Aplikasi Bahan Pengawet Untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang

(1)

SKRIPSI

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

Oleh:

PAHRUDIN

F24101068

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Pahrudin. F24101068. Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Ratih Dewanti-Hariyadi. 2006.

RINGKASAN

Penggunaan bahan yang dilarang seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Formalin dan boraks dilarang penggunaannya dalam makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/1999. Namun, dari tahun 1970-an sampai sekarang penggunaan kedua bahan yang dilarang tersebut masing berlangsung.

Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja. Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di daerah Jabotabek adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.914,36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie di daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3.423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.941,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005).

Untuk itu perlu dilakukan upaya pencarian bahan pengawet yang diizinkan penggunannya dalam makanan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan bahan pengawet yang dapat meningkatkan umur simpan mie basah matang, serta analisis terhadap mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik terhadap mie basah matang yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pembuatan mie basah matang dalam skala laboratorium, aplikasi bahan pengawet pada mie basah matang, serta analisis mutu mie basah matang meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.

Tahap awal pembuatan mie dalam skala laboratorium adalah perlakuan pemberian garam alkali. Mie basah matang dengan mutu yang baik mempunyai warna yang kuning dan tekstur yang kenyal dan elastis. Karakteristik fisik ini dipengaruhi oleh adanya garam alkali. Dari ketiga jenis garam alkali yang digunakan (Na2CO3, K2CO3 dan NaOH), ternyata Na2CO3 menghasilkan mie basah matang yang berwarna kuning, bertekstur kenyal dan elastis. Selanjutnya dilakukan perlakuan pemasakan, yaitu perebusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, dan pengukusan yang diikuti dusting (penaburan) dengan tapioka. Dari ketiga perlakuan tersebut, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa menghasilkan mie yang lebih baik secara visual dibandingkan dua perlakuan lainnya. Selain itu, dilakukan pula berbagai perlakuan waktu pengukusan yaitu 5, 10, 15 dan 20 menit untuk


(3)

mendapatkan waktu pengukusan optimum. Dari keempat perlakuan waktu pengukusan didapat waktu pengukusan optimum 10 - 15 menit dan setelah dilakukan penelitian selanjutnya, didapatkan waktu pengukusan terbaik adalah 13 menit.

Pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil paraben, kalsium propionat, natrium asetat, dan monolaurin. Kombinasi monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dengan parameter kerusakan bau asam, mempunyai umur simpan yang paling lama yaitu 56 jam. Berdasarkan pertimbangan biaya dipilih juga kombinasi metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% yang mempunyai umur simpan 52 jam.

Mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% mempunyai warna kuning, tekstur kenyal dan elastis. Aktivitas air (Aw) 0,96, kadar air 50,30% (bb), derajat keasaman (pH) 9,06, total asam tertitrasi (TAT) 4,73 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,08 CFU/g, sementara kapang dan kamir tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 8,23, sedangkan TAT meningkat menjadi 7,46 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 5,82 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan.

Mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% mempunyai warna lebih kuning, tekstur lebih kenyal tetapi kurang elastis dibandingkan mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%. Aktivitas air (Aw) 0,95, kadar air 50,79% (bb), derajat keasaman (pH) 9,10, total asam tertitrasi (TAT) 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,43 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, tetapi tidak signifikan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 5,99, sedangkan TAT meningkat menjadi 11,15 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 6,76 CFU/g, log kapang 2,40 CFU/g dan E. coli tidak ditemukan.

Mutu organoleptik mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% meliputi bau tepung, bau asam, warna, kecerahan, tekstur, dan adanya lendir selama penyimpanan mengalami perubahan. Selama penyimpanan, bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun dari 6,95 menjadi 3,64), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,19 menjadi 2,66). Warna mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,46 menjadi 9,84) dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,97 menjadi 10,34). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,36 menjadi 6,02), sementara lendir mengalami peningkatan yang tidak signifikan (skor meningkat dari 0,27 menjadi 1,99).

Mutu organoleptik mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% juga mengalami perubahan selama penyimpanan. Bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun


(4)

dari 7,37 menjadi 4,20), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,21 menjadi 3,51), warna mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 6,16 menjadi 8,34), dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 6,99 menjadi 8,70). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,09 menjadi 5,62), sementara lendir mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 0,38 menjadi 3,10).


(5)

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: PAHRUDIN

F24101068

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh: PAHRUDIN

F24101068

Dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1982 Di Karawang

Tanggal Lulus: Maret 2006 Menyetujui,

Bogor, Maret 2006

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pahrudin, dilahirkan di Karawang pada tanggal 28 Maret 1982 dari pasangan Ayahanda Suma Sastrawinata dan Ibunda Karsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis ditempuh pada tahun 1989-1995 di SD Negeri Waringinkarya I. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP di SLTP Negeri Lemahabang dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 1998-2001 penulis menempuh pendidikan di SMU Negeri 3 Karawang. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis pernah menjadi pengurus Persatuan Remaja Islam Mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi Angkatan 38 (Prisma Pagi ’38) di divisi kesekretariatan tahun 2002. Penulis juga pernah menjadi panitia bedah buku ”Indahnya Pernikahan Dini” tahun 2002, panitia BAUR 2003. Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa Korindo.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2 bulan dengan tema “Mempelajari Aspek Produksi dan Pengawasan Mutu Sirup di PT. Heinz ABC Indonesia Karawang”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ” Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang”. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada:

1. Mama dan Papa, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil selama ini.

2. Rohman adikku tercinta, dan kedua kakakku tersayang, Aa Kartono dan Teh Ratmi, yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis yang tak akan dapat dilupakan.

3. Ihat Solihat, yang selalu setia mendampingi penulis dalam suka dan duka, atas perhatian dan dukungan, serta atas kasih sayang dan cinta yang tulus. Tetaplah seputih melati.

4. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian maupun penyusunan tugas akhir.

5. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan kritik yang sangat membantu penulis.

6. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 7. Australian Wheat Board (AWB) yang telah mendanai penelitian ini.

8. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rojak, Pak Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, Mas Edi dan semua laboran di laboratorium Departemen ITP atas bantuan dan kerjasamanya. 9. Kelompok C1: Fajri, Sidiq, Anwar yang selalu kerja bareng selama

praktikum, semoga selalu kompak.


(9)

11.Tiga sekawan : Udin, Hadie, Sofyan yang selalu membuat penulis ceria

12.Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Chamdani, Sanjung, Mimi, Nia, Putri, Christina, Vivin, Astri, Hendry, Stela, Sigit, Derry, Riyadi, dan Gilang. 13.Sahabat-sahabat TPG 38 lainnya atas dukungan, kebersamaan dan

persahabatan yang penuh makna.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya yang sempurna selain karya-Nya. Dengan segala kekurangan yang masih ada, penulis berharap semoga tulisan ini tetap bermanfaat.

Bogor, Maret 2006


(10)

DAFTAR ISI

Hal KATA PENGANTAR ………... DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ……… DAFTAR GAMBAR ...……… DAFTAR LAMPIRAN ……… I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………...

B. TUJUAN ………

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE ………

1. Jenis Mie ……….. 2. Proses Pengolahan Mie Basah Matang …..……….. B. KERUSAKAN MIE BASAH MATANG ... C. BAHAN PENGAWET ... 1. Metil Paraben ... 2. Kalsium Propionat ... 3. Natrium Asetat ... 4. Monolaurin ... D. PENGGUNAAN BAHAN YANG DILARANG ... 1. Formalin ... 2. Boraks ... III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ... 1. Bahan ... 2. Alat ... B. TAHAP PENELITIAN ... 1. Pembuatan Mie Basah Matang dalam Skala Laboratorium ...

viii x xiii xiv xv 1 2 3 4 5 7 8 11 12 14 14 16 16 18 21 21 21 21 22


(11)

SKRIPSI

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

Oleh:

PAHRUDIN

F24101068

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Pahrudin. F24101068. Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Ratih Dewanti-Hariyadi. 2006.

RINGKASAN

Penggunaan bahan yang dilarang seperti formalin dan boraks dalam pembuatan mie basah banyak terjadi, khususnya di daerah Jabotabek. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Formalin dan boraks dilarang penggunaannya dalam makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/1999. Namun, dari tahun 1970-an sampai sekarang penggunaan kedua bahan yang dilarang tersebut masing berlangsung.

Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri), Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan tambahan ilegal (formalin atau boraks). Perinciannya adalah 13 industri (76.47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94.12%) menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70.59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23.53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5.88%) yang menggunakan formalin saja. Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di daerah Jabotabek adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.914,36 mg/kg (mie basah matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie di daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3.423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.941,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005).

Untuk itu perlu dilakukan upaya pencarian bahan pengawet yang diizinkan penggunannya dalam makanan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan bahan pengawet yang dapat meningkatkan umur simpan mie basah matang, serta analisis terhadap mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik terhadap mie basah matang yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap pembuatan mie basah matang dalam skala laboratorium, aplikasi bahan pengawet pada mie basah matang, serta analisis mutu mie basah matang meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.

