Perbedaan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Petugas Kesehatan di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010
PERBEDAAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI RUANGAN ICU RSUD dr. PIRNGADI DAN
RUMKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB MEDAN TAHUN 2010
T E S I S
OLEH
SUBANG AINI NASUTION 087031015/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
THE DIFFERENCE OF ENVIRONMENTAL SANITATION AND HEALTH WORKERS BEHAVIOR AT ICU ROOM dr. PIRNGADI GENERAL
HOSPITAL AND PUTRI HIJAU KESDAM I/BB HOSPITAL IN MEDAN IN 2010
T H E S I S
BY
SUBANG AINI NASUTION 087031015/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PERBEDAAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI RUANGAN ICU RSUD dr. PIRNGADI DAN
RUMKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB MEDAN TAHUN 2010
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUBANG AINI NASUTION 087031015/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Judul Tesis : PERBEDAAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI RUANGAN ICU RSUD dr. PIRNGADI DAN RUMKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB MEDAN TAHUN 2010 Nama Mahasiswa : Subang Aini Nasution
Nomor Induk Mahasiwa : 087031015
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua
(dr. Surya Dharma, M.P.H) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(5)
Telah diuji
Pada Tanggal : 09 Mei 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. dr. Surya Dharma, M.P.H
2. dr. Fauzi, S.K.M
(6)
PERNYATAAN
PERBEDAAN SANITASI LINGKUNGAN DAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI RUANGAN ICU RSUD dr. PIRNGADI DAN
RUMKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB MEDAN TAHUN 2010
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2011
Penulis
(7)
ABSTRAK
Sanitasi lingkungan rumah sakit dan perilaku petugas kesehatan dilingkungan rumah sakit yang belum memenuhi standar dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial. Sanitasi lingkungan dan perilaku petugas kesehatan diperlukan dalam pencegahan infeksi bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, upaya pencegahan infeksi adalah tingkat pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan sanitasi lingkungan (suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi) dan perilaku petugas kesehatan di ruangan ICU dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah survey komparatif menggunakan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang bertugas di ruangan ICU baik di dr. Pirngadi maupun di Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Uji statistik menggunakan uji t-tes.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan suhu, kelembaban dan sikap petugas kesehatan ruangan ICU dr. Pirngadi Medan dengan ruangan ICU Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, sedangkan pencahayaan, kadar debu, pelaksanaan sterilisasi, pengetahuan, tindakan petugas kesehatan, kuman di udara dan lantai ada perbedaan yang signifikan antara ruangan ICU dr. Pirngadi dengan ruangan ICU Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Mengingat pentingnya peranan sanitasi ruangan ICU dan perilaku petugas kesehatan maka pihak rumah sakit perlu memperhatikan perilaku petugas kesehatan dan menjaga sanitasi ruangan ICU yang telah ditetapkan dan dilaksanakan secara berkala. Dan diharapkan petugas kesehatan dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan harus melaksanakan SOP dan harus dievaluasi dan diawasi sepenuhnya.
Kata kunci : Sanitasi, Perilaku, Infeksi Nosokomial
(8)
ABSTRACT
Non-standard environment of hospital and behavior of health worker can be the factor of the incident of nosocomial infection. Environmental sanitation and health workers’ behavior are needed to prevent the spread of infection to the patients being hospitalized in a hospital, meaning that infection prevention is the first priority in qualified service provision.
The purpose of this study was to analyze the difference of environmental sanitation (temperature, humidity, lighting, dust and the implementation of sterilization) and health workers’ behavior on incidence of nosocomial infection in the ICU Rooms of dr. Pirngadi General Hospital and Putri Hijau Kesdam I/BBI Hospital in Medan in 2010. This was a comparative survey study with cross-sectional design. The sample for this study were all of the health workers working in the ICU room either at dr. Pirngadi General Hospital or Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Statistical test used the t-test.
The result of this study showed that there were no difference between temperature, humidity and health workers’ behavior in the ICU room of dr. Pirngadi General Hospital Medan and those in the ICU room of Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, while lighting, dust level, sterilization implementation, knowledge, action taken by health workers, bacteria in air and on the floor showed a significant difference between the ICU room dr. Pirngadi General Hospital and the ICU room Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Reminding the importance of sanitation role in the ICU room and health worker’s behavior, the management of hospital need to pay attention to the health worker’s behavior and keep the sanitation of ICU room which has been determined and implemented periodically. The health workers at dr. Pirngadi General Hospital and Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan are expected to implement the SOP and they must be evaluated and fully controlled.
Key words: Sanitation, Behavior, Nosocomial Infection
(9)
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat serta Karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis dan atas izinKarunia-Nya pula tesis dengan judul: Perbedaan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Petugas Kesehatan di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010 dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini banyak kekurangan-kekurangan, namun demikian berkat bimbingan Bapak-bapak dan Ibu pembimbing dan bantuan dari berbagai pihak sehingga keinginan tersebut dapat terwujud dalam tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(10)
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyelesaian tesis ini.
6. dr. Surya Dharma, M.P.H, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan masukan dan arahan dalam proses penyelesaian tesis ini.
7. dr. Fauzi, S.K.M, selaku dosen penguji I yang selalu memberikan masukan dan arahan dalam proses penyelesaian tesis ini.
8. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H, selaku penguji II yang selalu memberikan masukan dan arahan dalam proses penyelesaian tesis ini.
9. dr. Dewi Fauziah Syahnan, Sp.THT, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
10. Ibunda dan ayahanda tercinta yang selalu memberikan dukungan moral dan material serta Do’a kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.
Hanya Allah SWT yang senantiasa dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah diperbuat. Selanjutnya demi kesempurnaan tesis ini, penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang bersifat membangun.
Medan, Juni 2011
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Subang Aini Nasution yang dilahirkan pada tanggal enam Januari tahun seribu Sembilan ratus delapan puluh lima di Sapilpil Sabungan Kecamatan Sei Kanan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Penulis adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dari Bapak Jamil Nasution dan ibu Siti Asiah.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 117493 di Medan tahun 1996, tahun 1999 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri I Langga Payung, tahun 2002 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 2 Rantauprapat, dan tahun 2005 menamatkan Pendidikan Diploma III Kebidanan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima Husada Medan, tahun 2008 menamatkan Pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Prima Indonesia Medan.
