BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Farmasi Kuantitatif,
Fakultas Farmasi, USU dan Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Fakultas Pertanian, USU.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, laminar air flow LAF, botol, alumunium foil, pipet serologi, pipet tetes, alat diseksi, gelas
beaker, gelas ukur, neraca analitik, spektrofotometer, kuvet, shaker, pH meter, mikrosentrifuse, tabung Nitrogen cair dan mikropipet.
Sedangkan bahan penelitian yang digunakan adalah biji Terung belanda. Buah yang digunakan adalah buah yang masih muda yaitu yang memilki warna kulit buah
hijau kemerahan, larutan pemutih, fungisida, alkohol 70, akuades, agar-agar, gula, hara makro dan mikro, buffer fosfat, pyrogallol, coomassie briliant blue G 250,
Bovine Serum Albumin BSA, Triton X 100, H
2
O
2
, H
2
SO
4
5, buffer Tris HCl, Nitrogen cair.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu :
A. Faktor konsentrasi kolkhisin C
C
1
: konsentrasi 0 C
2
: konsentrasi 0,01 C
3
: konsentrasi 0,1 C
4
: konsentrasi 1 B.
Faktor lamanya waktu perendaman T T
1
: selama 5 menit T
2
: selama 15 menit T
3
: selama 30 menit
Sehingga diperoleh 12 kombinasi, yaitu : C
1
T
1
C
2
T
1
C
3
T
1
C
4
T
1
C
1
T
2
C
2
T
2
C
3
T
2
C
4
T
2
C
1
T
3
C
2
T
3
C
3
T
3
C
4
T
3
Setiap perlakuan diulang sebanyak 6x.
3.4 Cara Kerja 3.4.1 sterilisasi alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti cawan petri yang telah diisi kertas saring, botol kultur, erlenmeyer, pipet volume dicuci dengan deterjen dan
dibilas dibawah air mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121
o
C dengan tekanan 15 Psi selama 60 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol yang berisi akuades untuk disterilisasi.
Universitas Sumatera Utara
3.4.2 Pembuatan Media
Media yang digunakan untuk penumbuhan kalus adalah media dasar MS Murashige Skoog dengan penambahan 1 mgl 2,4 D serta 0,5 mgl BAP. Tahap awal pembuatan
media adalah pembuatan larutan stok yang terdiri dari stok hara makro, mikro, iron, dan vitamin. Sementara unsur lain seperti myo-inisitol, gula sukrosa dan agar dapat
ditimbang langsung sesuai kebutuhan tanpa harus dijadikan larutan stok. Pembuatan media sebanyak 1000 ml.
Larutan MS dibuat dengan cara memasukkan hara makro, mikro, iron, vitamin, dan sukrosa ke dalam erlenmeyer yang ditambah aquadest hingga 500 ml kemudian
dimasukkan kedalam gelas ukur 1000 ml dan ditambahkan akuades hingga 1000 ml Selanjutnya larutan dibagi ke dalam 16 perlakuan pada erlenmeyer yang setiap
perlakuan berisi 62,5 ml. Diukur pH larutan setiap perlakuan dengan menggunakan pH meter sebesar 5,8. Untuk mendapatkan pH yang optimal maka ditambahkan NaOH
0,1 N atau HCl 0,1 N.
Media pada setiap perlakuan dimasak dengan menambahkan agar yang telah ditimbang sebanyak 0,89 gram dan diaduk sampai mendidih dan larutan berubah
menjadi berwarna bening. Setelah mendidih, larutan dituang ke dalam botol-botol kultur yang kemudian ditutup dengan alumunium foil yang telah steril dan diikat
dengan karet gelang, selanjutnya disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121
o
C dengan tekanan 15 Psi selama 15 menit. Botol yang berisi media tersebut kemudian
disterilisasi kembali dan disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan untuk penanaman eksplan.
