xxxix Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-
orang yang beragama paling tidak memiliki minimal pengetahuan mengenai dasar-
dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Dimensi konsekuensi. Konsekuensi komitmen agama berlainan dari keempat dimensi yang sudah dibicarakan di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi
akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
33
Dari keterangan berbagai dimensi-dimensi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa setiap agama memiliki semua dimensi-dimensi
tersebut, namun didalam prakteknya berbeda antara satu dengan yang lainnya.
C. Pluralisme Agama
1. Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologi, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Istilah pluralisme agama berasal dari bahasa inggris yakni “religious
pluralism” . Pluralisme berarti “jama” atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa inggris
mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau
lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang
mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran
maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
33
Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis Jakarta; PT. Raja Grapindo Persada, 1993, h. 295.
xl karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut
sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan
dan karakteristik masing-masing. Jika pluralisme dirangkai dengan agama sebagai predikatnya, dapat dikatakan pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
koeksistensi antar agama dalam arti yang luas yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing
agama. John Hick mengemukakan bahwa:
“pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda dan merupakan respon yang beragam terhadap
Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi, dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat
terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan terjadi sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.”
Dengan kata lain Hick menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah
”manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu dimana semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
34
Alwi Shihab, dalam karyanya Islam Inklusif, telah menguraikan empat garis-garis
besar pengertian pluralisme. yang pertama, bahwa pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dapat dijumpai dimana-mana, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk dituntut bukan
saja mengakui keberadaan serta hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus
dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita
34
Anis Malik Thoha, Tren Pluralis Agama: Tinjauan Kritis. h. 11-15.
xli dimana aneka ragam agama, ras, serta bangsa yang berbeda hidup berdampingan disuatu
lokasi. New York contohnya, dikota tersebut terdapat berbagai macam orang yang berbeda agama, namun interaksi positif antarpenduduk tersebut khususnya agama, sangat
minimal. Ketiga, konsep pluralisme tidak bisa disamakan dengan relativisme. Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus
dinyatakan benar, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran
universal yang berlaku sepanjang masa. Keempat, pluralisme agama juga bukan sinkritisme, yakni menciptakan agama baru dengan memadukan sebagian ajaran dari
beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru. Dalam setiap perbedaan, pasti ada persamaan serta kesatuan. Oleh karena itu, agar
tidak terjatuh pada pluralisme yang mengarah pada relativisme, seorang pluralis dituntut untuk commited terhadap apa yang diyakininya. Pluralisme juga bukan berarti
mencampuradukkan serta memadukan unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan dan mengarah pada pengaburan, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana perbedaan itu
memperkaya pengalamannya.
35
Dengan demikian,
pluralisme agama
atau keanekaragaman agama yang dimiliki negara Indonesia ini merupakan sebuah kelebihan
yang dapat kita tonjolkan, bahwa negara Indonesia mempunyai bermacam-macam agama yang dapat bersatu dan hidup rukun.
2. Teori Pluralisme Agama