Kaidah Kesahihan Sanad dan Matan Hadis

22

BAB III METODOLOGI M. SYUHUDI ISMAIL DALAM MELACAK

SANAD DAN MATAN HADIS SERTA PEMIKIRANNYA PADA DISIPLIN ILMU HADIS

A. Kaidah Kesahihan Sanad dan Matan Hadis

Pengertian hadis secara umum adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik dari ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat. Walaupun, banyak ulama dalam menguraikan istilah hadis berbeda-beda penjabarannya, namun dari penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut dapat dipahami maknanya secara umum sebagaimana pengertian hadis di atas. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis menyampaikan makna hadis sebagaimana umumnya dipahami. Kajian mengenai hadis menjadi kajian yang membuka ruang perdebatan cukup luas. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kedua, tidak seluruh hadis ditulis pada zaman Nabi. Ketiga, munculnya berbagai macam pemalsuan hadis. Keempat, adanya proses penghimpunan tadwin hadis yang memakan waktu lama. Kelima, karena jumlah hadis yang begitu banyak dengan metode penyusunan yang beragam dan telah terjadi periwayatan hadis secara makna. 1 1 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 2007 cet ke-2 h. 7-20. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Cet. III. h. 87-123. Pada perkembangannya, hadis terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah hadis sahih. Jenis hadis ini menurut para ulama memiliki kriteria tersendiri, diantaranya: Pertama , sanadnya tersambung. Yaitu, tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya. Hal itu terjadi dari periwayat hadis pertama hingga akhir sanad dari hadis itu. Ketersambungan sanad hadis ini biasanya terjadi karena hubungan antara guru dan murid. Lebih rinci lagi, para ulama menguraikan beberapa hal mengenai periwayatan hadis. Di antaranya, semua nama perawi hadis harus tercatat pada sanad yang diteliti. Selanjutnya, mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat dan meneliti kata-kata antara perawi dengan periwayat terdekat dalam sanad, seperti kata haddatsanî, haddatsâ, akhbaranâ , „an, anna, dan lain sebagainya. Lebih jauh, untuk meneliti kesahihan sanad hadis, perawinya harus dinyatakan tsiqqat „âdil dan dâbit. Dengan demikian, ketersambungan sanad bisa dikatakan sahih ketika ia dalam keadaan muttasil dan marfû „. Kedua , periwayatnya bersifat „âdil. Dalam hal ini, para ulama menyatakan bahwa perawi tersebut bisa dikatakan „âdil jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Beragama Islam, baligh, berakal, taqwa, murû „ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa besar seperti syirik, menghindari dosa kecil, tidak berbuat bid„ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat fasik, menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusak murû „ah, baik akhlaqnya, dapat dipercaya dan selalu berlaku benar. Dari kelima belas kategori yang dikemukakan tersebut, berdasarkan penelitian para ulama, terdapat satu sifat yang harus dimiliki oleh perawi yang dianggap dâbit, yaitu murû „ah. Ketiga , periwayatnya bersifat dâbit. Pengertian dâbit dapat dipahami sebagai orang yang terjaga hafalannya tentang apa yang didengarnya dan ia mampu untuk menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Dalam hal ini, para ulama memberikan ciri dan sifat perawi yang dâbit. Anatara lain adalah: 1. Perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya. 2. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya. 3. Perawi itu mampu menyampaikan dengan baik riwayat yang telah didengar dan dihafalnya. Selanjutnya, para ulama mempersempit batasan bagi orang yang dikategorikan sebagai orang yang dâbit. Para ulama dapat mengatakan dâbit ketika periwayatnya dapat diketahui berdasarkan kesaksian para ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan apa yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dâbit-annya. Sehingga, jika perawi itu mengalami kekeliruan maka ia masih dapat dinyatakan oleh para ulama sebagai perawi yang dâbit. Keempat , perawi hadis tersebut terhindar dari ke-syaz-an. Yakni, apabila seorang perawi hadis yang tsiqqat meriwayatkan hadis sedangkan perawi lain yang juga tsiqqat tersebut tidak meriwayatkannya. Hal ini, menurut al-Syâfi „î sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail, bisa disebabkan karena kesendirian individu periwayat dalam sanad hadis yang lebih dikenal dengan istilah fard mutlaq kesendirian absolut atau memang karena terdapat perawi yang tidak tsiqqat. Kelima , hadis itu terhindar dari „illat. Istilah ini menurut Ibn Salâh dan al- Nawawî sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya mempengaruhi kedudukan hadis yang memiliki kualitas sahih menjadi tidak sahih. Para ulama hadis umunya menyatakan ke- „illat-an suatu hadis dengan menunjukkan ciri bahwa sanad hadis tersebut tampak muttasil dan marfû „, tetapi setelah diadakan penelitian ternyata hadis tersebut muttasil tetapi mauquf. Bisa juga, sanadnya yang tampaknya muttasil dan marfû „, tetapi setelah diadakan penelitian ternyata muttasil tetapi mursal hanya sampai pada tingkat tabi„î. Hal itu dimungkinkan karena terjadinya percampuran dengan hadis lain atau terjadinya kesalahan dalam penyebutan riwayat. Hal senada mengenai kaidah kesahihan sanad hadis juga disampaikan oleh Bustamin dan M. Isa H. A. Salam dalam karyanya Metodologi Kritik Hadis. Buku yang amat ringkas ini mengawali kajiannya mengenai sanad hadis dengan mengemukakan kajian kitab-kitab Rijâl al-Hadîts. Disusul dengan mengemukakan penentuan hadis yang diteliti dan penelitian kualitas periwayat hadis. Lalu mereka mengemukakan mengenai kriteria kebersambungan sanad hadis dan meneliti syuzûz dan „illat. 2 Mengenai kriteria kesahihan matan hadis, bebrapa ulama mengatakan bahwa penelitian mengenai matan hadis tidak mudah dilakukan. Hal itu dikarenakan masih minimnya kitab-kitab yang mengkritik matan secara khusus. Beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya penelitian matan, yaitu : 1. Adanya periwayatan secara makna. 2 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam Metodologi Kritik Hadis PT. Raja Garfindo Persada: Jakarta, 2004 h. 22-58. 2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja. 3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui. 4. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “suprarasional”. 5. Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan. Walau bagaimanapun, para ulama telah berusaha melakukan penelitian matan hadis dengan berbagai pendekatan, salah satunya dengan menggunakan pendekatan bahasa Arab, karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan hadisnya. Selain pendekatan bahasa, para ulama juga melakukan pendekatan lainnya. Seperti pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa kritik matan hadis tidak hanya menggunakan pendekatan bahasa. Melalui berbagai pendekatan tersebut, penelitian mengenai matan hadis dapat dimungkinkan untuk menentukan kualitas hadis. Menurut al-Khatîb al- Baghdadî, sebagaimana dikutip oleh Bustamin dan M. Isa H. A. Salam bahwa matan hadis bisa diterima jika memenuhi keriteria sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan akal sehat. 2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yang telah muhkam ketentuan yang telah tetap 3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir. 4. Telah bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama terdahulu. 5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti. 6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat. Jika salah satu di antara kriteria tersebut tidak ditemukan pada sebuah penelitian hadis, maka hadis tersebut dikategorikan memiliki matan yang tidak sahih. Ibn al-Jauzî secara singkat menyampaikan mengenai kriteria kesahihan matan hadis dengan mengatakan bahwa, jika hadis tersebut bertentangan dengan akal atau bertolak belakang dengan ketentuan pokok agama, maka ia digolongkan sebagai hadis maudû „. 3 Di sisi lain, ada ulama yang menempuh jalan tengah dalam memberikan rambu-rambu kasahihan matan hadis. Salâh al-Dîn al-Adabî mengemukakan bahwa matan hadis dikatakan sahih jika : 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an. 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. 4

B. Metodologi Penelitian Hadis Nabi 1. Penelitian Sanad