Tahap awal pembuatan mie dalam skala laboratorium adalah perlakuan pemberian garam alkali. Mie basah matang dengan mutu yang baik mempunyai warna yang kuning dan tekstur yang kenyal dan elastis. Karakteristik fisik ini dipengaruhi oleh adanya garam alkali. Dari ketiga jenis garam alkali yang digunakan (Na2CO3, K2CO3 dan NaOH), ternyata Na2CO3 menghasilkan mie basah matang yang berwarna kuning, bertekstur kenyal dan elastis. Selanjutnya dilakukan perlakuan pemasakan, yaitu perebusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa, dan pengukusan yang diikuti dusting (penaburan) dengan tapioka. Dari ketiga perlakuan tersebut, pengukusan yang diikuti pelumuran minyak kelapa menghasilkan mie yang lebih baik secara visual dibandingkan dua perlakuan lainnya. Selain itu, dilakukan pula berbagai perlakuan waktu pengukusan yaitu 5, 10, 15 dan 20 menit untuk


(13)

mendapatkan waktu pengukusan optimum. Dari keempat perlakuan waktu pengukusan didapat waktu pengukusan optimum 10 - 15 menit dan setelah dilakukan penelitian selanjutnya, didapatkan waktu pengukusan terbaik adalah 13 menit.

Pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil paraben, kalsium propionat, natrium asetat, dan monolaurin. Kombinasi monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% dengan parameter kerusakan bau asam, mempunyai umur simpan yang paling lama yaitu 56 jam. Berdasarkan pertimbangan biaya dipilih juga kombinasi metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% yang mempunyai umur simpan 52 jam.

Mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% mempunyai warna kuning, tekstur kenyal dan elastis. Aktivitas air (Aw) 0,96, kadar air 50,30% (bb), derajat keasaman (pH) 9,06, total asam tertitrasi (TAT) 4,73 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,08 CFU/g, sementara kapang dan kamir tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 8,23, sedangkan TAT meningkat menjadi 7,46 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 5,82 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan.

Mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% mempunyai warna lebih kuning, tekstur lebih kenyal tetapi kurang elastis dibandingkan mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%. Aktivitas air (Aw) 0,95, kadar air 50,79% (bb), derajat keasaman (pH) 9,10, total asam tertitrasi (TAT) 5,64 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC 3,43 CFU/g, sementara kapang dan E. coli tidak ditemukan. Selama penyimpanan, warna mie mengalami peningkatan kecerahan, tetapi tidak signifikan, penurunan tekstur, dan kadar air mengalami sedikit peningkatan, tetapi tidak signifikan. Derajat keasaman (pH) menurun menjadi 5,99, sedangkan TAT meningkat menjadi 11,15 ml NaOH 0,1 N/100 g, log TPC meningkat menjadi 6,76 CFU/g, log kapang 2,40 CFU/g dan E. coli tidak ditemukan.

Mutu organoleptik mie dengan pengawet monolaurin 0,25% + metil-paraben 0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% meliputi bau tepung, bau asam, warna, kecerahan, tekstur, dan adanya lendir selama penyimpanan mengalami perubahan. Selama penyimpanan, bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun dari 6,95 menjadi 3,64), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,19 menjadi 2,66). Warna mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,46 menjadi 9,84) dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 8,97 menjadi 10,34). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,36 menjadi 6,02), sementara lendir mengalami peningkatan yang tidak signifikan (skor meningkat dari 0,27 menjadi 1,99).

Mutu organoleptik mie dengan pengawet metil-paraben 0,05% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% juga mengalami perubahan selama penyimpanan. Bau tepung mengalami penurunan yang signifikan (skor menurun


(14)

dari 7,37 menjadi 4,20), bau asam mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 1,21 menjadi 3,51), warna mengalami peningkatan yang cukup signifikan (skor meningkat dari 6,16 menjadi 8,34), dan kecerahan juga mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 6,99 menjadi 8,70). Tekstur mengalami penurunan yang cukup signifikan (skor menurun dari 8,09 menjadi 5,62), sementara lendir mengalami peningkatan, tetapi tidak signifikan (skor meningkat dari 0,38 menjadi 3,10).


(15)

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: PAHRUDIN

F24101068

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI BAHAN PENGAWET UNTUK

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh: PAHRUDIN

F24101068

Dilahirkan pada tanggal 28 Maret 1982 Di Karawang

Tanggal Lulus: Maret 2006 Menyetujui,

Bogor, Maret 2006

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Pahrudin, dilahirkan di Karawang pada tanggal 28 Maret 1982 dari pasangan Ayahanda Suma Sastrawinata dan Ibunda Karsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar penulis ditempuh pada tahun 1989-1995 di SD Negeri Waringinkarya I. Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP di SLTP Negeri Lemahabang dan lulus pada tahun 1998. Kemudian pada tahun 1998-2001 penulis menempuh pendidikan di SMU Negeri 3 Karawang. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan non akademis. Penulis pernah menjadi pengurus Persatuan Remaja Islam Mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi Angkatan 38 (Prisma Pagi ’38) di divisi kesekretariatan tahun 2002. Penulis juga pernah menjadi panitia bedah buku ”Indahnya Pernikahan Dini” tahun 2002, panitia BAUR 2003. Pada tahun 2003, penulis mendapat beasiswa Korindo.

Pertengahan tahun 2004, penulis mengikuti Praktek Lapangan selama 2 bulan dengan tema “Mempelajari Aspek Produksi dan Pengawasan Mutu Sirup di PT. Heinz ABC Indonesia Karawang”. Sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian mengenai “Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang” di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc.


(18)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul ” Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie Basah Matang”. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung hingga terselesaikannya skripsi ini terutama kepada:

1. Mama dan Papa, kata dan perbuatan tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kerja keras, kasih sayang, doa, semangat, serta dukungan moril dan materiil selama ini.

2. Rohman adikku tercinta, dan kedua kakakku tersayang, Aa Kartono dan Teh Ratmi, yang telah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis yang tak akan dapat dilupakan.

3. Ihat Solihat, yang selalu setia mendampingi penulis dalam suka dan duka, atas perhatian dan dukungan, serta atas kasih sayang dan cinta yang tulus. Tetaplah seputih melati.

4. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan segala bantuan kepada penulis selama perkuliahan, penelitian maupun penyusunan tugas akhir.

5. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dan kritik yang sangat membantu penulis.

6. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc atas kesediaannya menjadi dosen penguji. 7. Australian Wheat Board (AWB) yang telah mendanai penelitian ini.

8. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Sidik, Pak Wahid, Teh Ida, Pak Rojak, Pak Solihin, Pak Yahya, Mas Dodithea, Mas Edi dan semua laboran di laboratorium Departemen ITP atas bantuan dan kerjasamanya. 9. Kelompok C1: Fajri, Sidiq, Anwar yang selalu kerja bareng selama

praktikum, semoga selalu kompak.


(19)

11.Tiga sekawan : Udin, Hadie, Sofyan yang selalu membuat penulis ceria

12.Rekan-rekan di laboratorium, khususnya Chamdani, Sanjung, Mimi, Nia, Putri, Christina, Vivin, Astri, Hendry, Stela, Sigit, Derry, Riyadi, dan Gilang. 13.Sahabat-sahabat TPG 38 lainnya atas dukungan, kebersamaan dan

persahabatan yang penuh makna.

Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini sebaik mungkin, namun tidak ada karya yang sempurna selain karya-Nya. Dengan segala kekurangan yang masih ada, penulis berharap semoga tulisan ini tetap bermanfaat.

Bogor, Maret 2006


(20)

DAFTAR ISI

Hal KATA PENGANTAR ………... DAFTAR ISI ……… DAFTAR TABEL ……… DAFTAR GAMBAR ...……… DAFTAR LAMPIRAN ……… I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………...

B. TUJUAN ………

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE ………

1. Jenis Mie ……….. 2. Proses Pengolahan Mie Basah Matang …..……….. B. KERUSAKAN MIE BASAH MATANG ... C. BAHAN PENGAWET ... 1. Metil Paraben ... 2. Kalsium Propionat ... 3. Natrium Asetat ... 4. Monolaurin ... D. PENGGUNAAN BAHAN YANG DILARANG ... 1. Formalin ... 2. Boraks ... III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT ... 1. Bahan ... 2. Alat ... B. TAHAP PENELITIAN ... 1. Pembuatan Mie Basah Matang dalam Skala Laboratorium ...

viii x xiii xiv xv 1 2 3 4 5 7 8 11 12 14 14 16 16 18 21 21 21 21 22


(21)

2. Aplikasi Bahan Pengawet pada Mie Basah Matang... 3. Analisis Mutu Mie Basah Matang ... a. Mutu Fisik ... (1) Warna (Chromameter Minolta CR 200) ... (2) Tekstur (TextureAnalyzer) ... b. Mutu Kimia ...

(1) Aktivitas Air (Aw) (Aw-Meter Shibaura WA-360) ... (2) Kadar Air (AOAC, 1995) ... (3) Derajat Keasaman (pH) (AOAC, 1984) ... (4) Total Asam Tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1985) c. Mutu Mikrobiologi (Fardiaz, 1989) ... d. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN MIE BASAH MATANG DALAM SKALA LABORATORIUM ... B. APLIKASI BAHAN PENGAWET PADA MIE BASAH

MATANG ... C. PENGARUH BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE

BASAH MATANG ... 1. Mutu Fisik ...

a. Warna ... b. Tekstur ... 2. Mutu Kimia ... a. Aktivitas Air (Aw) ... b. Kadar Air ... c. Derajat Keasaman (pH) ... d. Total Asam Tertitrasi (TAT) ... 3. Mutu Mikrobiologi ... 4. Mutu Organoleptik ... a. Bau Tepung ... b. Bau Asam ...

24 26 26 26 27 28 28 29 29 29 30 31 34 39 48 48 48 50 52 52 54 55 57 58 60 61 62


(22)

c. Warna ... d. Kecerahan (Brightness) ... e. Tekstur ... f. Adanya Lendir ... V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... B. SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

63 65 66 67

70 72 73 79


(23)

DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15.

Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 ... Beberapa jenis pengawet yang digunakan pada bahan makanan berdasarkan literatur ... Formulasi mie basah matang ... Konsentrasi garam alkali yang digunakan dalam pembuatan mie basah matang ... Perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali ... Karakteristik fisik mie basah matang yang dihasilkan dari dua formulasi ………. Perlakuan penambahan garam alkali dan minyak sawit terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Pengaruh waktu pengukusan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Pengaruh penambahan pengawet terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Pengaruh beberapa perlakuan terhadap karakteristik fisik mie basah matang ... Hasil pengukuran warna mie basah matang ... Hasil pengukuran kekerasan (firmness) mie basah matang ... Analisis kelengketan (adhesiveness) mie basah matang ...

3 9 22 22 23 34 36 37 38 40 43 45 48 50 51


(24)

DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17.

Diagram alir pembuatan mie basah secara umum ...………….. Kurva hubungan kekerasan dan kelengketan ……… Histogram pengaruh penambahan pengawet terhadap waktu kerusakan mie basah matang ………..…….. Histogram pengaruh waktu pengukusan 13 menit terhadap umur simpan mie basah matang ……… Histogram pengaruh perlakuan terhadap umur simpan mie basah matang dengan parameter bau asam ……… Histogram aktivitas air (Aw) mie basah matang ………..…….. Histogram kadar air (% bb) mie basah matang selama penyimpanan ……….. Histogram derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan ... Histogram total asam tertitrasi (TAT) mie basah matang selama penyimpanan ... Grafik total plate count (TPC) mie basah matang selama penyimpanan ... Grafik total kapang mie basah matang selama penimpanan ... Histogram uji skalar garis terhadap bau tepung mie basah matang selama penyimpanan ... Histogram uji skalar garis terhadap bau asam mie basah matang selama penyimpanan ... Histogram uji skalar garis terhadap warna mie basah matang selama penyimpanan ... Histogram uji skalar garis terhadap brightness mie basah matang ... Histogram uji skalar garis terhadap tekstur mie basah matang selama penyimpanan ... Histogram uji skalar garis terhadap adanya lendir mie basah matang selama penyimpanan ...

21 28 42 44 46 53 54 56 57 59 60 61 63 64 65 67 68


(25)

DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25.

Form uji organoleptik ……….. Analisis warna mie basah matang selama penyimpanan ... Analisis sidik ragam warna kontrol ……….……..…….. Analisis sidik ragam warna sampel A …..……… Analisis sidik ragam warna sampel B ….………. Kekerasan (firmness) mie basah matang ………...….. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan kontrol ………... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel A ……….. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kekerasan sampel B ... Kelengketan (adhessiveness) mie basah matang selama penyimpanan ……… Aktivitas air (Aw) mie basah matang ... Analisis sidik ragam aktivitas air (Aw) mie basah matang ... Kadar air mie basah matang selama penyimpanan ... Analisis sidik ragam kadar air kontrol ... Analisis sidik ragam kadar air sampel A ... Analisis sidik ragam kadar air sampel B ... Derajat keasaman (pH) mie basah matang selama penyimpanan ……… Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH kontrol ….. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel A .. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap pH sampel B .. Total asam tertitrasi mie basah matang (ml NaOH 0,1 N/100 g ) ………. Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT kontrol ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel A Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap TAT sampel B Hasil analisis mikrobiologis mie basah matang yang dibuat pada skala laboratorium ...

79 80 80 80 81 81 81 82 82 82 83 83 83 83 84 84 84 85 85 85 86 86 86 87 87


(26)

Lampiran 26. Lampiran 27. Lampiran 28. Lampiran 29. Lampiran 30. Lampiran 31. Lampiran 32. Lampiran 33. Lampiran 34. Lampiran 35. Lampiran 36. Lampiran 37.

Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel A ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau tepung sampel B ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel A ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel B ... Analisis sidik ragam parameter warna sampel A ... Analisis sidik ragam parameter warna sampel B ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap kecerahan (brightness) sampel A ... Analisis sidik ragam parameter kecerahan (brightness)

sampel B ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel A ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel B ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel A ... Analisis sidik ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel B ...

88 89 89 90 90 91 91 92 92 93 93 94


(27)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia. Selain lezat dan bergizi tinggi, pangan yang dikonsumsi harus aman. Kesadaran masyarakat Indonesia akan keamanan pangan dapat dikatakan masih sangat rendah. Kepala Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Winiati Pudji Rahayu (2005) menyatakan bahwa walaupun tidak bisa dipastikan berapa persen dari masyarakat Indonesia yang mengerti dan sadar tentang keamanan pangan, jumlah yang tidak mengerti lebih banyak. Hasil penelitian BPOM pada 2003 menunjukkan bahwa dari 19.456 sampel produk pangan sebanyak 5,6% tidak memenuhi persyaratan. Selain itu, 195 jenis produk makanan menggunakan pewarna yang bukan untuk makanan (rhodamin B), 70 jenis menggunakan formalin, 94 jenis menggunakan boraks, dan 50 jenis menggunakan pengawet yang berlebihan terutama asam benzoat (Media Indonesia On Line, 15/09/2004).

Karena itu, untuk menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang tidak aman dikonsumsi atau berbahaya bagi kesehatan perlu diadakan usaha keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996).

Upaya ini perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak baik dari produsen maupun konsumen. Untuk itu, upaya-upaya peningkatan pengetahuan keamanan pangan menjadi sangat penting bagi produsen maupun konsumen. Meskipun demikian, sering dijumpai permasalahan produk pangan yang tidak memenuhi peraturan tersebut. Salah satu contohnya adalah produk mie basah. Penggunaan bahan yang dilarang, seperti formalin dan boraks, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah banyak dilakukan oleh para produsen. Mereka melakukan ini untuk meraih keuntungan yang lebih besar tanpa memikirkan bahayanya bagi kesehatan.


(28)

Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang di daerah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan yang dilarang, yaitu formalin dan boraks. Dari survei tersebut 13 industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%) menggunakan boraks. Sebanyak 12 industri (70,59%) menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja.

Kabid Humas Pimpinan Pemprop Sumatera Utara Eddy Syofian (2005) menyatakan bahwa dari 29 mie basah yang diuji oleh Balai POM Medan, 10 positif mengandung formalin dan 3 positif mengandung boraks (Waspada On Line, 30/12/2005). Balai Besar POM Yogyakarta selama tahun 2005 telah melakukan pengujian terhadap 40 sampel mie basah dan sebanyak 38 sampel mengandung formalin (Republika On Line, 29/12/2005). Kepala BPOM Sampurno (2006) menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap 213 sampel mie basah menunjukkan 137 sampel mengandung formalin (www.kedaulatan-rakyat.com, 04/01/2006).

Dari hasil tersebut, perlu usaha-usaha memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Usaha yang diperlukan adalah mencari alternatif bahan pengawet yang aman digunakan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan mie basah matang dan pengaruhnya terhadap mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE

Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Dewan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 1. Produk mie umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya yang relatif tinggi. Tabel 1. Syarat mutu mie basah

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna

- Normal Normal Normal 2. Kadar air % b/b 20 – 35 3. Kadar abu (dihitung atas

dasar bahan kering), % b/b

Maks. 3 4. Kadar protein ((N x 6.25)

dihitung atas dasar bahan kering)

% b/b

Min. 3

5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna

5.3 Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

6. Cemaran logam : 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

mg/kg

Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05 7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05 8. Cemaran mikroba :

8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli

8.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1.0 x 106 Maks. 10 Maks. 1.0 x 104


(30)

1. Jenis Mie

Menurut Pagani (1985) berdasarkan ukuran diameter produk, mie dibedakan menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie (0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan baku, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance noodle) dari bahan baku pati misalnya soun dan bihun.

