dalam masjid sendirian  dan salat sendirian. Tiba-tiba pikiran  aneh muncul  di kepalanya, jangan-jangan anak itu penjelmaan setan yang tugasnya menggoda
manusia  di  jalan  Tuhan.  Ia  merasa  takut  dimurkai  oleh  Tuhan,  padahal  baru saja  ia  merasakan  suatu  perasaan  berbeda  bersama  anak  kecil  itu,  perasaan
bahwa ia bekerja keras, bahwa ia baru saja merasa menjadi manusia dalam arti sebenarnya bersama anak kecil itu.
E. Unsur  Intrinsik  Cerpen  “Robohnya  Surau  Kami”  karya
AA. Navis
1. Tema
Tema  yang  disampaikan  pengarang  melalui  cerpen  ini  adalah mengenai  konflik  jiwa  keagamaan  dalam  menghadapi  soal-soal  duniawi.
Tema  ini  disajikan  dalam  bentuk  sindiran-sindiran  yang  tajam  terhadap orang-orang  beragama,  terutama  yang  menjalankan  perintah  Tuhan  tanpa
mampu penafsiran yang mendalam secara kritis sehingga melupakan amal perbuatan  dan  tanggung  jawab  duniawi.  Dalam  hal  ini  perbuatan  baik
untuk  amal  di  akhirat  tidak  kalah  pentingnya  dengan  tanggung  jawab hidup selama di dunia.
2. Tokoh dan Penokohan
a. Aku
Tokoh  Aku  di  sini  yang  membawakan  jalannya  cerita,  dalam  arti cerita ini merupakan cerita berbingkai dimana di dalam cerita terdapat
sebuah  cerita.  Ada  pengarang  asli  yang  membuat  cerita  dalam  arti  di sini adalah A.A. Navis namun dalam kisahnya sendiri terdapat narrator
lain sebagai pembawa jalannya cerita yaitu tokoh aku. Pengarang  menggambarkan  tokoh  aku  secara  dramatik.  Teknik
penggambaran  tokoh  secara  dramatik  artinya  pengarang  tidak mendeskripsikan  secara  eksplisit  sifat  dan  sikap  serta  tingkah  laku
tokoh.
6
Pengarang  membiarkan  para  tokoh  cerita  untuk  menunjukkan
6
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 198
kehadirannya  sendiri  melalui  berbagai  aktivitas  yang  dilakukan,  baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah
laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Aku  orang  yang  cukup  peduli  dan  perhatian  kepada  kakek  karena
sering memberi kakek uang. Kalau  beberapa  tahun  yang  lalu  Tuan  datang  ke  kota  kelahiranku
dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di depan pasar.
7
“Sekali  hari  aku  datang  pula  mengupah  kepada  Kakek.  Biasanya Kakek gembira menerimaku, k
arena aku suka memberinya uang.”
8
Tokoh  ini  juga  begitu  berperan  dalam  cerpen  ini.  Dari  mulutnya kita  bisa  mendengar  kisah  si  Kakek  yang  membunuh  dirinya  dengan
cara  menggorok  lehernya  dengan  pisau.  Narator  menggambarkan tokoh  ini  sebagai  orang  yang  ingin  tahu  perkara  orang  lain.  Datanya
seperti berikut. Tiba-tiba  aku  ingat  lagi  pada  Kakek  dan  kedatangan  Ajo  Sidi
kepadanya. Apakah   Ajo  Sidi  tidak  membuat  bualan  tentang kakek  ?  Dan  bualan  itukah  yang  mendurjakan  kakek  ?  Aku  ingin
tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?” Ingin  tahuku  dengan  cerita  Ajo  Sidi  yang  memurungkan  Kakek
jadi  memuncak.  Aku  t anya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek
?”
9
. “Astaga.  Ajo  Sidi  punya  gara-gara,”  kataku  seraya  cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.
