xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang plural. Hal ini dapat terlihat dari berbagai keanekaragaman ras, suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Keanekaragaman ini dapat
menjadi sebuah kekayaan negara. Namun, apabila kekayaan ini tidak mampu dikelola dengan baik maka dapat menjadi sebuah ancaman bagi keutuhan negara.
1
Di zaman sekarang ini, keragaman agama menjadi salah satu masalah yang dianggap signifikan.
Namun masalah keragaman ini bukanlah merupakan masalah yang baru, karena sejak dulu banyak para tokoh agama yang berusaha membuktikan bahwa agamanyalah yang
dianggap paling benar. Pada masa sekarang ini agama menjadi salah satu pusat perhatian, karena agama selalu mewarnai kehidupan manusia. Banyak konflik-konflik yang terjadi
dengan mengatasnamakan agama. Namun, di lain pihak, agama pula yang membuat ketentraman batin. Dewasa ini, banyak ajaran dari sebuah agama menjadi dasar institusi-
institusi, seperti halnya sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Selain itu, dalam setiap tahun tidak kurang dari sepuluh kali umat beragama
mengadakan upacara resmi keagamaan untuk memperingati hari-hari suci dalam agamanya. Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Isra Mi’raj, dan Maulid Nabi Muhammad
SAW yang diperingati oleh umat Islam, Hari Natal, dan wafatnya Yesus Kristus Isa Al- Masih oleh umat Kristiani, Imlek oleh umat beragama Konghuchu, serta Hari Raya
Nyepi dan Waisak yang diperingati oleh umat Hindu dan Budha.
1
Muchtar Luthfi, Problem Pluralisme Agama dan Mazhab, 15 November 2005, Artikel ini di akses pada tanggal 25 Maret 2008 melalui situs http:www.google.com
xvi Dalam setiap peringatan keagamaan inilah selalu muncul persoalan tentang
keragaman atau pluralitas. Yaitu, persoalan tentang bagaimana suatu umat beragama menyikapi kehadiran agama dan kaum lain yang berbeda agama. Khususnya dikalangan
umat Islam, masalah keragaman atau pluralitas agama ini telah memunculkan perdebatan teologis yang panjang dan tak pernah kunjung selesai. Bagaimana seharusnya menyikapi
kehadiran banyak agama dan bagaimana seharusnya umat muslim bersikap terhadap kaum lain yang berbeda agama. Tema perdebatan tersebut tidak hanya sebatas masalah
ketuhanan, melainkan juga merambah ke wilayah kehidupan yang sangat luas, termasuk aspek ritual keagamaan, sosial, kesehatan, politik dan ekonomi. Dalam aspek ritual
keagamaan, pada saat peringatan Natal, Imlek atau Hari Raya Nyepi misalnya, berkembang perdebatan tentang boleh atau tidaknya mengucapkan selamat kepada umat
lain, dalam aspek sosial muncul perdebatan yang berkaitan dengan boleh atau tidaknya menerima bantuan dari kalangan non-muslim. Misalnya, pemberian dalam bentuk
makanan, atau bantuan dana dan sarana fisik untuk pembangunan masjid, madrasah, rumah sakit dan sebagainya. Dalam aspek kesehatan muncul perdebatan masalah boleh
atau tidaknya berobat kerumah sakit non-muslim atau kerjasama dalam bidang kesehatan. Dalam aspek ekonomi muncul perdebatan boleh atau tidaknya belanja ke toko atau
supermarket non-muslim. Perdebatan seputar boleh atau tidaknya melakukan pertemanan dan kerjasama ekonomi dengan kalangan non-muslim. Sedangkan dalam aspek politik,
muncul perdebatan boleh atau tidaknya menjadikan orang non-muslim sebagai teman politik anggota atau pimpinan partai atau mengangkat mereka menjadi pemimpin
pemerintahan kepala negara. Oleh karena itu, agama dan keragamannya sangat menarik perhatian kita di abad ini.
