Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
1.2 Pokok Permasalahan
Untuk membatasi pembahasan agar topik menjadi terfokus, dan menjaga agar pembahasan nantinya tidak menjadi melebar maka disini penulis membuat
pembatasan masalah dalam bentuk pokok permasalahan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis perlu menentukan hal-hal
yang menjadi pokok permasalahan yaitu : 1.
Bagaimana deskripsi penyajian tari tamborin pada pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan
2. Perlengkapan apa saja yang diperlukan dalam mendukung pertunjukan tari
tamborin pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan 3.
Bagaimana fungsi tari tamborin dalam ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan dan deskripsi musik pengiring.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan
Adapun tujuan penulisan tentang tari tamborin dan musik pengiringnya pada ibadah GBI Tanjung Sari Medan adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana deskripsi penyajian tari tamborin pada ibadah
raya GBI Tanjung Sari Medan. 2.
Untuk mengetahui apa saja yang diperlukan dalam mendukung pertunjukan tari tamborin pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan.
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
3. Untuk mengetahui bagaimana fungsi tari tamborin dan deskripsi musik
pengiring.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Sebagai salah satu bahan informasi untuk melihat keberadaan tari tamborin pada ibadah keagamaan.
2. Sebagai dokumentasi suatu bentuk tari yang terdapat pada kegitan keagamaan.
3. Sebagai dokumentasi sehingga menambah referensi bagi dunia pengetahuan
Etnomusikologi. 4.
Sebagai bahan informasi penggunaan dan fungsi tari tamborin yang diiringi oleh musik.
5. Sebagai bahan untuk menambah referensi bagi peneliti – peneliti lainnya dalam
melihat fenomena tari tamborin dalam ibadah keagamaan.
1.4 Konsep dan Teori yang digunakan 1.4.1 Konsep
Koentjaraningrat 1991:21, mengemukakan konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep merupakan defenisi
dari apa yang akan kita amati, konsep menentukan antara variabel–variabel mana
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
yang kita inginkan untuk menentukan hubungan empiris
7
7
Pendapat ini dutulis oleh Mely G Tan dalam Buku yang ditulis Koentjaraningrat “Metode Penelitian Masyarakat”
. Sehubungan dengan penulisan ini, akan diuraikan beberapa konsep yang dibutuhkan, yaitu :
Deskripsi, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1985:34 adalah menggambarkan apa adanya. Asal kata deskriptif, dari bahasa Inggris yaitu
descriptive, yang berarti bersifat menyatakan sesuatu dengan memberikan gambaran melalui kata-kata atau tulisan. Seeger 1958:184 menyebutkan, penyampaian objek
dengan menerangkan terhadap pembaca secara tulisan maupun lisan dengan sedetail- detailnya. Dengan demikian deskripsi yang penulis maksudkan adalah menyampaikan
dengan menggambarkan melalui tulisan secara jelas mengenai tari tamborin dan musik pengiringnya pada ibadah GBI Tanjung Sari Medan.
Untuk memahami fungsi tari tamborin dan sekilas fungsi musik pengiringnya yang terdapat pada ibadah raya GBI Tanjung Sari Medan, penulis mengacu pada
pendapat Alan P. Merriam 1964:210 mengenai penggunaan dan fungsi musik. Dimana diartikan bahwa use penggunaan menitik beratkan pada masalah situasi
atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function fungsi menitik beratkan pada alasan penggunaan atau tujuan pemakaian musik, terutama maksud
yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis hanya melihat fungsi tari tamborin dan musik
pengiring hanya sebatas di dalam ibadah raya.
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Menurut BPH Suryodiningrat, “Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai
maksud tertentu
8
8
Lihat, Pengantar Pengetahuan tari oleh Dra. Tuti Rahayu 2002:03
”. Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tarian tamborin adalah tarian yang digunakan pada ibadah raya GBI Tanjung Sari. Tarian ini
menggunakan media tamborin sebagai perlengkapan dalam pertunjuan tari tamborin. Dalam hal ini tamborin merupakan alat musik yang mempunyai selaput dan
mempunyai ring di sekelilingnya, dimainkan minimal empat atau lima orang perempuan. Tarian ini diiringi alat musik modren seperti gitar elektrik, bas elektrik,
piano, keyboard, drum set dan nyayian vokal dari jemaat. Ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari
ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya Kamus Umum Bahasa Indonesia:1991. Raya berarti besarKamus Umum Bahasa Indonesia:1991.
Ibadah raya dalam tulisan ini merupakan ibadah yang dilakukan pada hari minggu oleh jemaat Gereja Bethel Indonesia GBI. Dimana ibadah ini merupakan suatu
persekutuan antara manusia dan Tuhan. Ibadah ini melibatkan aspek agama atau religi. Ibadah raya ini menggunakan aspek musik dan tari di dalamnya.
Gereja Bethel Indonesia GBI adalah salah satu dari denominasi gereja yang ada di Indonesia yang beraliran kharismatik dan telah tersebar di seluruh indonesia
antara lain Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa, Sulawesi dll. Gereja Bethel Indonesia biasa disebut dengan GBI. Dalam hal ini jemaatnya atau masyarakat
pendukungnya mempunyai kesamaan kebudayaan. Seperti yang dikemukakan oleh
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Koentjaraningrat 1986:160, bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh
rasa identitas bersama.
1.4.2 T e o r i
Teori adalah salah satu acuan yang digunakan untuk menjawab masalah- masalah yang timbul dalam tulisan ini. Dengan pengetahuan yang diperoleh dari
buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari
pemikiran untuk memperoleh suatu teori-teori yang bersangkutan
Koentjaraningrat 1983 : 30. Koentjaraningrat 1985:243 juga mengatakan bahwa komponen upacara ada
empat yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat upacara, serta orang yang melakukan dan memimpin upacara. Melihat teori di atas bahwa tari tamborin
merupakan tarian yang terdapat dalam ibadah raya. Tarian ini mempunyai waktu dan tempat yang disediakan dalam ibadah, beberapa orang penari dan pemusik yang
mengiringi tarian, dan jemaat dalam ibadah. Pada ibadah raya ini ibadah dipimpin oleh seorang pemimpin pujian atau disebut worship leader. Seorang pemimpin pujian
akan mengorganisir jalannya ibadah. Pembahasan fungsi yang lebih luas menyangkut fungsi tari tamborin pada
ibadah Gereja Bethel Indonesia GBI, penulis juga mengutip teori Soedarsono yang mengatakan bahwa secara garis besar fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan
manusia dikelompokkan menjadi 3 yaitu, 1 seni sebagai sarana ritual, penikmatnya
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kasat mata, 2 seni sebagai sarana hiburan pribadi, penikmatnya adalah pribadi-pribadi yang melibatkan diri dalam pertunjukan,
dan 3 seni sebagai presentasi estetis, yang pertunjukannya harus dipersentasikan atau disajikan kepada penonton
9
Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Merriam terdapat sekurang- kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu : 1 fungsi pengungkapan emosional, 2
fungsi penghayatan estetika, 3fungsi hiburan, 4 fungsi komunikasi, 5 fungsi perlambangan, 6 fungsi reaksi jasmani, 7 fungsi pengesahan lembaga sosial dan
upacara keagamaan, 8 fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, 9 fungsi kesinambungan kebudayaan, dan 10 fungsi pengintegrasian masyarakat Merriam,
1964:219-226. Dengan melihat kesepuluh fungsi musik di atas, maka musik pengiring tari tamborin digolongkan ke dalam fungsi pengungkapan emosional dan
fungsi keagamaan. . Penggunaan teori yang disampaikan oleh R.M
Soedarsono, penulis terapkan hanya pada pendapat pertama. Pendapat pertama yaitu seni sebagai sarana ritual.
Bila ditinjau pendapat dari Soedarsono maka dapat kita lihat bahwa tarian ini merupakan bagian dari kegiatan ritual keagamaan, dimana dalam hal ini tari tamborin
merupakan salah satu bagian dari ibadah. Jemaat menyakini adanya kehadiran Tuhan dalam ibadah ini untuk bersekutu. Sehingga jemaat memuji dan menyembah Tuhan
dengan nyayian-nyayian, doa-doa dan tarian, dengan harapan adanya berkat dari Tuhan.
9
R.M Soedarsono Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa 1999:170
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Untuk menggambarkan makna yang terkandung pada pertunjukan tari tamborin, penulis menggunakan pendekatan yang dikatakan Soedarsono 1972:81-98
yang mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan ini memiliki hal-hal yang indah
dan menggetarkan perasaan manusia, yang di dalamnya mengandung maksud tertentu dan juga mengandung maksud simbolis yang sukar untuk dimengerti.
Dalam meneliti gerak tari tamborin tersebut terdapat teori Notasi Laban Edi Sedyawati, 2006:298 yang membahas secara detail bentuk dan polanya, mengingat
penulis tidak sanggup secara detail untuk menotasikan gerak tari pada teori Notasi Laban, maka dalam tulisan ini penulis akan menggunakan lambang–lambang umum
dan sederhana yang dapat mewakilkan pola gerak tari tamborin dengan teori kineosiologi. Teori kenesiologi adalah ilmu yang mempelajari gerak. Fokus dari teori
kinesiologi ini adalah membahas fungsi dan gerak tubuh. Hubungan musik dan tari adalah suatu fenomena yang berbeda tetapi dapat
juga digabungkan dengan aspek yang mendukung. Musik merupakan rangkaian ritme dan nada sedangkan tarian adalah rangkaian gerak, ritme dan ruang, dimana
fenomena keduanya merupakan suatu yang berlawanan, yang mana musik merupakan fenomena yang terdengar tapi tidak terlihat dan tarian merupakan fenomena yang
terlihat tapi tidak terdengar Wimbrayardi 1999:9-10 Untuk melakukan analisis musikal terhadap tari penulis menggunakan teori
yang diungkapkan Nettl 1964:145 dalam menganalisis bunyi musikal hal-hal yang terpenting dilakukan adalah melihat aspek ritem, melodi dan musik. Kemudian Malm
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
1977:15, menyebutkan bahwa beberapa bagian penting yang harus diperhatikan dalam menganalisis melodi adalah: 1 scale tangga nada; 2 pitcher center nada
pusat; 3 reciting tone wilayah nada; 4 jumlah nada; 5 penggunaan interval; 6 pola cadensa; formula melodi; 8 kantur.
Untuk menotasikan musik, penulis akan berpedoman pada tulisan Seegar 1971:24-34 yang mengemukakan bahwa ada dua jenis notasi, yang dibedakan
menurut tujuan notasi tersebut. Pertama adalah notasi perskriptif yaitu notasi yang bertujuan untuk seorang penyaji bagaimana ia harus menyajikan sebuah komposisi
dari musik, selanjutnya disebutkan bahwa notasi ini merupakan suatu alat untuk membantu mengingat. Kedua adalah notasi deskriptif yakni, notasi yang bertujuan
untuk menyampaikan kepada pembaca ciri-ciri dan detail-detail dari komposisi musik yang memang belum diketahui oleh pembaca.
Menurut penulis teori-teori dengan pendekatan para ahli tersebut di atas sangat relevan dengan topik permasalahan dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis
akan menggunakannya sebagai landasan kerangka berfikir untuk pembahasan selanjutnya.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam menulis fungsi musik dan tari ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yang bersifat
deskriptif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat–sifat suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, untuk menentukan sifat–sifat suatu individu, keadaan,
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
gejala, kelompok tertentu, untuk menentukan frekuensi penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam
masyarakat. Dalam hal ini tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan Koentjaraningrat, 1991:29, sedangkan menurut R.M
Soedarsono 1999:46 penelitian kualitatif data-data hasil penelitian harus dicermati dengan cermat dan dianalisa.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia 1990:581, metode penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan
yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan 1985:7 mengatakan metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan. Bahan ataupun data penelitian dapat diperoleh dari tulisan–tulisan atau
ceramah yang terekam dalam konteks yang berbeda–beda, bisa dari observasi, berita surat kabar dan sebagainya. Salah satu sifat dari data kualitatif adalah data ini
merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, yang multi dimensional dan kompleks. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana
dalam penelitian kuantitatif. Untuk melakukan penelitian tentang tari tamborin beserta musik
pengiringnya, penulis mengacu pada pendapat Nettle 1964 : 62 ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu
kerja lapangan field work dan kerja laboratorium desk work. Dalam proses pengumpulan data, penulis menentukan cara yang sesuai agar data terkumpul dengan
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
benar. Untuk merealisasikan hal tersebut, penulis melakukan beberapa hal seperti menentukan, mencari lokasi penelitian, mencari sejumlah informan dan melakukan
studi kepustakaan.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Kegiatan ini
dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan, guna melengkapi data yang dibutuhkan dalam penulisan dan penyesuaian data dari hasil penelitian
lapangan. Sumber bacaan atau literatur itu dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya dalam bentuk skripsi.
