BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan dan gawat darurat Depkes RI, 2009. Menurut Wolper dan Pena 1987, di kutip dari Adisasmito 2007, rumah
sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan
berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Serta dapat dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Karena rumah sakit
merupakan sarana pelayanan kesehatan untuk pelayanan umum dan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, yang memungkinkan terjadinya
pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan atau dapat menjadi tempat penyebab panularan penyakit Dartini, 2004.
2.2. Sanitasi Lingkungan
Menurut Ehleer dan Steel 1969 sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi rantai penularan penyakit.
Sedangkan menurut Depkes RI 2001, unsur sanitasi dasar di lingkungan
Universitas Sumatera Utara
pemukiman yang perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan adalah penyehatan perumahan atau pemukiman, pengendalian vektor, penyediaan air
bersih, pembuangan sampah, pembuangan air limbah dan sanitasi makanan.
Dalam bidang kesehatan sebagai komponen lingkungan yang diketahui dapat merupakan faktor resiko timbulnya gangguan kesehatan masyarakat, dipelajari dalam
ilmu kesehatan lingkungan. Ilmu kesehatan lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk atau
masyarakat, dengan segala macam perubahan komponen komponen lingkungan hidup seperti berbagai spesies kehidupan, bahan, zat atau kekuatan disekitar manusia
yang menimbulkan ancaman atau berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, serta mencari upaya-upaya pencegahannya Kusnoputranto, 2000.
Komponen kesehatan lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit dikelompokkan sebagai berikut Kusnoputranto, 2000 :
a Golongan Fisik : Seperti energi, kebisingan, kelembaban tinggi, pencahayaan
kurang dan cuaca panas. b
Golongan Kimia : Bau amoniak, asap rokok, limbah rumah sakit dan bahan pembersihan lantai.
c Golongan Biologi : Seperti spora jamur, bakteri dan cacing
d Golongan Psikologi : Seperti hubungan antara pasien, keluarga pasien dengan
perawat, antara bawahan dan atasan.
Universitas Sumatera Utara
Komponen tersebut akan berinteraksi dengan menusia melalui media atau wahana : Udara, air, tanah, makanan, vektor penyakit seperti nyamuk atau manusia itu
sendiri.
2.2.1. Pengelolaan lingkungan dan ruangan rumah sakit dalam upaya
pencegahan infeksi nosokomial. Untuk mengurangi terjadinya infeksi nosokomial perlu dilakukan langkah-
langkah menghilangkan kuman penyebab infeksi dari sumber infeksi, mencegah kuman tersebut mencapai penderita dan cara menjauhkan penderitamanusia yang
rentan dengan cara isolasi sumber kuman patogen. Faktor lingkungan rumah sakit yang perlu diperhatikan dalam rangka
menurunkan angka infeksi nosokomial adalah: a Lingkungan berdasarkan tempatnya meliputi antara lain : disain ruang penderita yang memenuhi standar dan
persyaratan, penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, desinfeksi dan sterilisasi. Pembuangan limbah cair dan padat, sanitasi dapur, sanitasi binatulaundry,
pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu, arus lalu lintas orang. b Lingkungan berdasarkan media kualitas air dan udara serta bunga dan tanaman
Depkes RI, 2002. Lingkungan rumah sakit berdasarkan tempatnya ada beberapa tata ruang,
ruang rawatan, ruang tindakan medis, rawat jalan, rawat inap, rumah tangga dan ruang administrasi sebaliknya saling terpisah. Peletakan masing-masing ruangan
harus disesuaikan dengan lalu lintas penderita, pengunjung, dan para petugas rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit. Pengaturan ruangan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Cara penularan penyakit mode of transmision, arus lalu lintas pasien patient traffic
ruang depan isolasi, ruang dengan bangunan lain. Tersedianya tempat sampah yang sesuai dengan jenis sampahnya.
Prioritas penempatan ruangan adalah pada ruang operasi dan ruang isolasi penyakit menular. Bila ventilasi yang baik sukar diperoleh dengan peralatan modern
maka ruang operasi diletakkan sejauh mungkin pada tempat yang kemungkinan udara tercemar, sedangkan ruang isolasi diletakkan sedemikian agar tidak mencemari udara
sekitarnya. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengganggu dan binatang pengerat.
Pemeliharaan ruang dan bangunan yang memenuhi syarat sebagai berikut Depkes, 2006.
a Kegiatan pembersihan ruangan kegiatan pembersihan ruangan minimal dilakukan
2 kali sehari pagi dan sore. b
Pembersihan lantai di ruang perawatan dilakukan setelah pembenahanmerapikan tempat tidur pasien verbeden setelah jam makan, setelah kunjungan keluarga
dan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. c
Cara-cara pembersihan ruang yang dapat menebarkan debu harus dihindari. d
Harus menggunakan cara pembersihan dengan perlengkapan pembersih pel yang memenuhi syarat dan bahan antiseptik yang tepat.
e Pada masing-masing ruang supaya disediakan perlengkapan pel tersendiri.
Universitas Sumatera Utara
f Pembersihan dinding dilakukan secara periodik minimal 2 dua kali setahun dan
di cat ulang apabila sudah kotor atau cat sudah pudar. g
Setiap percikan ludah, darah, eksudat luka pada dindinglantai harus segera dibersihkan dengan menggunakan antiseptik.
Hubungan antara ruang dan bangunan di ruang perawatan Ruman Sakit harus memenuhi kriteria, ruang bedah untuk penderita penyakit menular harus dipisahkan
dengan ruang bedah pusat dan ruang bedah penyakit menular terletak pada lokasi yang berdekatan dengan bagian rawat tinggal penderita penyakit menular Depkes,
2002.
Disain ruangan ICU yang direkomendasi oleh Departemen Kesehatan RI
tahun 2004 untuk mengendalikan infeksi adalah sebagai berikut : 1
Luas setiap kamar 20 m³ sedangkan untuk ruangan isolasi luas satu kamar ± 22m³.
2 Untuk setiap tempat tidur harus tersedia 1-2 ruang isolasi
3 Jarak tempat tidur satu dengan yang lain ± 10-12 kaki
4 Untuk setiap tempat tidur, tersedia fasilitas desinfektan tangan
5 Lantai dan dinding harus dapat dicucidibersihkan
6 Furniture meja yang digunakan harus minimal
7 Peralatan monitoring harus tidak bersentuhan dengan lantai, mudah dipindahkan
dan dibersihkan
Universitas Sumatera Utara
8 Peralatan penghisap lendir dan sphygmomanometer harus menempel pada
dinding dan mudah dilepaskan. Selain disain ruangan kita juga harus memperhatikan masalah kebersihan dan
ruangan tersebut. Pembersihan rutin dilakukan setiap hari. Pembersihan ini ditujukan untuk menghilangkan kotoran secara kasat mata. Harus ada kebijakan dari masing-
masing rumah sakit mengenai frekuensi pembersihan lingkungan adalah dengan menggunakan air panas. Untuk sterilisasi gunakan air panas dengan suhu 80ºC
selama 45-60 detik. Untuk peralatan memasak gunakan suhu 80ºC selama 60 detik. Sedangkan untuk linen gunakan suhu 70ºC selama 25 menit atau suhu 95ºC selama
10 menit Depkes, 2004. Menurut Depkes 2004, Konstruksi bangunan ruang ICU harus memenuhi
ruangan perawatan pasien yang berbeda antara lain : a.
Ruang perawatan pasien tanpa infeksi a.1. Harus selalu dalam keadaan bersih dan mudah dibersihkan, tersedia tempat
sampah sesuai dengan jenis sampahnya serta tersedia fasilitas sanitasi sesuai dengan kebutuhan.
a.2. Bebas dari gangguan serangga, binatang pengerat dan binatang pengganggu lainnya.
a.3. Lantai harus selalu bersih, tingkat kebersihan lantai 0-5 CFUcm². a.4. Mutu udara memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tidak berbau terutama
H
2
S dan Amoniak. Dan Kadar debu particulate matter berdiameter kurang
Universitas Sumatera Utara
dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 ugm³ dan tidak mengandung debu asbes.
a.5. Tingkat kebisingan disetiap ruang perawatan, isolasi maksimum 40 dBA. a.6. Tersedia tempat cuci tangan disetiap ruangan dilengkapi dengan air yang
mengalir, desinfektan dan lap keringtissu. b.
Ruang perawatan pasien dengan infeksi b.1. Letak toilet dan kamar mandi tidak berhubungan langsung dengan dapur,
kamar operasi ruang perawatan pasien dan ruang khusus lainnya. b.2. Ruang perawatan untuk pasien penyakit tetanus dengan persyaratan sebagai
berikut: Dinding dilapisi sound proof, Dinding berwarna gelap, Pintu harus terawat baik sehingga tidak bunyi kalau dibuka, dan Hindari masuknya
cahaya sekecil mungkin lubang exhauster dilengkapi dengan pencangkal cahaya.
b.3. Ruang perawatan untuk penyakit saluran pencernaan dengan persyaratan sebagai berikut: dinding dilapisi porselenbahan yang mudah dicuci,
kemiringan lantai ½ kearah saluran pembuangan limbah dan letak exhausterventilasi pada dinding dengan ketinggian 40cm dari lantai.
b.4. Ruang perawatan untuk pasienpenderita penyakit pernafasan dan diphteria dengan persyaratan sebagai berikut: Dinding dilapisi perselenbahan yang
mudah dibersihkan, ventilasi harus dipasang terletak pada plafond dan Pintu harus selalu dalam keadaan tertutup.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Faktor lingkungan yang dapat memengaruhi terjadinya infeksi nosokomial
Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi mikroorganisme patogen yang tumbuh dan berkembang biak sehingga dapat
menyebabkan sakit. Faktor lingkungan berperan pula dalam terjadinya infeksi nosokomial. Udara
salah satu faktor lingkungan yang dapat mencegah maupun meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi nosokomial. Udara adalah sumber mikroorganisme
karena debu halus di udara mengandung sejumlah mikroba yang dapat menempel pada alat-alat bedah, permukaan kulit, maupun disekitar ruangan perawat. Melalui
jalur kontak tidak langsung mikroorganisme dari udara dapat masuk melalui luka bakar. Udara yang kita sebut droplet adalah partikel yang dikeluarkan dari pernafasan
dengan ukuran 5 µm dapat tinggal di udara dan beredar sebelum jatuh ke lantai karena gaya gravitasi bumi. Droplet ini dikeluarkan dengan cara batuk, bersin atau
bronkoskopi. Udara mengandung barbagai macam jenis mikroorganisme dan jumlahnya
pada lokasi dan sistim ventilasi pada ruangan tersebut. Pemakaian filter udara sangat berguna menghindari penularan yang disebabkan oleh udara seperti tuberkolosis,
varicella dan campak. Sistim ventilasi pada ruangan operasi atau isolasi harus menggunakan sistem
yang dapat menyaringmembersihkan udara. Udara yang akan masuk ke dalam ruangan operasi atau isolasi harus disaringdibersihkan terlebihdahulu dengan cara
Universitas Sumatera Utara
merangsang ruang tersebut sejauh mungkin dari sumber pencemaran udara. Resirkulasi dapat dilakukan, tetapi melalui filter HEPA High Efficiency Particulate
Air sebelum udara masuk kembali keruangan paling sedikit enam kali penggantian udara per jam. Pada kebanyakan rumah sakit malakukan penggantian udara sebanyak
12 kali perjam untuk mengisolasi. Depkes RI 2006, menetapkan beberapa nilai standar untuk udara di ruangan:
a. Suhu
Udara dalam ruangan operasi atau isolasi yang menggunakan penyejuk udaraAC. Suhu dan kelembabannya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan luas
ruangan. Suhu yang dianjurkan pada ruangan ICU 22-23 ºC, AC selain sebagai penyejuk udara, juga dapat menjadi sumber infeksi yang dapat menyebar
keseluruh ruangan. Mikroorganisme yang berukuran 5 µm dapat menyebar keseluruh ruangan melalui aliran udara pipa-pipa AC. Filter pada AC harus
diganti atau sering dibersihkan secara hati-hati tanpa menyebabkan sumber infeksi.
b. Kelembaban
Kelembaban udara pada masing-masing ruang isolasi harus diupayakan memenuhi syarat, kelembaban udara pada ruangan ICU yaitu 35-60 tekanan
udara harus positif. Udara yang terlalu lembab dapat menyebabkan timbulnya jamur dan spora. Udara yang terlalu kering menyebabkan keringnya lapisan
lapisan mukosa dan merupakan predisposisi infeksi saluran pernafasan.
Universitas Sumatera Utara
c. Kadar debu
Kadar debu berdiameter kurang dari 10 micron dengan rata-rata pengukuran 8 jam atau 24 jam tidak melebihi 150 µgNm³, dan tidak mengandung debu asbes
d. Pencahayaan
Di dalam lingkungan rumah sakit baik di dalam maupun di luar ruangan harus mendapatkan cahaya dengan intensitas berdasarkan fungsinya pada ruangan
pasien saat tidak tidur intensitas cahaya 100-200 lux dan pada Saat tidur maksimal 50 intensitas cahaya maksimal 50 lux warna cahaya sedang. Ruangan
operasi umum intensitas cahaya 300-500 lux dan pada ruangan isolasi khusus penyakit tetanus intensitas cahaya 0,1-0,5 warna cahaya biru, diruangan luka
bakar 100-200 lux.
2.2.3. Sterilisasi dan desinfeksi
a. Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan mematikan semua mikroorganise termasuk endospora pada suatu alatbahan.
Sterilisasi adalah cara yang paling aman dan paling efektif untuk pengelolaan alat kesehatan yang berhubungan dengan darah atau jaringan di bawah kulit yang secara
normal bersifat steril Darmadi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
a.1. Sterilisasi cara fisik Sterilisasi basah dilakukan dengan uap panas pada tekanan tertentu misalnya
pada Autoclave, atau dengan cara mendidihkan. Sterilisasi dengan autoclave paling efisien karena suhu yang dicapai melebihi titik didih air yaitu 121ºC dan
lama sterilisasi pada umumnya 20 menit. Lama sterilisasi dihitung mulai dari saat suhu mencapai 121ºC, untuk seperti kain kasa dan kapas lama sterilisasi 30
menit. Untuk mengawasi kualitas sterilisasi basah digunakan spora tahan panas misalnya spora bacillus stearothermophilus.
a.2. Sterilisasi kering Dilakukan didalam oven, membutuhkan suhu yang lebih tinggi yaitu umumnya
antara 150-170 ºC dan waktu yang lebih lama dari pada autoclave. Digunakan terbatas untuk alat gelas dan bahan minyak, gas atau bubuk yang rusak dengan
uap. Untuk mematikan spora dibutuhkan waktu 2 jam pada suhu 180ºC. a.3. Sterilisasi dengan bahan kimiagas
Ada beberapa bahan kimia yang merupakan racun bagi mikroorganisme tetapi tidak banyak yang di pakai sebagai bahan sterilisasi. Bahan kimia yang
digunakan untuk sterilisasi antara lain gas etilen oksida, formaldehid. Gas ini merupakan bahan kimia yang sangat relatif, sehingga cukup berpotensi untuk
membunuh mikroorganisme. Namun kadang-kadang meninggalkan sisa pada bahan yang disterilkan.
Universitas Sumatera Utara
a.4. Sterilisasi cara penyaringan filtrasi Merupakan metode sterilisasi yang dipakai untuk larutan yang tidak tahan panas
seperti serum,plasma atau tripsin. Jenis saringan terbuat dari selulosa berpori, penyaringan filter ini mengabsorbsi hanya sedikit cairan yang difiltrasi. Dan
ukuran penyaring filter yang digunakan untuk sterilisasi adalah 0,22 µm karena ukuran ini lebih kecil dari bakteri.
a.5. Sterilisasi cara penyinaran ultra violet Penyinaran ultra violet terutama digunakan untuk mengendalikan infeksi yang
ditularkan melalui udara pada ruang kultur jaringan. Efek samping dapat merusak retina mata dan sel-sel yang bermitosis sehingga tidak diperbolehkan
bekerja dibawah sinar UV, selain itu sinar Ultra Violet juga bersifat mutogenik. Menurut Darmadi 2008, sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode
tertentu dapat memberikan hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya mikroorkanisme hidup. Metode sterilisasi cukup banyak,
namun alternatif yang dipilih sangat bergantung pada keadaan serta kebutuhan setempat. Apapun pilihan metodenya, hendaknya tetap menjaga kualitas hasil
sterilisasi. Kualitas sterilisasi peralatan medis perlu dijaga terus, mengingat risiko kontaminasi kembali saat penyimpangan dan terutama pada saat penyimpanan dan
terutama pada saat akan digunakan dalam tindakan medis. Jumlah dan ragam peralatan medis kritis yang dibutuhkandigunakan oleh
berbagai unit pelayanan di rumah sakit sangat banyak dan harus siap selama 24 jam
Universitas Sumatera Utara
penuh. Peralatan-peralatan medis ini akan selalu memerlukan upaya sterilisasi berulang dari satu pemanfaatan ke pemanfaatan berikutnya. Semakin banyak kegiatan
tindakan medis dikerjakan, semakin tinggi pula kegiatan upaya sterilisasi. Sterilisasi sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang mengelola peralatan
medis steril siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile Supply Department CSSD atau instalasi sterilisasi sentral ISS. Pemusatan kegiatan sterilisasi ini mempunyai
beberapa keuntungan yaitu : 1 Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan, sehingga mampu menghemat biaya investasi operasional serta pemeliharaan. 2
Efisiensi tenaga peramedis, artinya tenaga paramedis yang berada di masing-masing unit kerja tidak perlulagi menangani kegiatan sterilisasi. 3 Adanya standarisasi
prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil sterilisasi Darmadi, 2008. Dengan adanya pemusatan sentralisasi kegiatan sterilisasi pada sebuah unit
tersendiri ini, CSSDISS tinggal mendistribusikan produk sterilisasinya kesemua unit pelayanan medis yang ada dan sebaliknya menerima peralatan medis yang
terkontaminasi dari unit yang sama. Garis besar kegiatan CSSDISS secara berurutan adalah sebagai berikut:
1 Dekontaminasi
2 Peralatan medis yang terkontaminasi disentifikasi telebih dahulu untuk
meminimalkan jenis dan jumlah mikroba patogen yang ada. 3
Pembersihan Peralatan medis dibersihkan untuk membebaskan bakteri organik yang
Universitas Sumatera Utara
menempel seperti daerah jaringan tubuh, dan sebagainya kemudian dilanjutkan dengan proses pengeringan.
4 Pengemasan
5 Membungkus mengemas secara rapi peralatan medis disertai pemasangan
label dan siap untuk proses sterilisasi. 6
Proses sterilisasi 7
Peralatan sterilisasi yang terbungkusterkemas selanjutnya metode menjalani sterilisasi sesuai metode yang dipilihnya.
8 Penyimpanan
9 Setelah selesainya proses sterilisasi, peralatan medis disimpan dan harus
dijaga kualitas sterilisasinya. 10
Pendistribusian 11
Peralatan medis yang siap pakai selanjutnya didistribusikan ke unit-unit yang memerlukannya.
b. Desinfeksi
Desinfeksi suatu proses untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pathogen, dengan perkecualian spora bakteri dari suatu benda mati Rutata, 1996.
Desinfektan secara umum dapat dilakukan menggunakan cara fisik dengan pemanasan suhu 75-100ºC atau kimiawi cairan kimia Depkes, 2002.
Setiap proses desinfeksi harus selalu didahului dengan proses dekontaminasi atau pencucian yang memadai, karena proses ini akan menghilangkan sebagian besar
Universitas Sumatera Utara
kuman yang terdapat pada permukaan banda dan sisa kuman yang sedikit akan lebih mudah dibutuhkan oleh zat bahan desinfektan. Menurut Rutata 1996, pada saat ini
telah banyak jenis desinfektan yang beredar dan digunakan pada perawatan pasien, diantaranya adalah alkohol, klorin dan senyawanya. Hydrogen peroksida, iodorof,
fenolik dan senyawa ammonium kwartener. Desinfektan ini tidak dapat saling ditukarkan satu dengan yang lainnya dalam penggunaan, yang disebabkan
karakteristik kerjanya yang spesifik. Oleh karena itu pemakaian harus dapat memilih desinfektan yang sesuai dan menggunakan secara aman dan efisien.
2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Notoatmodjo 2003, yang dikutip dari Skiner 1938 seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons,
maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skiner membedakan adanya dua respons.
1. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan stimulus tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya
Universitas Sumatera Utara
terang menyebabkan mata tertutup. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau
menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta dsb. 2.
Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini disebut reinforcingstimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik
respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi, maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Notoatmodjo 2003, dikutip dari Benyamin Bloom 1908 seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam 3 tiga domain, ranah atau
kawasan yakni : a. Kognitif cognitive, b. afektif affective, c. psikomotor psychomotor.
2.3.2. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Menurut Notoatmodjo 2003 perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok.
a Perilaku pemeliharaan kesehatan health maintenance adalah perilaku atau
usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak
Universitas Sumatera Utara
sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.
a.1. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
a.2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu dijelaskan disini bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka
dari itu orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
a.3. Perilaku gizi makanan dan minuman. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. b
Perilaku pencarian dan penggunaan sistim atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan health seeking behavior.
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri self treatment sampai mencari pengobatan ke luar negeri. c
Perilaku kesehatan lingkungan Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,
keluarga atau masyarakatnya. 1.
Pengetahuan Knowledge Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan knowledge apa yang diketahui dalam kamus bahasa Indonesia
disebutkan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah dilihat atau sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari Notoatmodjo, 2003.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
dikelompokkan menjadi: a pengetahuan tentang sakit dan penyakit, b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, c. Pengetahuan tentang
kesehatan lingkungan Notoatmodjo, 2003. Pengetahuan tentang pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk
petugas rumah sakit terutama mengenai septik dan aseptik. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit, dan upaya pencegahan itu adalah
tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas, kemampuan mencegah infeksi nosokomial memiliki keterkaitan yang tinggi dengan
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Hal ini diupayakan adalah pendekatan secara individu maupun berkelompok, melalui pelatihan. Masih
ada petugas yang belum mengikuti semua prosedur pelayanan yang telah ditetapkan dalam melakukan pelayanan keperawatan Spritia, 2008.
2. Sikap
Sikap merupakan suatu pandangan, tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak
sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap
apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut. Sikap mempunyai segi motivasi, berarti segi dinamis
mengenai suatu tujuan, berusaha mencapai suatu tujuan. Sikap dapat merupakan suatu pengetahuan tetapi pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan
bertindak sesuai dengan pengetahuan itu Purwanto, 1998. Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo 2003 bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
seseorang untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Menurut Notoatmodjo 2003 dikutip dari Alport 1954 bahwa sikap
mempunyai 3 komponen pokok yaitu : 1 Kepercayaan keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek, 2 Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
dan 3 Kecenderungan untuk bertindak tend to behave.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu Notoatmodjo, 2003 :
a Menerima receiving, diartikan bahwa orang subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan objek. b
Merespon responding, berarti memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari suatu sikap
tingkat dua. c
Menghargai valuing, diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi dari sikap tingkat tiga.
d Bertanggung jawab responsible, berarti bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan skala risiko atau merupakan sikap yang paling tinggi.