Penulis memulai karir menjadi staf Pengajar di Universitas Prima Indonesia Medan tahun 2009 sampai sekarang.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GRAFIK... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 10
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Hipotesis ... 11
1.5 Manfaat Penelitian ... 12
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rumah Sakit ... 13
2.2 Sanitasi Lingkungan... 13
2.3 Perilaku ... 27
2.4 Angka Kuman ... 34
2.5 Infeksi Nosokomial ... 36
2.6 Landasan Teori... 63
2.7 Kerangka Konsep... 65
BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 66
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 66
3.3. Populasi dan Sampel ... 67
3.4. Metode Pengumpulan Data... 68
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 70
3.6. Metode Pengukuran ... 72
3.7. Metode Analisis Data... 80
BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 81
(13)
4.3. Sanitasi Ruangan ICU... 85
4.4. Perilaku Petugas Kesehatan ... 86
4.5. Angka Kuman ... 87
4.6. Insidens Infeksi Nosokomial... 89
4.7. Sanitasi Lingkungan ... 90
4.8. Perilaku Petugas Kesehatan Ruangan ICU ... 95
4.9. Angka Kuman ... 98
BAB 5. PEMBAHASAN 5.1. Sanitasi Lingkungan ... 100
5.2. Perilaku Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial... 110
5.3. Angka Kuman terhadap Infeksi Nosokomial ... 118
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 122
6.2. Saran ... 123
DAFTAR PUSTAKA ... 125
(14)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden pada Ruang ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam
I/BB Medan ... 84 4.2. Distribusi Sanitasi Ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 85 4.3. Prilaku Petugas Kesehatan di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 86 4.4. Angka Kuman Udara di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit
TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 87 4.5. Angka Kuman Lantai di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit
TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 88
4.6. Insidens Infeksi Nosokomial pada Pasien di Ruangan ICU RSUD
dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 89 4.7. Suhu pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan Rumkit
TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 90 4.8. Kelembagaan pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 91 4.9. Pencahayaan pada Ruanagan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam II/BB Medan... 92 4.10. Kadar Debu pada ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 93 4.11. Sterilisasi pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 94 4.12. Pengetahuan Petugas Kesehatan pada Ruangan ICU RSUD
(15)
4.13. Sikap pada Ruanagn ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan Rumkit
TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 96 4.14. Tindakan pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Meadn dan
Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 97 4.15. Angka Kuman Udara di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
Rumkit TK II Putri hijau Kesdam I/BB Medan... 98 4.16. Angka Kuman Lantai di Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan
(16)
DAFTAR GRAFIK
Nomor Judul Halaman
5.1. Suhu terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi Medan dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan... 100 5.2. Kelembaban terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada
Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan ... 102 5.3. Pencahayaan terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada
Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan... 104 5.4. Kadar Debu terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada
Ruangan ICU RSUD dr. Pringadi Medan dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Madan... 107 5.5. Pengetahuan Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi
Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan TK II Putri
Hijau Kesdam I/BB Medan... 110 5.6. Pengetahuan Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi
Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan TK II Putri
Hijau Kesdam I/BB Medan... 111 5.7. Sikap Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan... 113 5.8. Sikap Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau
Kesdam I/BB Medan... 114 5.9. Tindakan Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi
Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II
(17)
5.10. Tindakan Petugas Kesehatan terhadap Angka Kuman dan Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II
Putri Hijau Kesdam I/BB Medan ... 117 5.11. Angka Kuman Udara terhadap Insidens Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB
Medan ... 119 5.12. Angka Kuman Lantai terhadap Insidens Infeksi Nosokomial pada Ruangan ICU RSUD Dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB
(18)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial... 42 2. Kerangka Konsep Penelitian... 65
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian... 130 2. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 138
(20)
ABSTRAK
Sanitasi lingkungan rumah sakit dan perilaku petugas kesehatan dilingkungan rumah sakit yang belum memenuhi standar dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial. Sanitasi lingkungan dan perilaku petugas kesehatan diperlukan dalam pencegahan infeksi bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, upaya pencegahan infeksi adalah tingkat pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan sanitasi lingkungan (suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi) dan perilaku petugas kesehatan di ruangan ICU dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah survey komparatif menggunakan desain cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan yang bertugas di ruangan ICU baik di dr. Pirngadi maupun di Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Uji statistik menggunakan uji t-tes.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan suhu, kelembaban dan sikap petugas kesehatan ruangan ICU dr. Pirngadi Medan dengan ruangan ICU Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, sedangkan pencahayaan, kadar debu, pelaksanaan sterilisasi, pengetahuan, tindakan petugas kesehatan, kuman di udara dan lantai ada perbedaan yang signifikan antara ruangan ICU dr. Pirngadi dengan ruangan ICU Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Mengingat pentingnya peranan sanitasi ruangan ICU dan perilaku petugas kesehatan maka pihak rumah sakit perlu memperhatikan perilaku petugas kesehatan dan menjaga sanitasi ruangan ICU yang telah ditetapkan dan dilaksanakan secara berkala. Dan diharapkan petugas kesehatan dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan harus melaksanakan SOP dan harus dievaluasi dan diawasi sepenuhnya.
Kata kunci : Sanitasi, Perilaku, Infeksi Nosokomial
(21)
ABSTRACT
Non-standard environment of hospital and behavior of health worker can be the factor of the incident of nosocomial infection. Environmental sanitation and health workers’ behavior are needed to prevent the spread of infection to the patients being hospitalized in a hospital, meaning that infection prevention is the first priority in qualified service provision.
The purpose of this study was to analyze the difference of environmental sanitation (temperature, humidity, lighting, dust and the implementation of sterilization) and health workers’ behavior on incidence of nosocomial infection in the ICU Rooms of dr. Pirngadi General Hospital and Putri Hijau Kesdam I/BBI Hospital in Medan in 2010. This was a comparative survey study with cross-sectional design. The sample for this study were all of the health workers working in the ICU room either at dr. Pirngadi General Hospital or Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan. Statistical test used the t-test.
The result of this study showed that there were no difference between temperature, humidity and health workers’ behavior in the ICU room of dr. Pirngadi General Hospital Medan and those in the ICU room of Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, while lighting, dust level, sterilization implementation, knowledge, action taken by health workers, bacteria in air and on the floor showed a significant difference between the ICU room dr. Pirngadi General Hospital and the ICU room Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
Reminding the importance of sanitation role in the ICU room and health worker’s behavior, the management of hospital need to pay attention to the health worker’s behavior and keep the sanitation of ICU room which has been determined and implemented periodically. The health workers at dr. Pirngadi General Hospital and Rumkit Putri Hijau Kesdam I/BB Medan are expected to implement the SOP and they must be evaluated and fully controlled.
Key words: Sanitation, Behavior, Nosocomial Infection
(22)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai unsur pelayanan kepada masyarakat, tentunya dalam penerapan sanitasi rumah sakit akan terkait erat dengan unsur pelayanan teknis medis dan teknis keperawatan penderita. Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan ini, maka sanitasi rumah sakit juga merupakan integrasi dari administrasi/manajemen kesehatan lingkungan, rekayasa sosial (social engineering), epidemiologi dan pendidikan kesehatan lingkungan bagi masyarakat. Penyelenggaraan sanitasi rumah sakit merupakan bagian integral dari program rumah sakit secara keseluruhan, penerapan sebagai bagian program berdasarkan pada perundangan yang berlaku di dalam rumah sakit (Dinata, 2008).
Sanitasi rumah sakit juga harus merupakan satu kesatuan dan keterpaduan dari pengetahuan dan teknologi rekayasa (engineering) pengetahuan dan teknologi kimia, pengetahuan bakteriologi dan mikrobiologi; pengetahuan dan teknologi perawatan mekanis pengetahuan dan kemampuan khusus pengelolaan administratif maupun teknis (managerial skill) di bidang kesehatan lingkungan. Terkait dengan prinsip-prinsip sanitasi rumah sakit yang diterapkan dalam rangkaian usaha pencegahan dan pengurangan infeksi nosokomial (infeksi silang dan swa infeksi), dapat melalui : 1) Penanganan kebersihan kerumahtanggaan untuk menciptakan lingkungan yang
(23)
nyaman dan bersih dari investasi mikroorganisme, yang bebas dari jasad renik. 2) Tersedia dan terlaksananya penanganan, pengumpulan limbah atau sampah yang memadai. 3) Tersedianya air bersih yang bebas dari kuman penyakit. 4) Ventilasi udara yang baik, yang dapat memberikan udara bersih dan segar. 5) Teknik-teknik aseptik pembebasan kuman dan hama bagi semua petugas rumah sakit. 6) Tempat tidur dan perlengkapannya bersih dan bebas dari kuman. 7) Pencahayaan (termasuk alami dan buatan) yang cukup (Adisasmito, 2007).
Keberadaan rumah sakit dilihat dari aspek kesehatan lingkungan, pada dasarnya terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik. Dalam kesehariannya lingkungan biotik dan abiotik ini akan melakukan interaksi baik langsung maupun tidak langsung. Atas dasar itu, maka di lingkungan rumah sakit dimungkinkan terjadinya kontak antara tiga komponen (pasien, petugas, dan masyarakat) dalam lingkungan rumah sakit dan benda-benda/alat-alat yang dipergunakan untuk proses penyembuhan, perawatan dan pemulihan penderita. Hubungan tersebut bersifat kontak terus menerus yang memungkinkan terjadinya infeksi silang pasien yang menderita penyakit tertentu kepada petugas rumah sakit dan pengunjung rumah sakit yang sehat. Akan tetapi mungkin juga berfungsi sebagai carier kepada pasien, petugas dan pengunjung (Dinata, 2008).
Manajemen sanitasi rumah sakit merupakan tindakan pengelolaan dalam upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di rumah sakit yang mungkin menimbulkan atau dapat mengakibatkan pengaruh buruk
(24)
terhadap kesehatan jasmani, rohani, maupun sosial bagi petugas, penderita, pengunjung maupun masyarakat sekitar rumah sakit. Manajemen pelayanan sanitasi rumah sakit diselenggarakan dalam rangka menciptakan kondisi lingkungan rumah sakit yang nyaman dan bersih sebagai pendukung usaha penyembuhan penderita, disamping mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi nosokomial kepada sesama pasien dan orang sehat baik petugas rumah sakit maupun pengunjung. Dengan demikian, penerapan manajemen sanitasi rumah sakit dapat dikatakan sebagai kunci awal untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Dinata, 2008).
Infeksi nosokomial sampai sekarang masih merupakan masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Masalah yang ditimbulkan dapat memperberat penyakit yang ada, bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut Suparno dkk (2003), berdasarkan data WHO kejadian infeksi nosokomial 9% terjadi di negara-negara berkembang. Beberapa negara melaporkan bahwa rata-rata 5-10% penderita yang dirawat di rumah sakit akan mendapatkan infeksi yang ditularkan oleh seseorang atau dari suatu alat selama pasien dirawat di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah serta tingkat higienis lingkungan rumah sakit yang masih rendah (Spiritia, 2006).
Di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 10 pasien di rumah sakit menderita infeksi nosokomial atau 2 juta pasien setiap tahun. Diperkirakan biaya yang dikeluarkan adalah 4,5-11 milyar dollar. Di Inggris dilaporkan adanya estimasi tambahan biaya sekitar 280 dollar per pasien selama masa rawatan di rumah sakit.
(25)
Infeksi nosokomial juga menjadi salah satu penyebab 88.000 kematian yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1995 (Lumbanraja, 2009).
Infeksi nosokomial tidak hanya ditemukan di Indonesia akan tetapi dapat ditemukan diseluruh dunia dan mempengaruhi baik negara maju, negara berkembang maupun negara miskin, hasil survey prevalensi yang dilakukan oleh WHO terhadap 55 rumah sakit dari 14 negara yang mewakili 4 daerah WHO (Eropah, Mediterania Timur, Asia Selatan Timur dan Pasifik Barat), menunjukkan rata-rata 8,7 % penderita dirawat dirumah sakit menderita infeksi nosokomial. Insiden infeksi nosokomial tertinggi terjadi didaerah Mediterania Timur 11,8 %, Asia Selatan –Timur 10 %, Eropah 7,7 % dan Pasifik Barat 9 % Depkes RI (2004). Wiwing (2005) mengutip dari Astuti (2003), di Indonesia prevalensi infeksi nosokomial yang dikeluarkan oleh Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI tahun 2003 adalah angka rata-rata sebesar 8,1%.
Infeksi nosokomial merupakan masalah global dan menjangkau paling sedikit sekitar 9% (3 %- 21 %) dari lebih 1,4 juta pasien rawat inap dirumah sakit diseluruh dunia (Depkes, 2001). Data kejadian infeksi nosokomial dinegara berkembang sangat kurang dan sering tidak konsisten. Di negara berkembang antara lain didapat angka kejadian infeksi nosokomial berupa angka prevalensi sebesar 12,7% di Malaysia (Putuachaery, 1987). Dan angka insiden sebesar masing-masing 13,8 % dan 7,5 % di Taiwan dan Nigeria (Bernstein, 1987 dan Subayo, 1987). Menurut Dartini (2004) yang mengutip dari Utji (1992), Hasil penelitian pada 10 rumah sakit pendidikan di Indonesia tahun 1987 oleh Dirjen PPM dan PLP didapat rata-rata prevalensi infeksi
(26)
nosokomial adalah 9,1 % dari 2875 penderita yang dirawat sedangkan angka kejadian infeksi nosokomial tahun 1991 di ruang perawatan intensif di RS Cipto Mangunkusumo sebesar 14,4 %.
Kasus-kasus kejadian infeksi dilaporkan oleh negara berkembang maupun negara maju diseluruh dunia misalnya pada tahun 1818-1865 Semmelewis (Wina, Austria) mendeteksi tingginya angka kematian akibat febris puerperalis terutama pada ibu-ibu melahirkan yang ditolong oleh mahasiswa kedokteran. Ternyata hal ini disebabkan oleh karena tidak dilakukan tindakan cuci tangan sebelum menolong persalinan (Bennett, 1992). Tahun 1982 di Jepang terjadi epidemi oleh kuman Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika tertentu. diduga akibat penggunaan cephalosporin yang berlebihan. Yamucci (1993), Haley dkk, (1992), melaporkan bahwa adanya peningkatan kejadian infeksi oleh Methicillin Resistant Staphlococcus Aureus (MRSA) dirumah sakit Amerika Serikat yang kemungkinan terjadi karena transfer pasien dan karyawan rumah sakit dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.
Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial lebih sering terjadi dibanding dengan pasien dibangsal rawat biasa. Penelitian dari Universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien ICU mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi dan angka kematian karena Pneumonia nosokomial sangat tinggi (37%) dimana hal ini dihubungkan dengan penggunaan alat bantu nafas (Zulkarnaen, 1996).
(27)
Terjadinya infeksi nosokomial tentunya akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan angka mortalitas yang juga akan menyebabkan kerugian lain seperti rasa tidak nyaman bagi pasien, perpanjangan hari rawat (length of stay), menambah biaya perawatan dan pengobatan yang akhirnya dapat menimbulkan kesan buruk terhadap citra rumah sakit. Di negara maju angka infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izin operasional suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial, pihak asuransipun tidak mau membayar biaya lebih yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga penderita sangat dirugikan (Hasbullah, 1993).
Berdasarkan hasil survey di Rumkit putri hijau melalui data rekam medik angka infeksi nosokomial tahun 2009 pada ruangan ICU sekitar 20%. Dan berdasarkan data indikator mutu pelayanan data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Kota Medan Tahun 2007 terhadap infeksi nosokomial sebesar 2,63% yang terdiri dari infeksi yang disebabkan oleh penggunaan jarum infus sebesar 1,8%, akibat tirah baring (dekubitus) 0,2 % dan angka infeksi luka operasi sebesar 0,6%, transfusi darah 0,03%. Sedangkan Angka infeksi nosokomial tahun 2008 pada ruangan ICU sebesar 40% (Sukartik, 2009).
Angka kejadian infeksi nosokomial secara nasional di Indonesia belum ada, namun diduga angka kejadiannya tinggi. Penelitian terhadap infeksi nosokomial di Indonesia dilakukan hanya oleh beberapa rumah sakit dan hanya melibatkan beberapa bagian unit perawatan saja. Oleh karena itu diperlukan lebih banyak lagi penelitian
(28)
terhadap kejadian infeksi nosokomial di Indonesia. Penyakit yang terjadi akibat infeksi silang (cross infection) disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (self infection, auto infection) disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan kejaringan lain. Infeksi lingkungan (enverenmental infection) disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit (Depkes RI, 1995).
Depkes RI (2006), mengatakan dalam pertumbuhannya mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu, kelembaban, pencahayaan, dan sebagainya yang semua itu diatur dalam Kepmenkes No.1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit agar kualitas udara ruang ICU tetap baik. Tindakan untuk meningkatkan kualitas udara di ruang ICU adalah pembersihan ruang secara menyeluruh dan sterilisasi ruang dengan sinar ultra violet secara benar. Kepadatan hunian pasien akan memperbesar terjadinya penyakit infeksi nosokomial. Salah satu penyebab adalah rendahnya kualitas udara ruang ICU di rumah sakit. Oleh sebab itu surveilans lingkungan rumah sakit khususnya ruang ICU sangat diperlukan (Dartini, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Triatmodjo (1993), Petugas rumah sakit seperti dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lain, dapat merupakaan sumber atau media transmisi/penularan kuman-kuman patogen, di samping dapat berperan sebagai carrier dari bakteri tertentu, dapat pula membawa kuman karena kontak dengan para
(29)
pasien yang telah terinfeksi sebelumnya. Tangan petugas terkontaminasi oleh kuman yang mengandung CFA (Colonizing Factor Antigen) dan bila kuman ini menginfeksi seseorang dapat manjadi patogen didalam tubuh. Infeksi nosokomial juga dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen. Faktor endogen adalah faktor yang ada didalam tubuh penderita sendiri antara lain umur, jenis kelamin, daya tahan tubuh dan kondisi lokal. Faktor eksogen adalah faktor dari luar tubuh penderita berupa lamanya penderita dirawat, kelompok yang merawat, lingkungan, peralatan tehnis medis yang dilakukan dan adanya benda asing dalam tubuh penderita yang berhubungan dengan udarah luar (Roeshadi, 1991).
Menurut Lumbanraja (2007) yang mengutip dari Ruchiyat dan Fatimah (1990), Garha (1991) menggambarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung di 6 unit perawatan, antara lain: ICU, Obstetri Ginekologi, Bedah, Neurologi, Bedah saraf dan Penyakit Dalam selama tiga bulan (Januari-Maret 1989). Selama masa penelitian, 98 dari 981 penderita (9,99%) dinyatakan positif menderita infeksi nosokomial, sedangkan kejadian infeksi nosokomial masing-masing adalah perawatan ICU 41,07%, perawatan bedah 13,93% dan perawatan obstetric dan ginekologi sebesar 13,43%.