3.4.3 Sterilisasi Biji Dan Perlakuan Biji Pada Larutan Kolkisin
Eksplan yang digunakan berupa biji Terung belanda. Eksplan dibersihkan dengan air mengalir. Eksplan dibilas dengan akuades steril sampai benar-benar bersih. Eksplan
direndam dalam laritan fungisida Dithane dengan konsentrasi 0,2 gml, ditambahkan 2 tetes tween 80 sambil dishaker selama 30 menit. Eksplan dibilas dengan air mengalir
Universitas Sumatera Utara
sampai bersih, lalu direndam dalam alkohol 70 1 menit. Kemudian eksplan selanjutnya direndam dalam larutan pemutih NaOCl 0,525 10 dan dishaker
selama 5 menit lalu dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan dilanjutkan dengan larutan pemutih NaOCL 0,525 5 dan dishaker selama 5 menit lalu dibilas
dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Kemudian eksplan steril tersebut diletakkan di dalam cawan petri dan dikeringkan dengan kertas saring. Sterilisasi eksplan tersebut
dilakukan di dalam Laminar Air Flow untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Setelah biji steril, kemudian diberi perlakuan kolkhisin dengan konsentrasi 0; 0,01;
0,1 dengan lama waktu perendaman 5, 15 dan 30 menit, perendaman dilakukan di dalam Laminar Air Flow.
3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS
Sebelum melakukan penanaman, sudah dipastikan ruang yang akan digunakan benar- benar steril. Penanaman dilakukan di dalam laminar air flow enkas. Alat-alat diseksi,
bunsen, dan alkohol 70 dipersiapkan terlebih dahulu. Botol-botol yang berisi media yang telah disterilkan di letakkan di dalam laminar air flow. Dibuka tutup botol
tersebut, penanaman dilakukan didekat bunsen untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi. Eksplan yang telah disterilkan dimasukkan ke dalam botol yang telah
berisi media dengan menggunakan pinset steril, eksplan sebaiknya ditekan sedikit sampai benar-benar tertanam ke dalam media, ini untuk mempermudah eksplan dalam
mengambil nutrisi dari media. Lalu botol kultur ditutup kembali dengan alumunium foil dan disimpan di rak kultur yang memiliki cahaya yang cukup atau tidak terlalu
terang.
a. b. Gambar 3.4.4 a. Biji Terung belanda steril yang akan diinduksi dengan kolkisin
b.Penanaman biji pada media MS
Universitas Sumatera Utara
3.4.5 Pemeliharaan Kultur Kalus Pada Media MS
Eksplan yang ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan dengan kondisi ruangan yang steril, dengan suhu ruangan 23
o
C dan intensitas cahaya yang digunakan adalah dengan penyinaran lampu neon 500 lux. Botol-botol yang berisi
eksplan diatur jaraknya antara botol yang satu dengan botol yang lainnya sehingga mempermudah dalam perolehan sinar dan mempermudah dalam pengamatan. Setiap
kali pengamatan sebaiknya tangan dan area disekitar tempat botol disterilkan dengan alkohol 70.
Gambar 3.4.5 Pemeliharaan Kalus Pada Media MS di Ruang Kultur
3.4.6 Pembuatan Reagen Coomassie Briliant Blue G 250
Reagen yang digunakan adalah Coomassie Briliant Blue G 250 dibuat dengan cara ditimbang sebanyak 100 mg Coomassie Briliant Blue G 250 dilarutkan dalam 50 ml
etanol 95, larutan ini kemudian dicampur dengan 100 ml asam fosfat 85 dan diencerkan hingga 1 L dengan menambahkan akuades. Reagen kemudian disaring
dengan kertas Whatman No.1 dan disimpan pada suhu kamar.
