Desa Tambakmekar merupakan milik negara dengan luas 9,60 hektar. Selain itu juga terdapat hutan produksi seluas 88 hektar dan hutan lindung seluas 5,60 hektar. Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat, yaitu kayu, bambu dan cemara (Pendataan Profil Desa Bunihayu 2010).


(22)

4.7Kecamatan Dawuan

Kecamatan Dawuan termasuk dataran rendah dengan ketinggian 37,17 - 700 m dpl dengan luas 7.032,72 hektar. Batas wilayah kecamatan ini, yaitu sebelah utara Kecamatan Pagaden Barat, sebelah selatan Kecamatan Sagalaherang, sebalah timur Kecamatan Subang dan sebelah barat Kecamatan Kalijati. Kecamatan Dawuan memiliki 10 kelurahan/desa, yaitu Sukasari, Cisampih, Dawuan Kaler, Dawuan Kidul, Jambelaer, Situsari, Rawalele, Manyeti, Batusari dan Margasari (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.7.1 Desa Manyeti

Desa Manyeti memiliki luas 662 hektar. Desa Manyeti terletak pada ketinggian 220 mdpl dengan suhu rata-rata harian 32°C. Desa Manyeti berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km dari ibukota kabupaten. Jumlah penduduk Desa Manyeti pada tahun 2007 sebanyak 4396 orang yang terdiri dari 2150 orang perempuan dan 2246 orang laki-laki. Kepadatan penduduk Desa Manyeti sebesar 55,80 jiwa per km. Penduduk Desa manyeti mayoritas merupakan petani. Penduduk Desa Manyeti mayoritas merupakan etnis Sunda. Pertanian tanaman pangan, tanaman buah-buahan dan peternakan meruapakan komoditas Desa Manyeti (Pendataan Profil Desa Manyeti 2007).

4.7.2 Desa Rawalele

Desa Rawalele memiliki luas 63,9 hektar. Desa Rawalele terletak pada ketinggian 200 mdpl. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km ke ibukota kabupaten. Penduduk Desa Rawalele berjumlah 4300 orang yang terdiri dari 2135 orang laki-laki dan 2165 orang perempuan. Kepadatan penduduk desa tersebut adalah 2,5 jiwa per km. Penduduk Desa Rawalele sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani.

Curah hujan Desa Rawalele adalah 220 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian sebesar 28 – 32°C. Rambutan merupakan komoditas pertanian tanaman buah-buahan Desa Rawalele, sedangkan karet merupakan komoditas perkebunannya. Penduduk Desa Rawalele beternak ayam kampung, domba, sapi dan kelinci (Pendataan Profil Desa Rawalele 2009).


(23)

4.7.3 Desa Sukasari

Desa Sukasari memiliki luas 250,5 hektar. Desa Sukasari terletak pada ketinggian 200 mdpl. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 7 km dari ibukota kabupaten. Penduduk Desa Sukasari berjumlah 3737 orang yang terdiri dari 1681 orang laki-laki dan 2065 orang perempuan. Kepadatan penduduk Desa Sukasari adalah 5 jiwa per km. Petani merupakan mata pencaharian penduduk Desa Sukasari terbesar. Penduduk Desa Sukasari berasal dari etnis Sunda, Jawa dan Minang/Padang dengan etnis Sunda sebagai mayoritas etnis penduduk Desa Sukasari

Curah hujan Desa Sukasari adalah 200 mm/tahun dan suhu rata-rata harian 30°C. Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan di Desa Sukasari. Penduduk Desa Sukasari beternak ayam kampung, ayam broiler, domba, sapi, bebek dan kelinci serta membudidayakan ikan mujair dan lele (Pendataan Profil Desa Sukasari 2009).

4.8Kecamatan Tambakdahan

Kecamatan Tambakdahan merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Binong berdasarkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2007 tentang Pemekaran dan Pembentukan Wilayah Kecamatan di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Subang. Secara resmi, Kecamatan Tamabakdahan berdiri sejak tanggal 12 Mei 2008. Kecamatan Tambakdahan termasuk dataran rendah dengan ketinggian 5 – 10 m dpl. Kecamatan ini memiliki luas 5.568,391 hektar dan terdiri dari sembilan desa yang disebut Sembilan Barisan Desa Agraris (SEMBADA). Desa-desa tersebut, yaitu Desa Tambakdahan, Desa Bojongkeding, Desa Bojonegara, Desa Kertajaya, Desa Rancaudik, Desa Mariuk, Desa Gardumukti, Desa Wanajaya dan Desa Tanjungrasa (Pemerintah Kabupaten Subang 2010).

4.8.1 Desa Tambakdahan

Desa Tambakdahan memili luas 656.117 hektar. Desa tersebut berjarak 2 km dari ibukota kecamatan dan 30 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Tambakdahan berjumlah 7400 orang yang terdiri dari 3690 orang laki-laki dan 3710 orang perempuan. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian


(24)

sebagai buruh tani. Penduduk Desa Tambakhan terdiri dari etnis Sunda, Jawa, Madura, Batak, Minang/Padang dan Makasar/Bugis

Desa Tambakdahan berada pada ketinggian 15 mdpl dengan topografi bentangan wilayah desa dataran rendah seluruhnya, yaitu seluas 656.117 hektar. Curah hujan Desa tambakmekar sebesar 139 mm/tahun dengan suhu rata-rata harian sebesar 26 °C. Komoditas pertanian tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman apotik hidup, perkebunan dan peternakan merupakan komoditas Desa Tambakdahan (Pendataan Profil Penduduk Desa Tambakdahan 2010).

4.8.2 Desa Rancaudik

Desa Rancaudik memiliki luas 618.784 hektar. Desa tersebut berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 32 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Rancaudik berjumlah 4740 orang yang terdiri dari 2281 orang laki-laki dan 2459 orang perempuan. Kepadatan penduduknya sebesar 130 jiwa per km. Petani merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Rancaudik. Penduduk Desa Rancaudik mayoritas berasal dari etnis Sunda.

Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan dan manggis merupakan komoditas pertanian tanaman buah-buahan Desa Rancaudik. Penduduk Desa Rancaudik beternak ayam kampung, bebek, domba dan angsa (Pendataan Profil Desa Rancaudik 2010).