Menurut Chatim, Rasyid dan Suparno dalam Nurayni (2009), berbagai penelitian yang dilaporkan sterilisasi dan desinfeksi dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan kuman penyebab infeksi nosokomial. Lingkungan termasuk peralatan rumah sakit yang terkontaminasi, merupakan sumber
(30)
mikroorganisme patogen yang dapat menimbulkan wabah infeksi nosokomial. Sterilisasi adalah setiap proses (kimia dan fisik) yang membunuh semua bentuk hidup terutama mikroorganisme. Sterilisasi yang sering digunakan untuk ruangan adalah radiasi dengan sinar ultraviolet. Untuk mengatasi lingkungan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen, peran desinfektan sangat diperlukan, contohnya lisol dan karbol. Hal ini dilakukan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme sebagai agen penyebab infeksi.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti menilai bahwa kegiatan pemeriksaan mikrobiologi udara ruang ICU (pengukuran angka kuman) sangat penting dimana kegiatan pengukuran ini dapat mendeteksi terjadinya infeksi nosokomial. Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, karena merupakan sarana umum yang sangat berbahaya dalam artiannya trasmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkat pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Salah satu cara transmisi dengan terjadinya infeksi nosokomial adalah melalui udara (airborne). Infeksi nosokomial melalui udara ini dapat terjadi pada udara yang terbuka maupun tertutup. Udara yang terbuka merupakan udara yang tidak dibatasi oleh ruangan apapun.
(31)
1.2. Permasalahan
Bagaimanakah sanitasi lingkungan (suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi) dan perilaku petugas kesehatan terhadap angka kuman dan infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD Dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis perbedaan sanitasi lingkungan (suhu, kelembaban pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi) dan perilaku petugas kesehatan terhadap angka kuman dan infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan berdasarkan suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
b. Untuk mengetahui perilaku petugas kesehatan berdasarkan pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
(32)
c. Untuk mengetahui angka kuman pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
d. Perbedaan sanitasi lingkungan berdasarkan suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan pelaksanaan sterilisasi terhadap angka kuman dan infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
e. Perbedaan perilaku petugas kesehatan berdasarkan pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap angka kuman dan infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
f. Perbedaan angka kuman terhadap insidens infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan Tahun 2010.
1.4. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
Apakah ada perbedaan sanitasi lingkungan dan perilaku perugas kesehatan terhadap angka kuman dan infeksi nosokomial pada ruangan ICU di RSUD dr. Pirngadi dan Rumkit TK II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan.
(33)
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.
1.5.2. Bagi Rumah Sakit
Memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak rumah sakit dalam meningkatkan program pencegahan infeksi nosokomial.
(34)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (Depkes RI, 2009).
Menurut Wolper dan Pena (1987), di kutip dari Adisasmito (2007), rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Serta dapat dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Karena rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan untuk pelayanan umum dan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, yang memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan atau dapat menjadi tempat penyebab panularan penyakit (Dartini, 2004).
2.2. Sanitasi Lingkungan
Menurut Ehleer dan Steel (1969) sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi rantai penularan penyakit. Sedangkan menurut Depkes RI (2001), unsur sanitasi dasar di lingkungan
(35)
pemukiman yang perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan adalah penyehatan perumahan atau pemukiman, pengendalian vektor, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air limbah dan sanitasi makanan.
Dalam bidang kesehatan sebagai komponen lingkungan yang diketahui dapat merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan masyarakat, dipelajari dalam ilmu kesehatan lingkungan. Ilmu kesehatan lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk atau masyarakat, dengan segala macam perubahan komponen komponen lingkungan hidup seperti berbagai spesies kehidupan, bahan, zat atau kekuatan disekitar manusia yang menimbulkan ancaman atau berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, serta mencari upaya-upaya pencegahannya (Kusnoputranto, 2000).
Komponen kesehatan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit dikelompokkan sebagai berikut (Kusnoputranto, 2000) :
(a) Golongan Fisik : Seperti energi, kebisingan, kelembaban tinggi, pencahayaan kurang dan cuaca panas.
(b) Golongan Kimia : Bau amoniak, asap rokok, limbah rumah sakit dan bahan pembersihan lantai.
(c) Golongan Biologi : Seperti spora jamur, bakteri dan cacing
(d) Golongan Psikologi : Seperti hubungan antara pasien, keluarga pasien dengan perawat, antara bawahan dan atasan.
(36)
Komponen tersebut akan berinteraksi dengan menusia melalui media atau wahana : Udara, air, tanah, makanan, vektor penyakit (seperti nyamuk) atau manusia itu sendiri.
2.2.1. Pengelolaan lingkungan dan ruangan rumah sakit dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial.
Untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial perlu dilakukan langkah-langkah menghilangkan kuman penyebab infeksi dari sumber infeksi, mencegah kuman tersebut mencapai penderita dan cara menjauhkan penderita/manusia yang rentan dengan cara isolasi sumber kuman patogen.
Faktor lingkungan rumah sakit yang perlu diperhatikan dalam rangka menurunkan angka infeksi nosokomial adalah: (a) Lingkungan berdasarkan tempatnya meliputi antara lain : disain ruang penderita yang memenuhi standar dan persyaratan, penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, desinfeksi dan sterilisasi. Pembuangan limbah cair dan padat, sanitasi dapur, sanitasi binatu/laundry, pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu, arus lalu lintas orang. (b) Lingkungan berdasarkan media kualitas air dan udara serta bunga dan tanaman (Depkes RI, 2002).
Lingkungan rumah sakit berdasarkan tempatnya ada beberapa tata ruang, ruang rawatan, ruang tindakan medis, rawat jalan, rawat inap, rumah tangga dan ruang administrasi sebaliknya saling terpisah. Peletakan masing-masing ruangan harus disesuaikan dengan lalu lintas penderita, pengunjung, dan para petugas rumah
(37)
sakit. Pengaturan ruangan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Cara penularan penyakit (mode of transmision), arus lalu lintas pasien (patient traffic) ruang depan isolasi, ruang dengan bangunan lain. Tersedianya tempat sampah yang sesuai dengan jenis sampahnya.
Prioritas penempatan ruangan adalah pada ruang operasi dan ruang isolasi penyakit menular. Bila ventilasi yang baik sukar diperoleh dengan peralatan modern maka ruang operasi diletakkan sejauh mungkin pada tempat yang kemungkinan udara tercemar, sedangkan ruang isolasi diletakkan sedemikian agar tidak mencemari udara sekitarnya. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengganggu dan binatang pengerat.
Pemeliharaan ruang dan bangunan yang memenuhi syarat sebagai berikut (Depkes, 2006).
a) Kegiatan pembersihan ruangan kegiatan pembersihan ruangan minimal dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore).
b) Pembersihan lantai di ruang perawatan dilakukan setelah pembenahan/merapikan tempat tidur pasien (verbeden) setelah jam makan, setelah kunjungan keluarga dan sewaktu-waktu bila dibutuhkan.
c) Cara-cara pembersihan ruang yang dapat menebarkan debu harus dihindari.
d) Harus menggunakan cara pembersihan dengan perlengkapan pembersih (pel) yang memenuhi syarat dan bahan antiseptik yang tepat.
(38)
f) Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 (dua) kali setahun dan di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar.
g) Setiap percikan ludah, darah, eksudat luka pada dinding/lantai harus segera dibersihkan dengan menggunakan antiseptik.
Hubungan antara ruang dan bangunan di ruang perawatan Ruman Sakit harus memenuhi kriteria, ruang bedah untuk penderita penyakit menular harus dipisahkan dengan ruang bedah pusat dan ruang bedah penyakit menular terletak pada lokasi yang berdekatan dengan bagian rawat tinggal penderita penyakit menular (Depkes, 2002).
Disain ruangan ICU yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2004 untuk mengendalikan infeksi adalah sebagai berikut :
1) Luas setiap kamar 20 m³ sedangkan untuk ruangan isolasi luas satu kamar ± 22m³.
2) Untuk setiap tempat tidur harus tersedia 1-2 ruang isolasi 3) Jarak tempat tidur satu dengan yang lain ± 10-12 kaki
4) Untuk setiap tempat tidur, tersedia fasilitas desinfektan tangan 5) Lantai dan dinding harus dapat dicuci/dibersihkan
6) Furniture (meja) yang digunakan harus minimal
7) Peralatan monitoring harus tidak bersentuhan dengan lantai, mudah dipindahkan dan dibersihkan
(39)
8) Peralatan penghisap lendir dan sphygmomanometer harus menempel pada dinding dan mudah dilepaskan.