2
2
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme Jakarta: RMBooks, 2007, h.1-3.
xvii Pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan pada serangkaian yang
tidak berbeda dengan apa yang dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal atau antar agama adalah sebuah fenomena yang nyata. Di masa lampau kehidupan
keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis
yang harus ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan merisaukan.
3
Fenomena ini berlanjut sampai masa sekarang. Di beberapa negara justru sebuah agama dijadikan sebagai elemen utama dalam mesin penghancuran manusia,
suatu kenyataan yang sangat bertentangan dengan ajaran semua agama di muka bumi ini. Pertentangan antar umat beragama yang membawa perpecahan, kekerasan, anarkisme,
bahkan vandalisme adalah sebuah kenyataan yang sungguh ironis dan memprihatinkan. Sama menyedihkannya misi dakwah keagamaan yang menjelek-jelekkan agama lain
dan umatnya, menghasut, membakar emosi umat untuk membenci bahkan menyerang umat agama lain. Permusuhan dan balas dendam adalah tanda betapa masyarakat kita
masih mengidap penyakit eksklusivisme dan fanatisme dan karena itulah belum pantas disebut sebagai bangsa toleran.
4
Untuk menghindari bahaya ini, wacana moralitas perlu diartikulasikan kembali secara jelas. Dalam kerangka ini agama justru harus dijadikan
penengah di antara kepentingan-kepentingan yang sering kali membuat konflik dalam tatanan umum dan perubahan sosial. Kerja sama antar agama diperlukan untuk
3
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998, h. 39
4
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan
, Jakarta: Kompas, 2003, h.11.
xviii menerjemahkan kesadaran atas hakikat dasar moralitas dan sikap moral terhadap realitas
sosial serta keinginan untuk menghormati orang lain.
5
Pluralisme adalah perspektif pemikiran dan gerakan yang ingin menghapuskan sekat-sekat primordialisme asal-usul kelahiran agama dan hal-hal bawaan dalam pola
dan proses interaksi sosial manusia dalam kehidupan. Secara sederhana, pluralisme dikatakan sebagai paham tentang kemajemukan masyarakat. Masyarakat majemuk ialah
suatu masyarakat dimana sejumlah etnik dan golongan hidup secara berdampingan yang sebagian besar berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat yang pluralistik, senantiasa
terjadi proses asimilasi dan terbentuk “cultural pluralism” pluralisme kultural dimana setiap subkultur dalam masyarakat mengalami adaptasi dan penciptaan kondisi untuk
menerima perbedaan. Dalam perkembangan umat manusia di tengah globalisasi dan kesadaran akan pentingnya harmoni, pluralisme telah tumbuh menjadi semacam ideologi
baru. Dalam dunia politik saat ini lahir partai-partai politik dengan ideologi inklusif
sebagai antitesis dari partai politik dengan ideologi eksklusif, dalam kalangan umat Islam masih mengalami perdebatan yang kontroversial baik di level strategi maupun teologi.
6
Islam adalah agama yang melarang para umatnya untuk merendahkan non- muslim. Meskipun sebagai umat muslim diharuskan meyakini bahwa Islam adalah yang
paling benar, tetapi tidak berarti diharuskan menjauhi dan tidak berinteraksi dengan non- muslim. Merendahkan non-muslim justru akan menunjukkan bahwa Islam bukanlah
agama yang mulia. Karena, sejak awal Allah SWT selalu mengingatkan bahwa Islam
5
Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman Jakarta: Kompas, 2001, h.21-22.
6
Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001, h. 45-46.
xix adalah rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam. Di dalam praktek kehidupannya,
Rasulullah SAW di Madinah selalu memberikan suri teladan yang sangat berharga bagi umat Islam. Bukan arogansi yang diberikan kepada kaum Yahudi ataupun Nasrani,
melainkan yang dilakukan Rasullah SAW adalah ajakan untuk bersama-sama membangun masyarakat dan melindungi negara dari ancaman musuh.
7
Pluralisme agama menuntut adanya keterlibatan aktif dengan kaum lain, dalam arti bukan hanya sekedar
toleransi, melainkan memahami. Toleransi tidak memerlukan keterlibatan aktif dengan kaum agama lain. Toleransi juga tidak membantu meredakan sikap acuh tak acuh sesama
umat beragama. Yang harus kita lakukan adalah lebih dari sekedar toleransi, tetapi memahami apa yang ada dalam keragaman setiap agama dengan tulus. Al-Qur’an
menggambarkan pluralisme agama sebagai satu misteri ilahi yang harus diterima sebagai suatu karunia untuk memuluskan hubungan antar umat beragama di wilayah publik.
8
Kesenjangan serta konflik psikologis dan teologis antara umat Islam dan umat lainnya tidak boleh terus-menerus berlangsung. Strategi yang dilakukan selama ini
cenderung menelantarkan dialog teologis sebagai sarana pembina saling percaya dan media solusi konflik-konflik agama, etnis dan bangsa dalam masyarakat yang majemuk
seperti Indonesia. Sudah saatnya kita menawarkan
langkah yang preventif, selain langkah
kuratif, dalam mengabdi kepada perdamaian di berbagai tempat dimana umat yang berbeda agama bertemu dan dapat bekerja sama.
9
Dalam konteks inilah pluralitas agama menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang harus segera
diselesaikan dalam menuju kehidupan masyarakat yang damai. Dengan kesadaran yang
7
Tarmizi Tahir, Dkk, Pluralisme Islam Harmonisasi Beragama, Jakarta: PT Karsa Rezeki, 2004, h.35.
8
Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi Setara Pandangan Islam tentang Non-Muslim Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002, h.71.
9
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, h.3.
xx luas terhadap pluralitas dari berbagai lapisan masyarakat, agama akan menumbuhkan
sikap-sikap pluralis bagi masyarakat agama yang luas pula. Kesadaran itu dapat disosialisasikan secara nasional yang dapat dimulai dari pemuka-pemuka agama dari
masing-masing agama. Pastur atau pendeta dalam agama Kristen merupakan sosok yang paling strategis membawa jemaatnya untuk menyadari urgensi eksistensi pluralitas bagi
masyarakat Kristiani. Ustadz atau mubaligh merupakan figur yang paling penting dalam agama Islam dalam memberikan pengajaran bagi kaum muslimin di lingkungannya.
Biksu atau pendeta merupakan tokoh yang paling berpengaruh memberikan semangat pluralitas bagi agama Budha dan Hindu.
10
Untuk itulah peran pemuka agama sangat diperlukan dalam memberikan pengetahuan yang baik tentang pluralisme agama, bahwa
pluralisme merupakan alternatif bagi terciptanya masyarakat yang toleran antar sesama umat beragama.
Dari seputar wacana-wacana di atas, alasan mengapa penulis ingin melakukan penelitian terhadap mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah karena mahasiswa merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia, sehingga persoalan seperti pluralisme agama juga merupakan keprihatinan mereka. Mahasiswa sebagai kelompok
intelektual, tentunya akan sanggup memilih persoalan dengan objektif tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Seperti yang telah diketahui bahwa
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah beragama Islam atau muslim, bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kerukunan antar umat beragama. Selain itu, banyak ayat-
ayat Al-Qur’an yang mendukung pluralisme. Tentunya mahasiswa akan diharapkan dapat memberikan pandangan-pandangan mereka dengan kritis, dengan tidak membeda-
10
Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan antar Agama Jakarta: Ciputat Press, 2005, h.210.
xxi bedakan agama baik itu agama Islam ataupun non-muslim. Untuk itu, peneliti ingin
mengetahui tingkat keberagamaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pandangan mahasiswa terhadap pluralisme agama, perbedaan keberagamaan dan
pandangan pluralisme agama antara fakultas agama dan fakultas umum, dan peneliti juga ingin mengetahui pengaruh keberagamaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap pandangan pluralisme agama.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah