Teknik Pengumpulan Data Bipartit

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui : 1. Studi Kepustakaan Library research Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku hukum, artikel, literatur yang berhubungan dengan penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. 2. Wawancara Interview Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara, pekerjaserikat pekerja, pengusahaserikat pengusaha dan pihak- pihak lain yang berhubungan dengan objek penelitian ini.

5. Analisis Data

Seluruh data yang di peroleh akan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan di analisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang persoalan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini. Data yang di analisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan Universitas Sumatera Utara menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan di olah kemudian di analisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara

BAB II PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN FAKTOR-FAKTOR

PENYEBABNYA

A. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan hubungan industrial merupakan istilah baru yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU PPHI. Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan serta Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan menggunakan istilah Perselisihan Perburuhan. Terdapat perbedaan pengertian menurut ketiga undang-undang tersebut, yaitu : Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 memberikan pengertian perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perserikatan majikan dengan perserikatan buruh atau sejumlah buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham antara hubungan kerja dan atau keadaan perburuhan. 43 Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 disebutkan perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan 43 Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Universitas Sumatera Utara serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham, mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. 44 Dari kedua rumusan tersebut menurut Zaeni Asyadie sebenarnya yang perlu mendapat perhatian adalah para pihak yang berselisih, menurut undang-undang darurat, dari pihak buruh yang boleh menjadi pihak dalam perselisihan disamping organisasi buruh adalah juga sejumlah buruh yakni beberapa orang buruh tanpa ikatan organisasi. Jadi beberapa orang buruh secara bersama-sama dapat menuntut majikan di depan persidangan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 45 Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, dari pihak buruh yang dapat menuntut dalam penyelesaian hanyalah organisasi buruh saja, hal ini tidak lain maksudnya adalah untuk merangsang para buruh untuk bergabung dalam satu organisasi, sedangkan persamaan dari kedua undang-undang tersebut menurut Imam Soepomo, adalah baik Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 maupun Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1957 sama-sama tidak memperbolehkan seorang buruh buruh perorangan menjadi penuntut dalam perselisihan. 46 Bagi perselisihan perburuhan perseorangan yaitu tentang pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha di atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Peraturan Menaker No.Per-04MEN1986 tentang 44 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan 45 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : Rajawai Pers, 1993, hlm. 165. 46 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Aneka Putusan P4, Jakarta : Pradya Paramita, 1978, hlm.9-10. Universitas Sumatera Utara Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 UU PPHI munculah istilah Perselisihan Hubungan Industrial sebagai pengganti istilah Perselisihan Perburuhan. Di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tersebut yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh atau serikat pekerjaburuh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan. 47 Nampak dalam UU PPHI ini, pihak yang berselisih adalah pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh. UU PPHI memperkenankan buruhpekerja perseorangan untuk menjadi pihak dalam perselisihan, hal mana tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957. Hal lain yang menjadi tambahan adalah adanya perselisihan antara serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan, yang lahir untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan yang terjadi antar serikat pekerjaserikat buruh tingkat perusahaan yang timbul karena lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh Serikat Pekerja. 47 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Universitas Sumatera Utara Uwiyono dalam tulisannya mengajukan pertanyaan sehubungan dengan pengertian perselisihan hubungan industrial ini, yaitu apakah perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dapat mengakibatkan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerjaserikat pekerja? Para pihak yang berselisih dalam rumusan Pasal 1 ayat 1 tersebut di atas membingungkan sebab di satu pihak hanya pengusahagabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial, di lain pihak perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh, yang pada pihaknya adalah serikat pekerja dengan serikat pekerja, dikatagorisasikan sebagai salah satu perselisihan yang menimbulkan perselisihan hubungan industrial. 48