Berdasarkan jenis produk yang dipasarkan, terdapat dua jenis yaitu mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie instan). Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang hampir sama. Perbedaan keduanya adalah kadar air dan tahapan proses pembuatan.

Mie basah dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Pada proses pembuatan mie basah matang terdapat tahap pemasakan (perebusan/pengukusan) dan penambahan minyak sawit sehingga kadar airnya meningkat sampai 52%, sedangkan pada mie basah mentah tidak melewati tahapan tersebut sehingga kadar airnya sekitar 35% (Astawan, 1999).

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie gandum dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie mentah/segar dengan kadar air 35%, dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, (2) mie basah dengan kadar air 52%, adalah mie mentah, yang sebelum dipasarkan mengalami penggodokan dalam air mendidih lebih dahulu, (3) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, (4) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan lebih dahulu digoreng, dan (5) mie instan (mie siap hidang) di Jepang produk ini disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang telah mengalami pengukusan dan dikeringkan atau digoreng sehingga menjadi mie instan.


(31)

2. Proses Pembuatan Mie Basah Matang

Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan mie basah matang adalah tepung terigu, garam dapur, air dan garam alkali (Bogasari, 2005). Terigu merupakan bahan dasar utama dalam pembuatan mie. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, membantu reaksi gluten dan karbohidrat, pengikat air, serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Astawan, 1999).

Garam alkali yang bisa terdiri atas kalium karbonat (K2CO3), natrium karbonat (Na2CO3) atau kalium polifosfat (KH2PO4) berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning dengan flavor yang lebih baik. Secara khusus, natrium karbonat lebih berperan untuk kehalusan tekstur, kalium karbonat untuk meningkatkan kekenyalan sedangkan kalium polifosfat untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin, 1994). Air berfungsi untuk melarutkan garam dapur dan garam alkali, serta membantu pada pembentukan gluten (Winarno dan Rahayu, 1994).

Bahan pengembang kadang digunakan dalam proses pembuatan mie. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah Carboxymethyl Cellulose (CMC), Na-casseinate dan Na-alginat. Bahan-bahan tersebut berfungsi untuk mempercepat pengembangan adonan dan mencegah penyerapan minyak sewaktu penggorengan (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses pencampuran, pengadukan, pembentukan lembaran, pengistirahatan, penipisan, pemotongan, perebusan/pengukusan, pendinginan dan pemberian minyak sawit. Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan dari jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan sekitar 34 - 40% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang


(32)

ditambahkan lebih dari 40%, adonan menjadi basah dan lengket (Bogasari, 2005). Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40 0C. Apabila suhunya kurang dari 25 0C adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40 0C adonan menjadi lengket dan mie kurang elastis (Badrudin, 1994).

Pengadukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengadukan dengan kecepatan lambat selama 1 menit. Selanjutnya pengadukan dilakukan dengan kecepatan sedang selama 4 menit. Pengadukan ini berfungsi untuk mendistribusikan air secara merata pada tepung (Bogasari, 2005).

Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting). Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran (Badrudin, 1994). Bogasari (2005) menyatakan bahwa pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pembentukan lembaran dari adonan dengan jarak roll 3 mm. Tahap kedua, lembaran yang telah terbentuk dilipat menjadi tiga bagian dan dilewatkan kembali pada roll

yang berjarak 3 mm sebanyak dua kali. Tahap ketiga, lembaran tersebut dilipat menjadi dua bagian dan dilewatkan kembali di antara dua roll yang berjarak 3 mm. Selanjutnya lembaran digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten.

Setelah diistirahatkan, lembaran ditipiskan sampai terbentuk lembaran dengan ketebalan 1,5 mm. Lembaran dengan ketebalan 1,5 mm inilah yang siap untuk dipotong menjadi untaian benang-benang mie. Setelah tahap pemotongan lembaran didapatkan produk berupa mie basah mentah. Untuk memperoleh produk mie basah matang, selanjutnya mie direbus atau dikukus. Proses perebusan dilakukan selama 2 menit, sedangkan proses pengukusan dilakukan selama 13 menit. Pemasakan bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal (Badrudin, 1994).

Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula


(33)

(Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994). Setelah itu didinginkan dalam air es selama 1 menit untuk menghentikan reaksi kimia yang masih terjadi.

Tahap terakhir dalam pembuatan mie basah matang adalah pemberian minyak sawit. Pelumuran mie dengan minyak sawit dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain serta untuk memberikan citarasa agar mie tampak mengkilap (Mugiarti, 2001; Bogasari, 2005). B. KERUSAKAN MIE BASAH MATANG

Kerusakan mie basah matang terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam (Astawan, 1999). Kerusakan yang terjadi adalah tumbuhnya kapang, sedangkan perubahan warna tidak terjadi, karena pemasakan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Setelah terjadi perubahan warna, perubahan yang timbul adalah aroma mie menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir. Pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mie. Miselium kapang pada mie umumnya berwarna putih atau hitam (Hoseney, 1998).

Mikroba yang terdapat pada mie diduga berasal dari bahan baku mie yaitu tepung. Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang terdapat pada tepung adalah kapang, kamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa terdapat pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium. Kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium.

Selain dari tepung, mikroorganisme yang tumbuh pada mie kemungkinan juga berasal dari air yang digunakan dalam pembuatannya. Mikroorganisme yang terdapat dalam air yang tidak tercemar adalah kamir, spora Bacillus, spora


(34)

Mie basah mudah mengalami kerusakan atau kebusukan sehingga banyak usaha dilakukan untuk memperpanjang umur simpan mie basah dengan penambahan bahan kimia tertentu. Seringkali bahan kimia yang ditambahkan bukan bahan pengawet yang ditujukan untuk makanan. Penggunaan bahan terlarang seperti formalin dan boraks banyak dilakukan oleh produsen mie basah di daerah Jabotabek (Indrawan, 2005). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Gracecia dan Priyatna (2005) terhadap pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di daerah Jabotabek, menunjukkan bahwa umur simpan mie basah mentah bisa mencapai 4 hari, sementara umur simpan mie basah matang bisa mencapai 14 hari.

Secara umum, ciri-ciri kerusakan mie basah mentah dan mie basah matang hampir sama (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005). Dari hasil survei dapat diketahui bahwa kerusakan mie basah mentah ditandai dengan timbulnya jamur (adanya bintik-bintik warna hitam/merah/biru), munculnya bau asam, mie menjadi hancur, patah-patah, atau menjadi lembek. Begitupun halnya untuk mie basah matang, ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur.

C. BAHAN PENGAWET

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Depkes, 1988). Bahan tambahan pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam pangan yang mudah rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau kapang. Pertumbuhan bakteri dicegah atau dihambat tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan juga pH atau keasaman dari pangan. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pengawet asam hampir tidak aktif dalam suasana netral, dan aktivitasnya meningkat bila pH diturunkan.

Pengawet akan efektif bila digunakan dengan tepat pada bahan pangan dengan kondisi tertentu. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi pengawet untuk mencari dan memilih bahan pengawet yang dapat digunakan pada bahan pangan, dalam hal ini mie basah matang. Penggunaan antimikroba yang tepat


(35)

tergantung pada beberapa faktor termasuk zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk, tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan dan regulasi bahan pengawet yang digunakan. Beberapa pengawet yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa jenis pengawet yang digunakan pada bahan makanan berdasarkan literatur

Jenis pengawet Jenis/bahan makanan

Konsentrasi yang digunakan

(%)

Referensi

Metil paraben

Produk bakery, jus buah, marmalad, sirup, zaitun dan

pickle sour vegetables

0,03-0,06 Belitz dan Grosch (1999) Produk bakery,

minuman, dan sirup

0,1 FDA (2001)

Kalsium propionat Sediaan keju 0,3 Depkes (1988)

Roti 0,3 Smith (1993)

Natrium asetat

Keju 0,8 Davidson dan Branen (1994)

Condiments dan

relishes 9-10

Monolaurin

Cottage cheese 0,025-0,05 Bautista et al. (1993) Santan kelapa 0,25-1,0 Mappiratu et al.

(2003)

Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemilihan bahan pengawet ini. Menurut Alcamo (1983), syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh bahan pengawet kimia adalah harus ekonomis, meningkatkan umur simpan makanan, aman pada level yang dibutuhkan, cepat diidentifikasi dengan analisis kimia, menunjukkan kemampuan antimikroba pada pH makanan, cepat larut, tidak menurunkan kualitas makanan, mudah dikontrol pada makanan, menunjukkan aktivitas terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan, terdistribusi secara seragam dalam makanan, tidak menghambat aktivitas enzim pencernaan dan harus menjadi alternatif terakhir setelah metode pengawetan yang lain telah digunakan.


(36)

Mie basah matang merupakan produk pangan yang mempunyai kisaran pH 8 – 9. Oleh karena itu pemilihan pengawet harus memperhatikan kondisi tersebut. Pengawet yang dipilih harus mempunyai nilai pKa yang tinggi sehingga diharapkan dapat bekerja pada suasana basa. Pengawet yang digunakan pada penelitian ini adalah metil paraben, kalsium propionat, natrium asetat dan monolaurin (Tabel 2). Pemilihan pengawet ini lebih diutamakan efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya yang biasa tumbuh dalam mie basah matang.

Umumnya bahan pengawet atau zat antimikroba dalam bentuk asam lemah. Hal ini disebabkan kemampuan asam lemah dalam menembus membran plasma mikroba lebih efektif dalam bentuk terprotonasi, dan akan sangat efektif dalam bentuk tak terdisosiasi (Davidson, 2001). Oleh karena itu, pKa (pH dimana 50% asam dalam bentuk tak terdisosiasi) dari bahan pengawet sangat penting dalam pemilihan bahan pengawet untuk aplikasi yang spesifik. pKa sangat berhubungan erat dengan konstanta asam (Ka), karena pKa = -log Ka. Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar nilai Ka maka semakin kecil nilai pKa, atau semakin kuat suatu asam. Sebaliknya, semakin besar nilai pKa maka semakin lemah sifat asamnya.

Secara umum senyawa asam yang memiliki pKa > 4 termasuk asam lemah. Oleh karena itu, paraben, propionat dan asetat termasuk asam lemah karena Paraben memiliki nilai pKa 8,5 (Smith, 1993), propionat memiliki nilai pKa 4,9 (http://webmineral.com/chem/Chem-Ca.shtml; Smith, 1993), dan asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Doores, 1983; Smith, 1993). Selain itu, metil paraben, kalsium propionat dan natrium asetat dipilih karena memiliki nilai pKa yang cukup tinggi. Dengan tingginya nilai pKa diharapkan masih banyak asam dalam bentuk tak terdisosiasi sehingga akan efektif membunuh mikroba.

Pada penelitian ini juga digunakan monolaurin sebagai pengawet. Monolaurin adalah monoasilgliserol (MAG) dari asam laurat. Monoasilgliserol selain berfungsi sebagai pengemulsi, juga dapat berfungsi sebagai antimikroba. Monolaurin dilaporkan mempunyai aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas mencakup bakteri gram positif, kapang dan kamir serta sebagian bakteri gram negatif (Kabara, 1984). Penggunaan monolaurin


(37)

sebagai pengawet pada bahan pangan sudah dilakukan oleh beberapa ilmuwan dalam penelitiannya.

Bautista dan Griffiths (1992) melaporkan monolaurin dalam cottage cheese dapat memperpanjang masa simpan 4 – 5 hari tanpa mempengaruhi sifat organoleptik keju lembut tersebut. Penggunaan monolaurin 250 dan 500 ppm dalam cottage cheese dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas sp, koliform, kamir dan kapang di atas 90% selama 7 hari penyimpanan pada suhu 6, 15 dan 21 oC (Bautista et al., 1993 di kutip Mappiratu, 1999). Monolaurin dapat membunuh Vibrio parahaemolitycus (Beuchat, 1980 di kutip Mappiratu, 1999). Penelitian yang dilakukan Schlievert et al. (1992) di kutip Mappiratu (1999), mengindikasikan bahwa monolaurin efektif untuk menghambat atau menunda produksi eksotoksin oleh bakteri patogen gram positif. Dari penelitian tersebut belum ada informasi tentang penggunaan monolaurin pada mie basah matang. Oleh karena itu, penggunaan monolaurin dilakukan untuk melihat efektifitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada mie basah matang. Selain itu, monolaurin tidak dipengaruhi pH produk dan efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif serta beberapa jenis kapang dan kamir (Kato, 1981).

a. Metil Paraben

Paraben adalah ester dari asam parahidroksi benzoat dan diizinkan sebagai pengawet yang aman untuk digunakan pada makanan ataupun farmasi. Paraben tersedia dalam bentuk metil, etil, propil dan butil paraben. Paraben digunakan pada bahan pangan karena efektif menghambat pertumbuhan kapang dan kamir. Paraben mempunyai kisaran pH yang luas, yaitu pH 1 – 14, sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Aktivitas antimikroba paraben semakin tinggi dengan meningkatnya panjang rantai alkil. Akan tetapi rantai alkil yang pendek lebih dipilih karena kelarutannya yang lebih baik. Pada penelitian ini digunakan metil-paraben. Pemilihan gugus metil bertujuan untuk memperoleh kelarutan yang lebih baik karena dalam aplikasinya akan dicampurkan dengan air (Smith, 1993) dan metil paraben mudah didapatkan.


(38)

Metil paraben (C8H8O3) mempunyai sifat hampir tidak berbau, berbentuk kristal putih, larut dalam air, etanol, propilen glikol dan eter, serta memiliki titik lebur 125-128 oC, dan mempunyai efek samping berasa pahit (http://www.chemicalland21.com/lifescience/foco/ PARABENS%20(METHYL,%20ETHYL,%20PROPYL,%20BUTYL).ht

m.). Nama lain dari metil paraben adalah Methyl 4-hydroxybenzoate; Methyl Chemosept; Methyl Parasept; 4-Hydroxybenzoic acid methyl ester; Nipagin M; Tegosept M; Aseptoform; Nipagin; 4-Hydroxy methyl benzoate.

Sebagai pengawet, paraben digunakan sebanyak 0,03 – 0,06% pada produk bakery, jus buah, marmalad, sirup, zaitun dan pickle sour vegetables (Belitz dan Grosch, 1999). Digunakan pula pada produk minuman, produk buah-buahan, jem, jeli, gelatin, ikan asap, dan salad dressing (http://www.efsa.eu.int/science/afc/afc_opinions/630/opinion_ afc16_ej83_parabens_v2_en1.pdf). Paraben juga digunakan pada produk daging, snack berbahan dasar sereal dan kentang, coated nut, dan produk konfeksioneri (www.foodproductiondaily.com, 30/09/2004).

Metil paraben termasuk GRAS (GenerallyRecognizeAsSave) (21 CFR 184.1670). Paraben digunakan sebanyak 0,1% pada produk bakery, minuman dan sirup (FDA, 2001). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) dari alkil ester paraben berkisar antara 0-7 mg/kg berat badan (http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj06.htm). Namun, European Commission (EU) Scientific Committee for Food (SCF) (1994), nilai ADI (Acceptable Daily Intake) berkisar antara 0-10 mg/kg berat badan (untuk metil, etil dan propil paraben serta garamnya).

b. Kalsium Propionat

Propionat (C2H6O2) umumnya digunakan sebagai penghambat kapang dan kamir. Pada pH 6, propionat dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembentuk spora (Belitz dan Grosch, 1999). Mie basah matang mempunyai pH 8 – 9, sehingga popionat yang digunakan adalah dalam bentuk garamnya. Garam-garam propionat tersedia dalam bentuk


(39)

kalsium, kalium dan natrium propionat. Pada penelitian ini digunakan kalsium propionat karena mudah didapatkan.

Kalsium propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) berbentuk serbuk putih, berbau tengik dan menyengat, bersifat larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak larut dalam aseton dan benzena. Kalsium propionat mempunyai kisaran nilai pH 7,0 – 9,0 (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/ ndustrialchem/organic/CALCI UM%20PROPIONATE.htm), sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Nama lain dari kalsium propionat adalah Propanoic acid calcium salt; Calcium dipropionate; Propionate de calcium; Calcium propanoate.

Kalsium propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi (Merck Index, 1989). Propionat bersifat non toksik dan biasa digunakan sebagai pengawet pada produk bakery untuk menghambat kapang dan mencegah ropiness yang disebabkan oleh Bacillus mesentericus (Belitz dan Grosch, 1999), juga pada jem, jeli, puding, gelatin dan beberapa meat product (http://www.ams.usda.gov/ nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropionate.pdf).

Propionat merupakan bahan pengawet yang termasuk GRAS (21 CFR 184.1221). Penggunaannya pada bahan pangan antara 0,1 - 0,4 % (http://www.ams.usda.gov/nop/NationalList/TAPReviews/CalciumPropio nate.pdf), pada roti maksimal sebesar 3000 ppm dan pada produk

confectionary sebesar 1000 ppm (Smith, 1993), sedangkan pada produk yang berbahan dasar terigu adalah 0,38% (Dessroir, 1977). Kalsium propionat digunakan pada roti (0,2%) dan sediaan keju (0,3%) (Permenkes RI No.722/MENKES/PER/IX/1988).

Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) kalsium atau natrium propionat berkisar antara 0–20 mg/kg berat badan (http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/40abcj13.htm). Dari segi toksisitas, kalsium propionat mempunyai nilai LD50 sebesar 3.920 mg/kg berat badan (tikus).