Selain disain ruangan kita juga harus memperhatikan masalah kebersihan dan ruangan tersebut. Pembersihan rutin dilakukan setiap hari. Pembersihan ini ditujukan untuk menghilangkan kotoran secara kasat mata. Harus ada kebijakan dari masing-masing rumah sakit mengenai frekuensi pembersihan lingkungan adalah dengan menggunakan air panas. Untuk sterilisasi gunakan air panas dengan suhu 80ºC selama 45-60 detik. Untuk peralatan memasak gunakan suhu 80ºC selama 60 detik. Sedangkan untuk linen gunakan suhu 70ºC selama 25 menit atau suhu 95ºC selama 10 menit (Depkes, 2004).
Menurut Depkes (2004), Konstruksi bangunan ruang ICU harus memenuhi ruangan perawatan pasien yang berbeda antara lain :
a. Ruang perawatan pasien tanpa infeksi
a.1. Harus selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai dengan kebutuhan.
a.2. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainnya.
a.3. Lantai harus selalu bersih, tingkat kebersihan lantai 0-5 CFU/cm².
a.4. Mutu udara memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tidak berbau terutama H2S dan Amoniak. Dan Kadar debu (particulate matter) berdiameter kurang
(40)
dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi < 150 ug/m³ dan tidak mengandung debu asbes.
a.5. Tingkat kebisingan disetiap ruang perawatan, isolasi maksimum 40 dBA. a.6. Tersedia tempat cuci tangan disetiap ruangan dilengkapi dengan air yang
mengalir, desinfektan dan lap kering/tissu. b. Ruang perawatan pasien dengan infeksi
b.1. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan dapur, kamar operasi ruang perawatan pasien dan ruang khusus lainnya.
b.2. Ruang perawatan untuk pasien penyakit tetanus dengan persyaratan sebagai berikut: Dinding dilapisi sound proof, Dinding berwarna gelap, Pintu harus terawat baik sehingga tidak bunyi kalau dibuka, dan Hindari masuknya cahaya sekecil mungkin (lubang exhauster dilengkapi dengan pencangkal cahaya).
b.3. Ruang perawatan untuk penyakit saluran pencernaan dengan persyaratan sebagai berikut: dinding dilapisi porselen/bahan yang mudah dicuci, kemiringan lantai ½ % kearah saluran pembuangan limbah dan letak exhauster/ventilasi pada dinding dengan ketinggian 40cm dari lantai.
b.4. Ruang perawatan untuk pasien/penderita penyakit pernafasan dan diphteria dengan persyaratan sebagai berikut: Dinding dilapisi perselen/bahan yang mudah dibersihkan, ventilasi harus dipasang terletak pada plafond dan Pintu harus selalu dalam keadaan tertutup.
(41)
2.2.2. Faktor lingkungan yang dapat memengaruhi terjadinya infeksi nosokomial
Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi mikroorganisme patogen yang tumbuh dan berkembang biak sehingga dapat menyebabkan sakit.
Faktor lingkungan berperan pula dalam terjadinya infeksi nosokomial. Udara salah satu faktor lingkungan yang dapat mencegah maupun meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi nosokomial. Udara adalah sumber mikroorganisme karena debu halus di udara mengandung sejumlah mikroba yang dapat menempel pada alat-alat bedah, permukaan kulit, maupun disekitar ruangan perawat. Melalui jalur kontak tidak langsung mikroorganisme dari udara dapat masuk melalui luka bakar. Udara yang kita sebut droplet adalah partikel yang dikeluarkan dari pernafasan dengan ukuran <5 µm dapat tinggal di udara dan beredar sebelum jatuh ke lantai karena gaya gravitasi bumi. Droplet ini dikeluarkan dengan cara batuk, bersin atau bronkoskopi.
Udara mengandung barbagai macam jenis mikroorganisme dan jumlahnya pada lokasi dan sistim ventilasi pada ruangan tersebut. Pemakaian filter udara sangat berguna menghindari penularan yang disebabkan oleh udara seperti tuberkolosis, varicella dan campak.
Sistim ventilasi pada ruangan operasi atau isolasi harus menggunakan sistem yang dapat menyaring/membersihkan udara. Udara yang akan masuk ke dalam ruangan operasi atau isolasi harus disaring/dibersihkan terlebihdahulu dengan cara
(42)
merangsang ruang tersebut sejauh mungkin dari sumber pencemaran udara. Resirkulasi dapat dilakukan, tetapi melalui filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) sebelum udara masuk kembali keruangan paling sedikit enam kali penggantian udara per jam. Pada kebanyakan rumah sakit malakukan penggantian udara sebanyak 12 kali perjam untuk mengisolasi.
Depkes RI (2006), menetapkan beberapa nilai standar untuk udara di ruangan: a. Suhu
Udara dalam ruangan operasi atau isolasi yang menggunakan penyejuk udara/AC. Suhu dan kelembabannya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan luas ruangan. Suhu yang dianjurkan pada ruangan ICU 22-23 ºC, AC selain sebagai penyejuk udara, juga dapat menjadi sumber infeksi yang dapat menyebar keseluruh ruangan. Mikroorganisme yang berukuran < 5 µm dapat menyebar keseluruh ruangan melalui aliran udara pipa-pipa AC. Filter pada AC harus diganti atau sering dibersihkan secara hati-hati tanpa menyebabkan sumber infeksi.
b. Kelembaban
Kelembaban udara pada masing-masing ruang isolasi harus diupayakan memenuhi syarat, kelembaban udara pada ruangan ICU yaitu 35-60 % tekanan udara harus positif. Udara yang terlalu lembab dapat menyebabkan timbulnya jamur dan spora. Udara yang terlalu kering menyebabkan keringnya lapisan lapisan mukosa dan merupakan predisposisi infeksi saluran pernafasan.
(43)
c. Kadar debu
Kadar debu berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 µg/Nm³, dan tidak mengandung debu asbes d. Pencahayaan
Di dalam lingkungan rumah sakit baik di dalam maupun di luar ruangan harus mendapatkan cahaya dengan intensitas berdasarkan fungsinya pada ruangan pasien saat tidak tidur intensitas cahaya 100-200 lux dan pada Saat tidur maksimal 50 intensitas cahaya maksimal 50 lux warna cahaya sedang. Ruangan operasi umum intensitas cahaya 300-500 lux dan pada ruangan isolasi khusus penyakit tetanus intensitas cahaya 0,1-0,5 warna cahaya biru, diruangan luka bakar 100-200 lux.
2.2.3. Sterilisasi dan desinfeksi a. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan mematikan semua mikroorganise termasuk endospora pada suatu alat/bahan. Sterilisasi adalah cara yang paling aman dan paling efektif untuk pengelolaan alat kesehatan yang berhubungan dengan darah atau jaringan di bawah kulit yang secara normal bersifat steril (Darmadi, 2008).
(44)
a.1. Sterilisasi cara fisik
Sterilisasi basah dilakukan dengan uap panas pada tekanan tertentu misalnya pada Autoclave, atau dengan cara mendidihkan. Sterilisasi dengan autoclave paling efisien karena suhu yang dicapai melebihi titik didih air yaitu 121ºC dan lama sterilisasi pada umumnya 20 menit. Lama sterilisasi dihitung mulai dari saat suhu mencapai 121ºC, untuk seperti kain kasa dan kapas lama sterilisasi 30 menit. Untuk mengawasi kualitas sterilisasi basah digunakan spora tahan panas misalnya spora bacillus stearothermophilus.
a.2. Sterilisasi kering
Dilakukan didalam oven, membutuhkan suhu yang lebih tinggi yaitu umumnya antara 150-170 ºC dan waktu yang lebih lama dari pada autoclave. Digunakan terbatas untuk alat gelas dan bahan minyak, gas atau bubuk yang rusak dengan uap. Untuk mematikan spora dibutuhkan waktu 2 jam pada suhu 180ºC.
a.3. Sterilisasi dengan bahan kimia/gas
Ada beberapa bahan kimia yang merupakan racun bagi mikroorganisme tetapi tidak banyak yang di pakai sebagai bahan sterilisasi. Bahan kimia yang digunakan untuk sterilisasi antara lain gas etilen oksida, formaldehid. Gas ini merupakan bahan kimia yang sangat relatif, sehingga cukup berpotensi untuk membunuh mikroorganisme. Namun kadang-kadang meninggalkan sisa pada bahan yang disterilkan.
(45)
a.4. Sterilisasi cara penyaringan (filtrasi)
Merupakan metode sterilisasi yang dipakai untuk larutan yang tidak tahan panas seperti serum,plasma atau tripsin. Jenis saringan terbuat dari selulosa berpori, penyaringan (filter) ini mengabsorbsi hanya sedikit cairan yang difiltrasi. Dan ukuran penyaring (filter) yang digunakan untuk sterilisasi adalah 0,22 µm karena ukuran ini lebih kecil dari bakteri.
a.5. Sterilisasi cara penyinaran ultra violet
Penyinaran ultra violet terutama digunakan untuk mengendalikan infeksi yang ditularkan melalui udara pada ruang kultur jaringan. Efek samping dapat merusak retina mata dan sel-sel yang bermitosis sehingga tidak diperbolehkan bekerja dibawah sinar UV, selain itu sinar Ultra Violet juga bersifat mutogenik.
