engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
38
Dan akhirnya amanat d dan e menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian
dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
F. Unsur Intrinsik Cerpen “Burung Kecil Bersarang di
Pohon ” karya Kuntowijoyo
1. Tema
Tema yang diangkat dalam cerpen ini adalah mengenai religiusitas. Sebenarnya religiusitas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian otak
tetapi dalam pengalaman, penghayatan totalitas diri yang mendahului analisis atau konseptualisasi.
39
Religiusitas dalam cerpen ini dimaknai sebagai keadaan sang tokoh utama yang sangat menjaga kesucian
pakaiannya karena ingin beribadah di rumah Tuhan, tetapi dalam perjalanannya justru ia malah berpikiran buruk terhadap orang-orang di
pasar yang ia temui. Terlebih lagi ia malah tertinggal salat Jumat yang menjadi tujuan utamanya menjaga kebersihan pakaiannya itu.
Kutukan dan rutukan menyumbat pikirannya. Sang guru bukannya tidak berusaha mencari alasan logis untuk setidaknya agak memihak
kondisi pedagang yang tak bisa meninggalkan dagangannya untuk salat jumat. Namun seiring itu pula sikap negatif muncul lebih kuat.
Kesimpulannya, orang pasar tersebut tak tahu agama, dan mereka harus diberi peringatan. Namun, tak lama kemudian di sisi lain,
perhatiannya teralih kepada seorang bocah yang sedang menangis karena tidak bisa mengambil sarang burung di pohon. Entah kenapa
hatinya tertarik mendekati bocah malang itu. Tanpa ia sadari ia telah berlama-lama dengan sang bocah hanya untuk menolong bocah
tersebut mengambil sarang burung sekaligus menangkap menjerat induk burung.
40
38
Ibid, hlm. 16
39
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Jakarta: Kanisius, 1994, hlm. 17
40
Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Laki-laki Tua
Laki-laki tua atau kakek yang merupakan tokoh utama dalam novel ini adalah seorang guru besar ilmu fiqih dan tauhid, orang-orang di
masjid memanggilnya dengan sebutan buya karena ia adalah seorang tokoh utama dan kebetulan saat itu ia akan menjadi khatib dan imam
shalat Jumat. Seorang laki-
laki mendekat padanya. “Buya”, kata orang itu.
41
Teranglah, sudah waktunya ke masjid. Ia harus mengucapkan khotbah dan menjadi imam.
42
Kakek sang guru besar ilmu fiqih dan tauhid ini, pada masa kecilnya senang sekali pergi bermain dan juga menangkap burung
maka tak heran ketika ia bertemu dengan anak kecil yang sedang menangis karena ingin menangkap burung di atas pohon tak ragu
kakek segera mengambilkannya. Ia ingat kembali masa kanaknya ketika ia masih bocah nakal
sebesar anak itu. Ia pun suka burung. Berjalan dari kampung ke kampung memburu.
43
Pengalaman masa kanaknya sangat banyak, hampir semua hari adalah hari bermain, sebelum semuanya itu direnggutkan oleh
hidup yang keras.
44
Setelah agak besar, ayah dari kakek pun mulai mengirimkan kakek ke pondok untuk belajar lebih jauh mengenai ilmu agama. Lama
belajar di pondok menjadikan kakek kuat dan mengerti banyak tentang agama terutama fiqih dan tauhid hingga akhirnya ia seperti sekarang
menjadi guru besar di sebuah universitas. Hidup dalam pondok dan penuh dengan kebijaksanaan itu
menjadikan ia makhluk yang kuat dan gmebira. Kesedihannya
41
Kuntowijoyo, Op. Cit,, hlm. 200
42
Ibid, hlm. 181
43
Ibid., hlm. 188
44
Ibid, hlm. 192
yang terutama ialah bila ia tak bisa menepati waktu-waktu sembahyang, atau ia melupakan mengaji.
45
Setelah dewasa dan cukup berumur kini sifatnya sangat menjunjung tinggi nilai agama dan selalu mengutamakan ibadah
kepada Tuhan. Termasuk saat beribadah, ia ingin segala sesuatunya sempurna.
