falsafah hidup yang dianut pengarangnya.
17
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, biografi pengarang, lingkungan sosial budaya, lingkungan pendidikan dan
pandangan hidup pengarang termasuk bagian dari pembahasan unsur ekstrinsik yang memengaruhi isi karya sastra yang diciptakannya
18
.
B. Pendekatan Intertekstual
1. Teori Intertekstual
Secara luas intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis
berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan
19
. Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa intertekstual adalah hubungan
antara teks yang satu dengan teks yang lain yang saling berhubungan. Teks itu sendiri adalah susunan kata yang membentuk makna.
Sebuah karya sastra itu sendiri, baik puisi atau prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian
20
. Jadi, dalam menganalisis karya sastra tersebut sebaiknya kita juga membandingkan dengan karya sezaman, sebelumnya, atau juga sesudahnya
karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Inilah yang menjadi acuan dalam penelitian intertekstual.
Sebenarnya paham atau prinsip intertekstualitas ini pada mulanya berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Perancis.
Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini menekankan bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang
teks-teks lain karena tidak ada sebuah teks yang benar-benar mandiri, dalam
17
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1998, hlm.35
18
Ibid, hlm. 36
19
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm., hlm. 172
20
Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 167
arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain.
21
Keterangan Kristeva tentang intertekstualitas dapat dirumuskan sebagai berikut
22
: a.
Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya. b.
Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi juga mungkin berupa teks bahasa.
Selanjutnya Teeuw dalam Nurgiyantoro menguraikan bahwa kajian intertekstual sendiri dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang
diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik, seperti ide, gagasan,
peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji.
23
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya
pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan interteks adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. selain itu,
menurut Teeuw konsep intertekstualitas sendiri memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar
memberikan interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkret saja.
24
Julia Kristeva juga mengemukakan bahwa tiap teks merupakan mosaik, kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain.
Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali jika kita membandingkan teks yang sebelumnya dan teks saat ini, dalam arti teks yang
sebelumnya disebut hipogram dan teks baru yang menyerap hipogram yang disebut teks transformasi.
21
Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra”. Dalam Jabrohim ed. Metode
Penelitian Sastra, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2002, hlm. 125
22
Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT Gramedia, 1985, hlm. 87-88
23
Burhanudin Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007, hlm. 50
24
A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, Bandung, Pustaka Jaya, 2003, hlm.121
2. Hipogramatik