(40)

c. Natrium Asetat

Natrium asetat (CH3COONa) berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak berwarna, tidak berbau dan bersifat higroskopis, memiliki titik lebur 324oC, larut dalam air dan etoksietan serta sedikit larut dalam etanol (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/ organic/SODIUM%20ACETATE.htm). Natrium asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai buffer pada produksi petroleum, sebagai pengawet dan pada industri elastomer. Natrium asetat mempunyai kisaran pH 8,0 – 9,0 (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/SODIU M%20ACETATE.htm), sehingga diharapkan dapat aktif dalam pH mie. Nama lain dari natrium asetat adalah Acetic acid sodium salt; Acetic acid sodium salt (1:1); Sodium Ethanoate; Acetate De Sodium; Natrium Aceticum.

Natrium asetat lebih efektif terhadap kamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang (Ingram et al., 1956). Sebagai bahan pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS (21 CFR 184.1721). Natrium asetat dapat digunakan pada saos, mayonaisse, acid-pickle vegetables, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch, 1999). Penggunaan asetat pada keju (0,8%) dan sebagai pickling agent

pada condiments dan relishes adalah 9% (Davidson dan Branen, 1993). Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) natrium asetat tidak dinyatakan ttp://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je05.htm). Dari segi toksisitas, natrium asetat mempunyai nilai LD50 sebesar 3.530 mg/kg berat badan (tikus).

d. Monolaurin

Asam laurat pertama kali ditemukan dalam minyak kelapa oleh John J. Kabara, pada tahun 1960-an. Asam laurat merupakan asam lemak rantai sedang (medium chain fatty acid). Asam lemak rantai sedang dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba. Asam laurat (C12) memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan asam kaprat (C10)


(41)

dan asam miristat (C14) (Kabara, 1984). Asam laurat merupakan asam lemak utama dalam minyak kelapa (45 – 50 %) dan palm kernel oil (45 – 55 %) (http://www.chemicalland21.com/arokorhi/industrialchem/organic/ LAURIC%20ACID.htm). Asam laurat juga ditemukan dalam breast milk. Kadar asam laurat dalam minyak kelapa 48% (hampir setara dengan air susu ibu/ASI yang kadarnya 50 %) (Fife, 2003).

Asam laurat dalam bentuk monoasil-gliserol laurat (monolaurin) mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan asam lemaknya. Monolaurin diperoleh dari hidrolisis trilaurin yang banyak terdapat pada minyak kelapa ataupun pada palm kernel oil (PKO) (www.palcomtech.com). Monolaurin berperanan sebagai inhibitor bakteri gram positif, kapang, kamir, virus HIV-1 dan sel-sel tumor (Kato, 1981).

Selain itu, monolaurin juga sangat efektif membunuh berbagai jenis mikroorganisme seperti HIV, hepatitis C, herpes, influensa,

Cytomegalovirus, Streptoccocus sp, Staphiloccocus sp, Gram positif dan Gram negatif, Helicobacter pyroli, Candida (www.lauric.org).

Penggunaan monolaurin sebagai bahan pengawet pangan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Bautista dan Griffiths (1992) melaporkan monolaurin dalam cottage cheese dapat memperpanjang masa simpan 4 – 5 hari tanpa mempengaruhi sifat organoleptik keju lembut tersebut. Penggunaan monolaurin 250 dan 500 ppm dalam cottage cheese

dapat menghambat pertumbuhan Pseudomonas sp, koliform, kamir dan kapang di atas 90% selama 7 hari penyimpanan pada suhu 6, 15 dan 21 oC (Bautista et al., 1993 di kutip Mappiratu, 1999). Monolaurin dapat membunuh Vibrio parahaemolitycus (Beuchat, 1980 di kutip Mappiratu, 1999). Penelitian yang dilakukan Schlievert et al. (1992) di kutip Mappiratu (1999), mengindikasikan bahwa monolaurin efektif untuk menghambat atau menunda produksi eksotoksin oleh bakteri patogen gram positif.

Monolaurin termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe) dan banyak digunakan dalam food supplement sebagai antibakteri dan antivirus. Nilai Acceptable Daily Intake (ADI) dari monolaurin tidak


(42)

terbatas (http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v05je44.htm). Dari segi toksisitas, asam laurat mempunyai nilai LD50 sebesar 12.000 mg/kg berat badan (tikus).

D. PENGGUNAAN BAHAN YANG DILARANG

1. Formalin

Formalin adalah larutan formaldehid dalam air dengan kadar 36 – 40%. Nama lain formalin adalah Formol, Morbicid, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, formoform, atau paraforin. Di pasaran, formalin juga bisa diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehid 10, 20 dan 30%. Di samping dalam bentuk cairan, formalin dapat diperoleh dalam bentuk tablet yang masing-masing mempunyai berat 5 gram (Winarno dan Rahayu, 1994). Formalin biasanya juga mengandung alkohol sebanyak 10 – 15% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formaldehid tidak mengalami polimerisasi. Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana, namun ia merupakan elektrofil yang paling kuat dan paling reaktif di antara aldehid yang lain.

Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfir untuk membentuk asam format. Senyawa ini juga mudah mengalami oksidasi oleh cahaya matahari menjadi karbon dioksida (WHO, 2002). Pada suhu 150oC, formaldehid terdekomposisi menjadi metanol dan karbon monoksida. Selain itu, formaldehid mampu berkondensasi dengan banyak komponen membentuk turunan metilol dan metilen (IARC, 1982).

Formaldehid mempunyai banyak kegunaan dalam industri. Senyawa ini digunakan dalam produksi plastik dan resin, produk intermediet, dan keperluan lain yang bervariasi seperti agen pengkelat. Salah satu penggunaannya yang paling umum adalah dalam resin urea-formaldehid dan melamin-urea-formaldehid. Di Amerika Serikat, resin dan plastik yang berbasis formaldehid mencapai 60%. Resin formaldehid digunakan sebagai alat perekat pada produksi triplek dan kayu.


(43)

Formaldehid diaplikasikan dalam bidang medis untuk sterilisasi, sebagai pengawet, dan bahan pembersih rumah tangga. Fungsinya sebagai desinfektan untuk membunuh virus, bakteri, fungi, dan parasit baru efektif jika konsentrasi penggunaannya besar. Algae, protozoa, dan organisme uniseluler lain cukup sensitif terhadap formaldehid dengan konsentrasi akut letal berkisar 0,3-22 mg/l (WHO, 1989). Mekanisme formaldehid sebagai desinfektan adalah membunuh sel dengan cara mendehidrasi sel jaringan dan sel bakteri dan menggantikan cairan yang normal dengan komponen kaku seperti gel sehingga sel bakteri akan kering.

Formaldehid sangat reaktif dan sangat larut dalam air. Oleh karena lapisan mucous epitelium saluran pernapasan 95% tersusun dari air, formaldehid dengan mudah terserap ke dalam membran mucous saluran pernapasan atas. Walaupun demikian, paparan formaldehid melalui inhalasi tidak memperlihatkan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi formaldehid dalam darah (Heck et al., 1985). Studi dilakukan terhadap tikus, monyet, dan manusia, dengan dosis paparan masing-masing 14,4 ppm selama 2 jam untuk tikus, 6 ppm selama 4 minggu untuk monyet, dan 1,9 ppm selama 40 menit untuk manusia. Konsentrasi formaldehid dalam darah diukur sebelum dan sesudah pemaparan, dengan hasil berturut-turut 2,24/2,25 μg/g (tikus), 2,42/1,84 μg/g (monyet), dan 2,61/2,77 μg/g (manusia). Akan tetapi, beberapa objek yang lain memperlihatkan adanya perbedaan kandungan formaldehid yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemaparan. Hal ini membuktikan perbedaan variasi pada individu (Heck et al., 1985).

Kandungan formaldehid diukur pada beberapa jaringan tikus yang dipaparkan formaldehid (14C-formaldehid) selama 6 jam. Konsentrasi formaldehid tertinggi terdapat dalam esofagus, diikuti ginjal, hati, usus, dan paru-paru. Hal ini berarti 14C-formaldehid cepat didistribusikan dari aliran darah ke seluruh tubuh (WHO, 1989).


(44)

Boraks merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna dan mudah larut dalam air. Boraks merupakan garam natrium Na2B4O7.10H2O (natrium tetraborat dekahidrat) yang banyak digunakan di industri non pangan (Winarno dan Rahayu, 1994). Boraks pertama kali ditemukan di danau Searles, California, Amerika Serikat. Boraks yang ditemukan di danau Searles mempunyai berat molekul 381,44 dan pH dari 0,1 M larutan boraks adalah 9,2. Boraks biasanya digunakan untuk deterjen, sabun, perekat, kosmetik, lapisan kertas, desinfektan buah-buahan dan sebagai pelarut gum, dextrin, dan kasein. Selain itu, boraks juga digunakan pada industri kulit, kertas, plastik, dan kaca (Anonim, 1982).