Besar kemungkinan dalam perjalanan, dengan tak sengaja, debu menempel. Itu mengurangi kesucian. Ia ingin, Tuhan melihatnya
dalam keadaan bersih bersujud di rumah-nya.
46
Namun, keimanan sang guru besar ini mulai terganggu saat ia berpikiran negatif tentang orang-orang di pasar yang ia temui saat
hendak melaksanakan salat Jumat menurutnya orang pasar tersebut tak tahu agama, dan mereka harus diberi peringatan. Ini merupakan sifat
buruk yang dimilikinya seharusnya ia tidak sembarang menghakimi keimanan seseorang.
Mereka selalu bergegas, wajah rakus, pandangan liar: uang. Alangkah sungguh tersita. Setiap kali ia lewati pasar itu benaknya
tak mau juga berhenti berpikir. Tidak sempatkah mereka merenungkan sebentar tentang hubungan dengan Sang Pencipta?
47
Bagaimanapun, ia tidak bisa memaafkan semua bentuk kekafiran. Bagi dia sudah jelas, kesadaran pada Tuhan itu membedakan
manusia makhluk lain.
48
Sifat laki-laki tua ini yang menghakimi orang-orang di pasar ini cukup bertentangan saat ia bertemu seorang anak kecil. Merasa
kasihan dan ia teringat masa kecilnya, akhirnya sang profesor berhenti dan berusaha menolong anak itu untuk menangkap burung yang
diinginkan. Karena asyiknya menolong anak itu, dia lupa harus berangkat cepat ke masjid. Seusai menolong anak kecil itu, ahli fiqih
ini merasa sangat bahagia.
45
Ibid, hlm. 192-193
46
Ibid, hlm. 181
47
Ibid, hlm. 181-182
48
Ibid, hlm. 182
Ia ingat kembali masa kanaknya ketika ia masih bocah nakal sebesar anak itu. Ia pun suka burung.
49
Ia hampir merasakan kebahagiaan, semacam yang lain dari kebahagiaan, semacam yang lain dari kebahagiaannya selama ini.
Sesuatu yang lain dari kebahagiaannya selama ini.
50
Setelah selesai dengan urusan anak kecil ini, ia baru teringat akan tujuan utamanya sebenarnya yaitu pergi ke masjid dan ia sudah
terlambat untuk salat Jumat. Lagi-lagi sang ahli fiqih ini mempunyai pikiran buruk tentang orang-orang yang baru saja selesai shalat.
Ia tak berani menantang tatapan mereka. Mata-mata itu Rasanya seperti tusukan pada hatinya.
51
Tetapi kenapa, kalau orang lain datang terlambat tidak mendapat tatapan setajam itu? Sedangkan ia dan orang lain sama belaka.
Mereka sungguh kejam dengan memberikan perhatian berlebihan kepadanya.
52
Pikiran-pikiran mengenai dirinya sendiri yang buruk inilah yang menjadi sifat jelek dari laki-laki tua ini. Ia selalu berburuk sangka baik
kepada dirinya sendiri atau orang lain. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa sifat berburuk sangkanya itu salah dan ia segera mengambil air
wudhu untuk lebih menenangkan hatinya. Kemudian, dia berpikir. Dia Yang Maha Tinggilah yang
menggerakkan semuanya itu. Itu salahMu sendiri. Tidak, Engkau tidak bersalah. Tentulah, itu karena menunjukkan sesuatu padanya.
Sebenarnyalah, ia mengerti sesuatu. Maka, ia pun menangis.
53
b. Anak Kecil
Tokoh anak kecil yang dipanggil dengan panggilan Buyung ini memiliki sifat polos sama seperti anak kecil pada umumnya ia ingin
meminta bantuan dari kakek yang kebetulan melewati jalan tersebut
49
Ibid, hlm. 188
50
Ibid, hlm.188
51
Ibid , hlm. 197
52
Ibid, hlm. 197
53
Ibid, hlm. 200
untuk mengambilkan burung yang berada di atas pohon. Saat kakek bertemu dengannya ia sedang menangis.
Di bawah pohon asam, seorang anak laki-laki memandang pada ketinggian. Ketika laki-laki tua itu memandangnya, anak itu
menunjuk ke atas. Pohon itu tinggi dan rimbun, suatu kesejukan pada siang ini.