4.8.3 Desa Kertajaya

Desa Kertajaya memiliki luas 574.741,156 hektar. Desa Kertajaya berjarak 3 km dari ibukota kecamatan dan 32 km dari ibukota kebupaten. Penduduk Desa Kertajaya berjumlah 3778 orang yang terdiri dari 1826 orang laki-laki dan 1952 orang perempuan. Penduduk Desa Kertajaya sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh tani. Etnis Sunda merupakan etnis terbanyak penduduk Desa Kertajaya. Desa Kertajaya terletak pada ketinggian 10 mdpl. Curah hujan di desa tersebut adalah 200 mm/tahun dengan jumlah bulan hujan sebanyak empat bulan. Padi merupakan komoditas pertanian tanaman pangan dan kelapa merupakan komoditas perkebunan Desa Kertajaya. Penduduk beternak ayam kampung, ayam broiler, domba, angsa dan kelinci (Pendataan Profil Desa Kertajaya 2010).


(25)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Jumlah responden pada setiap desa adalah 30 orang dan 90 orang untuk setiap kecamatan, sehingga jumlah responden untuk tingkat kabupaten sebanyak 270 orang. Perbandingan jumlah responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada setiap desa tidak merata. Jumlah responden laki-laki pada setiap kecamatan lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan. Kisaran umur responden terbanyak, yaitu 41 – 50 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat banyak diketahui dan dilakukan oleh masyarakat berumur 41 – 50 tahun, namun hal tersebut tidak menunjukan bahwa jumlah spesies dan ramuan tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan masyarakat dengan kisaran umur tersebut lebih banyak dan beragam dibandingkan kisaran umur masyarakat lainnya yang diwawancarai.

Responden termuda berumur 20 tahun yang diwawancarai di Desa Jalancagak, Kecamatan Jalancagak, sedangkan responden tertua berumur 96 tahun yang tinggal di Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan. Hal tersebut menunjukan bahwa tumbuhan obat ternyata dimanfaatkan oleh masyarakat dengan berbagai umur, dari yang muda hingga tua. Meskipun tentu saja intensitas pemanfaatan dan banyaknya pengetahuan pada setiap umur tersebut berbeda. Pada umumnya, responden usia muda memiliki pengetahuan lebih terbatas dibandingkan responden usia tua yang juga mempengaruhi tingkat pemanfaatan tumbuhan obatnya.

Responden yang merupakan ibu rumah tangga merupakan masyarakat yang lebih banyak diwawancarai dibandingkan masyarakat dengan mata pencaharian lainnya. Pada tingkat kabupaten, responden yang merupakan ibu rumah tangga berjumlah 150 orang. Responden tersebut mudah lebih mudah ditemui dan merupakan responden yang banyak memanfaatkan tumbuhan obat. Responden yang memanfaatkan tumbuhan obat tidak hanya untuk pengobatan sendiri, namun juga untuk membantu orang lain, seperti paraji (dukun beranak), tukang urut dan


(26)

dukun tidak selalu ditemukan pada setiap lokasi. Jumlah responden tersebut pada tingkat kabupaten sebanyak 14 orang.

Beberapa responden tidak bekerja karena alasan sakit dan lanjut usia. Responden yang sakit banyak memanfaatkan tumbuhan obat sebagai salah satu upaya penyembuhan sakitnya, terutama responden dengan riwayat sakit yang lama. Responden dengan riwayat sakit yang lama pada umumnya telah mencoba berbagai tumbuhan obat untuk pengobatan, beberapa diantaranya tidak manjur sehingga responden terus mencoba tumbuhan lain. Selain itu, terdapat juga beberapa spesies tumbuhan obat yang manjur, namun keinginan sembuh yang besar menyebabkan responden terus mencari spesies tumbuhan lain untuk mempercepat penyembuhan. Hal tersebut menyebabkan jumlah spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh responden yang sakit tersebut menjadi banyak. Responden yang sudah lanjut usia pun banyak memanfaatkan tumbuhan obat, meskipun penggalian pengetahuan spesies yang dimanfaatkan tersebut terkendala dengan ingatan responden yang mulai berkurang.

Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), yaitu sebanyak 156 orang. Hal tersebut disebabkan keterbatasan akses pada beberapa masyarakat menuju sekolah dan masih rendahnya tingkat ekonomi masyarakat. Data responden selengkapnya tersaji pada Lampiran 1.

5.2 Spesies Tumbuhan Obat

Dilihat dari intensitas pemanfaatan tumbuhan obat berdasarkan Aliandi dan Roemantyo (1994), masyarakat Kabupaten Subang termasuk pada kelompok masyarakat kedua. Kelompok masyarakat kedua menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga, umumnya tinggal di pedesaan yang sudah memiliki sarana dan prasarana kesehatan, namun terbatas. Sarana dan prasarana kesehatan pada lokasi penelitian berupa puskesmas di kecamatan dan posyandu, mantri dan bidan desa pada setiap desa. Kelompok tersebut biasanya memiliki kondisi ekonomi yang umumnya masih rendah, sehingga pengobatan tradisional merupakan alternatif dalam pemenuhan kesehatan.

Dari penelitian yang dilakukan di tiga kecamatan yang mewakili masing-masing daerah wilayah Kabupaten Subang, yaitu Kecamatan Jalancagak,


(27)

Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan, jumlah tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Subang berjumlah 228 spesies dari 66 famili. Masyarakat di Kecamatan Dawuan yang merupakan daerah berbukit dan dataran (Subang bagian tengah) memanfaatkan spesies tumbuhan obat yang lebih banyak dibandingkan masyarakat di zona lainnya. Masyarakat di kecamatan tersebut memanfaatkan 185 spesies tumbuhan obat yang berasal dari 58 famili. Spesies-spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut lebih beragam dibandingkan spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah lainnya. Masyarakat Kecamatan Tambakdahan yang termasuk daerah dataran rendah memiliki tingkat pemanfaatan tumbuhan obat terendah, yaitu sebanyak 101 spesies dari 43 famili. Meskipun jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan pada masing-masing kecamatan berbeda, spesies-spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Tambakdahan secara umum tidak terlalu berbeda.

Gambar 2 Jumlah spesies dan famili tumbuhan obat di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang.

5.2.1 Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan berdasarkan famili Spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae, Euphorbiaceae dan Fabaceae lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di semua kecamatan dibandingkan spesies dari famili lainnya. Sepuluh famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat pada tingkat kecamatan


(28)

disajikan pada Gambar 3, Gambar 5 dan Gambar 7. Jumlah spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae terbanyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan, yaitu sebanyak 14 spesies. Meskipun spesies famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan terbanyak di Kecamatan Dawuan, namun Famili Zingiberaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat yang banyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak dibandingkan masyarakat pada kecamatan lainnya, seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sepuluh famili terbanyak spesies tumbuhan obat yang dimanfaatakan oleh masyarakat Kecamatan Jalancagak.

Banyaknya pemanfaatan spesies-spesies tumbuhan dari famili Zingiberaceae di Kecamatan Jalancagak karena kecamatan tersebut merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki suhu lebih rendah dari daerah lainnya, sehingga spesies-spesies tumbuhan obat famili Zingiberaceae yang beberapa diantaranya memiliki sifat menghangatkan banyak dimanfaatkan. Beberapa spesies tumbuhan famili Zingiberaceae pun memiliki sifat dingin. Spesies-spesies tumbuhan obat dengan sifat tersebut banyak dimanfaatkan untuk mengobati kelompok penyakit demam, panas dan influenza. Beberapa spesies tumbuhan yang bermanfaat mengobati penyakit tersebut, yaitu combrang (Etlingera elatior) dan panglai (Zingiber cassumunar).


(29)

Selain sebagai obat, penggunaan spesies-spesies famili Zingiberaceae untuk keperluan lainnya, seperti sebagai bumbu masakan sulit dilepaskan oleh masyarakat. Kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga) dan lengkuas (Alpinia purpurata) merupakan spesies-spesies famili Zingiberaceae yang biasanya digunakan masyarakat sebagai bumbu masak. Pemanfaatan spesies-spesies tumbuhan tersebut sebagai obat pun umum ditemukan pada masyarakat di semua kecamatan lokasi penelitian.

(a) (b)

Gambar 4 Beberapa spesies tumbuhan obat famili Zingiberaceae: (a) combrang dan (b) panglai.

Euphorbiaceae menurut Mwine dan Damme (2011) merupakan famili tumbuhan obat yang penting. Anggota famili Euphorbiaceae banyak ditemukan dan terdistribusi hampir di setiap belahan dunia dan mudah beradaptasi pada berbagai jenis habitat, karena itu famili ini menghasilkan berbagai jenis varietas yang mampu bertahan hidup. Hal tersebut yang diperkirakan menyebabkan spesies-spesies tumbuhan obat famili Euphorbiaceae ditemukan dan dimanfaatkan di semua daerah di Kabupaten Subang. Diantara ketiga kecamatan lokasi penelitian, spesies-spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Euphorbiaceae lebih banyak digunakan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan, yaitu mencapai 15 spesies, lebih banyak dibandingkan spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan masyarakatnya.

Masyarakat Kecamatan Dawuan seringkali memanfaatkan spesies-spesies yang berasal dari famili Euphorbiaceae untuk mengobati penyakit kulit karena sebagian besar memiliki getah yang berkhasiat untuk mengobati kelompok penyakit dan perawatan kulit. Sebagai contoh, getah mara (Macaranga tanarius) digunakan untuk mengobati bisul, getah nanangkaan (Euphorbia hirta) digunakan


(30)

untuk mengobati koreng dan mengeringkan luka sunat dan getah ki rapet (Jatropha multifida) digunakan untuk mengobati luka.

Gambar 5 Sepuluh famili terbanyak spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Dawuan.

Mara merupakan pohon kini semakin sulit ditemukan di Kecamatan Dawuan. Di Kecamatan Jalancagak, mara dapat ditemukan di hutan atau di kebun-kebun yang berbatasan dengan hutan. Terdapat dua jenis mara, yaitu mara awewe

(mara perempuan) dan mara lalaki (mara lelaki). Mara yang biasa dimanfaatkan sebagi obat adalah jenis mara awewe. Nanangkaan merupakan tumbuhan yang hidup liar, biasanya menempel pada tembok atau di tanah. Sedangkan ki rapet atau disebut juga bethadine dan panasilin di beberapa lokasi lain, kini sudah dibudidayakan sebagai tanaman hias. Spesies tumbuhan ini memiliki bentuk daun yang unik dan bunga berwarna merah.


(31)

(a) (b)

Gambar 6 Spesies-spesies famili Euphorbiaceae yang dimanfaatkan masyarakat: (a) mara dan (b) ki rapet.

Fabaceae merupakan famili tumbuhan obat terbesar kedua yang terdiri dari lebih 490 spesies tumbuhan obat. Spesies-spesies dari famili tersebut mengandung zat kimia yang penting bagi pengobatan dan kini telah banyak digunakan dalam berbagai produk kesehatan (Gao et al. 2010). Spesies tumbuhan obat yang berasal dari famili Fabaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Tambakdahan, yaitu sebanyak delapan spesies.

Gambar 7 Sepuluh famili tumbuhan obat terbanyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Tambakdahan.

Beberapa spesies tumbuhan obat famili Fabaceae hanya ditemukan dimanfaatkan masyarakat di Kecamatan Tambakdahan, yaitu jayanti (Sesbania sesban) dan johar (Cassia siamea). Daun jayanti merupakan obat untuk perawatan


(32)

kesehatan ibu melahirkan, melancarkan kencing dan mengobati sakit pinggang. Sedangkan johar merupakan obat pegal-pegal dan sakit gigi. Selain itu, daun muda johar merupakan obat lumpuh akibat stroke dengan direbus bersama akar pepaya ranti (Carica papaya), daun jawer kotok (Coleus scutellaroides), akar jambe (Areca catechu), akar alang-alang (Imperata cylindrica) dan gula batu. Saga (Abrus precatorius) merupakan spesies tumbuhan obat famili Fabaceae yang dimanfaatkan di semua kecamatan. Saga telah lama dikenal dan dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sariawan, panas dalam dan batuk, bahkan spesies tumbuhan ini telah diolah dan diproduksi secara modern dalam skala besar untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut.

(a) (b)

Gambar 8 Spesies-spesies tumbuhan obat famili Fabaceae yang hanya ditemukan dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Tambakdahan, yaitu (a) jayanti dan (b) johar.

Piperaceae merupakan famili spesies tumbuhan obat yang banyak dimanfaatkan di Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan. Beberapa spesies yang dimanfaatkan, yaitu karuk (Piper sarmentosum), kemukus (Piper cubeba), surukan (Peperomia pellucida) dan berbagai spesies sirih. Terdapat empat spesies sirih yang dimanfaatkan masyarakat, yaitu sirih (Piper betle), sirih merah (Piper crotatum), sirih putih (Piper betle var) dan sirih hitam (Piper miniatum). Sirih merupakan sebutan yang umum diberikan masyarakat terhadap spesies sirih yang berwarna hijau. Keempat spesies sirih tersebut memiliki manfaat pengobatan yang hampir sama, namun menurut masyarakat tingkat keampuhan beberapa spesies tersebut dalam mengobati suatu penyakit berbeda.


(33)

Sebagai contoh, untuk mengobati batuk, sirih hitam dipercaya lebih ampuh dari pada sirih.

(a) (b) (c)

Gambar 9 Beberapa spesies sirih yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan: (a) sirih, (b) sirih merah dan (c) sirih hitam.

Masyarakat di ketiga kecamatan lokasi penelitian yang mayoritas merupakan Suku Sunda seperti masyarakat Suku Sunda lainnya juga menggemari lalapan. Solanaceae dan Asteraceae merupakan dua famili tumbuhan yang spesies tumbuhannya banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai lalapan dan juga dimanfaatkan sebagai obat. Spesies-spesies famili Solanaceae yang dimanfaatkan sebagai lalapan dan juga berkhasiat obat, yaitu leunca (Solanum nigrum), terong bulat (Solanum sp.), terong ungu (Solanum melongena) dan takokak (Solanum torvum). Keempat spesies tersebut dipercaya dan dimanfaatkan sebagai obat kuat. Sedangkan takokak, terong bulat dan leunca juga dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati penyakit jantung koroner.

Spesies-spesies yang berasal dari familli Asteraceae umumnya memiliki bau yang khas. Spesies-spesies famili tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat ketiga kecamatan lokasi penelitian, meskipun tidak semua spesiesnya dimanfaatkan di setiap kecamatan. Spesies famili Asteraceae yang umum dimanfaatkan di semua kecamatan, yaitu sembung (Blumea balsamifera) dan beluntas (Pluchea indica). Sambung nyawa (Gynura procumbens) yang oleh masyarakat salah satu desa di Kecamatan Dawuan disebut daun dewa, selain dimanfaatkan sebagai lalapan, juga merupakan obat reumatik dan pegal-pegal. Hal tersebut disebabkan karena sambung nyawa memiliki sifat hangat. Selain sambung nyawa, sintrong (Crassocephalum crepidioides) yang banyak tumbuh dan dimanfaatkan di


(34)

Kecamatan Jalancagak juga merupakan lalapan selain dimanfaatkan sebagai obat darah tinggi.

Spesies-spesies famili Musaceae banyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak, yaitu sebanyak lima spesies. Kelima spesies tersebut, yaitu pisang (Musa sp.), pisang gemor (Musa sp.), pisang muli (Musa sp.), pisang batu (Musa brachycarpa) dan pisang emas (Musa sp.). Pisang merupakan sebutan yang umum diberikan masyarakat untuk spesies pisang apapun yang dimanfaatkan selain keempat spesies pisang lainnya. Sebagian besar spesies pisang-pisang tersebut dimanfaatkan bagian batangnya, baik berupa getah maupun air yang terdapat dalam batang. Pisang batu yang oleh masyarakat juga disebut pisang mangala selain dimanfaatkan batangnya juga dimanfaatkan daun mudanya untuk mengobati kelumpuhan akibat stroke. Berbeda dengan keempat spesies pisang lainnya, pisang muli dimanfaatkan buah mudanya untuk mengobati muntaber.

(a) (b)

Gambar 10 Beberapa spesies famili Musaceae yang dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Jalancagak: (a) pisang gemor dan (b) pisang batu. Masyarakat Kecamatan Tambakdahan banyak memanfaatkan spesies-spesies yang berasal dari famili Acanthaceae. Spesies- spesies-spesies yang berasal dari famili tersebut, yaitu daun tuju (Graptopyllum sp.), kalingsir (Clinacanthus nutans), keji beling (Stachytarpheta mutabilis), handeuleum (Graptophyllum pictum) dan sambiloto (Andrographis paniculata). Daun tuju dan kalingsir merupakan obat sakit kepala yang membuat sakit pada mata. Daun tuju digunakan dengan cara diteteskan pada mata, sedangkan kalingsir dengan cara diminum. Di Kecamatan Dawuan, daun tuju yang dikenal sebagai tarebah dimanfaatkan untuk obat gatal-gatal. Sedangkan kalingsir di Kecamatan Jalancagak merupakan obat sakit pinggang.


(35)

Handeulem di desa-desa Kecamatan Tambakdahan merupakan spesies tumbuhan obat yang belum lama dikenal. Masyarakat di suatu desa di kecamatan tersebut yang memiliki suami dengan riwayat sakit ambeyen mendapatkan informasi mengenai spesies tumbuhan tersebut dari teman, sedangkan masyarakat di desa lainnya mengenal dan mengetahui manfaat spesies tumbuhan obat tersebut dari kepala desanya. Kepala desa tersebut menanam handeuleum di depan kantor desa dan menginformasikan manfaat tumbuhan tersebut. Maka sejak itu, banyak masyarakat yang datang untuk mengambil daunnya. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak dimanfaatkannya suatu spesies tumbuhan obat bukan hanya karena masyarakat mulai enggan menggunakan tumbuhan obat, namun juga karena belum adanya informasi mengenai tumbuhan obat tersebut dan manfaatnya.

(a) (b) (c)

Gambar 11 Beberapa spesies famili Acanthaceae yang dimanfaatkan masyarakat

Kecamatan Tambakdahan: (a) daun tuju, (b) kalingsir dan (c) handeuleum.

Pada tingkat kabupaten, famili Euphorbiaceae dan Fabaceae merupakan dua famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat dibandingkan famili lainnya. Spesies tumbuhan famili tersebut yang dimanfaatkan, yaitu sebanyak 16 spesies, lebih banyak satu spesies dibandingkan spesies famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan. Meskipun famili Zingiberaceae merupakan famili yang spesies tumbuhannya banyak dimanfaatkan hampir di semua kecamatan, namun spesies tumbuhan yang dimanfaatkannya hampir sama di setiap kecamatan. Sepuluh famili spesies tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Subang disajikan pada Gambar 12.


(36)

Gambar 12 Sepuluh famili tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Subang.

5.2.2 Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan berdasarkan habitus

Semak merupakan habitus tumbuhan obat terbanyak yang dimanfaatkan masyarakat di semua kecamatan lokasi penelitian. Selain semak, spesies tumbuhan berupa perdu, pohon dan herba merupakan habitus tumbuhan yang banyak dimanfaatkan di semua kecamatan. Hal tersebut berbeda dengan spesies tumbuhan berupa bambu, kaktus dan liana yang hanya dimanfaatkan di beberapa kecamatan. Persentase spesies tumbuhan berdasarkan habitusnya pada setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang disajikan pada Gambar 13.

Pemanfaatan spesies tumbuhan berupa bambu dan liana hanya ditemukan dimanfaatkan masyarakat di Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan. Spesies tumbuhan obat berupa bambu hanya terdapat di lokasi-lokasi yang masih memiliki vegetasi alami dan masih banyak ditemukan kebun-kebun, begitu juga dengan spesies tumbuhan berupa liana. Hal tersebut berbeda dengan kondisi lingkungan Kecamatan Tambakdahan yang sudah sulit ditemukan kebun-kebun, apalagi vegetasi alami berupa hutan. Sehingga masyarakat di Kecamatan


(37)

Tambakdahan lebih banyak memanfaatkan speises tumbuhan obat berupa semak, perdu, herba dan pohon yang mudah ditemukan di sekitar lingkungan mereka.

Gambar 13 Persentase spesies tumbuhan obat berdasarkan habitusnya di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang.

Spesies berhabitus semak mudah ditemukan di sekitar lingkungan masyarakat, baik yang sengaja ditanam atau pun yang tumbuh liar, begitu juga dengan spesies yang berupa perdu dan herba. Contoh spesies tumbuhan berupa semak yang dimanfaatkan sebagai obat, antara lain harendong bulu (Clidemia hirta), jarong (Stachytarpheta jamaicensis), jawer kotok (Coleus scutellaroides), pungpurutan (Urena lobata), sambiloto (Andrographis paniculata) dan cangcang kuda (Sida rhombifolia). Cangcang kuda merupakan kerabat sidaguri dari marga

Sida. Perbedaan kedua spesies tersebut terletak pada bentuk daunnya, cangcang kuda memiliki daun yang lebih bulat dan kecil dibandingkan sidaguri. Spesies tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan untuk mengobati pegal-pegal.


(38)

(a) (b) (c)

Gambar 14 Beberapa spesies tumbuhan obat yang berhabitus semak: (a) jarong, (b) pungpurutan dan (c) harendong bulu.

Spesies tumbuhan obat berupa perdu yang dimanfaatkan masyarakat, antara lain kelor (Moringa oleoifera), ki greges (Leonitis nepetaefolia), suji (Pleomele torvum), senggugu (Clerodendron serratum) dan mustajab (Abelmoschus manihot). Mustajab memiliki nama yang berbeda-beda di setiap desa. Di desa-desa di Kecamatan Tambakdahan, tumbuhan ini biasa disebut mustajab dan daun mujarab. Daun dedi, daun dodi, padodi, padedi, sampeu arab atau sampeu mekah merupakan sebutan bagi tumbuhan tersebut di desa-desa Kecamatan Jalancagak. Sedangkan di desa-desa di Kecamatan Dawuan, tumbuhan ini lebih dikenal dengan nama sasampeuan, sampeu arab, sampeu mekah, daun gedi, daun dedi, ki sedi bahkan ada yang menyebutnya daun Dokter Edi. Dokter Edi merupakan dokter spesialis anak di Kabupaten Subang. Dokter tersebut pernah menceritakan pada pasiennya kalau ia memiliki tumbuhan yang dapat menurunkan panas, yaitu mustajab.

(a) (b) (c)

Gambar 15 Beberapa spesies tumbuhan obat yang berhabitus perdu: (a) mustajab, (b) senggugu dan (c) ki greges.


(39)

Spesies tumbuhan obat yang merupakan herba yang dimanfaatkan masyarakat biasanya merupakan tumbuhan liar yang tumbuh di pekarangan, kebun atau pinggir jalan. Contoh spesies tumbuhan obat tersebut, antara lain katapayan (Argyreia mollis), kamandilan (Nasturtium indicum) dan surukan (Peperomia pellucida). Katapayan merupakan tumbuhan yang merambat di pohon-pohon di hutan. Salah seorang masyarakat Desa Bunihayu, Kecamatan Jalancagak membawanya dari hutan dan menanamnya di pekarangan rumah. Daun katapayan bermanfaat untuk mengobati sakit pinggang.

(a) (b)

Gambar 16 Spesies-spesies tumbuhan obat berhabitus herba: (a) katapayan dan (b) surukan.

Spesies tumbuhan obat berupa pohon banyak ditemukan dimanfaatkan di lokasi yang masih memiliki vegetasi alami, seperti hutan atau masih terdapat banyak kebun yang cukup luas yang ditumbuhi pohon-pohon. Spesies-spesies tumbuhan obat berupa pohon terbanyak dimanfaatkan masyarakat Kecamatan Dawuan. Beberapa spesies tumbuhan obat berupa pohon yang dimanfaatkan masyarakat kecamatan tersebut, yaitu mahoni (Swietenia macrophylla), mara (Macaranga tanarius), kanyere (Bridelia monoica), lame (Alstonia scholaris) dan duwet (Syzygium cumini).


(40)

(a) (b) (c)

Gambar 17 Spesies-spesies tumbuhan obat berupa pohon: (a) lame, (b) pule dan (c) kanyere.

Kayula me banyak dicari untuk membuat wayang golek, ukiran dan pahatan karena kualitas kayunya yang baik, tidak mudah retak dan pecah jika dibuat kerajinan-kerajinan tersebut. Hal tersebut yang diduga menyebabkan pohon lame kini mulai sulit ditemukan. Menurut masyarakat, dahulu pohon lame banyak ditemukan di kebun-kebun dan astana (pemakaman) yang memang biasanya banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Pule (Alstonia spectabilis) merupakan spesies tumbuhan obat berupa pohon yang masih merupakan kerabat lame dari famili Apocynaceae. Pule yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Rancaudik, Kecamatan Tambakdahan bukan merupakan pohon asli desa tersebut, namun dibawa oleh salah seorang masyarakat etnis Jawa yang telah lama tinggal di desa tersebut dari kampung halamannya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan mengenai tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat, dalam hal ini berupa pengaruh dan pengetahuan yang dibawa etnis lain.

Spesies-spesies tumbuhan berupa bambu hanya ditemukan dimanfaatkan di Kecamatan Jalancagak dan Kecamatan Dawuan. Pada umumnya, di kecamatan-kecamatan tersebut masih ditemukan tegakan bambu atau terdapat rumpun-rumpun bambu yang tumbuh di kebun-kebun masyarakat.Spesies tumbuhan yang berupa bambu yang dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu bambu (Bambusa sp.), bambu kuning (Bambusa vulgaris) dan bambu betung (Dendrocalamus asper).

Spesies tumbuhan yang berupa kaktus yang dimanfaatkan sebagai obat hanya ditemukan dimanfaatkan masyarakat Desa Rawalele, Kecamatan Dawuan yaitu buah naga (Hylocereus undatus). Buah naga dimanfaatkan masyarakat untuk


(41)

mengobati darah tinggi. Informasi mengenai manfaat buah naga tersebut diperoleh melalui kerabat (teman, saudara dan tetangga). Spesies tumbuhan berupa liana yang dimanfaatkan masyarakat, yaitu ki koneng (Arcangelisia flava) dan bratawali (Tinospora crispa).

5.2.3 Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan berdasarkan bagian yang digunakan

Spesies tumbuhan yang digunakan sebagai pengobatan memiliki khasiat obat pada satu, beberapa atau semua bagian tumbuhannya. Terkadang suatu bagian tumbuhan memiliki khasiat berbeda dengan bagian lainnya dalam satu spesies tumbuhan, bahkan suatu bagian tumbuhan dalam suatu spesies tumbuhan dapat bersifat racun sementara bagian tumbuhan lainnya merupakan obat. Perbedaan tersebut disebabkan berbedanya zat-zat yang dikandung pada bagian-bagian tumbuhan. Persentase spesies tumbuhan obat berdasarkan bagian-bagian yang digunakan di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Persentase spesies tumbuhan obat berdasarkan bagian yang digunakan di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang.


(42)

Pada Gambar 18 terlihat bahwa bagian daun merupakan bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan di setiap kecamatan dan pada tingkat Kabupaten Subang. Pada tingkat kabupaten, bagian daun merupakan bagian yang banyak digunakan dengan persentase 47% atau hampir setengahnya dari seluruh spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan, digunakan bagian daunnya. Menurut Hamzari (2008), bagian daun dari tumbuhan merupakan bagian yang paling mudah diperoleh, mudah diolah dan mudah diramu dibandingkan bagian lainnya serta merupakan bagian yang mengandung zat yang berkhasiat obat karena di bagian ini terjadi proses pembuatan makanan. Selain itu, bagian tumbuhan yang lain pun digunakan masyarakat untuk pengobatan, meskipun dengan persentase yang berbeda dan tidak di semua kecamatan terdapat masyarakat yang memanfaatkan bagian-bagian tumbuhan tersebut.

Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan daunnya sebagai obat, diantaranya buntiris (Kalanchoe pinnata), jarum tujuh bilah (Peresia sacharosa), hanjuang merah (Cordyline terminalis), durian (Durio zibethinus), kamandilan (Nasturtium indicum) dan kecubung gunung (Brugmansia suaveolens). Buntiris dikenal dan dimanfaatkan sebagai pereda panas, terutama untuk anak di setiap kecamatan. Jarum tujuh bilah hanya ditemukan di Kecamatan Jalancagak. Menurut masyarakat, spesies tumbuhan tersebut diperoleh oleh salah seorang warga Kecamatan Jalancagak dari Malaysia. Kecubung gunung hanya ditemukan di Kecamatan Jalancagak. Spesies tumbuhan tersebut merupakan spesies tumbuhan khas yang tumbuhan di daerah dataran tinggi, seperti Kecamatan Jalancagak.

(a) (b) (c)

Gambar 19 Spesies-spesies yang dimanfaatkan daunnya sebagai obat: (a) kecubung gunung, (b) buntiris dan (c) jarum tujuh bilah.


(43)

Selain daun, bagian batang merupakan bagian tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Dawuan. Bagian batang kurang mudah digunakan dibandingkan daun. Untuk mendapatkan bagian batang masyarakat harus memotong atau menebang tumbuhannya. Hal tersebut kurang praktis, terutama bila spesies tumbuhan tersebut berukuran besar atau panjang. Spesies-spesies tumbuhan yang dimanfaatkan batangnya, antara lain bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu kuning (Bambusa vulgaris), bratawali (Tinospora crispa), jarak jakarta (Gliricidia spepiuim), jambu batu (Psidium guajava.) dan talas sente (Alocasia macrorrhiza). Air batang bambu betung, jambu batu dan talas sente dapat mengobati batuk dengan cara dituak, yaitu dipotong batangnya hingga airnya keluar dan ditampung. Batang jarak jakarta merupakan obat sakit mata dan bratawali memiliki banyak khasiat, diantaranya mengobati pegal-pegal. Penggunaan talas sente dan jarak jakarta untuk pengobatan hanya ditemukan di Kecamatan Dawuan. Kedua spesies tumbuhan tersebut juga dapat digunakan sebagai pakan ternak.

(a) (b) (c)

Gambar 20 Spesies-spesies tumbuhan yang dimanfaatkan bagian batangnya sebagai obat: (a) bambu kuning, (b) jarak jakarta dan (c) bratawali. Selain daun dan batang, buah merupakan bagian tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai obat di setiap kecamatan. Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan bagian buahnya, antara lain mengkudu (Morinda citrifolia), takokak (Solanum torvum), sawo (Manilkara zapota), jambu batu merah (Psidium guajava), pepaya (Carica papaya), mentimun (Cucumis sativus), terung ungu (Solanum melongena) dan belimbing (Averhoa carambola).

Seringkali bagian yang berbeda suatu spesies tumbuhan obat memiliki manfaat yang berbeda pula, misalnya mengkudu. Buah mengkudu dimanfaatkan


(44)

masyarakat untuk mengobati darah tinggi karena buah tumbuhan tersebut mengandung flavonoid dan bersifat diuretik (Redaksi Agromedia 2008). Sedangkan daunnya dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sakit maag. Selain itu, terdapat buah dengan tingkat kematangan dan ukuran berbeda yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati penyakit yang berbeda pula, yaitu labu siam (Sechium edule). Labu siam tua yang telah berukuran besar dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sakit panas, sedangkan buah labu siam muda yang berukuran kecil dapat mengobati darah tinggi. Penggunaan buah labu siam tua untuk mengobati sakit panas hanya ditemukan di Kecamatan Jalancagak, sedangkan penggunaan labu siam muda sebagai obat darah tinggi umum ditemukan di setiap kecamatan.

Spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan rimpangnya merupakan semua spesies tumbuhan yang berasal dari famili Zingiberaceae. Sebagian besar spesies yang berasal dari famili tersebut memiliki khasiat pada bagian rimpangnya. Penggunaan rimpang spesies-spesies famili Zingiberaceae untuk pengobatan umum dilakukan di setiap kecamatan. Spesies-spesies famili Zingiberaceae yang dimanfaatkan selain bagian rimpangnya untuk pengobatan, yaitu kapol (Amomum cardamomum) dan combrang (Etlingera elatior). Daun kapol yang direbus bersama kerang air tawar, seperti remis, tutut dan susuh dimanfaatkan oleh masyarakat salah satu desa di Kecamatan Dawuan untuk mengobati sakit kuning. Sedangkan batang combrang merupakan obat sakit panas dan bunga combrang adalah obat sakit kepala.

Spesies-spesies tumbuhan yang dimanfaatkan bagian bunganya, yaitu korejat (Isotoma longiflora), labu kuning (Cucurbita moschata) dan kelapa (Cocos nucifera). Bunga korejat yang terlebih dahulu direndam dalam air dan kemudian diteteskan pada mata dapat mengobati sakit mata. Menurut cerita masyarakat, penggunaan bunga korejat sebagai obat mata memiliki efek sangat pedih pada mata. Mungkin karena hal tersebut tumbuhan ini dinamakan korejat yang kira-kira artinya dalam bahasa Indonesia adalah terbangun karena kaget (ngorejat). Penggunaan bunga korejat sebagai obat sakit mata dikenal di semua kecamatan.


(1)

168

Lampiran 2 Spesies-spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Kabupaten Subang (lanjutan)

No Nama

spesies

Nama ilmiah

Nama lain

Penyakit yang

diobati Cara pemanfaatan

227 Waru merah Hibiscus tiliaceus

L. waru beureum sakit perut remas daun waru merah, saring dan minum 228 Wortel

Daucus carota L. wortol

1. darah tinggi rebus wortel dan makan 2. kurang darah rebus wortel dan makan


(2)

Lampiran 3 Sepuluh spesies tumbuhan obat dengan frekuensi pemanfaatan

tertinggi di setiap desa

Lokasi No Spesies tumbuhan obat

Frekuensi Pemanfaatan

(%)

Desa Jalancagak

1 Kunir hitam (Curcuma aeruginosa) 43,33 2 Sembung (Blumea balsamifera) 43,33

3 Sirih (Piper betle) 43,33

4 Bawang merah (Allium cepa) 26,67 5 Bandotan (Ageratum conyzoides) 23,33 6 Asam jawa (Tamarindus indica) 20,00 7 Buntiris (Kalanchoe pinnata) 20,00 8 Jawer kotok (Coleus scutellaroides) 20,00 9 Jambu batu (Psidium guajava) 16,67 10 Mustajab (Abelmonchus manihot) 16,67

Desa Bunihayu

1 Mustajab (Abelmonchus manihot) 60,00 2 Jambu batu (Psidium guajava) 36,67

3 Sirih (Piper betle) 26,67

4 Kunyit (Curcuma domestica) 23,33 5 Sembung (Blumea balsamifera) 20,00 6 Belimbing (Averhoa carambola) 16,67 7 Ceplukan (Physalis peruviana) 16,67 8 Kumis kucing (Orthosiphon spicatus) 13,33 9 Jawer kotok (Coleus scutellaroides) 10,00 10 Saga (Abrus precatorius) 10,00

Desa Tambakmekar

1 Sirih (Piper betle) 30,00

2 Kunyit (Curcuma domestica) 20,00 3 Sembung (Blumea balsamifera) 20,00 4 Antanan (Centella asiatica) 16,67 5 Lidah buaya (Aloe vera) 16,67 6 Singkong (Manihot asculenta) 16,67 7 Bawang merah (Allium cepa) 13,33 8 Mustajab (Abelmonchus manihot) 13,33 9 Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) 13,33 10 Jawer kotok (Coleus scutellaroides) 10,00

Desa Manyeti

1 Kunyit (Curcuma domestica) 56,67 2 Ceplukan (Physalis peruviana) 26,67 3 Kelapa (Cocos nucifera) 26,67 4 Mustajab (Abelmonchus manihot) 23,33 5 Pepaya ranti (Carica papaya) 23,33

6 Sirih (Piper betle) 23,33

7 Alang-alang (Imperata cylindrica) 20,00

8 Murbei (Morus alba) 20,00

9 Jambu batu (Psidium guajava) 16,67 10 Kunir putih (Curcuma zedoaria) 16,67

Desa Rawalele

1 Mustajab (Abelmonchus manihot) 30,00

2 Sirih (Piper betle) 30,00

3 Saga (Abrus precatorius) 26,67 4 Kumis kucing (Orthosiphon spicatus) 23,33 5 Dadap serep (Erythrina lithosperma) 20,00 6 Alpukat (Persea gratissima) 16,67

7 Murbei (Morus alba) 16,67

8 Mengkudu (Morinda citrifolia) 13,33 9 Antanan (Centella asiatica) 13,33 10 Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) 13,33


(3)

Lampiran 3 Sepuluh spesies tumbuhan obat dengan frekuensi pemanfaatan

tertinggi di setiap desa (lanjutan)

Lokasi No Spesies tumbuhan obat

Frekuensi Pemanfaatan

(%)

Desa Sukasari

1 Kunyit (Curcuma domestica) 53,33

2 Sirih (Piper betle) 53,33

3 Saga (Abrus precatorius) 40,00 4 Jahe (Zingiber officinale) 23,33 5 Jambu batu (Psidium guajava) 23,33 6 Lidah buaya (Aloe vera) 23,33

7 Pepaya (Carica papaya) 23,33

8 Bawang merah (Allium cepa) 16,67 9 Jarak pagar (Ricinus communis) 16,67 10 Sembung (Blumea balsamifera) 16,67

Desa Tambakdahan

1 Sirih (Piper betle) 40,00

2 Kunyit (Curcuma domestica) 30,00 3 Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) 16,67 4 Benalu (Henslowia frutescens) 10,00 5 Kencur (Kaempferia galanga) 10,00 6 Mengkudu (Morinda citrifolia) 10,00

7 Padi (Oryza sativa) 10,00

8 Saga (Abrus precatorius) 10,00 9 Mustajab (Abelmonchus manihot) 6,67 10 Sembung (Blumea balsamifera) 6,67

Desa Rancaudik

1 Jambu batu (Psidium guajava) 53,33 2 Randu (Ceiba pentandra) 43,33 3 Kunyit (Curcuma domestica) 30,00 4 Ceplukan (Physalis peruviana) 23,33 5 Mengkudu (Morinda citrifolia) 16,67