Menurut Purwanto 1998, sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a.
Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungannya dengan objeknya. Sifat ini
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan arena itu pula
sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat- syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
Universitas Sumatera Utara
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek. d.
Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang
membedakan sikap dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Indikator untuk sikap kesehatan sejalan dengan pengetahuan kesehatan yakni : a.
Sikap terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap, gejala atau tanda, penyebab, cara penularan dan pencegahan
penyakit. b.
Sikap cara memelihara dan cara hidup sehat, yaitu penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara memelihara dan cara berperilaku hidup sehat.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, yaitu pendapat atau penilaian seseorang
terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. 3.
Tindakan Menurut Notoatmodjo 2003 tindakan adalah gerakperbuatan dari tubuh
setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan, namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan over behavior. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak Notoatmodjo, 2003.
Tindakan ini dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari atau bulan yang lalu recall. Sedangkan pengukuran yang dilakukan secara langsung yakni mengobservasi tindakan atau kegiatan responden
Notoatmodjo, 2003.
2.4. Angka kuman
Angka kuman udara ruang operasi yang diperbolehkan adalah 10 mikro organisme m³ udara. Sedangkan angka kuman pada ruangan ICU 200 mikro
organisme m³ udara. Sedangkan angka kuman di lantai dan dinding ruangan operasi 0-5 CFUcm² dan bebas patogen dan gas ganggren, ruangan perawat dan ruangan
Depkes, 2006.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1. Kuman udara di ruangan
Menurut WHO dalam Depkes RI, 2007 kuman penyebab infeksi nosokomial dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
a. Conventional Pathogens
Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya kekebalan terhadap kuman tersebut, misalnya staphylococcus aureus, streptococcus, salmonella,
shigella, virus influenza dan virus hepatitis. b.
Conditional Pathogens Penyebab penyakit kalau ada faktor predisposisi spesifik pada orang dengan daya
tahan tubuh menurun terhadap infeksi termasuk neonati atau kuman langsung masuk kedalam jaringan tubuh bagian tubuh yang biasanya steril. Misalnya :
Pseudomonus, Proteus, Klebsiella, Serralia dan Enterobacter. c.
Opportunistic Pathogens Menyebabkan penyakit menyeluruh generalized disease pada penderita yang
daya tahan tubuhnya sangat menurun, misalnya Mycobacteria, Nocardia, Pneumocytis.
Didalam tubuh manusia, biasa terdapat kuman yang hidup dalam flora normal secara komensial atau sapropit, antara lain adalah: a Staphylococcus dan
sterepcoccus viridians ini terdapat di mulut, tenggorokan dan hidung. b E.coli dan seratia di usus. c Pseudomonas aeroginosa terdapat dihidung, tenggorokan dan usus.
Dan d Candida albicans ini biasanya dikulit dan dianus Depkes, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Kalau terjadi perubahan keadaan, kuman bisa jadi patogen bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain, misalnya: karena pemakaian antibiotik yang lama, kuman
jadi kebal dan tumbuh subur. Kuman ini dapat menjadi virulen dan menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh menurun.
2.5. Infeksi Nosokomial 2.5.1. Definisi infeksi nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa yunani yaitu nosokomial yang berarti rumah sakit. Maka nosokomial diartikan sebagai “yang berasal dari rumah sakit”. Sementara
kata infeksi memiliki arti hama penyakit, dengan kata lain infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah selesai dirawat atau
setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit Utama,
2008. Menurut Darmadi 2008, Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di
rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen
yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Rumah sakit sebagai institusi pelayanan medis tidak mungkin lepas dari keberadaan sejumlah mikroba
patogen. Hal ini dimungkinkan karena: a rumah sakit merupakan tempat perawatan
Universitas Sumatera Utara
segala macam jenis penyakit b rumah sakit merupakan “gudangnya” mikroba patogen c mikroba patogen yang ada umumnya sudah kebal terhadap antibiotika.
Semakin luas jangkauan pelayanan, maka semakin banyak penderita yang memerlukan rawat inap. Bila sanitasi rumah sakit tidak terjamin dengan baik, maka
semakin besar risiko terjadinya ancaman infeksi nosokomial pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan Darmadi, 2008.
Menurut Depkes 2002, infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau didapat penderita ketika sedang dirawat di rumah sakit dengan ketentuan sebagai
berikut: a.
Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis dari infeksi yang sedang diteliti.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut. c.
Tanda-tanda khusus infeksi tersebut mulai timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan.
d. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang sama
tetapi lokasi infeksi berbeda.
2.5.2. Sumber infeksi nosokomial
Menurut Uliyah 2006, Beberapa sumber penyebab terjadinya infeksi
nosokomial adalah :
Universitas Sumatera Utara
a. Pasien, pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi ke
pasien lainnya. b.
Petugas kesehatan, petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung yang dapat menularkan berbagai kuman ketempat lain.
c. Pengunjung, pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke
dalam lingkungan rumah sakit atau sebaliknya, yang didapat dari dalam rumah sakit ke luar rumah sakit.
d. Sumber lain, sumber lain yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit
yang meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas kesehatan
kepada pasien dan sebaliknya.
2.5.3. Cara penularan mikroorganisme
Menurut Uliyah 2006, Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh, baik pada manusia maupun hewan, dapat melalui berbagai cara, diantaranya:
a. Kontak tubuh kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara
langsung, maupun tidak langsung. Penyebaran secara langsung melalui sentuhan dengan kulit, sedangkan secara tidak langsung dapat melalui benda yang
terkontaminasi.
Universitas Sumatera Utara
b. Makanan dan minuman, terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan
minuman yang telah terkontaminasi, seperti pada penyakit tifus abdominalis, penyakit infeksi cacing dan lain-lain.
c. Serangga, contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran
penyakit malaria oleh plasmodium pada nyamuk anopheles, dan beberapa penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan melalui lalat.
d. Udara, proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada penyebaran
penyakit system pernafasan.
2.5.4. Faktor yang memengaruhi proses infeksi nosokomial
Menurut Uliyah 2006, Faktor yang mempengaruhi proses infeksi
nosokomial adalah:
a. Sumber penyakit, sember penyakit dapat mempengaruhi apakan infeksi berjalan
cepat atau lambat. b.
Kuman penyebab, kuman penyebab dapat menentukan jumlah mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme masuk kedalam tubuh dan virulensinya.
c. Cara membebaskan sumber kuman, cara membebaskan kuman dapat menentukan
apakah proses infeksi cepat teratasi atau diperlambat, seperti tingkat keasaman pH, suhu, penyinaran cahaya dan lain-lain.
d. Cara penularan, cara penularan seperti kontak langsung, melalui makanan atau
udara, dapat menyebabkan penyebaran kuman ke dalam tubuh.
Universitas Sumatera Utara
e. Cara masuknya kuman, proses penyebaran kuman berbeda, tergantung dari
sifatnya. Kuman dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran pencernaan, kulit dan lain-lain.
f. Daya tahan tubuh, daya tahan tubuh yang baik dapat memperlambat proses
infeksi atau mempercepat proses penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan yang buruk dapat memperburuk proses infeksi.
a. Selain faktor tersebut diatas, terdapat faktor lain, seperti status gizi atau nutrisi,
tingkat steres tubuh, faktor usia atau kebiasaan yang tidak sehat.
2.5.5. Pengaruh lingkungan rumah sakit terhadap infeksi nosokomial
Beberapa faktor yang sering menjadi sumber infeksi nosokomial di rumah sakit diantaranya Depkes RI, 2002 :
a. Banyaknya pasien yang dirawat dan menjadi sumber infeksi bagi pasien lain
maupun lingkungannya. b.
Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.
c. Kontak langsung antara petugas rumah sakit yang terkontaminasi oleh kuman
dengan pasien yang dirawatnya. d.
Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang sedang dideritanya. Infeksi nosokomial dapat bersumber dari faktor endogen dan eksogen yang
berasal dari lingkungan yang dapat berupa benda hidup animate maupun benda mati
Universitas Sumatera Utara
ianimate yang terkontaminasi oleh kuman patogen manusia. Pelaksanaan pengelolaan faktor lingkungan di rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan
dan upaya pencegahan infeksi nosokomial dapat berhasil dengan baik Depkes, 1997.
2.5.6. Rantai penyebaran infeksi
Saat ini tim khusus pengendalian infeksi sepakat bahwa petugas kesehatan merupakan media yang bisa menyebarkan agen infeksi melalui tangannya sebagian
besar tangan mempunyai makna yang signifikan untuk menyebarkan infeksi nosokomial. Penyebaran mikroorganisme ini tejadi dalam dua cara dari petugas
kesehatan ke pasien dan dari pasien ke petugas kesehatan Burke, 2003, Larson, 1998. Sebuah penelitian dilakukan oleh Larson 1985 menunjukkan bahwa 21
dari 103 tangan petugas kesehatan ditemukan spesies bakteri gram negatif seperti kelompok klebsiella enterobacter dan beberapa spesies serratia.
a. Skema rantai penularan infeksi nosokomial
Universitas Sumatera Utara
Tempat Keluar
Cara penularan kontak langsung dan tidak
langsung Penjamu
yang rentan
Tempat Masuk Sumber
Penyebab
Gambar 1. Skema rantai penularan infeksi nosokomial
b. Transmisi kuman
Menurut Uliyah 2006, transmisi kuman merupakan proses masuknya kuman ke dalam tubuh manusia yang dapat menimbulkan radang atau penyakit. Proses
tersebut melibatkan beberapa unsur, diantaranya : b.1. Reservoir merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme,
dapat berupa manusia, binatang, tumbuhan maupun tanah. b.2. Jalan masuk merupakan jalan masuknya mikroorganisme ke tempat
penampungan dari berbagai kuman, seperti saluran pernapasan , pencernaan kulit dan lain-lain.
b.3. Inang host tempat berkembangnya suatu mikroorganisme, yang dapat didukung oleh ketahanan kuman.
b.4. Jalan keluar tempat keluar mikroorganisme, dari reservoir, seperti sistem pernapasan, sistem pencernaan, alat kelamin dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
b.5. Jalur penyebaran merupakan jalur yang dapat menyebabkan berbagai kuman mikroorganisme ke berbagai tempat seperti air, makanan, udara dan lain-lain.
2.5.7. Faktor-faktor yang memengaruhi infeksi nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang menyebabkan infeksi nosokomial terdiri dari dua bagian besar yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi
umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh dan kondisi-kondisi lokal. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat,
alat medis, serta lingkungan Parhusip, 2005. Menurut WHO 2004 faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang merusak barier
normal, contoh inhubasi, kateterisasi dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dengan staf, penyalah gunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak tepat dan
ketidaktaan terhadap peraturan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan. Weinstein 1998, menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi
nosokomial dipengaruhi oleh 3 tiga hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program
pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan kondisi pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian, faktor-faktor yang sering disebut sebagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi nosokomial secara umum sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Usia
Penelitian Syahrul 1997 dan Kamal 1998 di kutip dari Setiawati 2009, menemukan adanya hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian infeksi
nosokomial. Pada periode neonatal, bayi dengan berat badan lahir rendah dan jenis kelamin laki-laki beresiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial 1,7 kali
dibandingkan dengan wanita Nguyen, 2009. b.
Jenis kelamin Nguyen 2009 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial
tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada infeksi saluran kemih ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan karena perempuan secara anatomis memiliki
uretra yang lebih pendek dibandingkan dengan laki-laki Garibaldi, 1993. c.
Lama hari rawat Pasien yang dirawat lebih lama di rumah sakit berisiko mendapatkan infeksi
lebih tinggi dibandingkan dengan lama rawat yang singkat. Semakin lama hari rawat inap yang merupakan faktor yang cukup dominan yang mempengaruhi infeksi
nosokomial di rimah sakit Ahmad, 2002 d.
Kelas ruang rawat Pasien yang dirawat yang semakin lama semakin rentan terhadap
kemungkinan infeksi nosokomial. Hal ini mungkin disebabkan oleh latar belakang kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang jelek, seperti ventilasi
Universitas Sumatera Utara
kurang memadai, jarak satu pasien dengan yang lain tidak sesuai. Cahaya dengan intensitas yang kurang dapat menjadi sumber infeksi Ahmad, 2002
e. Komplikasi dan penyakit penyerta
Pasien di rumah sakit dengan komplikasi dan penyakit penyerta pada umumnya mempunyai kondisi umum yang lemah, sehingga lebih terpapar terhadap
infeksi Garibaldi, 1993. f.
Penggunaan alat invasive Penggunaan alat-alat invasive dihubungkan sebagai faktor yang berperan
dalam menyebabkan infeksi nosokomial Richard et al, 1999. Semakin lama pemakaian ventilator mekanik kateter urin, terapi intravena dan infus akan meningkat
resiko untuk terkena infeksi nosokomial Yelda, 2003, tindakan yang berkomunikasi dalam menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial diruang PICU dan NICU antara
lain adalah pemasangan kateter arteri umbilical pemberian nutrisi pareteral dan penggunaan ventilasi mekanik Mireya, 2006. Suatu penelitian klinis diruang
penyakit dalam tentang infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi jarum infus, infeksi saluran napas, infeksi kulit, infeksi dan luka operasi dan septicemia.
Diperkirakan 20-25 pasien memerlukan terapi infus, pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi dari
kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis. Fisik dan kimiawi, komplikasi tersebut berupa ekstavasasi infiltrat yaitu cairan infus masuk kejaringan sekitar inersi
kanula. Terjadinya penyumbatan dimana infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya
Universitas Sumatera Utara
tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain, Flebitis, kolonisasi kanul yaitu bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh
darah, septicemia bila kuman menyebar hematogen dari kanul dan supurasi bila telah terjadi bentukan pus disekitar inersi kanul.
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter
yang terpasang lebih dari 72 jam. kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan transfusi darah
karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering di kanula.
Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi, dan bacteremia Utama, 2008.
g. Pemakaian antibiotik
Pemakaian antibiotik baik jenis atau jumlah yang nasional tanpa menunggu kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nokosomial dengan pemaparan terhadap
antibiotik dimana pasien yang mendapatkan antibotikberisiko mendapatkan infeksi 3,45 Yelda, 2003 adanya organisme yang patogen yang sudah resisten terhadap
methicilin dan anti biotika Infeksi yang dimulai dari benjolan merah, jerawat atau gigitan serangga.
Kemudian infeksi menyebar keseluruh tubuh dan akhirnya bisa menimbulkan kematangan infeksi MRSA Methicillin Resistant Staphlococcus Aureus dapat di
Universitas Sumatera Utara
cegah dengan mencuci. Menurut Jernigan 1995, Disinfeksi alat-alat yang digunakan pada pasien yang digunakan pada pasien masih kurang dan HH hand hygiene gagal.
