Pluralisme Agama Dalam Pandangan Majelis Ulama Indonesia MUI

xlvii perubahan dewasa ini yang kita kenal dengan “globalisasi”, yang merupakan hasil praktis dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung sudah lebih dari tiga abad.

2.2.2. Faktor Keilmuan

Pada hakikatnya banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan teori pluralisme agama. Namun yang memiliki kaitan langsung dan erat dengan timbulnya teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama- agama dunia, atau yang juga sering dikenal dengan studi perbandingan agama. 40

D. Pluralisme Agama Dalam Pandangan Majelis Ulama Indonesia MUI

Majelis Ulama Indonesia, dalam munasnya yang ke-7 pada 25-29 juli 2005 di Jakarta mendefinisikan pluralisme agama sebagai berikut : Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di dalam surga. Ma’ruf Amin, ketua Komisi Fatwa MUI menyatakan: “Dalam aqidah dan ibadah umat Islam wajib bersikap eksklusif dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan ibadah pemeluk agama lain. Namun demikian, bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk lain pluralitas agama dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan 40 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, h 40-43. xlviii ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan”. 41 Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa MUI juga mendukung dengan adanya pluralisme agama hanya dalam sebuah pergaulan atau interaksi sosial didalam masyarakat. Akan tetapi, mereka sangat mengaharamkan sebuah aqidah dan ibadah untuk dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam sesungguhnya. Seperti kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini terbukti dengan sangat jelas ketika beberapa waktu lalu sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia, dengan cukup berani menyerang dan merusak kampus Mubarak milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor. Penyerangan itu dinilai oleh beberapa kalangan, termasuk Ulil Abshar Abdulla, aktivis Koordinator Jaringan Islam Liberal, dan Dawam Raharjo, intelektual Islam, sebagai efek dari fatwa MUI yang menganggap JAI sebagai aliran sesat. Namun, masih banyak kalangan yang berpendapat bahwa tindakan MUI adalah sebuah aksi brutal yang tidak menghargai sebuah keyakinan dari seseorang. Bahkan didalam sebuah forum sebuah lembaga Perhimpunan Pendidikan Demokrasi P2D dengan beberapa institusi lain yang bergerak di bidang penegakan HAM, Pluralisme, dan kebebasan berpendapat, seperti JIL Jaringan Islam Liberal, ICRP Indonesian Conference on Religion and Peace , Wahid Institute, P3M Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, memberikan pernyataan sikap atas fatwa tersebut. Mereka menyatakan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme cenderung menanggalkan prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Karena pluralisme atau 41 Adian Husaini, Pluralisme Agama, 12 Februari 2007, Artikel ini diakses pada tanggal 27 Februari 2009 melalui situs http:grelovejogja.wordpress.com20070212pluralisme-agama xlix kemajemukan merupakan fakta dan stand point pendirian negara bangsa Indonesia yang secara tegas kemudian diadopsi oleh para pendiri bangsa dalam sila ketiga Pancasila. Dari sudut berdemokrasi dan konstitusi, mereka memandang bahwa fatwa MUI tersebut kurang memperhatikan keadaan-keadaan baru dalam kehidupan berdemokrasi yang mengisyaratkan pluralisme dimana hak-hak dan kebebasan warga negara seperti hak berserikat dan berkumpul dilindungi oleh konstitusi dan undang- undang. Dengan melihat prinsip-prinsip ini, mereka mengkhawatirkan fatwa MUI tersebut akan menimbulkan kerancuan hukum dalam kehidupan kemasyarakatan serta menjadi set back bagi cita-cita berdemokrasi. Dari dasar inilah mereka menilai bahwa munculnya kontroversi seputar masalah fatwa itu mencerminkan lemahnya visi kebangsaan dan demoratisasi dalam praktek politik pemerintahan saat ini. Mereka menuntut pemerintah untuk lebih giat memperkuat visi ke-Indonesiaan dengan demokratis, melaksanakan kewajiban hukum dan konstitusionalnya untuk melindungi dan menjamin hak-hak asasi dan hak konstitusional warga negara. Pada akhirnya mereka menyerukan kepada segenap kalangan di masyarakat luas untuk lebih mengedepankan rasa kebangsaan, solidaritas sosial dan hak-hak kewarganegaraan yang diatur dalam konstitusi dalam menafsirkan fatwa MUI tersebut. 42 Namun, dalam kenyataannya MUI tidak terpengaruh dengan segala hujatan yang diterima mereka. Karena mereka yakin apa yang mereka lakukan adalah kebenaran dalam membela agama mereka. Apabila bermunculan dengan ajaran baru namun dengan mengatasnamakan agama Islam, merekapun langsung menghadapinya 42 Adian Husaini, Aktivis Islam dan Pro Demokrasi Menolak Fatwa MUI, 5 Agustus 2005, Artikel ini diakses pada tanggal 27 Februari 2009 melalui situs http:islamlib.comidartikelaktivis-islam-dan-pro- demokrasi-menolak-fatwa-mui l walaupun dianggap sebagai tindakan anarkis bagi kalangan masyarakat lain. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya sehingga semua kalangan merasa memiliki kebebasan hak beribadah dan memiliki keyakinannya. Dalam mencari solusi untuk masalah ini juga sudah pernah disampaikan oleh lembaga tersebut yaitu menuntut pemerintah untuk bertindak tegas tidak hanya kepada MUI namun semua kalangan yang melakukan hal yang sama.

E. Pluralisme Agama Dalam Pandangan Al-Qur’an