10
b. Kakek
Kakek  adalah  tokoh  utama  dalam  cerpen  ini.  Kisah  kakek diceritakan oleh tokoh Aku. Kakek  yang dipanggil sebagai  garin atau
marbot,  karena  bertugas  sebagai  penjaga  surau  dan  sangat  taat
7
AA. Navis, Robohnya Surau Kami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 1
8
Ibid,  hlm. 2-3
9
Ibid, hlm.9
10
Ibid, hlm.16
beribadah.  Sudah  bertahun-tahun  kakek  mengabdikan  dirinya  sebagai penjaga  surau  walaupun  dari  hasil  pengabdiannya  itu  kakek  tidak
mendapat upah. Dan  di  pelataran  kiri  surau  itu  akan  Tuan  temui  seorang  tua  yang
biasanya  duduk  di  sana  dengan  segala  tingkah  ketuaannya  dan ketaatannya  beribadat.  Sudah  bertahun-tahun  ia  sebagai  garin,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
11
Untuk  biaya  hidup  kakek  mendapat  sedekah  dari  orang-orang setiap  kali  hari  Jumat.  Setiap  enam  bulan  sekali  ia  mendapat
seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas di kolam, dan setiap Idul Fitri,  kakek  mendapat  zakat.  Selain  menjaga  surau,  Kakek  mahir
mengasah  pisau  sehingga  banyak  yang  meminta  tolong  kepadanya untuk  mengasah  pisau  walaupun  terkadang  hanya  imbalan  berupa
terima kasih dan sedikit senyuman yang didapatnya. Ia  lebih  dikenal  sebagai  pengasah  pisau.  Karena  ia  begitu  mahir
dengan  pekerjaannya  itu.  Orang-orang  suka  meminta  tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa.
12
Di  usianya  yang  senja  Kakek  hidup  sendiri  karena  memang diceritakan  ia  tidak  menikah  dan  berkeluarga.  Kakek  menghabiskan
waktunya  hanya  untuk  beribadah  kepada  Tuhan  tanpa  memikirkan kehidupan di dunia.
Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah
Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.
13
Sifat  Kakek  yang  hanya  memikirkan  dunia  inilah  yang  pada akhirnya  menjadi  “korban”  bualan  dari  Ajo  Sidi.  Pada  akhir  cerita,
Kakek  ditemukan  bunuh  diri  dengan  menggorok  lehernya  sendiri
11
Ibid, hlm. 1
12
Ibid, hlm. 2
13
Ibid, hlm. 5
setelah  mendengar  cerita  dari  Ajo  Sidi.  Di  sini  terlihat  jika  ternyata Kakek  mudah  percaya  dengan  seseorang  walaupun  pada  awalnya
sempat kesal dan mencoba untuk menahan amarahnya, ia berpikir akan sia-sia saja semua ibadah yang dilakukan, tetapi pada akhirnya Kakek
memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ini merupakan satu  sifat  yang  sangat  bertentangan  dengan  pribadi  Kakek  yang  taat
beribadah tetapi justru malah bunuh diri. “Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau  imanku  rusak  karenanya.  Sudah  begitu  lama  aku  berbuat baik,  beribadat,  bertawakal  kepada  Tuhan. Sudah begitu lama  aku
menyerahkan  diriku  kepada-Nya.  Dan  Tuhan  akan  mengasihi
orang yang sabar dan tawakal.”
14
“Ya. tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau
cukur.”
15
c. Ajo Sidi
Ajo Sidi dikenal sebagai pembual, agak sukar untuk dipercaya bila berbicara  sungguh-sungguh,  apalagi  dalam  membicarakan  soal-soal
seperti  agama.  Pandangannya  tentang  ibadah  kepada  Tuhan  tidak membuktikan  bahwa  ia  melakukan  ibadah  itu,  tapi  terlalu
memperhatikan  duniawi.  Tindakannya  antara  dunia  dan  akhirat  tidak berimbang. Dia lebih mementingkan kehidupan di dunia dengan kerja
keras.  Pandangannya  keagamaan  yang  dikisahkannya  bukan  untuk meyakinkan  dirinya,  melainkan  sebagai  cerita  dalam  bentuk  sindiran
terhadap kehidupan beragama di lingkungannya. “Maka  aku  ingat  Ajo  Sidi,  si  pembual  itu.  Sudah  lama  aku  tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya
yang  aneh  sepanjang  hari.  Tapi  ini  jarang  terjadi  karena  ia  begitu sibuk  dengan  pekerjaannya.  Sebagai  pembual,  sukses  terbesar
14
Ibid, hlm.4
15
Ibid, hlm. 13
baginya  ialah  karena  semua  pelaku-pelaku  yang  diceritakannya menjadi  model  orang  untuk  diejek  dan  ceritanya  menjadi  pemeo
akhirnya. ”
16
d. Haji Soleh
Haji Saleh adalah tokoh  rekaan Ajo Sidi dalam bualannya kepada Kakek.  Tokoh  Haji  Saleh  ini  sengaja  diciptakan  Ajo  Sidi  untuk
menarik  perbandingan  dengan  tokoh  Kakek.  Haji  Saleh  digambarkan sebagai seorang haji yang sangat membanggakan kehajiannya, sampai-
sampai  dihadapan  Tuhan,  Haji  Saleh  berkeinginan  untuk  menyatakan bahwa dia seorang haji.