Selain itu sumber bacaan yang menjadi pendukung dalam penelitian penulis yang berupa buku yang ditulis oleh Tuti Rahyu dengan judul Pengantar Pengetahuan
Tari, juga oleh R.M Soedarsono dengan judul Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari, Mike Viv Hibert dengan judul Pelayanan Musik, dan Mawene, M.Th dengan
judul Gereja yang bernyanyi Namun penulis mengalami kesulitan akan minimnya referensi dalam bentuk
tulisan yang berhubungan dengan tarian tamborin.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan, wawancara dan perekamanpencatatan data. Selain itu penulis juga melaksanakan interaksi dengan
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
para informan dan jemaat untuk mendukung mudahnya pelaksanaan penelitian. Sehingga dalam pengamatan, penulis dapat dikategorikan melakukan pengamatan
terlibat, dimana berinteraksi langsung dengan objek penelitian. Namun tetap menjaga etika sebagai seorang peneliti, tetap bertindak sebagai out sider terhadap
objek penelitian.
1.5.3 Wawancara
Salah satu tehnik pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan teknik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada subjek
penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat 1981:131 yang mengatakan :
“Kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu : persiapan wawancara, tehnik wawancara, tehnik bertanya dan pencatatan data
hasil wawancara” Koentjaraningrat 1981:139 juga mengemukakan bahwa wawancara itu
sendiri berdiri sendiri dari beberapa bagian yaitu : Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Dalam wawancara berfokus
diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi berlangsung dari suatu masalah kemasalah lain tetapi tetap menyangkut pada
pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi – diskusi yang dilakukan untuk menambahmelengkapi data yang sudah terkumpul.
Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat mengenai kegiatan wawancara maka sebelum wawancara penulis telah mempersiapkan hal–hal yang berhubungan
dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat tulis, daftar pertanyaan, dan
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
tape recorder untuk merekam. Tehnik bertanya penulis kemukakan berdasarkan daftar pertanyaan dan juga pertanyaan spontanitas sesuai dengan situasi di lapangan.
Pencatatan hasil wawancara penulis lakukan begitu mendapat jawaban dan yang tidak sempat dicatat masih bisa didengarkan dari hasil rekaman. Wawancara penulis
lakukan dengan informan pangkal dan kemudian informan kunci. wawancara penulis lakukan dengan beberapa orang yang menjadi populasi penelitian
yaitu: 1.
Wawancara dengan Bapak Pdt. E. Purba, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dan data mengenai Gereja Bethel Indonesia GBI juga untuk
mengetahui tentang tari tamborin dan musik yang ada. 2.
Wawancara dengan Rahman, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai sistem tata ibadah yang ada dalam Gereja Bethel Indonesia GBI
Tanjung Sari Medan. 3.
Wawancara dengan Intan Manullang sebagai salah satu pelatih dan penari tarian tamborin yang ada di GBI Tanjung Sari Medan, yang bertujuan untuk
memberikan informasi dan data mengenai tari tamborin 4.
Wawancara dengan Vero sebagai salah satu pelatih dan penari tarian tamborin yang ada di GBI P. Bulan Medan, yang bertujuan untuk memberikan
informasi dan data mengenai tari tamborin 5.
Wawancara dengan Herdi Berutu sebagai salah satu pemain musik dan ketua departemen musik GBI Tanjung Sari Medan, yang bertujuan untuk
memberikan informasi dan data mengenai musik pengiring tari tamborin.
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Pada saat proses wawancara berlangsung penulis menerapkan wawancara bebas. Dimana pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan kepada informan
berlangsung dari suatu masalah ke masalah yang lain tetapi tidak keluar dari topik permasalahan. Data-data hasil wawancara tersebut penulis rekam dengan tape
recorder.