B. Sejarah Perselisihan Hubungan Industrial

Mengenai sejarah perselisihan hubungan industrial ini sudah dikenal sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda yakni bermula sebagai akibat dari buruh kereta api yang pertama kali melakukan pemogokan. Untuk itu, yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di lapangan perusahaan kereta api dengan diadakannya verzoenings raad dewan pendamai. Peraturan tentang dewan pendamai bagi kereta api dan trem untuk Jawa dan Madura, regerings besluit tanggal 26 Februari 1923 Stb.1923 Nomor 80 yang kemudian di ganti dengan S.1926 Nomor 224. 48 Aloysius Uwiyono, Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya, dalam http:www.hukumonline.com . Diakses tanggal 20 Maret 2009. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1937 peraturan ini di cabut dan di ganti dengan peraturan tentang dewan perdamaian bagi kereta api dan trem di Indonesia yang berlaku untuk seluruh Indonesia regerings besluit tanggal 24 November 1937 s. 1937, Nomor 624. Adapun susunan kepengurusan dewan perdamaian ini adalah terdiri atas : 49 ”Seorang ketua dan seorang atau beberapa orang wakil ketua yang diangkat oleh Gubernur Jendral dari kalangan di luar perusahaan kereta api dan trem serta enam orang anggota yang di tunjuk oleh Kepala Jawatan Kereta Api, enam orang anggota yang ditunjuk oleh Dewan Pengurus dari persatuan perusahaan kereta apai dan trem di Indonesia, dua orang anggota di tunjuk oleh persatuan pegawai sarjana pada jawatan kereta api di Indonesia, enam orang anggota di tunjuk oleh Spoorbond, dua orang anggota di tunjuk oleh roomsch kathalands. Indie Raphael, seorang anggota yang di tunjuk oleh vereniging van het Eiropeesch personeel der pelis poorweg, dua orang yang di tunjuk oleh persatuan pegawai spoor dan trem dan seorang yang ditunjuk oleh bumi putra staatsspoor Tramwegen Ombilinmijnen en Landsantomobild iensten of Sumatera”. Tugas dewan pendamai ini ialah memberi perantaraan jika di perusahaan kereta api dan trem timbul atau akan terjadi perselisihan hubungan industrial yang akan atau telah mengakibatkan pemogokan atau dengan jalan lain merugikan kepentingan umum. 50 Pada tahun 1939 dikeluarkan peraturan cara menyelesaikan perselisihan hubungan industrial pada perusahaan lain di luar kereta api S.1939 Nomor 407 regerings besluit tanggal 20 Juli 1939 peraturan ini kemudian di ubah dengan S. 1948 Nomor 238. 51 Di dalam Pasal 1 S. 1939 Nomor 407 dikatakan kalau perusahaan swasta yang tidak termasuk perusahaan menurut regereings besluit tanggal 24 November 1937 Nomor 1 S.1937 Nomor 624 terjadi atau akan terjadi 49 F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 32. 50 Zaeni Ashadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Rajawali Pers, 2007, hlm. 129. 51 Ibid, hlm 129. Universitas Sumatera Utara perselisihan hubungan Industrial yang akan sangat mempengaruhi kepentingan umum maka Direktur Justitie wajib dengan cepat menyampaikan kepada Gubernur Jenderal, keterangan dan pertimbangan apakah perlu diadakan perantaraan oleh pemerintah atau tidak, jika perlu sebelumnya diadakan penyelidikan, namun meskipun demikian nantinya yang sangat menentukan apakah pemerintah perlu ikut campur tangan memberikan perantaraan atau tidak ialah Gubernur Jenderal, sedang Direktur Justitie hanya memberikan pertimbangan saja. 52 Itulah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan permasalahan perselisihan hubungan industrial pada waktu itu, perkembangan keadaan berjalan terus hingga bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal-awal kemerdekaan ini perselisihan perburuhan tidak begitu tajam atau belum sampai pada taraf yang penting-penting, hal ini dapat dimaklumi karena segala perhatian bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan pada bagaimana cara mempertahankan negara yang ingin di rebut kembali oleh Pemerintah Belanda, selain itu juga karena perusahaan-perusahaan yang penting pada waktu itu dikuasai oleh negara sehingga pertentangan antara buruh dengan majikan dapat diperkecil dan keadaan ini juga disebabkan karena Kementerian Sosial yang diwajibkan mengurus perburuhan belum mengadakan peraturan-peraturan baru mengenai cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial tetapi hanya berupa instruksi-instruksi kepada kepala-kepala 52 Ibid, hlm 130. Universitas Sumatera Utara jawatan sosial di daerah yang menentukan bagaimana seharusnya sikapnya terhadap perselisihan perburuhan. 53 Setelah pengakuan atas kedaulatan atas negara Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 mulai timbul pertentangan-pertentangan antara buruh dengan majikan sampai menimbulkan perselisihan yang menyebabkan terjadinya pemogokan maupun penutupan perusahaan, maka dikeluarkanlah Instruksi Menteri Perburuhan Nomor PBU.1022-45U.4191 Tanggal 20 Oktober 1950 tentang Penyelesaian Perburuhan. 54 Instruksi ini antara lain memuat bahwa : 55 a. Perselisihan antara buruh dengan majikan yang bersifat individual tentang hal-hal yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan, dan yang tidak berakibat pemogokan. Penyelesaian ini ditangani oleh Kantor Daerah Jawatan Pengawasan Perburuhan. b. Perselisihan perburuhan yang tidak termasuk perselisihan tersebut diatas, penyelesaian-penyelesaian ini ditangani oleh kantor-kantor daerah, jika dianggap perlu diselesaikan oleh kantor pusat urusan perselisihan di Jakarta. Kantor-kantor tersebut di atas mengadakan penyelesaian perselisihan perburuhan secara aktif, yang bersifat perantaraan mediation atau perdamaian 53 Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Masalalah PHK dan Pemogokan, Jakarta : Bina Aksara, 1988, hlm.90. 54 F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Op.Ciit, hlm.38. 55 Ibid Universitas Sumatera Utara conciliation dan jika oleh pihak yang berselisih menghendakinya dapat mengadakan pemisahanarbitrase arbitration. Cara penyelesaian perburuhan seperti di atas tidak dapat mengatasi perselisihan-perselisihan perburuhan pada waktu itu karena perselisihannya lebih bersifat politis dari pada ekonomis. Untuk mengatasi masalah-masalah sebagai akibat pemogokan-pemogokan yang sangat banyak terjadi pada waktu itu, maka pada permulaan tahun 1951 berdasarkan atas undang-undang keadaan perang dan darurat perang oleh beberapa panglima tentara dan teritorium dengan persetujuan pemerintah dikeluarkan aturan larangan mogok untuk perusahaan-perusahaan vital, tetapi karena terus menerus terjadi pemogokan yang menyebabkan keamanan dan ketertiban, sangat terganggu maka oleh kekuatan militer pusat dengan persetujuan Dewan Menteri ditetapkan Peraturan Penyelesaian Pertikaian Perburuhan Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1. 56 Peraturan ini melarang adanya pemogokan di perusahaan yang vital yakni dengan mengancam barang siapa yang melakukan pemogokan dan atau penutupan perusahaan di hukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya satu tahun dan atau denda setinggi-tinginya Rp 10.000,00. Peraturan ini juga mengatur cara penyelesaian pertikaian perburuhan yakni perselisihan di perusahaan yang vital diputuskan secara mengikat oleh panitia penyelesaian pertikaian perburuhan yang terdiri atas Menteri Perburuhan sebagai 56 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Jakarta : Djambatan, 1983, hlm. 144. Universitas Sumatera Utara ketua dan sebagai anggota adalah Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum sedangkan perselisihan di perusahaan yang tidak vital diselesaikan dengan cara mendamaikan oleh Instansi Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di daerah yang terdiri atas Wakil Menteri Perhubungan, sebagai ketua dan sebagai anggotanya Wakil Kementerian Dalam Negeri, Wakil Kementerian Keuangan, Wakil Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, Wakil Kementerian Umum dan Wakil Kementerian Perhubungan. Jika usaha instansi ini tidak berhasil, maka persoalannya diajukan kepada Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan, dengan demikian ada dua macam penyelesaian yaitu di perusahaan vital penyelesaiannya secara arbitrase wajib sedangkan di perusahaan lain dengan perantaraan saja, namun karena dalam kenyataannya peraturan ini tidak membawa hasil seperti yang diinginkan maka pada tahun 1951 pemerintah juga mengeluarkan undang-undang yakni Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Keistimewaan dari Undang-Undang Darurat ini adalah jika majikan dan serikat buruh tidak mengadakan pemisahan sukarela yakni menyerahkan perkaranya kepada seorang juru pemisah atau sebuah dewan pemisah untuk diselesaikan voluntary arbitration, maka perselisihannya akan diselesaikan oleh instansi tersebut dalam undang-undang darurat itu compulsory arbitration. Keadaan seperti ini terjadi bila pihak-pihak yang berselisih atau salah satu pihak dari pihak yang memberitakannya kepada pegawai perantara. Keistimewaan lain dari undang-undang darurat ini adalah bila para pihak tidak tunduk pada putusan Panitia Penyelesaian Universitas Sumatera Utara Perselisihan Perburuhan Pusat yang sifatnya mengikat di ancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,00. Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 ini sering mendapat kecaman dari para pihak khususnya serikat buruh karena dipandangnya sebagai peraturan pengekangan terhadap hak mogok karena pihak yang hendak melakukan tindakan terhadap hak mogok, harus memberitahukan maksudnya dengan surat kepada Panitia Daerah. Tindakan ini baru boleh dilakukan secepat-cepatnya tiga minggu sesudah pemberitahuan itu diterima oleh Panitia Daerah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana. Adanya kecaman-kecaman inilah yang mendorong dicabutnya Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan sebagai penggantinya pada tanggal 8 April 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang menetapkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat P4P dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah P4D sebagai organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan. Kondisi pada waktu itu banyak terjadi perselisihan antara buruh dengan majikan maka saat itu pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan sekarang di sebut Perjanjian Kerja Bersama. Selain itu di buat Undang-Undang Nomor 7 PnPs Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan Penutupan Universitas Sumatera Utara Perusahaan di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa seijin dari P4P dan P4D. Setelah itu kondisi ketenagakerjaan mulai membaik sehingga jarang terjadi konflik antara pekerja dengan pengusaha. Perhatian masyarakat juga tertuju pada politik dengan pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru. 57 Peraturan perundang-undangan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang digunakan sebagai landasan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum dapat mewujudkan penyelesaian secara sederhana, cepat, adil dan murah, bahkan sebaliknya prosedurnya panjang dan tidak adanya jeminan kepastian hukum. Upaya untuk mengganti peraturan perundang-undangan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang ketenagakerjaan sudah dilakukan sejak tahun 1998 yang melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja, pengusaha, LSM dan para pakar yang melahirkan rancangan undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial PPI dan tepatnya pada akhir tahun 2003 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial PPHI. 57 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003, hlm.7. Universitas Sumatera Utara Disahkannya UU PPHI ini pada tanggal 16 Desember 2003 menyebabkan segala bentuk penyelesaian perselisihan perburuhan akan mengikuti ketentuan yang berlaku menurut undang-undang ini. Pada ketentuan penutup UU PPHI ini dijelaskan undang-undang ini baru akan berlaku setahun setelah setelah diundangkan dan dengan berlakunya undang-undang tersebut maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi serta semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1964 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU PPHI.

C. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi beberapa jenis yaitu : a. Perselisihan hak b. Perselisihan kepentingan c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja d. Perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Universitas Sumatera Utara a. Perselisihan Hak Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menjelaskan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 58 Perselisihan hak dapat juga disebut perselisihan hukum yang diakibatkan tidak ditaatinya kesepakatan yang telah diperjanjikan termasuk didalamnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, pihak yang satu menafsirkan lain terhadap kesepakatan tersebut. 59 b. Perselisihan Kepentingan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 3 menyebutkan pengertian perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian mengenai pembuatan, danatau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, 58 Abdul Khakim berpendapat perselisihan hak rechtsgeschillen ialah perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan perundangan ketenagakerjaan, contoh pengusaha tidak membayar gaji sesuai perjanjian Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 90. 59 Iman Soepomo mengatakan perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja Jakarta : Djambatan, 1983, hlm 97. Sedangkan H.P.Rajagukguk berpendapat jika perselisihan hak adalah perselisihan hukum, yakni perselisihan kolektif atau perselisihan perorangan antara majikan atau serikat majikan dengan serikat buruh atau buruh perorangan mengenai pelaksanaan atau penafsiran perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja. Universitas Sumatera Utara atau perjanjian kerja bersama. 60 Jadi perselisihan jenis ini timbul karena perbedaan paham dari para pihak dalam pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja. Perselisihan kepentingan berbeda dengan perselisihan hak, dalam perselisihan hak, objek sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya perbedaan dalam implementsi atau penafsiran ketentuan peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang melandasi hak yang disengketakan. Jadi hendaknya harus berhati-hati dalam membuat perjanjian kerja, peraturan perusahaan serta kesepakatan kerja bersama agar tidak menimbulkan penafsiran lain sedangkan perselisihan kepentingan objek sengketanya karena tidak adanya kesesuaian pahampendapat mengenai pembuatan, danatau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Perselisihan pemutusan hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 4 adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 61 60 Abdul Khakim menyatakan perselisihan kepentingan belangengeschillen adalah perselisihan yang terjadi akibat dari adanya perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan, contoh pekerja menuntut kenaikan tunjangan makan Bandung : Citra Aditya Bakti , 2003, hlm.91. 61 PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerjaburuh dan pengusaha Pasal 1 Angka 25 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003. Universitas Sumatera Utara Selama ini dibandingkan jenis perselisihan lain, perselisihan jenis inilah yang paling banyak terjadi, walaupun dalam perundang-undangan sudah cukup jelas diterangkan tentang pemutusan hubungan kerja ini tetapi masih saja masing-masing pihak berbeda pendapat tentang pemutusan hubungan kerja. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah dijelaskan mengenai tata cara PHK. Menurut undang-undang ini PHK tidak boleh dilakukan terhadap pekerja dengan alasan : 62 a. Pekerjaburuh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 dua belas bulan secara terus menerus. b. Pekerjaburuh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. c. Pekerjaburuh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. d. Pekerjaburuh menikah e. Pekerjaburuh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya. f. Pekerjaburuh mempunyai pertalian darah danatau ikatan perkawinan dengan pekerjaburuh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. g. Pekerjaburuh mendirikan, menjadi anggota danatau pengurus serikat pekerjaserikat buruh, pekerjaburuh melakukan kegiatan serikat pekerjaserikat 62 Pasal 153 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Universitas Sumatera Utara buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. h. Pekerjaburuh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan. i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan. j. Pekerjaburuh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Akibatnya jika terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan di atas maka PHK tersebut menjadi batal demi hukum dan pengusaha harus mempekerjakan kembali pekerjanya. Adapun alasan yang diperbolehkan menjadi dasar pemutusan hubungan kerja adalah : 63 a. karena pekerja melakukan kesalahan berat 64 b. karena pekerja di tahan pihak yang berwajib c. karena telah diberikan surat peringatan ketiga d. karena perubahan status perusahaan 63 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 183. 64 Pasal ini telah dibatalkan oleh putusan Putusan Mahkamah Konstitusi MK bernomor 012PUU-12003 . Universitas Sumatera Utara e. karena perusahaan tutup f. karena perusahaan pailit g. karena pekerja meninggal dunia h. karena pekerja pensiun i. karena pekerja mangkir j. karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut. k. karena kemauan diri sendiri l. karena sakit berkepanjangan atau sakit akibat kecelakaan kerja Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan kasus PHK yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi izin PHK sebagaimana halnya dengan P4DP4P, tetapi menilai apakah PHK yang dilakukan oleh para pihak telah sesuai dengan hukum atau tidak, termasuk hal-hak yang diperoleh sebagai akibat dari PHK tersebut. 65 Selain kewenangan PHK yang datang dari pengusaha, pekerjaburuh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : 66 65 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, Jakarta : Rajawali Pers, 2004, hlm. 50. 66 Lihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Universitas Sumatera Utara i. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerjaburuh. ii. Menbujuk danatau menyuruh pekerjaburuh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. iii. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga tiga bulan berturut-turut atau lebih. iv. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerjaburuh. v. Memerintahkan pekerjaburuh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan. vi. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, kesusilaan pekerjaburuh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja. e. Perselisihan Antar-Serikat PekerjaSerikat Buruh dalam Satu Perusahaan Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan Perselisihan Antar-Serikat PekerjaSerikat Buruh adalah perselisihan antara serikat pekerjaserikat buruh dengan serikat pekerjaserikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan. Saat ini sudah diterbitkan undang-undang khusus serikat pekerjaserikat buruh yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh. Di dalam undang-undang ini memberikan kemudahan kepada buruh untuk membentuk serikat pekerjaserikat buruh di tingkat perusahaan. Hanya dengan Universitas Sumatera Utara minimum 10 orang pekerja dalam suatu perusahaan sudah dapat di bentuk serikat pekerjaserikat buruh. Di dalam undang-undang ini juga dijelaskan siapapun tidak dapat memaksakan kehendak dalam pembentukan atau tidak melakukan pembentukan serikat pekerjaserikat buruh. Pengelompokan jenis-jenis perselisihan tersebut kembali di kritik oleh Uwiyono, menurutnya pengelompokan jenis perselisihan dalam UU PPHI ini tidak benar. Hal ini disebabkan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja tidak dalam satu tataran dengan perselisihan hak atau hukum dan perselisihan kepentingan. Pengkatagorian jenis perselisihan hakhukum dan perselisihan kepentingan didasarkan faktor penyebabnya yaitu adanya ketidaksepahaman tentang pelaksanaan aturan hukum, perbedaan perlakuan, dan perbedaan penafsiran suatu ketentuan hukum untuk perselisihan hak, dan ketidaksepahaman tentang perubahan syarat-syaratkondisi kerja untuk perselisihan kepentingan. Perselisihan PHK, perselisihan upah lembur, perselisihan jaminan sosial, perselisihan kesehatan dan keselamatan kerja adalah contoh-contoh dari perselisihan hakhukum, sedangkan perselisihan antar serikat pekerjaburuh dilihat dari subjek yang berselisih selanjutnya perselisihan yang terjadi antar serikat buruhpekerja jika dilihat dari faktor pekerjanya adalah ketidaksepahaman tentang perbedaan pelaksanaan suatu aturan hukum atau perbedaan penafsiran suatu aturan hukum yang masuk dalam katagori perselisihan hak atau perselisihan hukum. 67 67 Aloysius Uwiyono, Op.Cit Universitas Sumatera Utara