Menurut Egan et al. (1981), boraks merupakan pengawet makanan yang sudah ada sejak dulu, tetapi dilarang penggunaannya pada tahun 1925. Larangan ini dilonggarkan selama perang dunia II dengan mengizinkan penggunaan boraks di dalam minyak babi dan margarin. Kelonggaran ini dicabut kembali pada tahun 1959 oleh FSC (Food Standard Committee) dengan alasan bahwa pengawet boron sebagai bahan yang tidak diinginkan karena bersifat kumulatif (menimbulkan efek dengan penambahan berturut-turut) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Menurut Winarno dan Rahayu (1994), daya pengawetan boraks kemungkinan disebabkan adanya senyawa aktif asam borat. Asam borat merupakan asam organik lemah yang sering digunakan sebagai antiseptik.

Boraks ternyata memiliki efek toksik (Brooks et al., 1973 di dalam http://infoventures.com/e-hlth/pestcide/borax.html), di antaranya:

a. Toksisitas oral akut. Akut oral dengan LD50 5.400 mg/kg pada tikus jantan dan 5.000 mg/kg pada tikus betina.

b. Toksisitas dermal akut. Akut dermal (kulit) dengan LD50 >2.000 mg/kg pada kelinci.

c. Skor iritasi primer, pada kelinci, 0.5 gram tidak menyebabkan iritasi kulit.


(45)

a. Kronik karsinogenik. Tikus yang diberi ransum mengandung boraks selama dua tahun perlakuan, tidak ditemukan efek karsinogenik.

e. Kronik dalam pertumbuhan. Ransum yang mengandung 0.1% asam borat tidak memberikan efek dalam perkembangan tikus selama masa kehamilan.

f. Kronik reproduksi. Jika ransum yang mengandung 1.03% boraks diberikan pada tikus sampai turunan ketiga, maka fertilitas menurun. g. Pada manusia, toksisitas akut memberikan gejala keracunan seperti

halusinasi, muntah, diare, dan sakit perut. Pada anak-anak yang menelan 5 sampai 10 gram boraks dapat menyebabkan kematian mendadak.

Menurut Winarno dan Rahayu (1994), daya toksisitas boraks adalah sebagai berikut : LD50 akut 4,5 – 4,98 g/kg berat badan (tikus). Di samping besar pengaruhnya terhadap enzim-enzim metabolisme, boraks juga dapat mempengaruhi alat reproduksi. Boraks juga dapat berpengaruh buruk seperti mengganggu berfungsinya testis (testicular). Kerusakan testis tersebut terjadi pada dosis 1170 ppm selama 90 hari dengan akibat testis mengecil dan pada dosis yang lebih tinggi, yaitu 5250 ppm dalam waktu 30 hari dapat mengakibatkan degenerasi gonad.

Formalin dan boraks merupakan bahan pengawet yang dilarang penggunaannya dalam bahan pangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1168/MENKES/PER/X/1999). Namun demikian, dari tahun 1970-an sampai sekarang penggunaan formalin pada produk pangan terutama mie basah masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh laboratorium Farmakologi dan Toksikologi UGM, melaporkan penggunaan boraks dan formalin pada beberapa industri mie basah di kabupaten Bantul, Yogyakarta (Kompas, 30/04/02). Badan POM juga melaporkan lebih dari 80% mie basah yang dijual di pasaran Bandung (dari 29 sampel yang diuji) mengandung formalin dan boraks (Kompas, 6/03/03).

Survei yang dilakukan Gracecia (2005) pada pasar tradisional di daerah Jabotabek diketahui bahawa kandungan formalin rata-rata dalam


(46)

mie basah di pasar tradisional adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.914,36 mg/kg (mie basah matang). Di pedagang produk olahan mie, kandungan formalin rata-rata adalah 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3.423,51 mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di supermarket adalah 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2.941,82 mg/kg (mie basah matang).


(47)

III. METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu bahan untuk produksi mie dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk produksi mie adalah tepung terigu merk Segitiga Biru, tepung terigu merk Cakra Kembar, garam dapur, soda abu, air, aquades, minyak sawit, minyak kelapa, kalsium propionat, metil parabens, natrium asetat dan monolaurin. Bahan yang digunakan untuk analisis digunakan media Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA), Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar

(EMBA), Tryptone Broth (TB), Methyl Red-Voges Proskauer (MR-VP),

Koser Citrate (KS), pereaksi IMViC, NaCl, plastik High Density Polyethylene (HDPE), alkohol 70%, spiritus, NaOH 0,1 N, asam oksalat dan fenolftalein.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam produksi mie adalah noodle machine, mixer, timbangan, baskom, peralatan memasak, saringan, gelas ukur, gelas piala, sendok dan pisau. Peralatan yang digunakan untuk analisis fisik, kimia dan mikrobiologi adalah kromameter Minolta tipe CR 20, Aw-meter Shibaura WA-360, texture analyzer, cawan aluminium, oven, neraca analitik, desikator, stomacher, inkubator, bunsen, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, mikro pipet, tips, otoklaf, hot plate, buret, labu takar, dan pH-meter.

B. TAHAP PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan mie basah matang dalam skala laboratorium, aplikasi pengawet


(48)

pada mie basah matang, serta analisis mutu mie basah matang meliputi mutu fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.

1. Pembuatan Mie Basah Matang dalam Skala Laboratorium

Tahap awal pembuatan mie basah matang adalah dengan membuat mie dengan dua formula seperti yang tercantum dalam Tabel 3. Hasilnya kemudian dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, meliputi warna, tekstur dan elastisitas. Formula yang menghasilkan mie yang lebih baik digunakan dalam tahap selanjutnya.

Tabel 3. Formula mie basah matang

Bahan Komposisi (%)*

Anonim (2003) Bogasari (2005)

Tepung terigu 100 100

Air 35 34

Garam 2 1

Natrium karbonat 0,32 0,6

CMC 0,2 -

* Semua perhitungan persen didasarkan pada berat tepung yang digunakan

Pada pembuatan mie selanjutnya sampel dibedakan dari jenis garam alkali yang digunakan dan perlakuan pemberian minyak sawit. Konsentrasi masing-masing garam alkali disajikan dalam Tabel 4., sedangkan perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 4. Konsentrasi garam alkali yang digunakan dalam pembuatan mie basah matang

Garam alkali Konsentrasi (% tepung terigu)

Na2CO3 0,6

K2CO3 0,6

Na2CO3 + K2CO3 (1 : 1) 0,6

NaOH 0,5


(49)

Tabel 5. Perlakuan pemberian minyak sawit dan garam alkali Pemberian

minyak sawit

Pemberian garam alkali Na2CO3 K2CO3

Na2CO3 + K2CO3

(1 : 1) NaOH Saat perebusan ●

Setelah

perebusan ●

Saat perebusan ● Setelah

perebusan ●

Saat perebusan ●

Setelah

perebusan ●

Saat perebusan ●

Setelah

perebusan ●

Pembuatan mie basah matang terdiri dari beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan menjadi adonan, pembentukan adonan menjadi lembaran, pemotongan lembaran menjadi untaian mie, pemasakan (perebusan/pengukusan) mie, dan pelumuran mie dengan minyak sawit. Diagram alir pada Gambar 1 menyajikan tahapan-tahapan pembuatan mie basah matang.

Secara subyektif mie yang dihasilkan dibandingkan dari segi karakteristik fisiknya, yaitu warna, tekstur dan elastisitas. Kemudian dipilih mie yang paling bagus untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya adalah pembuatan mie dengan penambahan garam alkali dan perlakuan pemberian minyak sawit yang terbaik pada tahap pertama, tetapi minyak sawit diganti dengan minyak kelapa. Perlakuannya juga berbeda yaitu direbus, dikukus dan ditaburi tapioka. Penaburan dengan tapioka hanya dilakukan pada mie yang dikukus saja.

Hasilnya kemudian dibandingkan secara subyektif dari segi karakteristik fisiknya (warna, tekstur, elastisitas). Kemudian dipilih hasil yang paling bagus untuk selanjutnya digunakan dalam pembuatan mie dengan penambahan pengawet.