6 Sirih (Piper betle) 16,67

7 Johar (Senna siamea) 13,33

8 Kumis kucing (Orthosiphon spicatus) 13,33

9 Pepaya (Carica papaya) 13,33

10 Sembung (Blumea balsamifera) 10,00

Desa Kertajaya

1 Kunyit (Curcuma domestica) 23,33

2 Sirih (Piper betle) 20,00

3 Kencur (Kaempferia galanga) 16,67 4 Lidah buaya (Aloe vera) 13,33 5 Mengkudu (Morinda citrifolia) 13,33

6 Padi (Oryza sativa) 13,33

7 Randu (Ceiba pentandra) 13,33 8 Saga (Abrus precatorius) 13,33 9 Jambu batu (Psidium guajava) 10,00 10 Pepaya ranti (Carica papaya) 10,00


(4)

Lampiran 4 Sepuluh kelompok penyakit/penggunaan terbanyak yang diobati

menggunakan tumbuhan obat pada setiap desa

Lokasi No Kelompok penyakit

Jumlah spesies tumbuhan

obat

Desa Jalancagak

1 Penyakit saluran pencernaan 24

2 Penyakit tulang, otot dan sendi 22

3 Gangguan peredaran darah dan jantung 21

4 Panas, demam dan influenza 20

5 Penyakit dan perawatan kulit 15

6 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 11 7 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 8

8 Penyakit saluran pernafasan 7

9 Penyakit dan perawatan wanita 5

10 Penyakit yang berhubungan dengan sistem syaraf

pusat 5

Desa Bunihayu

1 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 20

2 Gangguan peredaran darah dan jantung 19

3 Panas, demam dan influenza 17

4 Penyakit tulang, otot dan sendi 17

5 Penyakit saluran pencernaan 10

6 Penyakit saluran pernafasan 10

7 Penyakit mata dan hidung 7

8 Penyakit dan perawatan kulit 5

9 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 5

10 Penyakit dan perawatan wanita 3

Desa Tambakmekar

1 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 22

2 Panas, demam dan influenza 18

3 Gangguan peredaran darah dan jantung 16 4 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 13

5 Tumor dan Kanker 12

6 Penyakit saluran pencernaan 9

7 Penyakit saluran pernafasan 9

8 Penyakit tulang, otot dan sendi 9

9 Penyakit mata dan hidung 8

10 Tonikum 6

Desa Manyeti

1 Penyakit saluran pencernaan 30

2 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 26 3 Gangguan peredaran darah dan jantung 21

4 Penyakit saluran pernafasan 19

5 Penyakit tulang, otot dan sendi 18

6 Tonikum 14

7 Panas, demam dan influenza 13

8 Penyakit dan perawatan kulit 13

9 Kanker dan tumor 12

10 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 12

Desa Rawalele

1 Penyakit tulang, otot dan sendi 74

2 Penyakit saluran pembuangan 52

3 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 40

4 Penyakit dan perawatan wanita 21

5 Gangguan peredaran darah dan jantung 19


(5)

Lampiran 4 Sepuluh kelompok penyakit/penggunaan terbanyak yang diobati

menggunakan tumbuhan obat pada setiap desa (lanjutan)

7 Penyakit saluran pencernaan 16

8 Panas, demam dan influenza 9

9 Penyakit dan perawatan kulit 8

10 Penyakit mata dan hidung 4

Desa Sukasari

1 Penyakit tulang, otot dan sendi 45

2 Gangguan peredaran darah dan jantung 35

3 Penyakit saluran pencernaan 34

4 Penyakit saluran pernafasan 27

5 Penyakit dan perawatan kulit 24

6 Panas, demam dan influenza 21

7 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 18

8 Tumor dan kanker 17

9 Penyakit saluran pembuangan 14

10 Penyakit dan perawatan wanita 13

Desa Tambakdahan

1 Penyakit tulang, otot dan sendi 13

2 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 11

3 Tumor dan kanker 8

4 Penyakit saluran pencernaan 8

5 Gangguan peredaran darah 7

6 Penyakit saluran pembuangan 7

7 Penyakit dan perawatan wanita 6

8 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 6

9 Tonikum 5

10 Panas, demam dan influenza 4

Desa Rancaudik

1 Penyakit saluran pencernaan 19

2 Penyakit tulang, otot dan sendi 19

3 Panas, demam dan influenza 16

4 Penyakit saluran pembuangan 12

5 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 11

6 Tonikum 11

7 Penyakit saluran pernafasan 8

8 Penyakit dan perawatan tubuh 7

9 Gangguan peredaran darah dan jantung 6 10 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 5

Desa Kertajaya

1 Gangguan peredaran darah dan jantung 16 2 Penyakit dan perawatan kesehatan ibu hamil dan

melahirkan 9

3 Penyakit saluran pencernaan 9

4 Kanker 8

5 Panas, demam dan influenza 8

6 Penyakit saluran pembuangan 8

7 Penyakit tulang, otot dan sendi 8

8 Penyakit ginjal, saluran kemih dan hati 5

9 Penyakit dan perawatan wanita 4


(6)

Subang Regency, West Java: Case Study in Jalancagak District, Dawuan

District and Tambakdahan District. Under supervision of

EDHI SANDRA

and AGUS HIKMAT.

Subang Regency is divided into three zone base on its topography which

include mountains and highlands area (South of Subang), hills and plains areas

(Downtown of Subang) and lowland areas (North of Subang). The topography

cause differences in diversity of plant species that grew in each area, which cause

different use of medicinal plants. The research aimed to identify the use of

medicinal plants by people of Subang Regency which included species of

medicinal plants, the use of herbal medicines and the existing efforts of plants

utilization for medicinal purpose.

The research was conducted in three districts, Jalancagak Districts

(Southern part of Subang), Dawuan District (Central part of Subang) and

Tambakdahan District (Northern part of Subang). Three villages were selected

from each district. The research was conducted on June to July 2011. Data was

collected through interview using interview guide, observation and literature

studies. Respondents were selected using purposive sampling method. There were

90 respondents selected from each district, with total number of 270 respondents

from Subang Regency.

The result showed that there were 228 species from 66 families used by the

respondents. Community of Dawuan District had more species of medicinal plants

used than other district. However, in general, there were only a slight difference in

the species of medicinal plats used in each district. As many as 64 species were

used to treat bone illnesses, muscle and joint pain. Sirih (Piper betle) had the

highest utilization frequency of 35,19%. People used medicinal plants through

boiling, brewing, tapping, mixing with food, soaking in water, etc. The way

people use the plants were depended on the location of the organs to be treated.

There were two existing program of medicinal plants utilization on Subang

Regency, which were Batra Program (the effort of illnesses treatment using

traditional medicines) and Papaya Planting Program. In conclusion, there were

many people in Subang Regency who used medicinal plants to treat their

illnesses, particulary for minor and frequently suffered illnesses.

Keywords:

medicinal plants, utilization, interview, respondents, purposive