“Apa maksudmu Buyung?”, ia bertanya. Baru langit bertahta perak matahari menerjang matanya ketika ia melihat ke
puncak pohon. Ia menutup matanya yang tertusuk berkas matahari. Mengusap kepala anak itu. “Apa?” Anak itu menunjuk ke atas.
“Burung”, katanya. “O, ya. ada suaranya. Itu burung kecil, Cucu”.
54
c. Orang-orang di Pasar
Orang-orang di pasar ini tentu saja menjalankan rutinitas pekerjaannya yaitu berjualan menawarkan dagangannya dan pembeli
yang mencari kebutuhannya di pasar. Pedagang-pedagang dipandangnya dengan ketakjuban besar.
55
d. Orang-orang di Masjid
Orang-orang di masjid ini adalah jamaah yang mengikuti salat Jumat. Ketika salat Jumat telah selesai dan orang-orang ini keluar dari
masjid sang kakek baru saja tiba di masjid. Ketika kakek sang guru besar ilmu fiqih dan tauhid baru tiba di masjid tentu saja orang-orang
ini langsung melihatnya. Orang-orang sudah keluar dari masjid, berpencaran di jalan.
Mereka semua melihatnya.
56
e. Laki-laki di Masjid
Laki-laki di dalam masjid ini menghampiri laki-laki tua atau kakek si tokoh utama ke
tika kakek baru tiba di masjid. “Seorang laki-laki
54
Ibid, hlm. 187
55
Ibid, hlm. 181
56
Ibid, hlm. 197
mendekat padanya. ‗Buya‘, kata orang itu. Ia menolak orang itu mencoba tersenyum.
”
57
3. Alur
Alur dalam cerpen ini adalah alur maju. Cerita diawali dengan perjalanan kakek yang merupakan seorang guru besar ilmu fiqih dan
tauhid di sebuah universitas yang ingin pergi melaksanakan ibadah salat jumat. Dalam perjalanan menuju masjid, ia harus melewati sebuah pasar
yang tentunya kotor dan dipenuhi pedagang-pedagang yang berjualan. Berbagai macam pikiran pun berkecamuk dalam hati kakek mengenai
orang-orang di pasar ini hingga akhirnya setelah melewati pasar ia tiba di sebuah jalan dengan beberapa pohon rindang.
Konflik mulai terjadi saat kakek berusaha membantu seorang anak kecil yang ditemuinya sedang menangis karena ingin mendapat burung
yang bertengger di atas sebuah pohon. Merasa kasihan dan teringat masa lalunya akhirnya kakek pun menolong anak kecil itu, karena keasyikan
menangkap burung sampai-sampai kakek sang guru besar ilmu fiqih dan tauhid ini lupa tujuan utamanya yaitu pergi ke masjid untuk shalat Jumat.
Setelah selesai menangkap burung ia bergegas pergi ke masjid. Konflik mulai mereda saat kakek mulai teringat perjalanan dan
kejadian-kejadian yang ia alami hari itu. Mulai dari berangkat dari rumah untuk pergi ke masjid ia melewati pasar dan di sana ia melihat pedagang-
pedagang yang dalam pikirannya tidak mempedulikan bahwa hari itu hari Jumat dan seharusnya mereka pergi menunaikan ibadah. Lalu ia bertemu
seorang anak kecil dan malah membantunya mengambilkan burung di atas pohon.
Akhir cerita kakek sang guru besar ilmu fiqih dan tauhid ini pun segera mengambil air wudhu dan ia sadar kejadian-kejadian yang ia alami hari itu
adalah kesengajaan Tuhan.
57
Ibid, hlm. 200
Tabel 4 Gambaran Alur Burung Kecil Bersarang di Pohon
Awal Tengah
Konflik Klimaks
Pemyelesaian Akhir
Kakek berjalan menuju masjid
untuk melaksanakan
shalat jumat dan melewati
sebuah pasar. Di tengah
perjalanan kakek bertemu
dengan anak kecil yang
sedang menangis ingin
diambilkan burung di atas
pohon. Kakek
berusaha mengambil
burung yang bertengger di
atas pohon. Kakek
terlambat untuk
shalat di masjid.
Kakek teringat
perjalanannya hari itu.
Walaupun kakek tiba di
masjid ketika orang-orang
sudah selesai shalat, tetapi
kakek tetap mengambil air
wudhu untuk mensucikan
diri.
4. Latar
a. Latar Tempat
Tempat yang digambarkan dalam cerpen ini adalah di rumah tokoh utama yaitu kakek, sebuah pasar, setelah melewati pasar, tokoh kakek
akan tiba di sebuah jalanan yang ditumbuhi rerumputan dan terdapat beberapa pohon rindang. Di pohon-pohon tersebut ada sebuah pohon
asam, di sini si tokoh utama akan bertemu dengan seorang anak kecil dan akhirnya ia akan mengambil burung yang sedang bertengger di
atas pohon. Setelah dari pohon itu dan berjalan tak jauh tibalah di sebuah masjid.
Laki-laki tua itu menjaga baju putihnya, supaya jangan sedikit pun debu menyentuh. Hari itu Jumat siang. Matahari bergetar-getar di
atas atap rumahnya.
58
Setiap berjalan lewat pasar itu, selalu ia merasa ada yang aneh. Kalau bukan untuk mengurangi jarak serta menghindari keributan
jalan raya, ia tidak akan menempuh tengah pasar itu.
59
58
Kuntowijoyo, op. cit, hlm. 181
59
Ibid
…ia sampai di bagian sepi dari kota. Beberapa kelompok rumah, tanah kosong dan pohonan. Ada jalanan, yaitu sekadar setapak
tanah yang memanjang bebas dari rumputan. Di sini tanah luas, masih ada juga bagian kota yang belum terbangun. Sekali-sekali
pohon akan melindunginya dari panas matahari.
60
Di bawah pohon asam, seorang anak laki-laki memandang pada ketinggian.
61
Orang-orang sudah keluar dari masjid, berpencaran di jalan. Mereka semua melihatnya.
62
Untuk masalah tempat dalam cerpen ini memang hanya disebutkan nama-nama tempat umumnya saja, seperti disebutkan di atas yaitu
rumah, pasar, jalan, dan masjid, tetapi jika diteliti lagi, seorang pembaca dapat menemukan di mana kira-kira cerpen ini bercerita.
Dalam cerpen terdapat nama- nama panggilan seperti ‗Buyung‘ dan
‗Buya‘. Nama-nama panggilan tersebut berasal dari Sumatera Barat. ‗Buyung‘ adalah panggilan untuk anak laki-laki sedangkan ‗Buya‘
adalah panggilan untuk tokoh agama, dalam cerpen ini dikisahkan kakek adalah seorang guru besar ilmu fiqih dan tauhid yang pada hari
Jumat itu akan menjadi khatib dan imam salat Jumat. Jadi, dari petunjuk-petunjuk tersebut dapat disimpulkan bahwa
cerpen ini berlatar tempat di daerah Minang yaitu Sumatera Barat.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
63
60
Ibid, hlm. 183
61
Ibid, hlm. 187
62
Ibid, hlm. 197
63
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2005, hlm. 230
Latar waktu dalam novel ini diperkirakan sekitar tahun 1970-an ketika cerpen ini dibuat.
64
Dalam ceritanya sendiri masalah waktu hanya dijelaskan pada hari Jumat dan saat hari menginjak siang karena
bertepatan dengan dilaksanakannya ibadah shalat Jumat bagi pria muslim.
…hari itu Jumat siang. Matahari bergetar-getar di atas atap rumahnya. Ia harus mengucapkan khotbah dan menjadi imam.
65
c. Latar Peristiwa
Dalam cerpen ini peristiwa-peristiwa yang terjadi lebih banyak dialami oleh tokoh utama dan itu masih sebatas wajar. Peristiwa-
peristiwa sekitar tahun 1970-an saat cerpen dibuat tidak diceritakan dalam cerpen. Kisah perjalanan tokoh utama yaitu kakek dari rumah
menuju masjid dan dari perjalanan inilah si kakek akan mengalami berbagai kejadian.
Jika dicermati secara teliti maka akan ditemukan beberapa kesimpulan mengenai latar peristiwa dari cerpen ini, seperti si tokoh
utama yang akan berangkat ke masjid dari rumahnya. Ia harus melewati pasar, lalu jalanan yang ditumbuhi berbagai pohon rindang,
barulah ia tiba di masjid. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa perjalanan yang cukup jauh tersebut di tempuh tokoh utama yang
merupakan laki-laki tua atau kakek dengan berjalan kaki tanpa naik kendaraan padahal ia juga sangat hati-hati menjaga kebersihan
pakaiannya. Di tahun 1970-an sendiri kendaraan bermesin memang masih sangat jarang sehingga orang bepergian dengan berjalan kaki.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Burung Kecil
Bersarang di Pohon ” ini adalah sudut pandang orang ketiga mahatahu.
64
Abdul Hadi W.M., “Wawasan Sastra Kuntowijoyo dan Kepengarangannya”, dalam
http:horisononline.or.idesai diunduh pada 13 November 2012
65
Kuntowijoyo, op. cit, hlm. 181
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narrator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut
tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu omniscient.
66
Setiap berjalan melewati pasar itu, selalu ia merasa ada yang aneh.
67
Laki-laki tua itu melihat-lihat di manakah ia harus meletakkan sangkar burung itu supaya mudah terlihat oleh induknya, dan ia akan
menghubungkan sangkar itu dengan tali pada pintunya.
68
6. Gaya Bahasa
Ada beberapa gaya bahasa yang dilukiskan dalam novel ini, diantaranya ada benerapa kutipan yang menggunakan bentuk pemajasan.
Pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, ia merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan
dengan memanfaatkan bahasa kias.
69
Beberapa majas yang terdapat dalam ce rpen “Burung Kecil Bersarang
di Pohon” adalah majas personifikasi dan majas hiperbola. Majas ini digunakan sebagai penguatan karakter tokoh.
a. Personifikasi
Adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan.
70
Jadi, dalam personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan sifat-sifat manusia.
66
Burhanudin Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hlm.257- 258
67
Kuntowijoyo, op. cit, hlm. 181
68
Ibid, hlm. 191
69
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 297
70
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm. 140
Beberapa kutipan dalam cerpen yang menggunakan personifikasi adalah:
1 Matahari bergetar-getar di atas rumahnya.
71
2 Angin mendesau di pohon, menggugurkan daun, mencipta
bayang-bayang yang jatuh kabur di rumputan.
72
3 Ia menyentuh daun kuning yang melayang seperti beberapa
tetes gerimis, terbuai angin.
73
b. Hiperbola
Adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal.
74
Beberapa kutipan dalam
“Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang menggunakan majas hiperbola adalah:
1 Baru langit bertahta perak matahari menerjang matanya ketika
ia melihat ke puncak pohon. Ia menutup matanya yang tertusuk berkas matahari.
75
2 Mata-mata itu Rasanya seperti tusukan pada hatinya.
76
7. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Ada
beberapa amanat yang bisa kita dapatkan dari cerpen ini, yaitu: a
Janganlah kita menghakimi suatu hal tanpa berkaca pada diri sendiri terlebih dahulu.
b Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama manusia.
c Janganlah berlebihan terhadap suatu hal karena biasanya yang
berlebihan itu tidaklah baik. d
Janganlah kita berburuk sanka kepada orang lain.
71
Ibid, hlm. 181
72
Ibid, hlm. 184
73
Ibid, hlm.189
74
Gorys Keraf, Op. Cit., hlm. 135
75
A.A. Navis, Op. Cit, hlm. 187
76
Ibid, hlm. 197
e Ada instink yang dapat menangkap rangsang dari luar pada
binatang dan dengan alat itu mereka bereaksi. Lain dengan manusia. Manusia adalah makhluk yang sempurna.
77
f Orang tidak akan masuk apa-apa. Kalau engkau bodoh, engkau
akan masuk perangkap. Maka rajinlah belajar.
78
g Ketika anak dalam bahaya, orang tua pasti akan melindungi
anaknya itu.
G. Analisis Intertekstual Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A.