dalam masjid sendirian dan salat sendirian. Tiba-tiba pikiran aneh muncul di kepalanya, jangan-jangan anak itu penjelmaan setan yang tugasnya menggoda
manusia di jalan Tuhan. Ia merasa takut dimurkai oleh Tuhan, padahal baru saja ia merasakan suatu perasaan berbeda bersama anak kecil itu, perasaan
bahwa ia bekerja keras, bahwa ia baru saja merasa menjadi manusia dalam arti sebenarnya bersama anak kecil itu.
E. Unsur Intrinsik Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya
AA. Navis
1. Tema
Tema yang disampaikan pengarang melalui cerpen ini adalah mengenai konflik jiwa keagamaan dalam menghadapi soal-soal duniawi.
Tema ini disajikan dalam bentuk sindiran-sindiran yang tajam terhadap orang-orang beragama, terutama yang menjalankan perintah Tuhan tanpa
mampu penafsiran yang mendalam secara kritis sehingga melupakan amal perbuatan dan tanggung jawab duniawi. Dalam hal ini perbuatan baik
untuk amal di akhirat tidak kalah pentingnya dengan tanggung jawab hidup selama di dunia.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Aku
Tokoh Aku di sini yang membawakan jalannya cerita, dalam arti cerita ini merupakan cerita berbingkai dimana di dalam cerita terdapat
sebuah cerita. Ada pengarang asli yang membuat cerita dalam arti di sini adalah A.A. Navis namun dalam kisahnya sendiri terdapat narrator
lain sebagai pembawa jalannya cerita yaitu tokoh aku. Pengarang menggambarkan tokoh aku secara dramatik. Teknik
penggambaran tokoh secara dramatik artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku
tokoh.
6
Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan
6
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 198
kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah
laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Aku orang yang cukup peduli dan perhatian kepada kakek karena
sering memberi kakek uang. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku
dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di depan pasar.
7
“Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, k
arena aku suka memberinya uang.”
8
Tokoh ini juga begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau. Narator menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya
seperti berikut. Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin
tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?” Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek
jadi memuncak. Aku t anya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek
?”
9
. “Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
10
b. Kakek
Kakek adalah tokoh utama dalam cerpen ini. Kisah kakek diceritakan oleh tokoh Aku. Kakek yang dipanggil sebagai garin atau
marbot, karena bertugas sebagai penjaga surau dan sangat taat
7
AA. Navis, Robohnya Surau Kami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 1
8
Ibid, hlm. 2-3
9
Ibid, hlm.9
10
Ibid, hlm.16
beribadah. Sudah bertahun-tahun kakek mengabdikan dirinya sebagai penjaga surau walaupun dari hasil pengabdiannya itu kakek tidak
mendapat upah. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang
biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
11
Untuk biaya hidup kakek mendapat sedekah dari orang-orang setiap kali hari Jumat. Setiap enam bulan sekali ia mendapat
seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas di kolam, dan setiap Idul Fitri, kakek mendapat zakat. Selain menjaga surau, Kakek mahir
mengasah pisau sehingga banyak yang meminta tolong kepadanya untuk mengasah pisau walaupun terkadang hanya imbalan berupa
terima kasih dan sedikit senyuman yang didapatnya. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir
dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka meminta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa.
12
Di usianya yang senja Kakek hidup sendiri karena memang diceritakan ia tidak menikah dan berkeluarga. Kakek menghabiskan
waktunya hanya untuk beribadah kepada Tuhan tanpa memikirkan kehidupan di dunia.
Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.
13
Sifat Kakek yang hanya memikirkan dunia inilah yang pada akhirnya menjadi “korban” bualan dari Ajo Sidi. Pada akhir cerita,
Kakek ditemukan bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri
11
Ibid, hlm. 1
12
Ibid, hlm. 2
13
Ibid, hlm. 5
setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi. Di sini terlihat jika ternyata Kakek mudah percaya dengan seseorang walaupun pada awalnya
sempat kesal dan mencoba untuk menahan amarahnya, ia berpikir akan sia-sia saja semua ibadah yang dilakukan, tetapi pada akhirnya Kakek
memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ini merupakan satu sifat yang sangat bertentangan dengan pribadi Kakek yang taat
beribadah tetapi justru malah bunuh diri. “Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau imanku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi
orang yang sabar dan tawakal.”
14
“Ya. tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau
cukur.”
15
c. Ajo Sidi
Ajo Sidi dikenal sebagai pembual, agak sukar untuk dipercaya bila berbicara sungguh-sungguh, apalagi dalam membicarakan soal-soal
seperti agama. Pandangannya tentang ibadah kepada Tuhan tidak membuktikan bahwa ia melakukan ibadah itu, tapi terlalu
memperhatikan duniawi. Tindakannya antara dunia dan akhirat tidak berimbang. Dia lebih mementingkan kehidupan di dunia dengan kerja
keras. Pandangannya keagamaan yang dikisahkannya bukan untuk meyakinkan dirinya, melainkan sebagai cerita dalam bentuk sindiran
terhadap kehidupan beragama di lingkungannya. “Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya
yang aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
14
Ibid, hlm.4
15
Ibid, hlm. 13
baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo
akhirnya. ”
16
d. Haji Soleh
Haji Saleh adalah tokoh rekaan Ajo Sidi dalam bualannya kepada Kakek. Tokoh Haji Saleh ini sengaja diciptakan Ajo Sidi untuk
menarik perbandingan dengan tokoh Kakek. Haji Saleh digambarkan sebagai seorang haji yang sangat membanggakan kehajiannya, sampai-
sampai dihadapan Tuhan, Haji Saleh berkeinginan untuk menyatakan bahwa dia seorang haji.
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah Ha
ji Saleh namaku.”
17
Haji Saleh selama hidup di dunia selalu taat beribadah kepada Tuhan. Siang malam tak hentinya memuja nama Tuhan hingga ia
melupakan keluarga dan lingkungan tempat ia tinggal. Sifat inilah yang pada akhirnya malah membuat Haji Saleh dimasukkan Tuhan ke
dalam neraka. Padahal sebelumnya Haji Saleh sudah sangat yakin kalau ia akan dimasukkan ke dalan surga Tuhan.
‗Ya Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam
kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk
menginsafkan umat-
Mu.‘
18
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka.
19
e. Tuhan dan Malaikat
Tuhan dan Malaikat ini terdapat dalam bualan Ajo Sidi sama seperti tokoh Haji Saleh. Tuhan dan Malaikat sengaja ditampilkan oleh
Ajo Sidi untuk meyakinkan KakekGarin atas kisahnya. Tuhan memang tidak menginginkan pujian atau selalu disembah. Tuhan
16
Ibid, hlm. 3
17
Ibid, hlm. 6
18
Ibid, hlm. 7
19
Ibid, hlm. 8
memberi umat-Nya negeri yang berlimpah dan kaya raya ialah agar kita semua mengolah dan memanfaatkan kekayaan tersebut bukan
malah berkelahi satu sama lain dan pasrah mennerima segala bentuk jajahan dari orang asing.
‗Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang
lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan enngkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling
memeras. Aku beri kau negeri kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Emgkau kira aku ini suka pujian,
mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.‘
20
3. Alur
Alur yang dikembangkan pengarang di antaranya menggambarkan cerita Kakek yang seakan-akan terpengaruh cerita Ajo Sidi. Kakek yang
bekerja menjaga surau dan sering diminta mengasah pisau oleh ibu-ibu, suatu hari didatangi oleh Ajo Sidi yang terkenal sebagai pembual di desa.
Cerpen ini merupakan cerita berbingkai, yang berarti dalam cerpen diceritakan pula kisah yang lain. Alur yang digunakan dalam cerpen ini
adalah alur mundur, karena tokoh “aku” menceritakan kisah yang sudah terjadi.
“Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongeng yang tak dapat disangkal kebenarannya. Be
ginilah kisahnya.”
21
Tabel 3 Gambaran Alur Robohnya Surau Kami
Awal Tengah
Konflik 1 Konflik 2
Klimaks penyelesaian Akhir
Tokoh aku menceritakan
Suatu hari, tokoh aku
Kakek menahan
Haji Saleh dan orang-
Kakek meningg
Haji Saleh dimasukkan
Kakek meninggal
20
Ibid, hlm. 11-12
21
Ibid, hlm. 2
tentang sebuah surau
tua di kota kelahirannya
yang dijaga seorang
garin. mendapatk
an kakek sedang
murung. kemarahannya
dan menceritakan
kisahnya Ajo Sidi kepada
tokoh Aku. orang yang
masuk neraka
menemui Tuhan untuk
meminta keadalian
al ke neraka
karena melupakan
kewajibannya di dunia.
dengan cara
menggoro k lehernya
dengan pisau
cukur dan Ajo Sidi
tetap bekerja.
4. Latar
a. Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat
yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya. Dalam cerpen tidak disebutkan
secara eksplisit di mana peristiwa yang diceritakan itu terjadi. Hanya disebutkan di surau tua yang di depannya ada kolam ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.
Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
”
22
Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan di mana tempat cerita tersebut tetapi kita dapat menyelidiki dengan cara mencermati nama
tokoh seperti Ajo Sidi. Ajo Sidi adalah nama umum bagi sebagian
22
A.A. Navis. Op. cit, hlm. 1
penduduk Sumatera Barat, yaitu penduduk bagian pesisir selatan Sumatera Barat. Jadi dapat diperkirakan bahwa cerita ini berlatar
tempat di Minang, Sumatera Barat.
b. Latar Waktu
Begitu pula halnya dengan latar waktu tidak dijelaskan secara eksplisit dalam cerita, tetapi pembuatan cerpen ini adalah tahun 1986.
Karena dalam cerpen terdapat kutipan “Kalalu beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan
akan berhenti di dekat pasar.”
23
Jadi kira-kira latar waktu kejadian dalam cerpen adalah beberapa tahun sebelum pembuatan cerpen ini.
c. Latar Peristiwa
Pada saat diceritakan kisah tentang Haji Saleh, saat itu Indonesia masih dijajah oleh bangsa asing, di mana hasil kekayaan Indonesia
dibawa ke negeri penjajah dan rakyat sendiri menjadi kacau-balau karena sering berkelahi.
‗Negeri yang lama diperbudak orang lain?‘ ‗Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.‘
‗Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?‘
‗Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.‘
‗Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang
men gambilnya, bukan?‘
24
d. Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup,
dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
23
Ibid, hlm. 1
24
Ibid, hlm. 11
“Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
”
25
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya. Namun demikian, contoh latar sosial
yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu : “Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan–Nya bagaimana ?”
suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. “Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh
“Cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai.
26
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh- tokoh yang terlibat dalam dialog ini hlm.13, termasuk kelompok
orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya
terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-
apanya. Perhatikan pada berikut ini. Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan.
Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang
menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang
selalu
menyebut nama-Mu,
memuji-muji kebesaran-Mu,
mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain- lainnya…”
27
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini
menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Adapun kutipannya sebagai berikut,
25
Ibid, hlm. 7
26
Ibid, hlm. 13
27
Ibid, hlm. 9-10
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun
bertanggung jaw ab, “dan sekarang ke mana dia ?
“Kerja” “Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.“Ya. Dia pergi kerja.”
28
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita. Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sudut pandang
yang digunakan adalah sudut pandang persona pertama “aku” tokoh
tambahan. Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai
tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first person peripheral.
29
Tokoh “aku” dalam cerpen sebagai pencerita atau narator yang terlibat langsung dalam cerpen. Hal ini dapt dilihat dalam kutipan berikut:
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek
dengan pertanyaannya sendiri.
“Tiba-tiba aku ingat pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu”
30
6. Gaya Bahasa
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang
atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan
menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan. Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang
biasa digunakan dalam bidang keagamaan Islam, seperti garin, Allah
28
Ibid, hlm. 13
29
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 264
30
AA. Navis, Op. Cit, hlm. 3-4
Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu,
berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain itu, pengarang juga menggunakan beberapa perumpamaan atau kiasan. Ada beberapa gaya bahasa yang digunakan penulis dalam
menuangkan pemikirannya ke dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”
yaitu penggunaan beberapa majas diantaranya adalah majas personofikasi dan majas hiperbola. Majas-majas ini digunakan sebagai penguat karakter
tokoh-tokoh dalam cerpen Robohnya Surau Kami. a.
Majas personifikasi Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat
benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia.
Contoh kutipan majas personifikasi dalam “Robohnya Surau Kami” adalah:
1 Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran
yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh.
31
b. Majas Hiperbola
Hiperbola merupakan suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya.
2 Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya.
32
3 Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya
kembali.
33
4 “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar
segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab.
34
31
Ibid, hlm. 2
32
Ibid, hlm. 3
33
Ibid, hlm. 10
7. Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain
solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan
hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk
menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya. Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki
.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokokutama ini
kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat
yang dimaksud itu di antaranya: a
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasihati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang
lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek seperti kutipan di bawah ini,
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan
.…”
35
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidupcita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
34
Ibid, hlm. 13
35
Ibid, hlm. 13
b Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal
ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama
Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana: “Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-
orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke
Mekkah dan bergelar Syekh pula.
36
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu: c Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya. d Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda
Tuhan dalam cerpen ini: “…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya
beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal
kalau engkau miskin .…”
37
e Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini,
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang,
tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
36
AA. Navis, Op. Cit, hlm. 12-13
37
Ibid, hlm. 15
engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
38
Dan akhirnya amanat d dan e menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian
dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.
F. Unsur Intrinsik Cerpen “Burung Kecil Bersarang di