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah Ha
ji Saleh namaku.”
17
Haji  Saleh  selama  hidup  di  dunia  selalu  taat  beribadah  kepada Tuhan.  Siang  malam  tak  hentinya  memuja  nama  Tuhan  hingga  ia
melupakan  keluarga  dan  lingkungan  tempat  ia  tinggal.  Sifat  inilah yang pada akhirnya malah membuat Haji Saleh dimasukkan Tuhan ke
dalam  neraka.  Padahal  sebelumnya  Haji  Saleh  sudah  sangat  yakin kalau ia akan dimasukkan ke dalan surga Tuhan.
‗Ya  Tuhanku,  tak  ada  pekerjaanku  selain  daripada  beribadat menyembah-Mu,  menyebut-nyebut  nama-Mu.  Bahkan  dalam
kasih-Mu,  ketika  aku  sakit,  nama-Mu  menjadi  buah  bibirku  juga. Dan  aku  selalu  berdoa,  mendoakan  kemurahan  hati-Mu  untuk
menginsafkan umat-
Mu.‘
18
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka.
19
e. Tuhan dan Malaikat
Tuhan  dan  Malaikat  ini  terdapat  dalam  bualan  Ajo  Sidi  sama seperti tokoh Haji Saleh. Tuhan dan Malaikat sengaja ditampilkan oleh
Ajo  Sidi  untuk  meyakinkan  KakekGarin  atas  kisahnya.  Tuhan memang  tidak  menginginkan  pujian  atau  selalu  disembah.  Tuhan
16
Ibid, hlm. 3
17
Ibid, hlm. 6
18
Ibid, hlm. 7
19
Ibid, hlm. 8
memberi  umat-Nya  negeri  yang  berlimpah  dan  kaya  raya  ialah  agar kita  semua  mengolah  dan  memanfaatkan  kekayaan  tersebut  bukan
malah  berkelahi  satu  sama  lain  dan  pasrah  mennerima  segala  bentuk jajahan dari orang asing.
‗Kalau  ada,  kenapa  engkau  biarkan  dirimu  melarat,  hingga  anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang
lain  mengambilnya  untuk  anak  cucu  mereka.  Dan  enngkau  lebih suka  berkelahi  antara  kamu  sendiri,  saling  menipu,  saling
memeras. Aku beri kau negeri kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka  beribadat  saja,  karena  beribadat  tidak  mengeluarkan  peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal  kalau  engkau  miskin.  Emgkau  kira  aku  ini  suka  pujian,
mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan
menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.‘
20
3. Alur
Alur  yang  dikembangkan  pengarang  di  antaranya  menggambarkan cerita  Kakek  yang  seakan-akan  terpengaruh  cerita  Ajo  Sidi.  Kakek  yang
bekerja  menjaga  surau  dan  sering  diminta  mengasah  pisau  oleh  ibu-ibu, suatu hari didatangi oleh Ajo Sidi yang terkenal sebagai pembual di desa.
Cerpen  ini  merupakan  cerita  berbingkai,  yang  berarti  dalam  cerpen diceritakan  pula  kisah  yang  lain.  Alur  yang  digunakan  dalam  cerpen  ini
adalah  alur  mundur,  karena  tokoh  “aku”  menceritakan  kisah  yang  sudah terjadi.
“Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongeng yang tak dapat disangkal kebenarannya. Be
ginilah kisahnya.”
21
Tabel 3 Gambaran Alur Robohnya Surau Kami
Awal Tengah
Konflik 1 Konflik 2
Klimaks  penyelesaian Akhir
Tokoh aku menceritakan
Suatu hari, tokoh aku
Kakek menahan
Haji Saleh dan orang-
Kakek meningg
Haji Saleh dimasukkan
Kakek meninggal
20
Ibid, hlm. 11-12
21
Ibid, hlm. 2
tentang sebuah surau
tua di kota kelahirannya
yang dijaga seorang
garin. mendapatk
an kakek sedang
murung. kemarahannya
dan menceritakan
kisahnya Ajo Sidi kepada
tokoh Aku. orang yang
masuk neraka
menemui Tuhan untuk
meminta keadalian
al ke neraka
karena melupakan
kewajibannya di dunia.
dengan cara
menggoro k lehernya
dengan pisau
cukur dan Ajo Sidi
tetap bekerja.