Universitas Sumatera Utara
3.4.7 Pembuatan Kurva Standar Bovine Serum Albumin
Larutan BSA dibuat dengan konsentrasi 0; 3; 6; 9; 12 dan 15 μgml dengan cara
ditimbang sebanyak 0,1 g BSA lalu dilarutkan ke dalam 100 ml akuades. Lalu larutan BSA di masukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan Coomassie Briliant Blue
G 250 hingga volume total mencapai 5 ml. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Persamaan garis regresi kurva
standar larutan protein ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Y = a + bX
Dimana : a = intersep
a = Y- bX n
∑XY – ∑X∑Y b = slope koefisien regresi b =
n ∑X
2
– ∑Y
2
3.4.8 Ekstraksi Kalus
Kalus dari setiap perlakuan yang telah diperoleh, diambil sebanyak 200 mg dalam 2 kali pengambilan duplo, kemudian kalus gerus dengan menggunakan Nitrogen cair
dan dihomogenasikan dengan 2 mL larutan buffer Tris-HCl 0,05 M pada pH 8 dan suhu 0
o
C dan 0,15 Triton X 100, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit dengan suhu 0
o
C. Supernatan yang terbentuk diambil untuk analisis selanjutnya.
3.4.9 Determinasi Protein
Penentuan kadar protein menggunakan 0,1 ml larutan ekstrak kalus dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dicampur dengan 5 ml reagen pewarna protein Coomassie
Briliant Blue G 250. Campuran dihomogenkan dan diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Ini ditandai dengan
Universitas Sumatera Utara
terjadinya perubahan warna larutan dari warna merah menjadi biru apabila terjadi
ikatan antara reagen warna protein dengan protein setelah 2 menit hingga 1 jam.
3.5.0 Penentuan Aktivitas Enzim
Penentuan aktivitas Peroksidase PO dan Polyphenoloksidase PO dengan menggunakan metoda Kar and Mishra 1976. Prosedur ini berdasarkan kenyataan
bahwa PO dan PPO dapat mengoksidasi pyrogallol. Proses oksidasi dari PO dalam mengkatalisis reaksi menggunakan H
2
O
2
Kar and Mishra, 1976: Maehly and Chance, 1954, sedangkan oksidasi dari PPO tidak menggunakan H
2
O
2
.
3.5.1 Pengujian Enzim Peroksidase PO
Pengujian aktivitas enzim ini dengan menggunakan 30 μl protein kalus crude extract
dan ditambahkan 5 ml larutan pereaksi yang terdiri dari 10 mM pyrogallol dicampur 0,1 m buffer fosfat pada pH 6,8 dan suhu 25
o
C, lalu ditambahkan 10 mM H
2
O
2
sebanyak 0,1 ml, didiamkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 mL H
2
SO
4
5 vv untuk menghentikan reaksi. Pengukuran kadar purpurogallin dilakukan dengan pengukuran nilai absorbansi yang menggunakan metoda Bausch Lomb
Spectronic 70 kolorimeter dengan panjang gelombang 420 nm. Campuran reaksi antara buffer posfat dengan pyrogallol digunakan sebagai larutan blanko.
3.5.2 Pengujian Enzim Polifenol oksidase PPO
Pengujian aktivitas enzim ini menggunakan prosedur yang hampir sama dengan pengujian peroksidase. Pengujian ini menggunakan penambahan ekstrak kalus
sebanyak 70 μl dan ditambahkan 5 ml larutan pereaksi yang terdiri dari 0,1 m buffer
posfat pada pH 6,8 dan suhu 25
o
C, didiamkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 mL H
2
SO
4
5 vv untuk menghentikan reaksi. Larutan diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm.
Universitas Sumatera Utara
3.5.3 Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : Pengamatan secara kuantitatif
a. Berat basah kultur gram
b. Persentase terkontaminasi
Persentase kultur terkontaminasi dihitung setiap hari sejak awal hingga akhir penelitian
Jumlah eksplan yang terkontaminasi Persentase terkontaminasi =
X 100 Jumlah eksplan seluruh perlakuan
c. Penentuan kadar protein
d. Penentuan aktivitas peroksidase PO
e. Penentuan aktivitas polifenol oksidase PPO
f. Warna Kalus
3.5.4 Analisa Data
Data penelitian menggunakan metoda RAL yang dianalisis dengan Analisis Of Variace ANOVA. Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan
dengan Uji Jarak Duncan UJD atau sering disebut Duncan New Multiple Range Test DMRT Sastrosupandi, 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Persentase Kultur Yang Hidup Setelah Diinduksi Kolkisin
Pengamatan persentase kultur hidup dari semua perlakuan menunjukkan persentase hidup sebesar 90,27 yaitu sebanyak 65 botol dari 72 botol perlakuan Tabel 4.1.
Persentase kultur yang yang hidup untuk semua perlakuan menunjukkan hasil yang fluktuatif untuk konsentrasi dan waktu perendaman.
Tabel 4. 1 Persentase kultur Kalus Terung belanda Yang Hidup Setelah Diinduksi Kolkisin
Waktu Perendaman Konsentrasi
Kolkisin T1 T2 T3
Total C1 5
83,33 6
100 5
83,33 16
88,8 C2 5
83,33 4
66,67 6
100 15
83,33 C3 6
100 5
83,33 6
100 17
94,4 C4 6
100 5
83,33 6
100 17
94,4 Total 22
91,67 20
83,33 23
95,83 65
90,27
Ket: Konsentrasi Kolkisin C
1
0, C
2
0,01, C
3
0,1 dan C
4
1 Waktu Perendaman T
1
5 menit, T
2
15 menit dan T
3
30 menit
Pada perlakuan dengan konsentrasi 0,1 memiliki persentase kultur hidup yang lebih besar yaitu 94,4, sedangkan kultur hidup terendah pada perlakuan dengan
konsentrasi 0,01 sebesar 83,33. Waktu perendaman berpengaruh fluktuatif terhadap persentase kultur hidup. Perendaman selama 30 menit memiliki persentase
kultur hidup tertinggi yaitu sebesar 95,83, sedangkan perendaman selama 15 menit memiliki persentase kultur hidup terendah yaitu sebesar 83,33. Tinggi rendahnya
persentase kultur hidup terung belanda mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
Universitas Sumatera Utara
seperti kerja yang aseptis, eksplan yang bagus dan viabilitas eksplan setelah diinduksi kolkisin.
Menurut Jauhariana 1995, bahwa pada umumnya kolkisin efektif untuk pertumbuhan tanaman pada konsentrasi 0,01-1. Penelitian Herawati 1989 dalam
Sulistianingsih, pada tembakau Nicotiana tabacum L. terjadi peningkatan jumlah
daun, peningkatan kultur yang hidup, lebar dan panjang serta luas daun semakin besar.
Tetapi Menurut Suryo 1995, bahwa jika konsentrasi kolkisin dan waktu perlakukan yang tidak tepat, maka kolkisin akan memperlihatkan pengaruh negatif
yaitu kerusakan sel-sel tanaman bahkan menyebabkan matinya jaringan tanaman. Konsentrasi kolkisin yang digunakan bervariasi dari 0,0005-1 dengan perendaman
1-6 hari, tergantung jenis benih yang digunakan. Umumnya, benih yang lama berkecambah memerlukan waktu perendaman yang lebih lama.
4.1.1 Berat Basah Kalus g
Hasil analisis sidik ragam pada pengamatan berat basah kalus Lampiran M, menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi dan waktu perendaman
berpengaruh sangat nyata, dimana pada kombinasi perlakuan yang memiliki berat basah kalus yang tertinggi pada C
3
T
1
dan kombinasi perlakuan yang memiliki berat basah kalus terrendah pada C
4
T
2
. Hasil rataan berat basah kalus dapat dilihat pada Tabel 4.1.1 dibawah ini.
Tabel 4.1.1 Hubungan antara berat basah kalus dengan perlakuan kolkisin dengan waktu perendaman.
Waktu Perendaman Konsentrasi
Kolkisin T1 T2 T3
C1 1,07
cdB
1,24
abcdAB
1,26
abcdAB
C2 1,11
abcAB
1,10
cdB
1,50
aA
C3 1,41
abAB
1,23
abcdAB
1,33
abcdA
C4 1,35
bcdAB
0,99
cdB
1,10
abcdAB
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil yang diperoleh bahwa pada semua perlakuan, perlakuan C
3
T
1
memiliki rataan berat basah kultur tertinggi sebesar 1,41 g, sedangkan pada perlakuan C
4
T
2
memiliki rataan berat basah kalus terrendah sebesar 0,99 g. Hasil tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap semua perlakuan.
Hal ini menujukkan bahwa pada kombinasi perlakuan C
3
T
1
konsentrasi 0,1 dengan waktu perendaman 5 menit merupakan kombinasi yang paling baik untuk penginduksian
dengan kolkisin, ini ditandai dengan peningkatan berat basah kalus. Sedangkan kombinasi perlakuan C
4
T
2
konsentrasi 1 dengan waktu perendaman 15 menit merupakan kombinasi yang kurang baik untuk penginduksian dengan kolkisin yang
ditandai dengan penurunan berat basah kalus, begitu juga untuk kombinasi perlakuan dengan konsentrasi 0 kontrol memberikan pengaruh yang tidak terlalu baik dimana
berat basah kalus tidak terlalu tinggi.
Menurut Eigisti dan Dustin 1995, bahwa kolkisin dengan konsentrasi yang beragam dapat menyebabkan pengaruh yang beragam pula. Berbagai konsentrasi
kolkisin jika tidak sesuai akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan tanaman seperti jumlah daun, berat basah tunas, berat basah akar, berat kering tunas
dan berat kering akar.
4.1.2 Warna Kalus
Warna kalus pada setiap perlakuan bervariasi yaitu putih kekuningan, putih kecoklatan dan putih kehijauan Gambar 4.1.2. Kalus yang bewarna putih
kekuningan merupakan kalus yang paling banyak tumbuh dari kedua warna kalus lainnya yaitu dengan persentase sebesar 60, sedangkan untuk warna putih
kecoklatan dan putih kehijauan yaitu sebesar 36,92 dan 3,07 Tabel 4.1.2.
Kalus yang paling baik adalah kalus yang bewarna putih kekuningan karena kalus ini memiliki ciri-ciri kalus yang kompak dan bernodul serta bersifat
embriogenik. Sedangkan kalus yang kurang baik yaitu kalus yang bewarna putih kecoklatan karena kalus tersebut merupakan kalus yang telah mengalami penuaan dan
Universitas Sumatera Utara
kalus ini cendrung mengeluarkan senyawa fenolat yang dapat menghambat pertumbuhan kalus tersebut.
Tabel 4.1.2 Warna Kalus Pada Setiap Perlakuan
Warna Kalus Perlakuan
Putih Kekuningan Putih
Kecoklatan Putih Kehijauan
Total Kalus yang Hidup
C1T1 3 2 - 5 C1T2 3 2 1 6
C1T3 3 2 - 5 C2T1 5
- - 5 C2T2 - 4 - 4
C2T3 2 3 1 6 C3T1 6
- - 6 C3T2 2 3 - 5
C3T3 3 3 - 6 C4T1 5 1 - 6
C4T2 2 3 - 5 C4T3 5 1 - 6
Total 39
60 24
36,92 2
3,07 65
Kalus yang berwarna putih kekuningan merupakan kalus yang paling banyak dan lebih berpotensi untuk membentuk tunas, karena kalus tersebut memiliki sifat
yang embrio somatik. Untuk kalus yang bewarna putih kecoklatan terjadi karena kalus telah mengalami penuaan dimana kalus tersebut cendrung mengeluarkan senyawa
fenolat dan faktor perendaman biji pada kolkisin yang terlalu lama juga akan menyebabkan kematian sel atau jaringan tanaman. Pada kalus yang berwarna putih
kecoklatan dapat mengindikasikan bahwa potensi regenerasi kalus menjadi planlet lebih rendah dibandingkan dengan kalus yang berwarna putih kekuningan, karena
warna coklat tersebut menunjukkan terbentuknya senyawa fenolik menjadi kuinon akibat adanya pertahanan tanaman dari kondisi yang tidak sesuai sehingga akan
terbentuk warna coklat browning.