Menurut Darmadi (2008), sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorkanisme hidup. Metode sterilisasi cukup banyak, namun alternatif yang dipilih sangat bergantung pada keadaan serta kebutuhan setempat. Apapun pilihan metodenya, hendaknya tetap menjaga kualitas hasil sterilisasi. Kualitas sterilisasi peralatan medis perlu dijaga terus, mengingat risiko kontaminasi kembali saat penyimpangan dan terutama pada saat penyimpanan dan terutama pada saat akan digunakan dalam tindakan medis.
Jumlah dan ragam peralatan medis kritis yang dibutuhkan/digunakan oleh berbagai unit pelayanan di rumah sakit sangat banyak dan harus siap selama 24 jam
(46)
penuh. Peralatan-peralatan medis ini akan selalu memerlukan upaya sterilisasi berulang dari satu pemanfaatan ke pemanfaatan berikutnya. Semakin banyak kegiatan tindakan medis dikerjakan, semakin tinggi pula kegiatan upaya sterilisasi. Sterilisasi sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang mengelola peralatan medis steril siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile Supply Department (CSSD) atau instalasi sterilisasi sentral (ISS). Pemusatan kegiatan sterilisasi ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan, sehingga mampu menghemat biaya investasi operasional serta pemeliharaan. (2) Efisiensi tenaga peramedis, artinya tenaga paramedis yang berada di masing-masing unit kerja tidak perlulagi menangani kegiatan sterilisasi. (3) Adanya standarisasi prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil sterilisasi (Darmadi, 2008).
Dengan adanya pemusatan (sentralisasi) kegiatan sterilisasi pada sebuah unit tersendiri ini, CSSD/ISS tinggal mendistribusikan produk sterilisasinya kesemua unit pelayanan medis yang ada dan sebaliknya menerima peralatan medis yang terkontaminasi dari unit yang sama. Garis besar kegiatan CSSD/ISS secara berurutan adalah sebagai berikut:
1) Dekontaminasi
2) Peralatan medis yang terkontaminasi disentifikasi telebih dahulu untuk meminimalkan jenis dan jumlah mikroba patogen yang ada.
3) Pembersihan
(47)
menempel seperti daerah jaringan tubuh, dan sebagainya kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan.
4) Pengemasan
5) Membungkus/ mengemas secara rapi peralatan medis disertai pemasangan label dan siap untuk proses sterilisasi.
6) Proses sterilisasi
7) Peralatan sterilisasi yang terbungkus/terkemas selanjutnya metode menjalani sterilisasi sesuai metode yang dipilihnya.
8) Penyimpanan
9) Setelah selesainya proses sterilisasi, peralatan medis disimpan dan harus dijaga kualitas sterilisasinya.
10) Pendistribusian
11) Peralatan medis yang siap pakai selanjutnya didistribusikan ke unit-unit yang memerlukannya.
b. Desinfeksi
Desinfeksi suatu proses untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pathogen, dengan perkecualian spora bakteri dari suatu benda mati (Rutata, 1996). Desinfektan secara umum dapat dilakukan menggunakan cara fisik dengan pemanasan suhu 75-100ºC atau kimiawi (cairan kimia) (Depkes, 2002).
Setiap proses desinfeksi harus selalu didahului dengan proses dekontaminasi atau pencucian yang memadai, karena proses ini akan menghilangkan sebagian besar
(48)
kuman yang terdapat pada permukaan banda dan sisa kuman yang sedikit akan lebih mudah dibutuhkan oleh zat bahan desinfektan. Menurut Rutata (1996), pada saat ini telah banyak jenis desinfektan yang beredar dan digunakan pada perawatan pasien, diantaranya adalah alkohol, klorin dan senyawanya. Hydrogen peroksida, iodorof, fenolik dan senyawa ammonium kwartener. Desinfektan ini tidak dapat saling ditukarkan satu dengan yang lainnya dalam penggunaan, yang disebabkan karakteristik kerjanya yang spesifik. Oleh karena itu pemakaian harus dapat memilih desinfektan yang sesuai dan menggunakan secara aman dan efisien.
2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Notoatmodjo (2003), yang dikutip dari Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skiner membedakan adanya dua respons.
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya
(49)
terang menyebabkan mata tertutup. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta dsb. 2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcingstimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Notoatmodjo (2003), dikutip dari Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni : (a). Kognitif (cognitive), (b). afektif (affective), (c). psikomotor (psychomotor).
2.3.2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak
(50)
sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a.1. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
a.2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan disini bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
a.3. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
b) Perilaku pencarian dan penggunaan sistim atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri. c) Perilaku kesehatan lingkungan
Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
(51)
mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga atau masyarakatnya.
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan (knowledge) apa yang diketahui dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah dilihat atau sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dikelompokkan menjadi: a) pengetahuan tentang sakit dan penyakit, b). Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, c). Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan tentang pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk petugas rumah sakit terutama mengenai septik dan aseptik. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit, dan upaya pencegahan itu adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas, kemampuan mencegah infeksi nosokomial memiliki keterkaitan yang tinggi dengan
(52)
pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Hal ini diupayakan adalah pendekatan secara individu maupun berkelompok, melalui pelatihan. Masih ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan dalam melakukan pelayanan keperawatan (Spritia, 2008).
2. Sikap
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut. Sikap mempunyai segi motivasi, berarti segi dinamis mengenai suatu tujuan, berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan suatu pengetahuan tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan bertindak sesuai dengan pengetahuan itu (Purwanto, 1998). Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2003) dikutip dari Alport (1954) bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, (2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan (3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
(53)
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2003) :
a) Menerima (receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b) Merespon (responding), berarti memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari suatu sikap tingkat dua.
c) Menghargai (valuing), diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung jawab (responsible), berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan skala risiko atau merupakan sikap yang paling tinggi.
Menurut Purwanto (1998), sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan objeknya. Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan arena itu pula sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
(54)
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek.
d. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Indikator untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan kesehatan yakni :
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap, gejala atau tanda, penyebab, cara penularan dan pencegahan penyakit.
b. Sikap cara memelihara dan cara hidup sehat, yaitu penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara memelihara dan cara berperilaku hidup sehat.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, yaitu pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerak/perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.
(55)
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan, namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2003).
Tindakan ini dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Sedangkan pengukuran yang dilakukan secara langsung yakni mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003).
2.4. Angka kuman
Angka kuman udara ruang operasi yang diperbolehkan adalah 10 mikro organisme /m³ udara. Sedangkan angka kuman pada ruangan ICU 200 mikro organisme /m³ udara. Sedangkan angka kuman di lantai dan dinding ruangan operasi 0-5 CFU/cm² dan bebas patogen dan gas ganggren, ruangan perawat dan ruangan (Depkes, 2006).
(56)
2.4.1. Kuman udara di ruangan
Menurut WHO (dalam Depkes RI, 2007) kuman penyebab infeksi nosokomial dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Conventional Pathogens
Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya kekebalan terhadap kuman tersebut, misalnya staphylococcus aureus, streptococcus, salmonella, shigella, virus influenza dan virus hepatitis.
b. Conditional Pathogens
Penyebab penyakit kalau ada faktor predisposisi spesifik pada orang dengan daya tahan tubuh menurun terhadap infeksi (termasuk neonati) atau kuman langsung masuk kedalam jaringan tubuh/ bagian tubuh yang biasanya steril. Misalnya : Pseudomonus, Proteus, Klebsiella, Serralia dan Enterobacter.
c. Opportunistic Pathogens
Menyebabkan penyakit menyeluruh (generalized disease) pada penderita yang daya tahan tubuhnya sangat menurun, misalnya Mycobacteria, Nocardia, Pneumocytis.
Didalam tubuh manusia, biasa terdapat kuman yang hidup dalam flora normal secara komensial atau sapropit, antara lain adalah: a) Staphylococcus dan sterepcoccus viridians ini terdapat di mulut, tenggorokan dan hidung. b) E.coli dan seratia di usus. c) Pseudomonas aeroginosa terdapat dihidung, tenggorokan dan usus. Dan d) Candida albicans ini biasanya dikulit dan dianus (Depkes, 2007).