1.5.4 Observasi
Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan, yang juga berarti tidak
melakukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsungobservasi terhadap
subyek diteliti. Dalam hal ini penulis mengadakan observasipengamatan secara langsung
yaitu setiap hari minggu pada saat ibadah tepatnya di GBI Tanjung Sari Medan. Penulis juga melihat latihan dari pada tari dan musik.
1.5.5 Kerja Laboratorium
Semua data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis agar sesuai dengan pembahasan sehingga menghasilkan
suatu tulisan yang baik dalam melakukan penelitian.Ketika penulis masih kekurangan data, maka untuk mengatasi hal tersebut penulis mengadakan evaluasi ulang dan
terkadang penulis juga melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
memperoleh data yang lebih akurat. Dengan kerja laboratorium, hasil rekaman juga didengarkan secara
berulang-ulang, kemudian dicatat untuk selanjutnya diklasifikasikan. Data dalam rekaman menggunakan bahasa Indonesia.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian Dalam penelitian lokasi, penulis menetapkan GBI Tanjung Sari Medan.
Tempat ini sebagai tempat diadakannya ibadah raya maupun ibadah-ibadah tambahan lainnya. Adapun alasan penulis memilih tempat tersebut karena penulis mengikuti
ibadah minggu di tempat tersebut. Dalam setiap minggunya penulis melihat dan memperhatikan tari tamborin yang ada dalam ibadahnya. Gereja ini juga sebagai
tempat latihan tari tamborin dan musik setiap minggunya
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
BAB II GAMBARAN UMUM GEREJA BETHEL INDONESIA GBI
2.1 Sejarah Gereja Bethel Indonesia GBI
Gereja Bethel Indonesia, disingkat GBI, adalah salah satu sinode gereja besar di Indonesia yang bernaung di bawah PGI Persekutuan Gereja Indonesia. Selain itu
GBI juga merupakan anggota dari Dewan Pentakosta Indonesia DPI dan Persekutuan Injil Indonesia PII.
Pada tahun 1922, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle,Washington Amerika Serikat, mengutus dua orang misionarisnya ke
Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan Groesbeek. Ke dua missionaris ini adalah orang Amerika keturunan Belanda.
Sesudah tiba di Indonesia, tujuan awal kedatangan mereka untuk memberitakan Injil di Bali, tetapi kemudian pindah ke Cepu, Jawa Tengah. Di kota
ini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel, seorang Kristen Injil yang bekerja pada perusahaan minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij BPM. Van Gessel
pada tahun sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Pdt. C.H.Hoekendijk ayah dari Karel
Hoekendjik. Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama-
sama dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Timur. Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di Indonesia yang menerima Baptisan Roh Kudus dan demikian pula dengan suaminya beberapa
bulan setelahnya. Tanggal 30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang
Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka pelayanan baptisan air pertama kalinya di Jemaat Cepu ini. Pada hari itu, lima belas jiwa baru
dibaptiskan. Dalam kebaktian-kebaktian berikutnya, bertambah-tambah lagi jemaat yang
menerima Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus dinyatakan dengan ajaib di tengah-tengah
jemaat itu. Inilah permulaan dari gerakan Pentakosta di Indonesia. Keempat orang ini yaitu Van Klaveren, Groesbeek, Van Gessel, dan Pdt. J.
Thiessen merupakan pionir dari Gerakan Pentakosta di Indonesia. Sesudah itu, tak lama kemudian Groesbeek pindah ke Surabaya, sedangkan Van Gessel telah menjadi
Evangelis yang meneruskan memimpin Jemaat Cepu. April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia Jakarta. Sementara Van Gessel meletakkan
jabatannya sebagai pegawai tinggi di BPM dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Surabaya.
Jemaat yang dipimpin Van Gessel itu bertumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang-cabang dimana-mana, sehingga mendapat pengakuan
Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “De Pinksterkerk in Indonesia” sekarang
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
GPdI. Pada 1932, Jemaat di Surabaya ini membangun gedung Gereja dengan kapasitas 1.000 tempat duduk gereja yang terbesar di Surabaya pada waktu itu.
Tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya “Studi Tabernakel”. Melihat pesatnya perkembangan gereja yang telah dirintis oleh
Van Gessel, Gereja Bethel Pentecostal Temple Seattle, kemudian mengutus beberapa misionaris lagi. Satu diantaranya yaitu, W.W. Patterson yang membuka Sekolah
Akitab di Surabaya NIBI: Netherlands Indies Bible Institute. Sesudah Perang Dunia II, para misionaris itu melanjutkan pelayanan kembali dengan membuka Sekolah
Alkitab di berbagai tempat. Sesudah selesai perang melawan agresi militer Belanda di Indonesia, maka
pimpinan gereja harus diserahkan kepada orang Indonesia. Pada saat itulah H.N. Rungkat terpilih sebagai ketua GPdI menggantikan Van Gessel.
Alasan yang menyebabkan terjadinya perpindahan tampuk pimpinan di sebabkan pada saat itu, jemaat gereja yang seharusnya menjaga jarak dari sikap
politik yang terpecah belah terjebak dalam nasionalisme yang tengah berkobar-kobar dalam menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya roh nasionalisme meliputi suasana
kebaktian dalam gereja-gereja Pentakosta. Van Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin. Dan menyerahkan tampuk pimpinan kepada H.N.
Rungkat. Kondisi rohani Gereja Pentakosta disaat itu yang sedang tidak kondusif
menyebabkan ketidakpuasan disebagian kalangan pendeta-pendeta GPdI. Ketidakpuasan ini juga ditambah lagi dengan kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Gereja. Akibatnya, sekelompok pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari Organisasi Gereja Pentakosta, diantaranya adalah Pdt. H.L. Senduk.
Pada tanggal 21 Januari 1952, di kota Surabaya, mereka kemudian membentuk suatu organisasi gereja baru yang bernama Gereja Bethel Injil Sepenuh
GBIS. Van Gessel dipilih menjadi “Pemimpin Rohani” dan H.L Senduk ditunjuk menjadi “Pemimpin Organisasi” Ketua Badan Penghubung. H.L. Senduk berperan
sebagai Pendeta dari jemaat yang ada di Jakarta, sedangkan Van Gessel pimpinan seluruh jemaat yang ada di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1954, Van Gessel
meninggalkan Indonesia dan pindah ke Irian Jaya waktu itu di bawah Pemerintahan Belanda. Jemaat Surabaya diserahkannya kepada menantunya, Pdt. C. Totays.
Di Hollandia sekarang Jayapura. Van Gessel membentuk suatu organisasi baru yang bernama Bethel Pinkesterkerk sekarang Gereja Bethel Pentakosta. Van
Gessel kemudian meninggal dunia pada tahun 1957 dan kepemimpinan Jemaat Bethel Pinkesterkerk diteruskan oleh Pdt. C. Totays.
Pada tahun 1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke negerinya.
Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi jemaat-jemaat berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan pendeta-pendeta Indonesia. Roda sejarah
berputar terus, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk berkembang dengan pesat. Bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi organisasi ini.
Namun semakin besarnya organisasi, begitu banyak kepentingan yang harus diakomodasi.
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
Pada 1968-1969, kepemimpinan Senduk di GBIS diambil alih oleh pihak- pihak lain yang disokong suatu keputusan Menteri Agama. H.L. Senduk dan
pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS. Pada tanggal 6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan-rekannya membentuk
sebuah organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia GBI dan diakui sebagai suatu agama yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Gereja
ini diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972.
Pada tahun 1972, Pdt H.L.Senduk memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk membantu pelayanan di GBI Jemaat Petamburan.
Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala Sidang GBI Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963.
Pada awalnya GBI memiliki jemaat dengan jumlah 20 orang jemaat ,yang kemudian berkembang hingga saat ini jumlah jemaat GBI mencapai sekitar ratusan
ribu jemaat yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air dan Luar Negeri. Pada saat ini, Pdt H.L. Senduk melayani GBI Jemaat Petamburan dibantu oleh
istrinya Pdt Helen Theska Senduk, dan Pdt Thio Tjong Koan serta Pdt Harun Sutanto. sumber
www.wikipedia.org
Hans Marpaung : Deskripsi Tari Tamborin Dan Musik Pengiring Pada Ibadah Raya Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan, 2009.
2.2 Sejarah Gereja Bethel Indonesia GBI Tanjung Sari Medan