Universitas Sumatera Utara
a. b. c. Gambar 4.1.2 Kalus dengan beberapa variasi warna a Kalus yang berwarna
coklat b Kalus yang berwarna kehijauan c Kalus yang berwarna kekuningan
Menurut Fitriani 2003, bahwa warna kalus kekuningan dan kehijauan merupakan kalus yang paling bagus, dimana banyak kalus yang mengalami
diffrensiasi menjadi planlet, sedangkan warna coklat pada kalus menandakan sel mengalami cekaman karena luka pada jaringan selain cekaman dari medium itu
sendiri, sehingga terjadi sintesis senyawa fenolat sebagai pertahanan sel tanaman tersebut.
Menurut Santoso dan Nursandi 2004, warna kalus yang tidak hijau disebabkan oleh hilangnya polarisasi dari sel yang diinduksi dan dalam keadaan
normal sel akan membentuk lebih banyak klorofil. Jika eksplan pada awalnya berwarna hijau berubah menjadi warna putih kecoklatan berarti terjadi proses
degradasi dari klorofil.
4.1.3 Proliferasi Kalus
Dari semua perlakuan kultur kalus yang hidup sebanyak 58,46 38 dari 65 botol
kalus yang mampu membentuk tunas dan 13,84 9 dari 65 botol kalus yang mampu membentuk planlet Gambar 4.1.3. Kalus yang mampu membentuk tunas dan planlet
sekaligus ada sebanyak 6 perlakuan, sedangkan 6 perlakuan lainnya hanya membentuk tunas atau planlet saja Tabel 4.1.3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1.3 Proliferasi dari Kalus yang Hidup dan Beregenerasi
Proliferasi Perlakuan
Kalus Yang Hidup
Pembentukan Tunas Pembentukan Planlet
C1T1 5 4
1 C1T2
6 4
2 C1T3 5
3 1
C2T1 5 2
- C2T2 4
1 -
C2T3 6 2
- C3T1 6
6 2
C3T2 5 4
2 C3T3 6
3 -
C4T1 6 4
2 C4T2 5
5 -
C4T3 6 1
- Total
65 100
38 58,46
9 13,84
Dari keenam perlakuan yang mampu membentuk tunas dan planlet sekaligus terdapat pada 3 perlakuan kontrol, 2 perlakuan dengan konsentrasi 0,1 C
2
dan 1 perlakuan dengan konsentrasi 1 C
4
. Hal ini mungkin disebabkan karena pada perlakuan kontrol, proses pembentukan tunas dan planlet tidak terganggu karena
belum diinduksi dengan kolkisin, tetapi pada konsentrasi 0,01 justru menghambat proses pembentukan kalus untuk beregenerasi menjadi planlet, namun akan terlihat
kembali pengaruhnya pada konsentrasi 0,1 dan 1. Kalus yang hidup dan beregenerasi menjadi tunas dan planlet dari semua perlakuan menunjukkan perubahan
atau differensiasi dari kalus yang hidup baik. Perubahan itu terjadi karena sifat embriogenik dari kalus, sehingga kalus yang hidup memiliki potensi yang cukup besar
dalam membentuk planlet ataupun tunas.
b a
Gambar 4.1.4 Kalus yang membentuk tunas aKalus b Tunas
Universitas Sumatera Utara
Menurut Purnamaningsih 2006, untuk memacu regenerasi kalus, media yang digunakan harus sesuai. Keseimbangan nutrisi di dalam suatu media sangat
mempengaruhi pertumbuhan kalus maupun diferensiasinya membentuk planlet. Menurut Santoso dan Nursandi 2004, kemampuan kalus dalam beregenerasi
dipengaruhi oleh kondisi kalus dan komposisi media. Ketidakmampuan kalus dalam beregenerasi disebabkan karena tidak seimbangnya antara zat pengatur tumbuh yang
diberikan yaitu antara auksin dan sitokinin. Perubahan warna kalus menjadi hitam dan pertumbuhan yang lambat bahkan tidak mengalami pertumbuhan sama sekali dapat
diindikasikan bahwa kalus tersebut sudah mati.
Menurut Kosmiatin Mariska 2005, bahwa masih rendahnya kalus yang beregenerasi pada perlakuan diduga karena pemberian kolkisin dengan konsentrasi
yang tinggi pada perlakuan mengakibatkan kerusakan fisiologi tanaman. Pemberian kolkisin akan mengakibatkan jaringan tanaman menjadi rusak dan penundaan
pertumbuhan sehingga memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh kembali.
4.1.4 Persentase Kultur Terkontaminasi
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa persentase kultur terkontaminasi adalah 9,73 yaitu sebanyak 7 botol dari 72 botol perlakuan,
kontaminasi tersebut pada umumnya berasal eksplan Lampiran J. Kondisi kultur yang terkontaminasi ini lebih banyak yang disebabkan oleh jamur, dimana seluruh
permukaan media dan eksplannya tertutupi oleh hifa-hifa jamur Gambar 4.1.4.
Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa dalam proses kerja teknik kultur jaringan harus dilakukan secara aseptik, baik dari awal pembuatan media, sterilisasi
bahan tanaman yang akan digunakan sampai tahap pemeliharaannya. Sterilisasi merupakan tahapan penting yang harus dilakukan demi tercapainya hasil yang
maksimal. Dalam penelitian ini, penyebab kontaminasi mungkin saja berasal dari eksplan bahan tanaman yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
Kalus
Gambar 4.1.4 Kalus biji terung belanda yang mengalami kontaminasi pada eksplan
Menurut Hendaryono Wijayani 1994, bahwa kondisi laboratorium kultur jaringan harus mengutamakan dan memperhatikan tingkat sterilitas dari ruangan
sehingga terbebas dari kontaminasi mikroba yang tidak dikehendaki. Kontaminasi dapat terjadi setiap saat dalam masa kultur yang mungkin berasal dari eksplan,
mikroba lingkungan kerja serta kecerobohan dalam pelaksanaan kultur jaringan.
Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakkan kalus seperti akar, batang, dan daun, Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari
tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakkan. Beberapa biakkan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam
kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi Nasir, 2002.
4.2 Pengukuran Kadar Protein Kalus
Pengukuran kadar protein kalus ini diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Data kadar pengukuran protein semua perlakuan
dapat dilihat pada Lampiran P halaman 64. Tinggi rendahnya kadar protein kalus untuk semua perlakuan dapat dilihat pada grafik Gambar 4.2 dibawah.
Universitas Sumatera Utara
25,45 25,5
25,55 25,6
25,65 25,7
25,75 25,8
25,85 25,9
C1 T
1 C1
T 2
C1 T
3 C2
T 1
C2 T
2 C2
T 3
C3 T
1 C3
T 2
C3 T
3 C4
T 1
C4 T
2 C4
T 3
Perlakuan Kolkisin dan Waktu Perendaman N
il a
i K a
da r P
rot e
in K a
lus µ
g g
e kstr
a k
ka lu
s
Gambar 4.Perlakuan Konsentrasi Kolkisin dan Waktu Perendaman Terhadap Kadar Protein Kalus
Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa dari hasil pengukuran kadar protein kalus diperoleh hasil yang bervariasi. Kadar protein kalus yang paling tinggi sebesar 25,870
µgg ekstrak kalus yang terdapat 3 perlakuan yaitu C
1
T
2
, C
3
T
3
dan C
4
T
1
, sedangkan 2 perlakuan yaitu C
2
T
1
dan C
3
T
1
memiliki kadar protein kalus terendah sebesar 25,617 µgg ekstrak kalus. Tingginya kadar protein pada ketiga perlakuan tersebut
karena banyaknya kandungan senyawa-senyawa lain yang terdapat di dalam ekstrak kalus tersebut seperti enzim dan senyawa metabolit lainnya. Sedangkan rendahnya
kadar protein kalus disebabkan karena pengaruh aktivitas sintesis protein secara umum pada suatu jaringan tersebut. Apabila aktivitas sintesis protein terganggu yang
disebabkan karena adanya penambahan senyawa mutagen yang bersifat toksik seperti kolkisin yang dapat menghambat proses sintesis protein dari kalus tersebut. Menurut
Simhian 1998, bahwa protein dari suatu kalus dapat terhambat pembentukannya apabila ada satu hal yang dapat mengganggu proses sintesis di dalam kalus, hal
tersebut dapat dianalis secara biokimia.
4.3 Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase PO