(50)

Keterangan: * = sesuai formula

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah matang

2. Aplikasi Bahan Pengawet Pada Mie Basah Matang

Pengawet hasil eksplorasi kemudian diaplikasikan pada pembuatan mie basah matang untuk mengetahui efektivitasnya. Konsentrasi

Mie basah matang Pengadukan 5 menit

Pemotongan

Pemberian minyak sawit Pembentukan lembaran

Terigu

Pengistirahatan 15 menit

Penipisan lembaran

Pendinginan

Air, garam dapur, garam alkali, pengawet* Pencampuran

Perebusan 100oC, 2 menit Pengukusan 100o


(51)

pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrasi tertinggi berdasarkan literatur. Pengawet tersebut digunakan secara tunggal maupun kombinasi. Metode yang digunakan adalah metode By Design. Pada metode ini perbandingan pengawet yang ditambahkan sama dengan satu. Perbandingannya menggunakan 0,25 dan kelipatannya atau 0,25; 0,50; dan 0,75. Jumlah masing-masing pengawet yang ditambahkan dihitung dari koefisiennya dalam kombinasi dikalikan konsentrasi maksimum penggunaannya dikalikan berat adonan. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:

ƒJika satu jenis pengawet

P = 1 dengan P = konsentrasi maksimum yang diizinkan ƒJika dua jenis pengawet

P1 : P2 = 1

0,50P1 : 0,50P2 = 1 0,75P1 : 0,25P2 = 1 0,25P1 : 0,75P2 = 1

dengan P1 = konsentrasi maksimum pengawet 1 P2 = konsentrasi maksimum pengawet 2

ƒJika tiga jenis pengawet P1 : P2 : P3 = 1

0,50P1 : 0,25P2 : 0,25P3 = 1 0,25P1 : 0,50P2 : 0,25P3 = 1 0,25P1 : 0,25P2 : 0,50P3 = 1

dengan P1 = konsentrasi maksimum pengawet 1 P2 = konsentrasi maksimum pengawet 2 P3 = konsentrasi maksimum pengawet 3


(52)

ƒJika empat jenis pengawet P1 : P2 : P3 : P4 = 1

0,25P1 : 0,25P2 : 0,25P3 : 0,25P4 = 1 dengan P1 = konsentrasi maksimum pengawet 1

P2 = konsentrasi maksimum pengawet 2 P3 = konsentrasi maksimum pengawet 3 P4 = konsentrasi maksimum pengawet 4

Perhitungannya sebagai berikut:

Misalkan pengawet 1 (P1), konsentrasi maksimumnya 0,3%, koefisien dalam kombinasi sebesar 0,25, serta berat adonan mie 339 gram, maka banyaknya pengawet 1 (P1) yang ditambahkan (T):

T = koefisien x konsentrasi maksimum x berat adonan T = 0,25 x 0,3% x 339 g

= 0,2543 g

Untuk pengawet yang lain dihitung dengan cara yang sama.

3. Analisis Mutu Mie Basah Matang

a. Mutu Fisik

(1) Pengukuran Warna menggunakan alat chromameter Minolta tipe CR 200

Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a dan b dari sampel dengan kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai + a (positif) dari 0 sampai + 100 untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran bitu-kuning dengan nilai + b (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning


(1)

1 8,1

3,6

2,5

2 3,5

3,5

0,2

3 8,1

4,9

6,8

4 4,8

1,8

0,0

5 9,5

8,7

5,3

6 5,4

2,2

3,7

7 4,4

6,9

3,6

8 11,8

9,6

7,0

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

843.197 138.746 44.001 30.352 873.550

10 7 2 14 24

84.320 19.821 22.000 2.168

38.892 9.142 10.148

.000 .000 .002

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 48

24 0 Sig.

8 8 8

3.638 5.150 .059

6.950 1.000

Lampiran 28. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel A

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 0,5

2,7

3,2

2 0,3

1,9

3,3

3 0,0

0,8

1,9

4 1,8

2,9

3,5

5 2,7

3,7

4,6

6 2,9

4,3

5,7

7 0,8

1,7

2,4

8 0,7

2,5

3,5

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

188.723 25.730 21.373 1.607 190.330

10 7 2 14 24

18.872 3.676 10.687 .115

164.448 32.029 93.120

.000 .000 .000


(2)

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 3

0 24 48 Sig.

8 8 8

1.213

1.000

2.563 1.000

3.513 1.000

Lampiran 29. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap bau asam sampel B

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 0,7

2,5

2,8

2 0,1

1,4

2,1

3 0,0

0,7

1,7

4 1,5

2,0

2,4

5 2,6

2,7

2,9

6 3,2

3,8

4,3

7 0,8

1,1

1,5

8 0,6

2,9

3,6

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

124.420 19.876 8.943 3.390 127.810

10 7 2 14 24

12.442 2.839 4.472 .242

51.383 11.726 18.467

.000 .000 .000

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 0

24 48 Sig.

8 8 8

1.188

1.000

2.137 2.663 .051

Lampiran 30. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap warna sampel A

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 6,7

9,5

8,7

2 5,4

5,6

10,5

3 6,8

4,0

8,4

4 6,3

13,3 10,9

5 6,5

7,7

8,3

6 5,5

5,9

5,8

7 2,7

4,6

3,6


(3)

Panelis Jam Galat Total

89.938 18.952 43.834 1422.940

7 2 14 24

12.848 9.476 3.131

4.104 3.027

.012 .081

Lampiran 31. Analisis ragam terhadap parameter warna sampel B

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 10,1

11,2

11,5

2 8,5

10,0

11,4

3 3,4

4,9

8,7

4 10,3

10,7

12,5

5 10,4

6,7

7,4

6 6,9

7,3

8,1

7 7,0

9,3

9,0

8 11,1

9,1

10,1

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

2021.169 75.467 8.896 27.671 2048.840

10 7 2 14 24

202.117 10.781 4.448 1.976

102.261 5.455 2.250

.000 .003 .142

Lampiran 32. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap kecerahan (brightness)

sampel A

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 6,2

11,0

8,7

2 6,0

10,4

7,5

3 5,7

8,7

9,3

4 8,3

10,2

13,0

5 7,0

7,4

7,2

6 5,9

6,5

7,8

7 2,7

3,6

5,0

8 10,9

8,6

11,1

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

1598.351 94.550 20.147 28.519 1626.870

10 7 2 14 24

159.835 13.507 10.074 2.037

78.463 6.631 4.945

.000 .001 .024


(4)

JAM N Subset untuk α = .05

1 2

0 24 48 Sig.

8 8 8

6.588

1.000

8.300 8.700 .584

Lampiran 33. Analisis ragam terhadap parameter kecerahan (brightness) sampel B

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 7,2

8,3

12,1

2 6,9

12,5

8,1

3 9,0

9,2

9,7

4 11,1

8,8

12,3

5 7,9

5,1

8,1

6 8,7

9,0

8,9

7 10,8

9,6

12,0

8 10,2

10,2

11,7

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

2198.236 34.118 9.502 37.744 2235.980

10 7 2 14 24

219.824 4.874 4.751 2.696

81.537 1.808 1.762

.000 .164 .208

Lampiran 34. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel A

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 8,5

9,7

10,3

2 7,5

7,3

5,2

3 9,3

4,0

3,4

4 5,4

6,8

4,7

5 9,2

7,8

5,8

6 9,7

8,6

6,5

7 7,0

4,5

1,2

8 4,5

2,7

1,9

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

1082.588 95.566 30.678 29.223 1111.810

10 7 2 14 24

108.259 13.652 15.339 2.087

51.865 6.541 7.349

.000 .001 .007


(5)

24 0 Sig.

8 8

1.000

6.425 7.638 .115

Lampiran 35. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap tekstur sampel B

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 11,6

11,5

9,9

2 9,8

6,1

8,6

3 8,8

5,4

4,5

4 5,8

6,2

3,6

5 7,9

6,3

7,3

6 9,1

9,6

7,2

7 9,8

7,4

4,3

8 4,1

2,9

2,8

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

1346.791 113.290 22.241 21.679 1368.470

10 7 2 14 24

134.679 16.184 11.120 1.549

86.973 10.451 7.181

.000 .000 .007

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 48

24 0 Sig.

8 8 8

6.025 6.925 .170

8.362 1.000

Lampiran 36. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir sampel A

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 0,4

0,6

5,0

2 0,0

1,7

1,5

3 0,7

2,4

2,6

4 0,0

0,2

1,7

5 0,3

0,9

2,2

6 0,2

3,6

4,8

7 0,8

4,1

4,8


(6)

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

121.072 17.786 29.436 13.618 134.690

10 7 2 14 24

12.107 2.541 14.718 .973

12.447 2.612 15.131

.000 .060 .000

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 3 0

24 48 Sig.

8 8 8

.388

1.000

1.775 1.000

3.100 1.000

Lampiran 37. Analisis ragam dan uji Duncan terhadap adanya lendir Sampel B

Panelis

Skor

0 jam

24 jam

48 jam

1 0,7

1,3

2,3

2 0,0

0,4

2,1

3 0,3

1,0

2,5

4 0,0

0,2

0,4

5 0,2

0,8

2,2

6 0,4

0,9

1,8

7 0,4

1,1

3,1

8 0,2

0,6

1,5

Sumber keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Rataan

kuadrat F hitung Sig. Model

Panelis Jam Galat Total

40.974 3.807 12.361 1.966 42.940

10 7 2 14 24

4.097 .544 6.180 .140

29.180 3.873 44.015

.000 .015 .000

JAM N Subset untuk α = .05

1 2 3

0 24 48 Sig.

8 8 8

.275

1.000

.788 1.000

1.988 1.000