(57)
Kalau terjadi perubahan keadaan, kuman bisa jadi patogen bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, misalnya: karena pemakaian antibiotik yang lama, kuman jadi kebal dan tumbuh subur. Kuman ini dapat menjadi virulen dan menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh menurun.
2.5. Infeksi Nosokomial
2.5.1. Definisi infeksi nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa yunani yaitu nosokomial yang berarti rumah sakit. Maka nosokomial diartikan sebagai “yang berasal dari rumah sakit”. Sementara kata infeksi memiliki arti hama penyakit, dengan kata lain infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah selesai dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit (Utama, 2008).
Menurut Darmadi (2008), Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan medis tidak mungkin lepas dari keberadaan sejumlah mikroba patogen. Hal ini dimungkinkan karena: (a) rumah sakit merupakan tempat perawatan
(58)
segala macam jenis penyakit (b) rumah sakit merupakan “gudangnya” mikroba patogen (c) mikroba patogen yang ada umumnya sudah kebal terhadap antibiotika.
Semakin luas jangkauan pelayanan, maka semakin banyak penderita yang memerlukan rawat inap. Bila sanitasi rumah sakit tidak terjamin dengan baik, maka semakin besar risiko terjadinya ancaman infeksi nosokomial pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008).
Menurut Depkes (2002), infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau didapat penderita ketika sedang dirawat di rumah sakit dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis dari infeksi yang sedang diteliti.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.
c. Tanda-tanda khusus infeksi tersebut mulai timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan.
d. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang sama tetapi lokasi infeksi berbeda.
2.5.2. Sumber infeksi nosokomial
Menurut Uliyah (2006), Beberapa sumber penyebab terjadinya infeksi nosokomial adalah :
(59)
a. Pasien, pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi ke pasien lainnya.
b. Petugas kesehatan, petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung yang dapat menularkan berbagai kuman ketempat lain.
c. Pengunjung, pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit atau sebaliknya, yang didapat dari dalam rumah sakit ke luar rumah sakit.
d. Sumber lain, sumber lain yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit yang meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.
2.5.3. Cara penularan mikroorganisme
Menurut Uliyah (2006), Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh, baik pada manusia maupun hewan, dapat melalui berbagai cara, diantaranya:
a. Kontak tubuh kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara langsung, maupun tidak langsung. Penyebaran secara langsung melalui sentuhan dengan kulit, sedangkan secara tidak langsung dapat melalui benda yang terkontaminasi.
(60)
b. Makanan dan minuman, terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, seperti pada penyakit tifus abdominalis, penyakit infeksi cacing dan lain-lain.
c. Serangga, contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran penyakit malaria oleh plasmodium pada nyamuk anopheles, dan beberapa penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan melalui lalat.
d. Udara, proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada penyebaran penyakit system pernafasan.
2.5.4. Faktor yang memengaruhi proses infeksi nosokomial
Menurut Uliyah (2006), Faktor yang mempengaruhi proses infeksi nosokomial adalah:
a. Sumber penyakit, sember penyakit dapat mempengaruhi apakan infeksi berjalan cepat atau lambat.
b. Kuman penyebab, kuman penyebab dapat menentukan jumlah mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan virulensinya.
c. Cara membebaskan sumber kuman, cara membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi cepat teratasi atau diperlambat, seperti tingkat keasaman (pH), suhu, penyinaran (cahaya) dan lain-lain.
d. Cara penularan, cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan atau udara, dapat menyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.
(61)
e. Cara masuknya kuman, proses penyebaran kuman berbeda, tergantung dari sifatnya. Kuman dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, kulit dan lain-lain.
f. Daya tahan tubuh, daya tahan tubuh yang baik dapat memperlambat proses infeksi atau mempercepat proses penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan yang buruk dapat memperburuk proses infeksi.
a. Selain faktor tersebut diatas, terdapat faktor lain, seperti status gizi atau nutrisi, tingkat steres tubuh, faktor usia atau kebiasaan yang tidak sehat.
2.5.5. Pengaruh lingkungan rumah sakit terhadap infeksi nosokomial
Beberapa faktor yang sering menjadi sumber infeksi nosokomial di rumah sakit diantaranya (Depkes RI, 2002) :
a. Banyaknya pasien yang dirawat dan menjadi sumber infeksi bagi pasien lain maupun lingkungannya.
b. Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.
c. Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang terkontaminasi oleh kuman dengan pasien yang dirawatnya.
d. Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang sedang dideritanya.
Infeksi nosokomial dapat bersumber dari faktor endogen dan eksogen yang berasal dari lingkungan yang dapat berupa benda hidup (animate) maupun benda mati
(62)
(ianimate) yang terkontaminasi oleh kuman patogen manusia. Pelaksanaan pengelolaan faktor lingkungan di rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan dan upaya pencegahan infeksi nosokomial dapat berhasil dengan baik (Depkes, 1997).
2.5.6. Rantai penyebaran infeksi
Saat ini tim khusus pengendalian infeksi sepakat bahwa petugas kesehatan merupakan media yang bisa menyebarkan agen infeksi melalui tangannya sebagian besar tangan mempunyai makna yang signifikan untuk menyebarkan infeksi nosokomial. Penyebaran mikroorganisme ini tejadi dalam dua cara dari petugas kesehatan ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan (Burke, 2003, Larson, 1998). Sebuah penelitian dilakukan oleh Larson (1985) menunjukkan bahwa 21% dari 103 tangan petugas kesehatan ditemukan spesies bakteri gram negatif seperti kelompok klebsiella enterobacter dan beberapa spesies serratia.
(63)
Tempat Keluar
Cara penularan kontak langsung dan tidak
langsung Penjamu
yang rentan
Tempat Masuk Sumber Penyebab
Gambar 1. Skema rantai penularan infeksi nosokomial b. Transmisi kuman
Menurut Uliyah (2006), transmisi kuman merupakan proses masuknya kuman ke dalam tubuh manusia yang dapat menimbulkan radang atau penyakit. Proses tersebut melibatkan beberapa unsur, diantaranya :
b.1. Reservoir merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme, dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan maupun tanah.
b.2. Jalan masuk merupakan jalan masuknya mikroorganisme ke tempat penampungan dari berbagai kuman, seperti saluran pernapasan , pencernaan kulit dan lain-lain.
b.3. Inang (host) tempat berkembangnya suatu mikroorganisme, yang dapat didukung oleh ketahanan kuman.
(64)
b.5. Jalur penyebaran merupakan jalur yang dapat menyebabkan berbagai kuman mikroorganisme ke berbagai tempat seperti air, makanan, udara dan lain-lain.
2.5.7. Faktor-faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari dua bagian besar yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisi-kondisi lokal. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005). Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang merusak barier normal, contoh inhubasi, kateterisasi dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dengan staf, penyalah gunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat dan ketidaktaan terhadap peraturan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.
Weinstein (1998), menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi nosokomial dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan kondisi pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, faktor-faktor yang sering disebut sebagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi nosokomial secara umum sebagai berikut:
(65)
a. Usia
Penelitian Syahrul (1997) dan Kamal (1998) di kutip dari Setiawati (2009), menemukan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian infeksi nosokomial. Pada periode neonatal, bayi dengan berat badan lahir rendah dan jenis kelamin laki-laki beresiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial 1,7 kali dibandingkan dengan wanita (Nguyen, 2009).
b. Jenis kelamin
Nguyen (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada infeksi saluran kemih ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan karena perempuan secara anatomis memiliki uretra yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki (Garibaldi, 1993).
c. Lama hari rawat
Pasien yang dirawat lebih lama di rumah sakit berisiko mendapatkan infeksi lebih tinggi dibandingkan dengan lama rawat yang singkat. Semakin lama hari rawat inap yang merupakan faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi infeksi nosokomial di rimah sakit ( Ahmad, 2002)
d. Kelas ruang rawat
Pasien yang dirawat yang semakin lama semakin rentan terhadap kemungkinan infeksi nosokomial. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang jelek, seperti ventilasi
(66)
kurang memadai, jarak satu pasien dengan yang lain tidak sesuai. Cahaya dengan intensitas yang kurang dapat menjadi sumber infeksi (Ahmad, 2002)
e. Komplikasi dan penyakit penyerta
Pasien di rumah sakit dengan komplikasi dan penyakit penyerta pada umumnya mempunyai kondisi umum yang lemah, sehingga lebih terpapar terhadap infeksi (Garibaldi, 1993).
f. Penggunaan alat invasive
Penggunaan alat-alat invasive dihubungkan sebagai faktor yang berperan dalam menyebabkan infeksi nosokomial (Richard et al, 1999). Semakin lama pemakaian ventilator mekanik kateter urin, terapi intravena dan infus akan meningkat resiko untuk terkena infeksi nosokomial (Yelda, 2003), tindakan yang berkomunikasi dalam menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial diruang PICU dan NICU antara lain adalah pemasangan kateter arteri umbilical pemberian nutrisi pareteral dan penggunaan ventilasi mekanik (Mireya, 2006). Suatu penelitian klinis diruang penyakit dalam tentang infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit, infeksi dan luka operasi dan septicemia. Diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus, pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis. Fisik dan kimiawi, komplikasi tersebut berupa ekstavasasi infiltrat yaitu cairan infus masuk kejaringan sekitar inersi kanula. Terjadinya penyumbatan dimana infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya
(1)
Paired Samples Test
1.300 .571 .128 1.033 1.567 10.177 19 .000
Sikap RSUD Dr. Pirngadi - Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Statistics
1.45 20 .510 .114
.00 20 .000 .000
Tindakan RSUD Dr. Pirngadi Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
20 . .
