Indonesia  1999,  dan  Majelis  Sastra  Asia  Tenggara  Mastera  atas  novel Mantra  Pejinak  Ular  2001,  dan  SEA  Write  Award  dari  Pemerintahan
Thailand 2001. Ia  meninggal  dunia  pada  tanggal  22  Februari  2005  pada  umur  61  tahun
akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk  beberapa  tahun  mengalami  serangan  virus  meningo  enchephalitis.
Sebelum  meninggal  dunia,  ia  adalah  Guru  Besar  Fakultas  Ilmu  Budaya  di Universitas  Gadjah  Mada  dan  juga  pengajar  di  Universitas  Islam  Negeri
Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. Gagasannya  yang  sangat  penting  bagi  pengembangan  ilmu  sosial  di
Indonesia  adalah  idenya  tentang  Ilmu  Sosial  Profetik  ISP.  Bagi Kuntowijoyo,  ilmu  sosial  tidak  boleh  berpuas  diri  dalam  usaha  untuk
menjelaskan  atau  memahami  realitas,  ia  juga  mengemban  tugas  transformasi menuju  cita-cita  yang  diidealkan  masyarakatnya.  Ia  kemudian  merumuskan
tiga  nilai  dasar  sebagai  pijakan  ilmu  sosial  profetik,  yaitu:  humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi
misalnya  muncul  gagasan  Sosiologi  Profetik  yang  dimaksudkan  sebagai sosiologi berparadigma ISP.
C. Sinopsis Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA. Navis
Cerpen “Robohnya  Surau  Kami”  ini  bercerita  mengenai  di  suatu  tempat
ada  sebuah  surau  tua  yang  nyaris  ambruk,  datanglah  seseorang  yang  ke  sana dengan  keikhlasan  hatinya  dan  izin  dari  masyarakat  setempat  untuk  menjadi
garin atau penjaga surau tersebut, dan hingga kini surau tersebut masih tegak berdiri.    Meskipun  kakek  atau  garin  dapat  hidup  karena  sedekah  orang  lain,
tetapi ada hal pokok yang membuatnya dapat bertahan, yaitu dia mau bekerja sebagai  pengasah  pisau.  Dari  pekerjaannya  inilah  dia  dapat  mengais  rejeki,
apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue, atau rokok.
Kehidupan kakek ini sangat monoton. Ia hanya mengasah pisau, menerima imbalan,  membersihkan  dan  merawat  surau,  beribadah  di  surau,  dan  bekerja
hanya  untuk  keperluannya  sendiri.  Hasil  pekerjaannya  itu  tidak  untuk  orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau  itu.  Lalu,  keduanya  terlibat  dalam  sebuah  perbincangan.  Akan  tetapi,
sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya. Dia  memang  tidak  pernah  mengingat  anak  dan  istrinya,  tetapi  dia  pun
tidak pernah memikirkan hidupnya sendiri sebab memang tak ingin kaya atau membuat  rumah.  Segala  kehidupannya  lahir  batin  diserahkannya  kepada
Tuhan.  Ia  tak  berusaha  menyusahkan  orang  lain  atau  membunuh  seekor lalatpun ia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhan.
Kakek  atau  garin  penjaga  surau  begitu  memikirkan  hal  ini  dengan  segala perasaannya.  Akhirnya,  ia  tidak  kuat  memikirkan  hal  itu.  Kemudian  ia  lebih
memilih  jalan  pintas  untuk  menjemput  kematiannya  dengan  cara  menggorok lehernya dengan pisau cukur. Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat
sekitar.  Semua  orang  berusaha  mengurus  mayatnya  dan  menguburnya. Kecuali  satu  orang  saja  yang  tidak  begitu  peduli  atas  kematian  sang  kakek.
Dialah  Ajo  Sidi,  yang  pada  saat  semua  orang  mengantar  jenazah  penjaga surau, dia tetap pergi bekerja.
D. Sinopsis Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya