Rangkaian sanad sebagai berikut: Sahl bin Abî Sahl, S ufyân bin „Uyainah,
Safwân bin Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî.
Kitab Sunan al- Nasâ‟î
Rangkaian sanad-sanadnya adalah Qutaibah bin Sa„îd, Mâlik, Safwân bin
Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî. Dari seluruh rangkaian sanad- sanad hadis mengenai kewajiban shalat jumat bagi yang telah bermimpi baligh,
baik yang diawalai dengan kata al maupun tidak, hemat penulis bahwa sanad- sanadnya berkualitas sahih. Karena sesuai dengan kesahihan sanad hadis seperti
sanad-sandnya bersambung, periwayat-periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit.
Perawi hadisnya juga harus terhindar dari ke-syaz-an dan terhindar dari „illat.
2. Kritik Matan
Sebagaimana kriteria kesahihan matan, langkah-langkah yang dilakukan penulis. Pertama, penulis akan meneliti dari sisi bahasa Arab untuk kesesuaian
dengan bahasa kenabian. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hadis ini secara umum mengenai anjuran mandi pada hari jumat, dan dikhususkan bagi mereka
yang telah bermimpi. Melalui pendekatan bahasa, penulis mengambil sebuah kata yang dianggap penting, yaitu Muhtalimun. Kata Muhtalimun merupakan asal kata
36
al-Quzwînî, Sunan Ibn Mâjah, Bab Ma Ja‟a Fi al-Ghusli Yaum al-Jum„ah Juz I. h. 346.
Pada bab lain terdapat tema yang sama yaitu pada bab Ma Ja‟a Fi Zinati Yaum al-Jum„ah juz I h.
346.
37
al-Nasâ ‟î, Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ, bab Ijab al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 520.
Pada tema yang sama juga dikemukakan oleh al-Nasâ ‟î pada bab al-Hai‟atu Li al-Jum„ah, Juz I h.
523.
dari ihtalama-yahtalimu, kata tersebut merupakan isim fâ „il yang berarti orang
yang bermimpi atau baligh. Kata tersebut sering digunakan oleh Rasulullah saw. ketika menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah dewasa, dan amat banyak
hadis yang menunjukkan hal itu. Kedua
, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat para ulama. Hadis ini hampir serupa dengan hadis kajian penulis sebelumnya. Namun pada
hadis ini lebih dikhususkan kepada orang-orang yang telah bermimpi baligh. Menurut al-
„Ainî, hadis mengenai kewajiban mandi tersebut tidak dianjurkan kepada yang belum bermimpi baligh, dan amat dianjurkan bagi yang telah
bermimpi baligh untuk mandi pada shalat jumat.
38
Ketiga , penulis mengemukakan dengan pendekatan sejarah, hadis ini
mempunyai sabab yang sama, tetapi berbeda dalam hal pengkhususan. Hadis sebelumnya menunjukan sebab bau badan salah seorang sahabat yang sangat
menyengat dari pakaian yang jarang dicuci. Pada hadis ini kewajiban mandi dikhususkan bagi mereka yang telah bermimpi, terlebih bagi orang yang jarang
mandi lalu hendak melakukan shalat jumat, maka hal itu diwajibkan. Keempat
, kesesuaian dengan prinsip agama. Sebagaimana halnya hadis sebelumnya yang mengindikasikan kesucian, kebersihan, dan keindahan adalah
sejalan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, hadis ini tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian, setelah dikemukakan empat macam pendekatan
kesahihan matan hadis, dapat penulis simpulkan bahwa matan hadis tersebut sahih.
38
al- „Ainî al-Hanafî, „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz 10 h. 66. Hal senada
juga diungkapkan oleh Ibn Rajab, namun ia mengemukakan bahwa hadis ini menunjukkan kewajiban khusus bagi orang-orang yang telah bermimpi, karena mereka hendak mendirian shalat
jumat. Zainudîn Abî al-Farâj Abd al-Rahmân Ibn Syihâb al-Dîn al-Baghdadî al-Dimasyqî al- Syahîr bi Ibn Razab, Fath al-Bârî Li Ibn Rajab Dar Ibn al-Jauzi juz 5 h. 340.
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Kewajiban Mandi Pada