Tindakan RSUD Dr. Pirngadi & Infeksi Nosokomial Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
1.450 .510 .114 1.211 1.689 12.704 19 .000
Tindakan RSUD Dr. Pirngadi - Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
(2)
Paired Samples Statistics
28.75 4 .500 .250
.00 4 .000 .000
Suhu RSUD Dr. Pirngadi Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
4 . .
Suhu RSUD Dr. Pirngadi & Infeksi Nosokomial Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
28.750 .500 .250 27.954 29.546 115.000 3 .000
Suhu RSUD Dr. Pirngadi - Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Statistics
56.00 4 .816 .408
.00 4 .000 .000
Kelembaban RSUD Dr. Pirngadi Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
4 . .
Kelembaban RSUD Dr. Pirngadi & Infeksi Nosokomial
Pair 1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
56.000 .816 .408 54.701 57.299 137.171 3 .000
Kelembaban RSUD Dr. Pirngadi - Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference Paired Differences
(3)
Paired Samples Statistics
145.50 4 1.291 .645
.00 4 .000 .000
Pencahayaan RSUD Dr. Pirngadi Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean N Std. Deviation
Std. Error Mean
Paired Samples Correlations
4 . .
Pencahayaan RSUD Dr. Pirngadi & Infeksi Nosokomial
Pair 1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
145.500 1.291 .645 143.446 147.554 225.408 3 .000 Pencahayaan RSUD
Dr. Pirngadi - Infeksi Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper 95% Confidence
Interval of the Difference Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Paired Samples Correlations
4 . .
Kadar Debu RSUD Dr. Pirngadi & Infeksi Nosokomial Pair
1
N Correlation Sig.
Paired Samples Test
66.250 3.775 1.887 60.243 72.257 35.100 3 .000
Kadar Debu RSUD Dr. Pirngadi - Infeks Nosokomial Pair
1
Mean Std. Deviation
Std. Error
Mean Lower Upper
95% Confidence Interval of the
Difference Paired Differences
(4)
MASTER DATA KARAKTERISTIK RESPONDEN
No Umur Uk Jenkel Pendidikan Pelatihan Pengetahuan PK RS Sikap SK RS Tindakan TK RS
1 31 2 2 2 1 26 2 1 39 2 1 50 1 1
2 44 3 2 1 2 37 1 1 46 1 1 32 2 1
3 45 3 2 2 2 27 2 1 43 1 1 28 2 1
4 31 2 1 2 1 26 2 1 26 3 1 28 2 1
5 44 3 1 2 1 42 1 1 55 1 1 36 2 1
6 25 2 2 2 2 25 2 1 43 1 1 53 1 1
7 25 2 1 2 2 17 3 1 35 2 1 50 1 1
8 35 2 2 2 2 40 1 1 49 1 1 51 1 1
9 35 2 2 2 1 42 1 1 55 1 1 42 2 1
10 34 2 2 2 1 44 1 1 55 1 1 50 1 1
11 34 2 2 2 1 23 3 1 39 2 1 34 2 1
12 44 3 2 2 1 27 2 1 43 1 1 30 2 1
13 39 2 2 1 1 20 3 1 51 1 1 34 2 1
14 38 2 2 2 1 27 2 1 47 1 1 39 2 1
15 36 3 2 1 2 39 1 1 50 1 1 50 1 1
16 30 2 2 2 1 26 2 1 39 2 1 55 1 1
17 30 2 2 2 1 18 3 1 45 1 1 50 1 1
18 33 2 2 2 1 18 3 1 51 1 1 51 1 1
19 33 2 2 2 2 18 3 1 39 2 1 56 1 1
20 35 2 2 2 1 20 3 1 43 1 1 48 1 1
21 36 3 2 2 2 18 3 1 43 1 1 52 1 1
22 23 2 2 2 2 37 1 1 46 1 1 56 1 1
23 40 3 2 2 2 37 1 1 42 1 1 40 2 1
24 25 2 2 2 1 38 1 1 46 1 1 47 1 1
25 49 3 1 2 1 36 2 1 43 1 1 29 2 1
26 32 2 2 2 1 36 2 1 46 1 1 30 2 1
27 39 3 2 2 1 36 2 1 45 1 1 32 2 1
28 53 3 1 2 1 45 1 1 39 2 1 43 1 1
29 56 3 1 2 1 42 1 1 45 1 1 43 1 1
30 33 2 1 2 1 40 1 1 45 1 1 47 1 1
31 33 2 2 2 2 18 3 1 43 1 1 56 1 1
32 35 2 2 2 1 20 3 1 43 1 1 48 1 1
33 36 3 2 2 2 18 3 1 43 1 1 52 1 1
(5)
35 40 3 2 2 2 37 1 1 39 2 1 40 2 1
36 31 2 2 2 1 22 3 2 38 2 2 51 1 2
37 41 3 1 2 2 34 2 2 40 1 2 35 2 2
38 30 2 2 2 2 16 3 2 32 2 2 55 1 2
39 36 3 2 2 1 16 3 2 26 3 2 27 3 2
40 43 3 2 2 1 15 3 2 42 1 2 28 2 2
41 30 2 2 2 2 23 3 2 48 1 2 27 3 2
42 30 2 2 2 2 22 3 2 38 2 2 30 2 2
43 25 2 2 2 2 24 2 2 40 1 2 52 1 2
44 30 2 2 2 1 27 2 2 46 1 2 52 1 2
45 31 2 2 2 1 18 3 2 46 1 2 52 1 2
46 31 2 2 2 1 24 2 2 46 1 2 28 2 2
47 29 2 2 2 1 23 3 2 46 1 2 55 1 2
48 33 2 2 1 1 26 2 2 51 1 2 27 3 2
49 30 2 2 2 1 25 2 2 40 1 2 30 2 2
50 35 2 2 2 2 16 3 2 38 2 2 32 2 2
51 32 2 2 2 1 27 2 2 40 1 2 38 2 2
52 45 3 2 2 1 26 2 2 44 1 2 38 2 2
53 30 2 1 2 1 30 2 2 40 1 2 30 2 2
54 52 3 2 1 2 24 2 2 41 1 2 30 2 2
55 50 3 1 2 1 41 1 2 42 1 2 47 1 2
56 40 3 1 2 2 42 1 2 26 3 2 37 2 2
57 52 3 1 2 2 38 1 2 40 1 2 52 1 2
58 45 3 1 2 2 44 1 2 40 1 2 28 2 2
59 31 2 2 2 1 18 3 2 45 1 2 55 1 2
60 31 2 2 2 1 24 2 2 45 1 2 27 3 2
61 29 2 2 2 1 23 3 2 45 1 2 52 1 2
62 33 2 2 1 1 26 2 2 41 1 2 27 3 2
63 30 2 2 2 1 25 2 2 40 1 2 30 2 2
(6)
MASTER DATA SANITASI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
No Suhu RS Kelembaban RS Pencahayaan
RS
Kadar
Debu
RS
Kuman
Udara
RS
Kuman
Lantai
RS
1
29
1 56 1 147 1
67
1
129
1
3
1
2
29
1 57 1 144 1
71
1
126
1
4
1
3
29
1 56 1 146 1
62
1
145
1
2
1
4
28
1 55 1 145 1
65
1
126
1
4
1
5
26
2 54 2 221 2
51
2
220
2
7
2
6
28
2 55 2 220 2
55
2
217
2
8
2
7
28
2 54 2 222 2
55
2
218
2
7
2
8
26
2 55 2 222 2
55
2
216
2
6
2
KET :
1
RSUD Dr. Pirngadi Medan
2
Rumkit TK. II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan