Selain itu, beberapa kondisi yang juga menunjukkan masalah going concern telah diatur dalam IAI, 2001: SA seksi 341, paragraf 05, yaitu
sebagai berikut: a.
Tren negatif, misalnya kerugian operasi yang berulangkali terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio
keuangan penting yang tidak baik. b.
Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, misalnya kegagalan dalam memenuhi kewajiban utangnya atau perjanjian
serupa, penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa,
rektrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau penjualan sebagian besar aktiva.
c. Masalah inten, misalnya pemogokan kerja atau kesulitan hubungan
perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses projek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis,
kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi.
d. Masalah luar yang telah terjadi, misalnya pengaduan gugatan
pengadilan, keluarnya undang-undang, atau masalah-masalah lain yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk
beroperasi; kehilangan franchise, lisensi atau paten penting; kehilangan pelanggan atau pemasok utama; kerugian akibat
bencana besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan
yang tidak memadai.
2.1.5. Corporate Governance
Bagi perusahaan go public, ketergantungan pada pembiayaan eksternal tentunya sudah menjadi hal yang biasa, misalnya melalui modal dan
pinjaman. Hal tersebut tentunya melibatkan beberapa pihak untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup entitas tersebut misalnya pemegang
saham, direksi, karyawan, dsb. Adanya hubungan antara para pemangku kepentingan tersebut dikenal dengan agency relationship. Kontribusi dari
masing-masing pemangku kepentingan sebenarnya berdampak positif bagi perusahaan, namun adanya konflik kepentingan dari masing-masing pihak
Universitas Sumatera Utara
sering menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan adanya tata kelola yang baik dalam suatu perusahaan
good corporate governance untuk meminimalisir risiko kegagalan
perusahaan tersebut.
Corporate governance dapat didefinisikan sebagai mekanisme dan proses dimana perusahaan dijalankan. Menurut Samanta, 2009 dalam
Linoputri, 2010 ”pada tingkat yang paling dasar, corporate governance digambarkan sebagai suatu proses dimana perusahaan berusaha untuk
meminimalisir biaya transaksi dan biaya keagenan terkait dengan bisnis yang dijalankan perusahaan”. “Jika perusahaan dikelola oleh manajemen dan
dimiliki oleh pemegang saham yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip GCG, maka risiko kegagalan perusahaan tersebut akan sedikit. GCG akan tercapai
apabila peranan CEO atau pengelola ditingkatkan” Purba, 2009. Pihak manajemen perlu memperhatikan prinsip GCG sebagaimana yang dijabarkan
dalam Organization for Economic Cooperation and Development dalam FCGI, 2000 yaitu sebagai berikut: “transparency transparansi,
accountability keterbukaan,
responsibility pertanggungjawaban,
independency independensi, dan fairness keadilan”. Menurut Kaihatu,2006 “komponen-komponen GCG tersebut penting karena
penerapan prinsip GCG secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas
rekayasa kinerja yang dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak
menggambarkan nilai fundamental perusahaan”.
Universitas Sumatera Utara
Elemen-elemen dalam mekanisme corporate governance yang akan
diteliti adalah sebagai berikut :
1 Komite Audit
2 Kepemilikan terpusat
3 Kepemilikan manajerial
2.1.5.1. Komite Audit
Peraturan BAPEPAM No. IX.I.5 : Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam No: Kep-29PM2004 yang diterbitkan pada 24 Desember 2004 bagian C yaitu anggota komite audit sekurang-
kurangnya 3 tiga orang anggota. Sedangkan, jumlah keanggotaan tiga sampai lima merupakan jumlah yang cukup ideal menurut
Wijaya, 2000. Keanggotaan komite audit di Indonesia sendiri cukup bervariasi, disesuaikan dengan besar-kecilnya organisasi serta
tanggung jawabnya. Dari penelitian-penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran komite audit maka akan
semakin meningkatkan kualitas pengawasan sehingga manajemen perusahaannya pun menjadai lebih transparan dan akuntabel. Dalam
Pedoman Tata Kelola Perusahaan, PT Bursa Efek Indonesia, 2011 dijelaskan bahwa komite audit bertugas membantu Dewan Komisaris
untuk memastikan bahwa perseroan telah menyajikan laporan keuangan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum; perseroan telah menerapkan pengendalian internal,
Universitas Sumatera Utara
manajemen risiko dan GCG; serta fungsi audit eksternal dan audit
internal telah berjalan dengan baik.
Beberapa penelitian sebelumnya mendukung teori bahwa keberadaan komite audit berpengaruh positif pada perusahaan karena
laporan keuangan yang disajikan menjadi lebih berkualitas sehingga
akan menerima opini yang wajar dan non going concern dari auditor. 2.1.5.2. Kepemilikan Manajerial
Hasil penelitian Jensen dan Meckling, 1976 menyatakan bahwa “peningkatan kepemilikan manajerial dalam perusahaan
mendorong untuk menciptakan kinerja perusahaan secara optimal dan memotivasi manajer bertindak hati-hati, karena ikut menanggung
konsekuensi atas tindakannya”. “Kepemilikan manajerial meliputi pemegang saham yang memiliki kedudukan dalam perusahaan sebagai
kreditur maupun sebagai dewan komisaris, atau bisa dikatakan kepemilikan manajerial merupakan proporsi jumlah saham yang
dimiliki oleh manajer dan direktur perusahaan” Setiawan, 2010. Semakin meningkatnya persentase kepemilikan saham yang dimiliki
oleh manajer, diharapkan mampu memotivasi para manajer untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab dalam meningkatkan
kemakmuran para pemegang saham. Sehingga manajer tidak hanya mengambil keputusan yang sesuai dengan tujuan perusahaan yaitu
meningkatkan laba, tetapi juga mengoptimalkan aktivitas investasi.
Universitas Sumatera Utara
“Kepemilikan manajerial dapat berfungsi sebagai mekanisme corporate governance sehingga dapat mengurangi tindakan manajer
dalam memanipulasi laba” Herawaty, 2008. Namun demikian, persentase kepemilikan manajerial yang terlalu besar dapat berdampak
negatif pada pemegang saham eksternal karena pengambilan keputusan yang diambil oleh pihak manajemen menjadi tidak dapat
dikendalikan. 2.1.5.3. Kepemilikan Terpusat
“Kepemilikan terpusat merupakan suatu kondisi dimana sejumlah kecil pemilik memiliki porsi kepentingan yang besar dalam
perusahaan”Violita dalam Linoputri, 2010. Proporsi kepemilikan atas saham perusahaan mencapai 20 dua puluh persen atau lebih.
Proporsi kepemilikan yang semakin besar dinilai mampu mengontrol perusahaan dengan lebih mudah karena adanya kekuatan untuk
membatasi tindakan manjemen yang kurang efektif sehingga dapat menjaga kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Namun dalam
penelitian Felina dalam Linoputri, 2010 kepemilikan terpusat dapat
membawa dua hipotesis yang berlawanan yaitu:
pemegang saham mayoritas secara efektif mengendalikan perusahaan dan mengendalikan informasi akuntansi yang
dihasilkan, sehingga akan menurunkan kredibilitas informasi akuntansi. Sementara di sisi lain, adanya kepemilikan terpusat,
pemegang saham mayoritas akan berusaha meningkatkan kredibilitas informasi akuntansi yang dihasilkan.
Universitas Sumatera Utara
Kepemilikan terpusat sendiri merupakan aspek yang penting dalam corporate governance karena dianggap sebagai salah satu
faktor yang mampu mengatasi masalah keagenan. Adanya kepentingan dalam menjaga kelangsungan hidup perusahaan,
membuat mereka akan berusaha untuk mengarahkan para manajer pada tindakan yang sejalan dengan tujuan pemilik perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa semakin terpusat kepemilikan saham akan meningkatkan keefektifan
pengawasan terhadap manajemen terutama dalam hal peminjaman, sebab jumlah utang yang terlalu tinggi akan meningkatkan resiko
financial distress yang berpengaruh terhadap going concern perusahaan.
2.1.6. Kualitas Audit