D. Perselisihan Dalam Hubungan Industrial Pancasila

Hubungan Industrial Pancasila HIP adalah sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa pekerja, pengusaha dan pemerintah yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. 68 Ini artinya prinsip hubungan industrial pancasila yang dianut di Indonesia harus dipergunakan sebagai acuan dalam mengatasi atau memecahkan berbagai persoalan yang timbul perselisihan dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegiatan hubungan industrial harus mengamalkan sila-sila dari pancasila sebagai berikut : 69 1. Hubungan industrial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menyatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima dan percaya bahwa perusahaan adalah berkat dan rahmat Allah SWT serta kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita, supaya kita dapat melayani sesama manusia, serta kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Sebab itu perlu adanya kebebasan beragama dan beribadah, dan ada rasa saling menghormati antara sesama kelompok-kelompok agama. 2. Hubungan industrial berdasarkan keadilan dan peradapan manusia menganjurkan bahwa setiap pekerja tidak boleh diperlakukan hanya sebagai faktor produksi tetapi juga sebagai mahluk individu yang memiliki kepribdaian, berdasarkan kenyataan ini, hubungan pengusaha dengan karyawan harusberdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa cinta dengan sesama. 3. Hubungan industrial berdasarkan persatuan Indonesia, menunjukan bahwa tidak ada diskriminasi golongan, agama, dan antara pria dan wanita. Antara pengusaha dan pekerja, harus mengingkatkan rasa cinta air dan 68 Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila HIP, Jakarta : Depatemen Tenaga Kerja, 1985, hlm. 9 69 Ibid Universitas Sumatera Utara masyarakat, serta menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompok. 4. Hubungan industrial berdasarkan perwakilan dan permusyawaratan mengutamakan bahwa pemilik perusahaan dan pekrja harus berlaku sebagai patner dalam produksi. Ini berarti mereka harus tolong menolong dan berusaha mencari persesuaian di antara mereka. Keduanya pengusaha dan pekerja harus mengutamakan pemusyawaratan dalam membuat keputusan bagi kepentingan bersama. 5. Hubungan industrial berdasarkan keadilan sosial, mempunyai arti baik pengusaha maupun pekerja harus berusaha untuk memperbaiki kesejahteraan semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Setiap orang harus menerima balas jasa sesuai dengan fungsi dan kemampuanya. Hubungan industrial pancasila berbeda dengan hubungan industrial di negara lain karena memiliki ciri khas yaitu : 70 1. Hubungan Industrial Pancasila mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Hubungan Industrial Pancasila menganggap pekerjaburuh bukan hanya sekedar faktor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya, oleh karena itu perlakuan pengusahamajikan kepada pekerjaburuh bukan hanya dilihat dari segi kepentingan produksi belaka, tetapi harus dilihat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia. 3. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, setiap ada perbedaan pendapat antara pekerjaburuh dengan pengusahamajikan harus dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan, karena dalam tindakan mogok, penekanan dan penutupan perusahaan Lock Out adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila. Selain Hubungan Industrial Pancasila, juga dikenal beberapa hubungan industrial di dunia, yaitu : 70 Hartono Widodo dan Juliantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers, 1992, hlm.15. Universitas Sumatera Utara a. Hubungan Industrial berdasarkan Demokrasi Liberal Hubungan industrial ini berdasarkan pada falsafah individualisme dan liberalisme yang dianut oleh negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Ciri hubungan industrial berdasarkan Demokrasi Liberal antara lain : 71 1. Pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah yang sebesar-besarnya, sedangkan pengusaha ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. 2. Pihak majikan dan pekerja masing-masing membentuk kekuatan sosial untuk memelihara dan melindungi kepentingan masing-masing dalam setiap perselisihan. 3. Setiap individu baik majikan ataupun pekerja akan dijamin haknya untuk berusaha atau berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya perusahaan. 4. Mufakat diselesaikan melalui konflik bargainning dan voting. 5. Lock Out majikan dan mogok kerja Pekerja merupakan senjata masing- masing pihak untuk mendikte lawan. b. Hubungan Industrial Berdasarkan Perjuangan Kelas Hubungan indutrial ini berlandaskan MarxismeKomunisme, yang memiliki ciri- ciri sebagai berikut : 72 71 Ali Mashar, Rasional dan Sejarah Singkat Hubungan Industrial Pancasila, dalam http:www . pksm.mercubuana.ac.idnewelearningfiles_modul31022-12-928244234882.doc, Diakses tanggal 4 Mei 2009 72 Lalu Husni, Op.Cit, hlm.31 Universitas Sumatera Utara 1. Berdasarkan pada teori ”nilai lebih” dari Karl Marx dan Lenin, yakni pengusaha selalu berupaya agar dapat menilai lebih meskipun dengan mengambil sebagian upah pekerja. 2. Perjuangan kelas diperlukan untuk mencapai diktator proletariat yang merupakan masa transisi ke tahap penghapusan semua kelas menuju masyarakat tanpa kelas. 3. Untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, kelas tertindas harus dipertentangkan dengan kelas penindas. 4. Pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang bertentangan kepentingan karena itu perbedaan pendapat diselesaikan dengan saling menjatuhkan. c. Hubungan industrial yang didasarkan pada ajaran sosial Rerum Novarum, berpandangan bahwa pertentangan kelas dalam masyarakat tidak bersifat abadi, karena itu perlu diupayakan kerja sama. d. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup. Sistem ini diterapkan di Jepang yang mencerminkan hubungan industrial yang bersifat desentralistik dan paternalistik yang menekankan kewajiban kesejahteraan pekerja menjadi tanggungjawab pihak perusahaan. Untuk mewujudkan falsafah hubungan industrial Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari perlu dirintis sarana perwujudannya, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Lembaga Kerjasama Bipartit Lembaga kerjasama bipartit 73 adalah lembaga yang berada pada tingkat unit produksi yang dibentuk bersama-sama dengan pengusaha dan pekerja. Badan ini merupakan forum konsultasi, komunikasi dan musyawarah dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dalam meningkatkan produktivitas kerja, ketenangan kerja dan usaha serta penelitian praktek-praktek kesepakatan kerja dan penetapan tata cara kerja. 2. Lembaga Kerja Sama Triparit Lembaga kerjasama tripartit adalah lembaga kerja sama yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga ini 74 adalah sebagai forum konsultasi dan komunikasi dengan tugas utamanya menyatukan konsepsi, sikap, dan rencana dalam menghadapi berbagai masalah ketenagakerjaan, baik timbul sekarang maupun yang timbul di masa datang. 73 LKS Bipartit tidak dapat diartikan sebagai kerjasama dalam arti fisik, melainkan dalam konsep pemikiran dan penyamaan persepsi. LKS Bipartit tidak dapat menggantikan fungsi SP didalam perundingan atau musyawarah, apalagi mencapai suatu kesepakatan. LKS Bipartit hanya sebatas sebagai forum komunikasi dan konsultasi yang tidak mengikat semua pihak. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja kurang dari 50 orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif, namun pada perusahaan dengan jumlah pekerja 50 orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Agus Setya Permana, Hubungan Industrial, dalam http:www.sp-bni.or.idcontenthubungan-industrial , Diakses tanggal 20 Mei 2009. 74 Sedangkan tugas lembaga ini adalah a.menggalang komunikasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah, pekerja dan pengusaha. b.menampung, merumuskan dan memecahkan masalah yang menyangkut dalam bidang ketenagakerjaan c.membina komunikasi, informasi, konsultasi secara timbal balik dalam hubungan kerja dari ketiga unsur tripartit d.dalam hubungan dengan badan- badan lain yang bersifat tripartit, memberikan informasi dan konsultasi secara timbal balik juga dengan LKS Tripartit daerah dan sektoral. Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia : Panduan Pengusaha, Pekerja dan calon Pekerja, Jakarta : Pustaka Yistisia, 2008, hlm. 39. Universitas Sumatera Utara 3. Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Industrial Kelembagaan ini merupakan mekanisme penyelesaian keluh kesah yang seharusnya diadakan di setiap perusahaan. 75 Apabila penyelesaian keluh kesah di perusahaan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka penyelesaiannya didasarkan pada ketentuan pelaksanaan peraturan perundang- undangan yang berlaku yaitu menyerahkan pada pegawai perantara yang pada dasarnya merupakan tahap penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Untuk itu pihak yang berselisih menyadari bahwa sikap keterbukaan merupakan salah satu kunci penyelesaian, yang berarti dihadapan pegawai perantara harus merupakan tempat tukar menukar informasi lebih mendalam terhadap kedua belah pihak, sehingga proses penyelesaian dapat berjalan lancar, cepat dan baik. 4. Organisasi Ketenagakerjaan Organisasi ketenagakerjaan yang terdiri dari Serikat PekerjaSerikat Buruh 76 dan 75 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh secara musyawarah untuk mufakat, Ali Sodikin, Sarana Menciptakan Hubungan Industrial Yang Harmonis, dalam http:apindo.or.idindexberitaaW5mbywyNDk , Diakses tanggal 3 Mei 2009. 76 Serikat Pekerja Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerjaburuh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerjaburuh serta meningkatkan kesejahteraan pekerjaburuh dan keluarganya. Setiap pekerjaburuh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerjaserikat buruh. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, serikat pekerjaserikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur dalam anggaran dasar danatau anggaran rumah tangga serikat pekerjaserikat buruh yang bersangkutan. Ibid Universitas Sumatera Utara Organisasi Pengusaha 77 haruslah sesuai dengan tuntutan hubungan industrial Pancasila, yaitu antara lain : a. harus dibentuk secara demokratis b. harus berasaskan Pancasila c. dibentuk bukan karena tujuan menghimpun kekuatan demi tercapainya tujuan kelompoknya, tetapi harus dibentuk sebagai salah satu rekanan pengusaha untuk meningkatkan produksi dalam menunjang pembangunan. Pelaksanaan Hubungan Industial Pancasila akan memberikan kepada pekerja dan pengusaha suatu filsafat untuk dapat memahami lebih lanjut kedudukan, peranan dan partisipasinya dalam pembangunan. Secara lebih jauh Hubungan Industrial Pancasila dapat digunakan sebagai sarana dalam mengurangi timbulnya masalah ketenagakerjaan, sehingga segala macam rintangan yang dapat menghambat kelancaran jalannya pembangunan sedikit banyaknya dapat diatasi. Di dalam hubungan industrial yang berdasarkan Pancasila, maka pengusaha sebagai pemberi kerja dan upah serta pekerja sebagai penerima kerja dan upah, merupakan patner dalam pembangunan, oleh karena itu hubungan antara pekerja dan pengusaha harus selalu bekerjasama secara kekeluargaan dan bergotong royong yang berdasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, khususnya sila 77 Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. Keberadaan organisasi pengusaha dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha dalam rangka melindungi iklim investasi dan terselenggaranya proses produksi yang aman dan lancar. Untuk saat ini, organisasi pengusaha yang mewakili pengusaha di bidang ketenagakerjaan dan Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO. Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ibid Universitas Sumatera Utara kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya kerja sama antara pengusaha dengan pekerja yang bersifat kekeluargaan dan segala sesuatu diselesaikan dengan permusyawaratan dan kesepakatan, maka di dalam Hubungan Industrial Pancasila akan tercipta suatu hubungan yang selaras, serasi dan seimbang. Pekerja di samping partner di dalam menciptakan produksi, juga sebagai teman seperjuangan dalam pemerataan menikmati hasil keuntungan perusahaan menurut bagian yang layak sesuai dengan prestasi kerja para pekerja sebagai partner dalam bertanggung jawab. Seiring adanya reformasi negara, istilah hubungan industrial Pancasila seakan menghilang dan tidak pernah disebut-sebut lagi. Saat ini istilah hubungan industrial Pancasila sering disebut hubungan industrial saja. Sejak reformasi tahun 1998, telah terjadi beberapa perubahan mendasar di bidang ketenagakerjaan di Indonesia yang berdampak pada sistem dan pelaksanaan hubungan industrial, diantara perubahan tersebut adalah: 78 Pertama, reformasi politik dan pemerintahan tahun 1998, dari pengekangan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat selama pemerintahan Orde Baru menjadi eufora reformasi dan demokrasi. Eoforia reformasi tersebut bukan saja berdampak pada pembentukan lebih dari 100 partai politik baru, akan tetapi juga pada pembentukan lebih dari 100 serikat pekerja. 78 Sarana Hubungan Industrial, dalam httpwww.ab-fisip-upnyk.comfilesBab-02-Sarana- HI.pdf, Diakses tanggal 15 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Kedua, pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten dan kota, menuntut peningkatan peranan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha di tingkat kabupten atau cabang. Demikian juga dengan otonomi daerah, terjadi pergeseran kewenangan perumusan dan pelaksanakan kebijakan ketenagakerjaan dan hubungan indistrial serta pengawasan dari aparat Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tingkat kabupaten atau kota. Ketiga, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization ILO pada tahun 1998 mengeluarkan Deklarasi yang pada intinya mewajibkan semua negara di dunia meratifikasi dan menerapkan prinsip 8 Konvensi Dasar ILO. Dua diantaranya, yaitu Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98 menyangkut kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk bernegosiasi. Ratifikasi kedua Konvensi tersebut juga berarti membuka peluang dan perlindungan bagi para pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Keempat, Indonesia bersama negara-negara lain merupakan bagian dari dunia menghadapi globalisasi. Ciri utama globalissi adalah persaingan yang tajam antar perusahaan dan antar negara. Persaingan tersebut bukan saja menuntut reorientasi hubungan antara serikat pekerja dan pengusaha dari yang selama ini cenderung konfrontatif menjadi kooperatif. Perubahan-perubahan tersebut menuntut perubahan dalam pendekatan, kelembagaan dan penerapan hubungan industrial antara lain : 79 79 Ibid Universitas Sumatera Utara 1. Euforia Reformasi Setelah adanya reformasi, banyak pekerja merasa telah memiliki kembali haknya untuk berserikat. Serikat pekerja langsung tumbuh seperti jamur. Hingga akhir tahun 2002 sudah terbentuk dan terdaftar di Departemen Tenaga Kerja dan transmigrasi 71 Federasi Serikat Pekerja dan lebih dari 100 serikat pekerja tingkat nasional yang non-afiliasi. Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 yang telah diratifikasi Infonesia memungkinkan pembentukan lebih dari satu serikat pekerja di satu perusahaan. Keberadaan serikat pekerja yang demikian menuntut perubahan berbagai kelembagaan dan proses pelaksanaan hubungan industrial, antara lain komposisi dan mekanisme kerja Lembaga Bipartit dan Tim Perunding di tingkat perusahaan, Panitia Penyelesaian Perselisihan, Lembaga Tripartit dan lain-lain. 2. Otonomi Daerah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi pemerintahan dilaksanakan di tingkat kebupaten dan kota. Pada tingkat kabupatenkota tersebut, masing-masing federasi serikat pekerja dan serikat pekerja non afiliasi pada umumnya mempunyai perangkat organisasi dalam bentuk Pengurus Cabang, demikian juga asosiasi pengusaha juga mempunyai perangkat organisasi di tingkat kabupaten dan kota. Patut diantisipasi bahwa akan banyak peraturan ketenagakerjaan terutama yang bersifat pelaksanaan yang akan ditetapkan di tingkat kabupaten dan kota dalam bentuk Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati. Oleh karenanya, asosiasi pengusaha, setiap federasi serikat pekerja unitaris atau yang berdiri sendiri, perlu memperkuat Universitas Sumatera Utara dan memberdayakan perangkat organisasi dan Pengurus Cabang supaya berperan aktif sebagai mitra sosial bersama Pemerintah Daerah setempat terutama di berbagai lembaga tripartit di masing-masing kabupaten dan kota. 3. Deklarasi ILO Sebagaimana dikemukakan di atas, Konferensi ILO ke-86 bulan Juni1998 telah mengeluarkan satu Deklarasi yang intinya adalah bahwa semua negara anggota ILO menyatakan komitmen mereka untuk meratifiksi dan atau menerapkan prinsip- prinsip konvensi Dasar ILO. Konvensi dasar tersebut kemudian berkembang yang dikelompokkan menjadi 4 bidang yaitu bidang : a. Kebebasan dan perlindungan hak berserikat dan berunding bersama, terdiri dari Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98; b. Larangan kerja paksa, terdiri dari Konvensi Nomor 29 dan Nomor105; c. Larangan memperkerjakan anak, terdiri dari Konvensi Nomor 138 dan Nomor 182; d. Larangan diskriminasi dalam penerimaan dan perlakukan terhadap pekerja, terdiri dari Konvensi Nomor 100 dan Nomor 111. Konvensi dasar tersebut merupakan ketentuan minimal yang harus dipatuhi oleh pengusaha dan Pemerintah di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Dengan demikian, perusahaan multinasional tidak mungkin menghindari kewajiban melaksanakan Konvensi dasar tersebut misalnya dengan pindah ke negara tertentu. Universitas Sumatera Utara Juga merupakan kewajiban pengusaha dan serikat pekerja untuk bersama- sama melaksanakan ketentuan Konvensi dasar dimaksud. Serikat pekerja di tingkat perusahaan bukan saja ikut terlibat langsung dan aktif dalam menerapkan Konvensi dasar dimaksud, akan tetapi juga perlu aktif melaporkan pelaksanaannya.

E. Faktor Penyebab Terjadinya Perselisihan Antara Pekerja Dengan

Pengusaha Perselisihan hubungan industrial dapat terjadi dengan didahului ataupun tidak didahului oleh suatu pelanggaran hukum. Perselisihan hubungan industrial yang didahului suatu pelanggaran hukum terjadi dalam beberapa bentuk : 80 a. Pengusaha tidak memenuhi hak normatif pekerja sebagaimana telah diperjanjikan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum. b. Perlakuan pengusaha yang bersifat diskriminatif. Misalnya perbedaan pembayaran upah berdasarkan perbedaan gender atau warna kulit. c. Pekerja melakukan tindakan tidak disiplin atau kesalahan atau pelanggaran, misalnya: malas, mengganggu pekerja lain, merusak alat, mencuri. Perselisihan hubungan industrial yang tanpa didahului suatu pelanggaran dapat terjadi karena faktor : 81 80 Kajian Penanganan Perselisihan Industrial Melalui Hubungan Tripartit Dalam Perspektif HAM, dalam http:www.unissula.ac.idmhartikel , Diakses tanggal 20 Nopember 2008. Hal serupa juga sesuai dengan hasil wawancara SPSI Sumatera Utara Bapak Usman dan KPS Bapak Situmorang tanggal 20 Mei 2009 dan 8 Juni 2009. 81 Ibid Universitas Sumatera Utara a. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Misalnya dalam pemberian bonus, cuti panjang, pembayaran uang lembur, dan lain-lain. b. Tidak tercapai kesepahaman tentang syarat-syarat kerja, misalnya karena pengusaha tidak mampu atau tidak bersedia memenuhi tuntutan pekerja atau serikat pekerja dalam hal kenaikan upah, uang transpor, hak cuti, dan lain-lain. Berdasarkan hasil peneltian tim SMERU, dari kasus-kasus perselisihan hubungan industrial dan pemogokan kerja di tingkat perusahaan, penyebab utama yang sering ditemui di banyak perusahaan dapat dikelompokkan dalam 4 empat kategori : 82 1. Tuntutan non-normatif, yaitu yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perselisihan ini sebagai refleksi ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, misalnya karena belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transport dan uang susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas, dan hal-hal lain. 2. Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama, maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru. 82 Hubungan Industrial Di Era Kebebasan Berorganisasi, dalam http:pukmusashi.blogspot.com200510hubungan-industrial-di-era-kebebasan.html , Diakses tanggal 17 April 2009 Universitas Sumatera Utara Misalnya pelaksanaan Upah Minimum Regional atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama tripartit, uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukan serikat pekerja dan pemilihan pengurus secara demokratis, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Hari Raya, dan pemberian pesangon. 3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan misalnya oleh pekerja dari perusahaan lain dan aksi solidaritas untuk melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah minimum regional, kenaikan uang transport dan uang makan sebagai akibat kenaikan bahan bakar minyak, pemberlakuan cuti haid; dan 4. Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa. Perselisihan yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha disebabkan beberapa faktor, yaitu 83 : a. Faktor Internal Faktor internal yang menyebabkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha bisa berasal dari pihak pengusaha maupun pihak pekerja. Penyebab yang berasal dari pengusaha antara lain : 83 Rangkuman wawancara dengan Bapak Maurid Siahaan Disnakertrans Sumut, Bapak Usman Syam SPSI Sumut, Bapak Sitomorang KPS dan SBMI. Universitas Sumatera Utara 1. Pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang. 2. Pengusaha ingkar janji terhadap perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. 3. Perusahaan membuat kebijakan sendiri dengan tidak memperhatikan kepentingan pekerja. 4. Sikap pengusaha yang tidak baik. 5. Manajemen perusahaan yang kacau. 6. Tidak ada keterbukaan di perusahaan. 7. Pengusaha diskriminasi terhadap pekerja. Adapaun penyebab perselisihan yang berasal dari pekerja adalah antara lain sebagai berikut : 1. Pekerja tidak melaksanakan kewajibannya kepada perusahaan dan ingkar janji terhadap perjanjian yang sudah dibuat sebelumnya. 2. Pekerja menuntut hak yang berlebihan kepada pengusaha, misalnya meminta gaji dan fasilitas yang diluar kemampuan perusahaan. 3. Sikap dan prilaku pekerja yang tidak baik. Pengaturan syarat-syarat kerja selama berlangsungnya hubungan kerja yang tidak jelas dapat juga menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Hal ini bisa menjadi sumber kesalahpahaman antara pekerja dengan pengusaha sehingga menimbulkan perselisihan. b. Faktor Eksternal Selain disebabkan oleh faktor internal perusahaan, perselisihan juga bisa dipengaruhi faktor-faktor dari luar perusahaan, yaitu antara lain : Universitas Sumatera Utara 1. Pengaruh kebijakan pemerintah, yang sering menjadi pemicu terganggunya hubungan antara pekerja dengan pengusaha, pekerja menilai kebijakan pemerintah tidak berpihak kepadanya dan penyusunan kebijakan tersebut tidak melibatkan pihak pekerja. Sebaliknya pengusaha juga menilai kebijakan pemerintah berupa peraturan-peraturan ketenagakerjaan sering memberatkan pengusaha. Akibatnya masing-masing pihak merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah dan menimbulkan keresahan di perusahaan. 2. Minimnya sosialisasi peraturan perundang-undangan 3. Pengawasan ketenagakerjaan tidak berjalan efektif, akibatnya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha tidak ditindak. Akibatnya lama kelamaan bisa menyebabkan perselisihan di perusahaan. 4. Faktor ekonomi juga bisa menjadi pemicu terjadinya perselisihan, hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan, misal faktor tingginya inflasi, kenaikan harga BBM yang menaikan harga kebutuhan pokok. 5. Faktor lingkungan sekitar dan pengaruh pihak ketiga, hal ini bisa diakibatkan tingkat kesejahteraan di perusahaan lain yang sejenis lebih baik dan provokasi dari lingkungan sekitar. Perusahaan yang tidak banyak menghadapi masalah perselisihan industrial adalah perusahaan yang telah melaksanakan hak-hak normatif dan memperhatikan kesejahteraan pekerjaburuh, memperlakukan pekerjaburuh mereka sebagai mitra, dan membina komunikasi serta membuka peluang adanya keterbukaan dengan pekerjaburuhnya. Di perusahaan seperti ini, perselisihan hubungan industri biasanya Universitas Sumatera Utara hanya terjadi apabila perusahaan mengalami goncangan secara tiba-tiba, misalnya saja serangan terhadap gedung World Trade Center pada bulan September 2001 dan penurunan produksi secara drastis atau penurunan pesanan sebagai akibat krisis ekonomi, sehingga perusahaan terpaksa mengurangi biaya produksi dan mengambil tindakan PHK untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. 84 Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi oleh pihak perusahaan, perundingan tidak segera dilakukan, atau karena kesepakatan antara perusahaan dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan belum dapat dicapai. Tim Peneliti SMERU membagi perselisihan industrial dan mogok kerja menjadi empat kategori, yaitu: 85 vii. Perselisihan ringan, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerjaburuh yang dapat diselesaikan secara bipartit. viii. Perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerjaburuh yang dapat diselesaikan secara bipartit. ix. Perselisihan berat, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja yang dapat diselesaikan di tingkat tripartit. 84 Hasil wawancara dengan bapak TB Hasbi APINDO Sumut tanggal 8 Juni 2009, demikian juga pendapat Bapak Maurid Siahaan Disnakertrans Sumut. 85 Hubungan Industrial di Era Kebebasan Berorganisasi, Ibid. Universitas Sumatera Utara x. Perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial disertai mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerjaburuh yang belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit. Akhirnya, berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak 86 , kesimpulan yang dapat diambil mengenai praktek penyelesaian perselisihan industrial, antara lain adalah: 1. Perselisihan industrial antara pekerja dengan atasan perselisihan individual biasanya pertama-tama diselesaikan secara musyawarah informal antara pihak yang berselisih dengan difasilitasi oleh serikat pekerja tingkat perusahan SP-TP. Bila tidak tercapai kesepakatan, maka kasus perselisihan akan diajukan ke tingkat bipartit yang akan melibatkan perusahaan secara formal. 2. Perselisihan yang bersifat tuntutan non-normatif biasanya dapat diselesaikan secara bipartit. Keputusan yang diambil umumnya merupakan hasil kompromi antara kepentingan pekerja dan kepentingan perusahaan, dalam batas toleransi kedua belah pihak, misalnya mengenai tuntutan bonus. Umumnya pekerja atau SP tidak terlalu memaksa bahwa semua tuntutan harus dipenuhi, yang penting tuntutan mereka mendapat tanggapan dari perusahaan meskipun hanya sebagian. 3. Tuntutan yang bersifat normatif biasanya untuk pertama kali diselesaikan secara bipartit, namun bila tuntutan tersebut tidak ditanggapi perusahaan, maka dapat 86 Kesimpulan dari hasil wawancara di Disnakertrans, SPSI Sumut, SBMI, KPS, DPP Apindo Sumut. Universitas Sumatera Utara dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial. 4. Tuntutan yang disertai unjuk rasa massal dan berdampak PHK apabila tidak dapat diselesaikan di tingkat bipartit biasanya kemudian diselesaikan sampai ke tingkat pengadilan, sebab upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit ini harus dilakukan terlebih dahulu oleh pekerjaburuh dan pemberi kerja pengusaha terhadap semua jenis perselisihan hubungan industrial. Dari perundingan bipartit ini diharapkan akan tercapai kesepakatan penyelesaian tanpa campur tangan pihak ketiga. Hal ini dapat dimengerti karena sebetulnya yang paling mengetahui duduk permasalahan dan berperan dalam perselisihan yang terjadi adalah pekerjaburuh dan pengusaha. Campur tangan pihak ketiga bisa saja membantu mendinginkan suasana tapi bisa juga membuat suasana menjadi lebih panas. 5. Sebagian perusahaan melakukan hal ini sebagai upaya untuk mendidik pekerja: bahwa perselisihan yang tidak mau diselesaikan di tingkat bipartit dan disertai unjuk rasa massal akan menelan biaya tinggi dan memakan waktu lama. Bagi perusahaan hal ini tidak menjadi masalah, namun bagi pekerja dapat berdampak besar. 6. Tuntutan yang disertai unjuk rasa dan kekerasan umumnya mengakibatkan perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang dianggap sebagai pemimpin, penggerak atau provokator unjuk rasa. Dalam kasus semacam ini perusahaan kadang-kadang juga melibatkan pihak kepolisian, selanjutnya masalah akan diajukan ke peradilan pidana. Universitas Sumatera Utara

BAB III MEKANISME DAN KEKUATAN MENGIKAT PENYELESAIAN

PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA DENGAN PENGUSAHA DI LUAR PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Model Penyelesaian Perselisihan Antara Pekerja Dengan Pengusaha di Luar Pengadilan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Sebelum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UUPHI berlaku, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui pengadilan Adjudication atau di luar pengadilan Non-Adjudication. Pasal 116 g Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indoneie RO Stbl Nomor 23 Tahun 1847 menyebutkan bahwa ”Penagihan mengenai perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan dengan tidak melihat jumlah uang itu, tidak melihat golongan warga negara dari pihak yang bersangkuatan, pada tingkat pertama diadili oleh Pengadilan Negeri Hakim Residentie”. Kemudian Pasal 2a RO menyebutkan bahwa : ”Suatu pekerjaan, baik sebagian maupun seluruhnya dilaksanakan di Indonesia, maka Hakim Indonesia berhak untuk mengadilinya”. Jenis perselisihan yang dapat diselesaikan melalui pengadilan ialah jenis perselisihan hak dan bersifat individual maupun kolektif. Tata cara atau prosedur penuntutan di Pengadilan Negeri mengenai masalah perburuhan ini tunduk kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia yaitu Universitas Sumatera Utara melalui proses gugat menggugat. Putusan Pengadilan Negeri terhadap masalah perburuhan ini berupa sanksi perdata. Tetap dengan mengindahkan ketentuan di atas, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 memberikan wewenang kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 untuk menyelesaikannya, dengan demikian mengenai perselisihan hak ini, dalam bidang perburuhan ada dua instansi atau badan yang berwenang menyelesaikannya yaitu Pengadilan Negeri dan P4. Terhadap kedua badan tersebut dibedakan sebagai berikut : 1. Pihak yang dapat menuntut di depan P4 hanya majikan dan organisasi buruh saja, sedangkan buruh secara perorangan mengajukan tuntutannya ke Pengadilan Negeri. 2. Sanksi putusan Pengadilan Negeri hanya semata-mata sanksi perdata, sedangkan putusan P4 selain dikenai pidana kurungan dapat juga dikenai hukuman denda. 87 3. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan Pengadilan Negeri adalah banding, kasasi dan peninjauan kembali sedangkan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan P4 adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, karena putusan P4 dikatagorikan sebagai keputusan tata usaha negara, dan jika masih ada pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan TUN maka dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 87 Zainal Asikin, Op.Cit, hlm.166-167. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, penyelesaian non-pengadilan dapat dilakukan melalui negosiasi para pihak yang berselisih bipartit atau dengan melibatkan pihak ketiga tripartit. Penyelesaian secara tripartit ini dapat menggunakan DewanJuru Pemisah yaitu melalu Arbitrase atau melalui Pegawai Perantara yaitu melalui mediasi atau konsiliasi atau penyelesaian di Panitian Penyelesaian Perselisihan Perburuhan P4 Daerah atau Pusat. Sekarang menurut UU PPHI, penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Cara ini sebenarnya sudah dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan tersebut.

1. Bipartit

Upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit ini harus dilakukan terlebih dahulu oleh pekerjaburuh dan pemberi kerja pengusaha terhadap semua jenis perselisihan hubungan industrial. 88 Dari perundingan bipartit ini diharapkan akan tercapai kesepakatan penyelesaian tanpa campur tangan pihak ketiga. Hal ini dapat dimengerti karena sebetulnya yang paling mengetahui duduk permasalahan dan berperan dalam perselisihan yang terjadi adalah pekerjaburuh dan pengusaha. 88 Peranan lembaga kerja sama bipartit tingkat perusahaan harus lebih diperkuat dalam menangani persoalan internal. Penyelesaian di tingkat perusahaan dinilai lebih baik ketimbang melibatkan pihak ketiga yang belum tentu memahami keinginan kedua belah pihak. Hubungan Industrial, Bipartit Internal Harus Lebih Diperkuat, dalam http:kompas.co.idreadxml2009020321332352hubungan.industrial.bipartit.internal.harus.lebih.di perkuat , Diakses tanggal 20 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Campur tangan pihak ketiga ini bisa saja membantu mendinginkan suasana tapi bisa juga membuat suasana menjadi lebih panas. Selama ini penyelesaian bipartit dikenal sebagai penyelesaian dengan cara negosiasi yaitu komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 89 Negoisasi adalah sarana bagi pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. 90 Penyelesaian secara musyawarah ini juga diamanatkan oleh Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam Pasal 136 ayat 1 yang menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh secara musyawarah atau mufakat. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengusaha dan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang. Penyelesaian secara bipartit ini wajib dilaksanakan dan dibuat risalah yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Proses bipartit ini harus selesai dalam waktu 30 hari, dan jika melewati 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau 89 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase : Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000, hlm.49. 90 Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap batal. Jika perundingan mencapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama dan jika tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. 91 Penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dilihat dari ketentuan di atas, jelas bahwa dari kedua undang-undang tersebut terdapat kesamaan dalam hal penuangan hasil perdamaian itu secara tertulis, hanya saja dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mensyaratkan waktu 14 hari sebagai tenggang waktu membuat perdamaian, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 paling lama 30 hari sejak dimulainya perundingan. Adapun terhadap perdamaian yang dihasilkan oleh para pihak berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dilaksanakan secara paksa eksekusi melalui 91 Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Universitas Sumatera Utara pengadilan, sebagaimana halnya dengan penyelesaian sengketa berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004. Di dalam perundingan bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. 92 UU PPHI ini menambah meja pencatat perselisihan hubungan industrial. Jika para pihak gagal dalam meyelesaikan secara bipartit, maka sebelum para pihak ingin menyelesaikan melalui mediasi atau konsiliasi atau arbitrase, terlebih dahulu harus mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Uwiyono mengkritik adanya tambahan meja ini, karena dalam era globalisasi seharusnya kebijakan pemerintah diarahkan pada tindakan debirokratisasi atau deregulasi, bukan sebaliknya menambah meja baru, namun Lalu Husni 93 mengemukakan alasan mengenai adanya penambahan meja ini, yaitu bahwa ketentuan pencatatan tersebut wajar karena pemerintah harus mengetahui mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang tugasnya, apalagi menyangkut masalah perselisihan. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 3 dan 4 disebutkan bahwa setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk 92 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 93 Lalu Husni, Op.Cit, hlm.62. Universitas Sumatera Utara menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase dan dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Permenakertrans No. Per.31MENXII2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit menyebutkan tahap perundingan bipartit adalah sebagai berikut : a. Tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan : 1. pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya; 2. apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerjaburuh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerjaserikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerjaserikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerjaburuh dalam perundingan; 3. pihak pengusaha atau manajemen perusahaan danatau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung; 4. dalam perundingan bipartit, serikat pekerjaserikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing- masing; 5. dalam hal pihak pekerjaburuh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerjaserikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 sepuluh orang Universitas Sumatera Utara pekerjaburuh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 lima orang dari pekerjaburuh yang merasa dirugikan; 6. dalam hal perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerjaserikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 sepuluh orang. b. Tahap perundingan : 1. kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan; 2. kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati; 3. dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya; 4. para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati; 5. dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupatenkota tempat pekerjaburuh bekerja walaupun belum mencapai 30 tiga puluh hari kerja; 6. setelah mencapai 30 tiga puluh hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak; Universitas Sumatera Utara 7. setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud; 8. hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang- kurangnya memuat : a. nama lengkap dan alamat para pihak; b. tanggal dan tempat perundingan; c. pokok masalah atau objek yang diperselisihkan; d. pendapat para pihak; e. kesimpulan atau hasil perundingan; f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. 9. rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya; c. Tahap setelah selesai perundingan : 1. dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama; 2. apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupatenkota tempat pekerjaburuh bekerja Universitas Sumatera Utara dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah melihat tahapan perundingan tersebut, pertanyaannya adalah apakah penyelesaian bipartit akan cukup efektif dalam menyelesaikan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Jika di kalangan pengusaha, bipartit dilihat sebagai upaya yang relatif ideal dalam kondisi seperti ini, bagi kaum pekerja hal ini merupakan satu solusi pragmatis dan jalan pintas yang tidak akan banyak mengubah inti persoalan. Hal ini disebabkan antara lain, Pertama, karena bipartit itu sendiri merupakan konsekuensi dari praktik globalisasi di level praktis, di mana fungsi negara sebagai pelindung orang miskin semakin tiada. Penegasan terhadap penggunaannya adalah sekadar memformalisasi hal-hal yang telah menjadi mekanisme global di tingkat nasional. Kedua, jika pemerintah ada di luar proses penyelesaian, kekuasaan akan kian imun dari berbagai bentuk tekanan publik sehingga jika terjadi kemacetan atau dampak sosial akibat konflik tak terselesaikan, negara tak bisa dituntut tanggung jawabnya lagi. Ketiga, penyelesaian dengan bipartit membutuhkan jaminan penegakan hukum kuat, situasi ekonomi yang stabil, dan serikat buruh yang kokoh . 94

2. Mediasi

Dokumen yang terkait

ASAS NETRALITAS MEDIASI HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

0 4 17

Implementasi Kebijakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung

0 2 1

PENGARUH UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MENCIPTAKAN KEPASTIAN HUKUM DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

0 0 13

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN UU NOMOR 2 TAHUN 2004

0 0 13

MEKANISME PENYELESAIAN PERKARA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA PENGADILAN NEGERI KLAS IA SAMARINDA

0 0 23

BAB II PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL D. Pengertian Hubungan Industrial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubunga

0 2 16

BAB I PENDAHULUAN - Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Melalui Mediasi Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam Perkara Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Elfrida Plastik Industri

0 0 19

ANALISIS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN DI KOTA PANGKALPINANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR. 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN - Analisis hukum penyelesaian sengketa ketenagakerjaan di kota Pangkalpinang berdasarkan undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 24

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SEMARANG TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS TENTANG PUTUSAN PERKARA NOMOR 27/PDT.S

0 0 12