Sulit untuk diobservasi pada area pelayanan rawat jalan, jumlah infeksi MRSA yang didapat Di masyarakat yang menderita penyakit kronis dan membutuhkan kontak
sering dengan sistim pelayanan kesehatan melakukan kunjungan pasien rawat jalan. MRSA bisa berpindah kepetugas kesehatan. Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa gaun petugas kesehatan sering menjadi sarana penyebaran setelah melakukan perawatan pasien dengan infeksi MRSA. Ketika jaket sudah dipakai pada area klinik
sebagai pengganti sebuah gaun, ia menjadi terkontaminasi pada 23 kasus dan tanganpun ikut terkontaminasi, setelah mereka menyelesaikan aktivitas perawatan
pasien dipagi hari dengan infeksi MRSA dibagian sistim saluran perkemihan atau luka dan 42 personil yang kontak langsung dengan pasien yang terkontaminasi
tangan mereka. MRSA didapat dari bakteri yang resisten sebagian besar antibiotik termasuk
semua jenis penicilin dan sepalosporin. MRSA dapat menyebar pada orang lain melalui berbagai cara. Orang bisa membawa melalui hidung, kulit, tanpa menujukkan
gejala sakit disebut kolonisasi. MRSA bisa juga menyebabkan infeksi seperti bisul, infeksi luka dan pneumonia.
MRSA dapat menyebar melalui tangan dan sentuhan ke orang lain, strategi untuk pencegahannya adalah melalui cuci tangan dengan sabun, air hangat setelah
bersentuhan langsung dengan klien, pakaian dan sarung tangan bersihkan ruangan
Universitas Sumatera Utara
setiap hari, gunakan sarung tangan setiap bersentuhan dengan sampah dan observasi prosedur isolasi MRSA juga dapat dibawa kerumah melalui pakaian. Melalui
sentuhan ke tubuh yang luka atau adanya keluaran cairan dari pasien. MRSA yang tidak menurunkan gejala tidak perlu di obati namun jika serius dapat diobati
menggunakan vancomiycin melalui intravena atau oral. Namun begitu vancomiycin bisa menyebabkan efek samping yang serius Guideline for the Control of MRSA,
2000. h.
Mikroorganisme Dari sisi mikroorganisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari
organisme tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan juga kolonisasi dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibodi, dan rendahnya
pertahanan tubuh, kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan infeksi nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang
diakibatkan PotterPerry, 1993. Tidak mencuci tangan juga dihubungkan dengan terjangkit multi resisten
klebsiella pneumonia. Penelitian di ruang anak-anak selama 3 minggu, 9 bayi terinfeksi terpapar dengan klebsiella pneumonia 2 dari 9 bayi berkembang menjadi
septikimia dan satu aspirasi pneumonia. Mikroorganisme yang sama yang juga berpengaruh terhadap bayi baru lahir yang diisolasi dari lingkungan sumber hidung
dan tangan dokter, tangan perawat, dan dari ibu yang anaknya terinfeksi Coovadia, 1992 Terjangkit infeksi rotavirus pada pasien pediatrik juga berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
perilaku tidak mencuci tangan, mencuci tangan dengan tepat adalah cara yang efektif untuk menghindari semua tipe MRSA baik di tangan maupun tubuh Pearson, 2006.
i.
Status nutrisi Menurut Patra 2006 dalam Setiawati 2009, umur, status nutrisi, jumlah dan
lama inhubasi serta lamanya dilakukan pemasangan ventilasi, pemberian makanan melalui selang nasogastrik adalah faktor yang berisiko menyebabkan berkembangnya
pneumonia nosokomial. Status nutrisi dihubungkan dengan pembentukan daya tahan tubuh sebagai mekanisme pertahanan terhadap infeksi.
2.5.8. Pengendalian dan pencegahan infeksi nosokomial
Menurut Uliyah 2006, Beberapa tindakan pencegahan infeksi nosokomial yang dapat dilakukan adalah:
a. Aseptik yaitu tindakan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan, istilah ini
dipakai untuk menggambarkan semua usaha yang dilakukan untuk mencegah masuknya mikroorganisme kedalam tubuh yang kemungkinan besar akan
mengakibatkan infeksi. Tujuan akhirnya adalah mengurangi atau menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati
agar alat-alat kesehatan dapat dengan aman digunakan. b.
Antiseptik, yaitu upaya pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kulit dan jaringan tubuh lainya.
Universitas Sumatera Utara
c. Dekontaminasi, tindakan yang dilakukan agar benda mati dapat ditangani oleh
petugas kesehatan secara aman, terutama petugas pembersihan medis sebelum pencucian dilakukan. Contohnya adalah meja pemeriksaan, alat-alat kesehatan
dan sarung tangan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh disaat prosedur bedahtindakan dilakukan.
d. Pencucian, yaitu tindakan menghilangkan semua darah, cairan tubuh atau setiap
benda asing seperti dabu dan kotoran. e.
Desinfeksi, yaitu tindakan menghilangkan sebagian besar tidak semua mikroorganisme penyebab penyakit dan benda mati. Desinfeksi tingkat tinggi
dilakukan dengan merebus atau dengan menggunakan larutan kimia. Tindakan ini dapat menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali beberapa bakteri
endospora. f.
Sterilisasi, yaitu tindakan untuk meghilangkan semua mikroorganisme bakteri, jamur, parasit dan virus termasuk bakteri endospora.
Terjadinya infeksi tergantung pada interaksi kompleks dari kerentanan hospes, agen-agen infeksius dan cara penularan. Faktor-faktor pasien dan perawatan
kesehatan berinteraksi untuk menghasilkan resiko infeksi yang signifikan. Identifikasi resiko infeksi, dari mereka yang telah terinfeksi dan sterategi pengendalian infeksi
yang direkomendasikan meminimalkan insidens dan konsekuensi infeksi yang serius pada pasien dan petugas perawatan kesehatan, pencegahan dan metode pengendalian
berfokus pada tiga area yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a Meningkatkan resisten hospes
Resistensi ditingkatkan dengan menggunakan vaksin dan toksoid untuk imunisasi atau imonoglobulin antibodi untuk imunisasi pasif, nutrisi yang
adekuat, dan olah raga juga menambah resistensi hospes. b
Menginaktifkan agen-agen infeksius Inaktifasi agen-agen infeksius dilakukan dengan metode fisik dan kimiawi,
termasuk pemanasan pasteurisasi dan sterilisasi dan memasak makanan dengan adekuat.
c Cara penularanmata rantai infeksi
Cara penularan adalah mata rantai termudah untuk memutus rantai infeksi. Memutus cara penularan dilakukan dengan isolasi pasien yang terinfeksi,
menggunakan cuci tangan dan teknik aseptik Schaffer dkk, 2000. Pencegahan infeksi dilakukan agar perawat dapat mengkhususkan diri
dalam kontrol infeksi dan tanggung jawab untuk mengembangkan kebijakan dan program, staf perawat memainkan peran penting dalam menurunkan resiko
infeksi nosokomial, peranan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial yaitu:
c.1. Mencuci Tangan Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis
dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air, tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit
Universitas Sumatera Utara
dan mengurangi jumlah mikroorganisme sementara, cuci tangan dengan sabun biasa dan air sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun
antimicrobial Prawirohardjo, 2004. Menurut Schaffer 2000, Indikasi mencuci tangan adalah :
1. Sebelum dan setelah kontak dengan pasien atau melakukan prosedur
memasang infus dan lain-lain. 2.
Sebelum dan setelah memasang peralatan yang digunakan pasien contohnya kateter urin dan lain-lain.
3. Setelah menggunakan ruangan istirahat dan setelah membersihkan atau
mengelap hidung. 4.
Sebelum dan setelah makan. 5.
Sebelum dan sesudah mengambil specimen. 6.
Bila tangan kotor. 7.