4. Latar
a. Latar Tempat
Latar  jenis  ini  biasa  disebut  latar  fisik.  Latar  ini  dapat  berupa  daerah, bangunan,  kapal,  sekolah,  kampus,  hutan,  dan  sejenisnya.  Latar  tempat
yang  ada  dalam  cerpen  ini  jelas  disebutkan  oleh  pengarangnya,  seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya. Dalam cerpen tidak disebutkan
secara  eksplisit  di  mana  peristiwa  yang  diceritakan  itu  terjadi.  Hanya disebutkan  di  surau  tua  yang  di  depannya  ada  kolam  ikan,  yang  airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Kalau  beberapa  tahun  yang  lalu  Tuan  datang  ke  kota  kelahiranku dengan  menumpang  bis,  Tuan  akan  berhenti  di  dekat  pasar.
Melangkahlah  menyusuri  jalan  raya  arah  ke  barat.  Maka  kira-kira sekilometer  dari  pasar  akan  sampailah  Tan  di  jalan  kampungku.  Pada
simpang  kecil  kekanan,  simpang  yang  kelima,  membeloklah  ke  jalan sempit  itu. Dan di  ujung jalan itu nanti akan tuan temui  sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
”
22
Walaupun  tidak  secara  eksplisit  disebutkan  di  mana  tempat  cerita tersebut  tetapi  kita  dapat  menyelidiki  dengan  cara  mencermati  nama
tokoh  seperti  Ajo  Sidi.  Ajo  Sidi  adalah  nama  umum  bagi  sebagian
22
A.A. Navis. Op. cit, hlm. 1
penduduk  Sumatera  Barat,  yaitu  penduduk  bagian  pesisir  selatan Sumatera  Barat.  Jadi  dapat  diperkirakan  bahwa  cerita  ini  berlatar
tempat di Minang, Sumatera Barat.
b. Latar Waktu
Begitu  pula  halnya  dengan  latar  waktu  tidak  dijelaskan  secara eksplisit dalam cerita, tetapi pembuatan cerpen ini adalah tahun 1986.
Karena  dalam  cerpen  terdapat  kutipan  “Kalalu  beberapa  tahun  yang lalu  Tuan  datang  ke  kota  kelahiranku  dengan  menumpang  bis,  Tuan
akan  berhenti  di  dekat  pasar.”
23
Jadi  kira-kira  latar  waktu  kejadian dalam cerpen adalah beberapa tahun sebelum pembuatan cerpen ini.
c. Latar Peristiwa
Pada  saat  diceritakan  kisah  tentang  Haji  Saleh,  saat  itu  Indonesia masih  dijajah  oleh  bangsa  asing,  di  mana  hasil  kekayaan  Indonesia
dibawa  ke  negeri  penjajah  dan  rakyat  sendiri  menjadi  kacau-balau karena sering berkelahi.
‗Negeri yang lama diperbudak orang lain?‘ ‗Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.‘
‗Dan hasil tanahmu, mereka  yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?‘
‗Benar,  Tuhanku.  Hingga  kami  tak  mendapat  apa-apa  lagi. Sungguh laknat mereka itu.‘
‗Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,  sedang  hasil  tanahmu  orang  lain  juga  yang
men gambilnya, bukan?‘
24
d. Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok  sosial  dan  sikapnya,  kebiasaannya,  cara  hidup,
dan  bahasa.  Di  dalam  cerpen  ini  latar  sosial  digambarkan  sebagai berikut :
23
Ibid, hlm. 1
24
Ibid, hlm. 11
“Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya  duduk  disana  dengan  segala  tingkah  ketuaannya  dan
ketaatannya  beribadat.  Sudah  bertahun-tahun  Ia  sebagai  Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
”
25
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan  atau  cara  hidupnya.  Namun  demikian,  contoh  latar  sosial
yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu : “Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan–Nya bagaimana ?”
suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. “Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh
“Cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai.
26
Kebiasaan  ini  tentunya  mengisyaratkan  kepada  kita  bahwa  tokoh- tokoh  yang  terlibat  dalam  dialog  ini  hlm.13,  termasuk  kelompok
orang  yang  sangat  kritis,  vokal,  dan  berani.  Karena  kritik,  vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya
terjebak  dalam  kesombongan.  Tokoh-tokoh  ini  menjadi  sombong  di hadapan  Tuhannya  padahal  apa  yang  dilakukannya  belum  ada  apa-
apanya. Perhatikan pada berikut ini. Haji  soleh  yang  jadi  pemimpin  dan  juru  bicara  tampil  ke  depan.
Dan  dengan  suara  yang  menggeletar  dan  berirama  indah,  Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang
menghadap-Mu  ini  adalah  umat-Mu  yang  paling  taat  beribadat, yang  paling  taat  menyembah-Mu.  Kamilah  orang-orang  yang
selalu
menyebut nama-Mu,
memuji-muji kebesaran-Mu,
mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain- lainnya…”
27
Akhirnya  ada latar sosial lain  yang digambarkan  dalam cerpen ini meskipun  hanya  sepintas  saja  gambaranya  itu.  Latar  sosial  ini
menunjukkan  bahwa  salah  satu  tokoh  dalam  cerita  ini  termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Adapun kutipannya sebagai berikut,
25
Ibid, hlm. 7
26
Ibid, hlm. 13
27
Ibid, hlm. 9-10
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun
bertanggung jaw ab, “dan sekarang ke mana dia ?
“Kerja” “Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.“Ya. Dia pergi kerja.”
28
5. Sudut Pandang
Sudut  pandang  adalah  cara  atau  pandangan  pengarang  sebagai  sarana untuk  menyajikan  tokoh,  tindakan,  latar,  dan  berbagai  peristiwa  yang
membentuk cerita. Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sudut pandang
yang  digunakan  adalah sudut  pandang  persona  pertama  “aku”  tokoh
tambahan. Dalam  sudut  pandang  ini  tokoh  “aku”  muncul  bukan  sebagai
tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first person peripheral.
29
Tokoh  “aku”  dalam  cerpen  sebagai  pencerita  atau  narator  yang  terlibat langsung dalam cerpen. Hal ini dapt dilihat dalam kutipan berikut:
Tapi  aku  tak  perlu  menjawabnya  lagi.  Sebab  aku  tahu  kalau  Kakek sudah  membuka  mulutnya,  dia  takkan  diam  lagi.  Aku  biarkan  Kakek
dengan pertanyaannya sendiri.
“Tiba-tiba aku ingat pada kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu”
30
6. Gaya Bahasa
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai  cara  pengungkapan  seorang  yang  khas  bagi  seorang  pengarang
atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya  merupakan  kemahiran  seorang  pengarang  dalam  memilih  dan
menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan. Di  dalam  cerpen  ini  ternyata  pengarang  menggunakan  kata-kata  yang
biasa  digunakan  dalam  bidang  keagamaan  Islam,  seperti  garin,  Allah
28
Ibid, hlm. 13
29
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 264
30
AA. Navis, Op. Cit, hlm. 3-4
Subhanau  Wataala,  Alhamdulillah,  Astagfirullah,  Masya-Allah,  Akhirat, Tawakal,  dosa  dan  pahala,  Surga,  Tuhan,  beribadat  menyembah-Mu,
berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain itu, pengarang juga menggunakan beberapa perumpamaan atau kiasan.  Ada  beberapa  gaya  bahasa  yang  digunakan  penulis  dalam
menuangkan  pemikirannya  ke  dalam  cerpen “Robohnya  Surau  Kami”
yaitu penggunaan beberapa majas diantaranya  adalah majas personofikasi dan majas hiperbola. Majas-majas ini digunakan sebagai penguat karakter
tokoh-tokoh dalam cerpen Robohnya Surau Kami. a.
Majas personifikasi Personifikasi  merupakan  gaya  bahasa  yang  memberi  sifat-sifat
benda  mati  dengan  sifat-sifat  seperti  yang  dimiliki  manusia  sehingga dapat  bersikap  dan  bertingkah  laku  sebagaimana  halnya  manusia.
Contoh  kutipan  majas  personifikasi  dalam  “Robohnya  Surau  Kami” adalah:
1 Jika  Tuan  datang  sekarang,  hanya  akan  menjumpai  gambaran
yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh.
31
b. Majas Hiperbola
Hiperbola  merupakan  suatu  cara  penuturan  yang  bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya.
2 Pandangannya  sayu  ke  depan,  seolah-olah  ada  sesuatu  yang
mengamuk pikirannya.
32
3 Karena  fajar  kegembiraan  telah  membayang  di  wajahnya
kembali.
33
4 “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar
segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab.
34
31
Ibid, hlm. 2
32
Ibid, hlm. 3
33
Ibid,  hlm. 10
7. Amanat
Di  dalam  sebuah  cerita,  gagasan  atau  pokok  persoalan  dituangkan sedemikian  rupa  oleh  pengarangnya  sehingga  gagasan  itu  mendasari
seluuh  cerita.  Gagasan  yang  mendasari  seluruh  cerita  ini  dipertegas  oleh pengarangnya  melalui  solusi  bagi  pokok  persoalan  itu.  Dengan  kata  lain
solusi  yang  dimunculkan  pengaranngnya  itu  dimaksudkan  untuk memecahkan  pokok  persoalan,  yang  didalamnya  akan  terlibat  pandangan
hidup  dan  cita-cita  pengarang.  Hal  inilah  yang  dimaksudkan  dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk
menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya. Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami
karya  A.A.  Navis  adalah:  “Pelihara,  jaga,  dan  jangan  bermasabodoh terhadap  apa  yang  kau  miliki
.”  Hal  ini  terdapat  pada  paragraf  kelima halaman  delapan  kalimat  yang  terakhir.  Amanat  pokokutama  ini
kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat
yang dimaksud itu di antaranya: a
Jangan  cepat  marah  kalau  ada  orang  yang  mengejek  atau  menasihati kita  karena  ada  perbuatan  kita  yang  kurang  layak  di  hadapan  orang
lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek seperti kutipan di bawah ini,
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan  ragam.  Sudah  lama  aku  tak  marah-marah  lagi.  Takut  aku
kalau  imanku  rusak  karenanya,  ibadahku  rusak  karenanya.  Sudah begitu  lama  aku  berbuat  baik,  beribadah  bertawakkal  kepada  Tuhan
.…”
35
dari  ucapan  kakek  Garin  itu  jelas  tegambar  pandangan  hidupcita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
34
Ibid, hlm. 13
35
Ibid, hlm. 13
b Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal
ini  bisa  saja  baik  di  hadapan  manusia  tetapi  tetap  kurang  baik  di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama
Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana: “Alangkah  tercengangnya  Haji  Saleh,  karena  di  Neraka  itu  banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-
orang  yang  dilihatnya  di  Neraka  itu  tak  kurang  ibadahnya  dari  dia sendiri.  Bahkan  ada  salah  seorang  yang  telah  sampai  14  kali  ke
Mekkah dan bergelar Syekh pula.
36
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu: c  Kita  jangan  terpesona  oleh  gelar  dan  nama  besar  sebab  hal  itu  akan
mencelakakan diri pemakainya. d Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda
Tuhan dalam cerpen ini: “…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu
teraniaya  semua,  sedang  harta  bendamu  kau  biarkan  orang  lain mengambilnya  untuk  anak  cucu  mereka.  Dan  engkau  lebih  suka
berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri  kau  negeri  yang  kaya  raya,  tapi  kau  malas,  kau  lebih  suka
beribadat  saja,  karena  beribadat  tidak  mengeluarkan  peluh,  tidak membanting  tulang.  Sedang  Aku  menyuruh  engkau  semuanya
beramal  disamping  beribadat.  Bagaimana  engkau  bisa  beramal
kalau engkau miskin .…”
37
e  Jangan  mementingkan  diri  sendiri,  seperti  yang  disabdakan  Tuhan dalam cerpen ini,
”….  Kesalahan  engkau,  karena  engkau  terlalu  mementingkan  dirimu sendiri.  Kau  takut  masuk  neraka,  karena  itu  kau  taat  bersembahyang,
tapi  engkau  melupakan  kehidupan  kaummu  sendiri,  melupakan kehidupan  anak  istrimu  sendiri,  sehingga  mereka  itu  kucar  kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
36
AA. Navis, Op. Cit, hlm. 12-13
37
Ibid, hlm. 15
engkau  didunia  berkaum,  bersaudara  semuanya,  tapi  engkau  tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
38
Dan  akhirnya  amanat  d  dan  e  menjadi  kunci  amanat  yang diinginkan  pengarang  untuk  pembacanya.  Kedua  amanat  itu  kemudian
dirumuskan,  seperti  yang  sudah  dituliskan  pada  bagian  awal  tentang amanat di atas.
F. Unsur  Intrinsik  Cerpen  “Burung  Kecil  Bersarang  di