Bila akan bertugas dan bila selesai bertugas. Prosedur mencuci tangan yang rutin sangat diperlukan sepanjang waktu tiga
komponen untuk mencuci tangan ambil air sabun, air, gosokan, prosedur ini dilakukan minimal dalam waktu 10-15 detik. Yaitu dengan cara: a. Basahi tangan
dengan air mengalir, b. Usapkan sabun ditengah-tengah tangan yang basah c. Gosokkan sampai berbusa banyak, d. Gunakan friksi yang kuat dan cepat dengan
menggosokkan kedua tangan gosok dasar kuku dan sela-sela jari, e. Bilas tangan
Universitas Sumatera Utara
secara menyeluruh dengan air, f. Keringkan tangan dengan handuk dan g. Matikan kran dengan menggunakan alas handuk Schaffer, 2000.
c.2. Penggunaaan sarung tangan Pakai sarung tangan bila menyentuh darah, cairan yang mengandung darah,
sekresi dan benda-benda yang terkontaminasi. Pakai sarung tangan yang bersih tepat sebelum menyentuh membran mukosa dan kulit yang tidak utuh. Lepaskan
sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien
yang lainnya. Cuci tangan dengan segera untuk menghindari pemindahan mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain Schaffer, 2000.
c.3. Gaun Baju Kerja Pakai gaun bila memasuki ruangan pasien jika anda mengantisipasi bahwa
pakaian anda akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan, atau alat-alat di runganan pasien atau jika pasien mengalami inkontinensia diare dan drainase
luka yang tidak ditutup dengan balutan. Lepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan pasien. Setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak
dengan permukaan lingkungan yang dicurigai terkontaminasi. Pakai gaun bersih untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian basah
selama prosedur dan aktivitas perawatan pasien yang sepertinya dapat mencetuskan semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi
atau yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Lepaskan gaun yang telah basah
Universitas Sumatera Utara
secepat mungkin dan cuci tangan untuk menghindari transfer mikroorganisme ke pasien lain atau lingkungan Schaffer, 2000.
c.4. Masker sebagai pelindung wajah Pakai masker dan pelindung mata atau tutup wajah untuk melindungi membran
mukosa mata, hidung dan mulut selama prosedur dan aktifitas perawatan pasien yang sepertinya akan mencetuskan percikan atau semprotan darah, cairan tubuh,
sekresi dan ekskresi. c.5. Tangani peralatan perawatan pasien yang basah atau darah, cairan tubuh sekresi,
ekskresi dengan cara yang mencegah pemajanan kulit atau membran mukosa, kontaminasi pakaian dan pemindahan mikroorganisme kepasien lain dan
lingkungan. Peralatan yang dapat digunakan kembali harus diproses dengan tepat sebelum peralatan tersebut digunakan kembali untuk pasien lainnya, alat-alat
sekali pakai harus dibuang dengan tepat Schaffer, 2000. c.6. Linen alat tenun
Tangani,transport dan proses linen yang telah digunakan yang basah oleh darah, cairan tubuh, sekresi, dan ekskresi dengan cara mencegah pemajanan kulit dan
membran mukosa serta kontaminasi pakaian Schaffer, 2000 c.7. Pembuangan Jarum Suntik
Dilakukan dengan hati-hati agar tidak mencederai ketika menggunakan jarum suntik dan benda-benda tajam lainnya, ketika menangani instrument yang tajam
setelah prosedur, ketika membersihkan instrumen yang telah digunakan dan
Universitas Sumatera Utara
ketika membuang jarum suntik yang telah digunakan dan ketika membuang jarum suntik yang telah digunakan dari spuit, jangan membengkokkan,
mematahkan, letakkan jarum suntik sekali pakai dan alat tajam lainnya, dalam wadah yang tahan bocor yang diletakkan sedekat mungkin kedaerah dimana alat
tersebut digunakan, agar dapat dipindahkan ke daerah pemrosesan Schaffer, 2000.
Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala hingga telapak kaki. Perlengkapan ini
terdiri dari tutup kepala, gaun, sarung tangan, masker, sampai dengan alas kaki. Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan dipakai semuanya bersamaan,
tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan.
Menurut Darmadi 2009, Tiga hal yang penting harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita
saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu : 1.
Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan “menularkan” penyakit.
2. Setiap mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus
membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan hygiene lainnya. 3.
Menggunakanmemakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
2.5.9. Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial
Menurut Depkes RI 2001, Penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial adalah :
a. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi saluran nafas bagian bawah. Pneumonia harus memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut :
Kriteria 1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronci basah atau pekak dullness pada perkusi, dan salah satu di antaranya keadaan berikut : 1 timbul
perubahan baru berupa seputum purulen atau terjadi perubahan sifat sputum, 2 Isolasi kuman positif pada biakan darah dan 3 Isolasi kuman
patogen positif dari asfirasi trakea, sikatancuci bronkus atau biopsi. Kriteria 2. Foto thorak menunjukan adanya infiltraf, konsolidasi kavitas, efusi pleura
atau progresif. Dan salah satu diantara keadaan berikut : 1 Timbul perubahan baru berupa sputum purulen atau terjadi perubahan sifat
sputum. 2 Isolasi kuman positif pada biakan darah. 3 Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea,sikatancuci, bronkus atau biopsi 4
Virus dapat di isolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas 5 Titer IgM atau IgG spesifik meningkat empat kali lipat dalam
dua kali pemeriksaan dan 6 Terdapat tanda-tanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 3. Pasien berumur kurang dari 1 tahun didapatkan dua diantara berikut : Apnea, Takipnea, Bradikardia, Mengi wheezing, Ronki basah, Batuk.
Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : 1 Produksi dan sekresi saluran nafas meningkat 2 Timbul perubahan baru berupa sputum
purulen atau terjadi perubahan sifat sputum 3 Isolasi kuman positif pada biakan dar;ah 4 Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea,
Sikatancuci, bronkus atau biopsi 5 Virus dapat di isolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan 6 Terdapat tanda-tanda
pneumonia pada pemeriksaan histopatologi Kriteria 4. Gambaran radiologi thorak serial pada penderita umur lebih dari 1 tahun
menunjukan infiltrat baru atau progresif,konsolidasi, kafitas, atau efusi pleura. Dan paling sedikit satu diantara keadaan berikut : 1 Produksi dan
sekresi saluran nafas meningkat 2 Timbul perubahan baru berupa sputum purulen atau terjadi perubahan sifat sputum 3 Isolasi kuman
positif pada biakan darah 4 Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea, Sikatancuci, bronkus atau biopsi 5 Virus dapat di isolasi atau
terdapat antigen virus dalam sekresi saluran nafas dan 6 Terdapat tanda- tanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi.
b. Infeki saluran kemih simptomatik
Depkes RI 2001, Infeksi saluran kemih ISK simptomatik harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 1. Didapatkan paling sedikit satu dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya : Demam 38º C, Nikuria anyang-anyang,
polakisuria, disuria, nyeri supra pubik, atau biakan urin porsi tengah midstream 10 kuman per ml urin dengan jenis kuman tidak lebih dari 2
spesies. Kriteria 2. Ditemukan paling sedikit dua dari tanda-tanda dan gejala-gejala berikut
tanpa ada penyebab lainnya: supra pubik demam 38º C, Nikuria anyang-anyang, polakisuria, disuria, nyeri supra pubik. Dan salah satu
dari hal-hal sebagai berikut: 1 Test carik celup dipstick positif untuk leokosit esterase dan atau nitrit 2 Piuria terdapat
≥10 leukosit per ml atau terdapat
≥3 leukosit per LPB dari urin yang tidak di pusing. 3 Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak pusing
dicentrifuge dan 4 Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut menunjukkan jenis kuman yang sama kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus dengan jumlah 100 koloni kuman per ml urin yang diambil dengan kateter 5 Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-
turut menunjukkan jenis kuman yang sama kuman gram negatif atau S.Saphrophyticus dengan jumlah 10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai 6 Didiagnosis ISK oleh dokter yang menangani dan 7 Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 3. Pada pasien berumur ≤ 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tanda-
tanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya : demam 38ºC, hipotermia 37 ºC, apnea, bradikardia 100menit, letargia,
muntah-muntah. Dan hasil biakan urin 10 kuman ml urin dengan tidak lebih dari dua jenis kuman.
Kriteria 4. Pada pasien berumur ≤ 1 tahun ditemukan paling sedikit satu dari tanda-
tanda dan gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam 38ºC, hipotermia 37 ºC, apnea, bradikardia 100menit, letargia,
muntah-muntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: 1 Test carik celup dipstick positif untuk leokosit esterase dan atau nitrit 2 Piuria terdapat
≥10 leukosit per ml atau terdapat ≥3 lekosit per LPB dari urin yang tidak di pusing. 3 Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang
tidak pusing dicentrifuge 4 Biakan urin paling sedikit dua kali berturut- turut menunjukkan jenis kuman yang sama kuman gram negatif atau
S.Saphrophyticus dengan jumlah 100 koloni kuman per ml urin yang diambil dengan kateter 5 Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-
turut menunjukkan jenis kuman yang sama kuman gram negatif atau S.Saphrophyticus dengan jumlah 10 per ml pada penderita yang lelah
mendapat pengobatan anti-mikroba yang sesuai 6 Didiagnosis ISK oleh dokter yang menangani dan 7 Telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai oleh dokter yang menangani.
Universitas Sumatera Utara
c. Infeksi saluran kemih asimptomatik
Depkes RI 2001, Infeksi saluran kemih ISK asimptomatik harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut ini:
Kriteria 1. Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7 hari sebelum biakan urin. Dan ditemukan dalam biakan urin 10 kuma per ml
urin dengan jenis kuman maksimal 2 spesies. Dan tidak terdapat gejala- gejala keluhan demam, suhu 38ºC, polakisuria, nikuria, disuria, dan
nyeri supra pubik. Kriteria 2. Pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam waktu 7 hari sebelum
biakan pertama positif. Dan biakan urin 2 kali berturut-turut ditemukan tidak lebih 2 jenis kuman yang sama dengan jumlah 10 per ml. Dan
tidak terdapat gejala-gejala keluhan demam, suhu 38ºC, polakisuria, nikuria, disuria, dan nyeri supra pubik.
d. Infeksi saluran kemih lain Infeksi saluran kemih yang lain ISK yang lain harus memenuhi paling
sedikit satu kriteria berikut ini: Kriteria 1. Ditemukan kuman yang butuh dari biakan cairan bukan urin atau jaringan
yang di ambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi Kriteria 2. Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik secara
pemeriksaan langsung selama pembedahan atau melalui pemeriksaan histopatologis.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 3. Terdapat dua dari tanda berikut : demam 38ºC, nyeri lokal, nyeri tekan pada daerah yang dicurigai terinfeksi. Dan paling sedikit satu dari berikut:
1 Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi 2 Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang
dicurigai 3 Pemeriksaan radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL, radiolabel scan gallioum, technetium abnormal, memperhatikan gambar
infeksi. 4 Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangani 5 Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai
Kriteria 4. Pada pasien umur ≤ 1 tahun ditemukan paling sedikit satu tanda-tanda dan
gejala-gejala berikut tanpa ada penyebab lainnya: demam 38ºC, hipotermia 37 ºC, apnea, bradikardia 100menit, letargia, muntah-
muntah. Dan paling sedikit satu dari berikut: 1 Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi 2 Ditemukan kuman pada
biakan darah yang sesuai dengan tempat yang dicurigai 3 Pemeriksaan radiologi, mis, oltrasonik, CT-scan, MRL, radiolabel scan gallioum,
technetium abnormal, memperhatikan gambar infeksi. 4 Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangani dan 5 Dokter yang menangani
memberikan pengobatan antimokroba yang sesuai. e. Infeksi Luka Operasi ILO
ILO Superfisial adalah ILO yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca bedah, ILO dari jaringan diatas fascia Dengan gejala-gejala peradangan lokal dan umum
Universitas Sumatera Utara
demam 83ºC. Pus keluar dari luka operasidrain yang terpasang diatas fascia dan biakannya +
ILO Profunda adalah ILO yang terjadi setelah 30 hari sampai 1 tahun pasca bedah, ILO meliputi jaringan dibawah fascia Dengan salah satu gejala : tanda-tanda
radang umum dan lokal. Pus dari luka dibawah fascia dan dehiscensi luka-luka dibuka oleh dokter karena adanya tanda infeksi serta biakannya +
Cara penilaian keadaan luka bedah adalah 1 Tidak infeksi, bila klinis dan luka operasi sembuh perprimam. 2 Kemungkinan infeksi, bila dari luka operasi keluar
cairan terus dan ada tanda-tanda radang, tapi biakannya negatif. 3 Bila dari luka operasi keluar cairan dengan biakannya positif. 4 Bila dari luka operasi keluar pus
dengan tanpa bukti pemeriksaan mikrobiologik. f. Infeksi Vena
Infeksi vena adalah infeksi yang timbul karena tindakan invasif pada vena, seperti setelah pemasangan kanule plastik, atau kateter intravena, tanpa ada organ
atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi. Kriteria infeksi vena secara klinis dan laboratoris adalah sebagai berikut :
Untuk dewasa anak 12 bulan ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain : 1 Adanya tanda-tanda radang, panas atau keluar nanah dati
tempat tusukan. 2 Suhu 37 C bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa
pemberian antiseptik. 3 Hipotensi, sistolik 90 mmHG dan Oliguri, jumlah urin 0,5 cckg BBjam.
Universitas Sumatera Utara
Untuk bayi usia 12 bulan ditemukan salah satu gejala berikut tanpa penyebab lain : 1 Tanda radang panas atau keluar nanah dari tempat tusukan. 2
Demam 38 C. 3 Hipotermi 37
C 4. Apnea 5. Bradikardia 100menit. Untuk neonatus dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila
terdapat 3 atau lebih diantara enam gejala tersebut : 1 Keadaan umum menurun antara lain : disertai lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. 2 Sistem
kardiovaskuler antara lain : tanda renjatan yaitu takikardi, 160menit atau bradikardi, 100menit, dan sirkulasi perifer buruk. 3 Sistem pencernaan antara lain : distensi
lambung, mencret, muntah dan hepatomegali. 4 Sistem pernapasan antara lain : napas tak teratur, sesak, apnea dan takipnea. 5 Sistem saraf dan pusat antara lain :
hipotermi, otot, iritabel, kejang dan letargi dan 6 Manifestasi hematologi antara lain: pucat, kuning, splenomegali, dan perdarahan.
2.6. Landasan Teori
Udara merupakan wahana bibit penyakit yang utama seperti bakteri, jamur, gas-gas atau bahan pencemaran kimia. Masyarakat yang menghirup udara yang
tercemar akan menderita sakit. Secara sistematis ruang lingkup atau jangkauan pemahaman ahli kesehatan
lingkungan meliputi sumber keberadaan bahan penyakit dalam wahana penyakit, keberadaan bahan agen dalam tubuh manusia, serta dampak yang ditimbulkannya
Secara rinci jangkauan pemahaman dinamika perubahan lingkungan tersebut dapat
Universitas Sumatera Utara
dipilih menjadi simpul-simpul pengamatan, pengukuran dan pengendaliannya Kusnoputranto, 2000.
1. Simpul A : pengamatan, pengukuran dan pengendalian agen penyakit pada
sumbernya seperti emisi pencemaran udara, pencemaran air, penyakit alamiah dan air.
2. Simpul B : pengamatan, pengukuran dan pengendalian bila komponen lingkungan
tersebut sudah berada disekitar manusia contohnya pengukuran konsentrasi kualitas fisik udara seperti suhu, kelembaban, pencahayaan, debu, sterilisasi dan
menghitung koloni kuman, bakteri E. Coli dalam air minum. 3.
Simpul C : pengamatan, pengukuran dan pengendalian bahan agen penyakit apabila sudah barada pada tubuh seperti pengukuran bakteri terhadap kultur
darah, urin, dahak. 4.
Simpul D : pengamatan, pengukuran dan pengendalian pasien yang dirawat sudah menimbulkan dampak kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Penelitian