BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan anak merupakan praktik yang tersebar luas didunia. UNICEF 2010 mencatat bahwa sekitar 60 anak perempuan di dunia menikah di bawah usia
18 tahun. Di Indonesia BPS 2008 mencatat bahwa sekitar 34,5 anak perempuan menikah dibawah usia 19 tahun.
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia pada Tahun 2007 terkait dengan pernikahan diusia muda, di beberapa daerah tercatat sepertiga dari jumlah
pernikahan dilakukan pasangan usia dibawah 16 tahun. Di Jawa Timur, angka pernikahan dini mencapai 39,43, Kalimantan Selatan 35,48, Jambi 30,63, dan
Jawa Barat 36. Bahkan, di sejumlah pedesaan, pernikahan sering kali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat menstruasi pertama Kertamuda, 2009.
Data sensus tahun 2000, dari 1.000 penduduk usia 15 tahun keatas, terdapat 652 orang yang sudah berstatus menikah, berdasarkan data BPS tahun 2002, di
Indonesia 34,2 perempuan menikah di bawah usia 15 tahun, sementara laki-laki, 11,9 Yoseptin, 2009.
Di Indonesia, pasal 7 Undang-undang nomor 1 tentang perkawinan tahun 1974 menetapkan bahwa : “Perkawinan diizinkan bila pria berusia 19 tahun dan
wanita berusia 16 tahun”. Gerakan Pendewasaan Usia Perkawinan PUP untuk meningkatkan rata-rata Usia Kawin Pertama UKP wanita secara ideal, perempuan
20 tahun dan laki-laki 25 tahun Ellya Sibagariang, dkk, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN mewanti-wanti agar tidak menikah diusia muda. Usia muda artinya, usia yang belum matang secara
medis dan psikologinya. Usia menikah ideal untuk perempuan adalah 20-35 tahun dan 25-40 tahun untuk pria Indarini, 2011.
Data-data diatas menggambarkan banyaknya fenomena perkawinan usia dini di Indonesia, berbagai macam dampak negatif mengiringi fenomena tersebut, dari
hasil penelitian tentang pernikahan dini di Kelurahan Gejuk Jati Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan didapat beberapa dampak negatif dari pernikahan usia dini
antara lain kualitas pendidikan menurun, terjadinya perceraian dini dan minimnya kesehatan ibu dan anak Dwi Hanggara, 2009.
Berdasarkan kenyataan, terlihat bahwa sebagian besar fenomena pernikahan usia dini lebih banyak didasari oleh ketidakmampuan keluarga melanjutkan sekolah
anaknya terlebih lagi bagi anak perempuannya. Hal ini akan mengakibatkan kompleksnya permasalahan gizi keluarga terutama pada anak balita yang dipicu oleh
pendidikan rendah sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan makanan yang bergizi baik untuk dirinya maupun bagi keluarganya. Balita merupakan
kelompok umur yang rawan gizi karena balita berhubungan dengan proses pertumbuhan yangg relatif pesat yang memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar.
Balita yang kurang gizi mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding balita yang tidak kurang gizi.
Menurut Sanoesi 2003 dalam Sagita 2009 menyatakan bahwa kekurangan gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik,
mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak
Universitas Sumatera Utara
menjadi dewasa. Secara lebih spesifik kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan dan keterlambatan perkembangan otak serta dapat
pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Hal ini berdampak pada status gizi dan kesehatan masyarakat karena tidak
terpenuhinya kecukupan konsumsi makanan dan terjadi perubahan pola makan yang dapat meningkatkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk.
Di Indonesia prevalensi gizi buruk pada balita menurut BBU pada tahun 2002 adalah 8,0 dengan jumlah balita dengan jumlah balita sebanyak 18.369.762
orang dan meningkat pada tahun 2003 yaitu 8,3 dengan jumlah balita sebanyak 18.608.762 orang Hayatinur. E, 2006.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Riau Riskesdas 2007, status gizi balita terdapat 21,1 gizi buruk atau kurang, 32,1 kategori pendek dan
sangat pendek, dan 22,4 masuk kategori kurus dan sangat kurus. Masalah gizi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi.
Menurut Suhardjo 1996 kemiskinan merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi kurang yang berkaitan erat dengan pendapatan keluarga. Pendapatan akan
menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain yang dapat mempengaruhi status gizi terutama balita.
Berbeda dengan faktor ekonomi yang dilihat dari pendapatan ternyata ada masyarakat yang memiliki pendapatan lebih tapi dalam menyediakan makanan untuk
keluarga banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan yang bergizi hal ini disebabkan oleh faktor lain seperti kurangnya pengetahuan gizi ibu. Semakin
bertambah pengetahuan gizi ibu, maka seorang ibu akan semakin mengerti jenis dan
Universitas Sumatera Utara
jumlah makanan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarganya termasuk anak balitanya Suhardjo, 1996. Dalam hal ini pendidikan gizi perlu diberikan kepada ibu
terutama bagi ibu yang menikah di usia dini karena melalui pendidikan gizi diharapkan tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat sehingga dapat
mengetahui kandungan gizi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan lainnya.
Pola pengasuhan balita sangat tergantung pada orang tua atau keluarga yang mengasuh. Orang tua harus mempunyai percaya diri yang besar dalam menjalankan
peran pengasuhan ini terutama dalam pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangan balita. Menurut Supartini 2004 menyatakan apabila ibu menikah
terlalu muda kemungkinan tidak dapat menjalankan peran pengasuhan secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
Seorang ibu yang menikah di usia muda juga sulit untuk dapat memahami tentang masalah gizi yang dihadapi terutama dalam pemenuhan gizi balita. Semakin
muda umur ibu pada saat mempunyai anak maka pengalaman yang dimiliki tentang pemenuhan gizi balita semakin sedikit karena ibu yang masih muda cenderung
kurang peduli pada kebutuhan anggota keluarganya dan disini termasuk kebutuhan akan konsumsi makanan dalam keluarga terutama untuk balita.
Upaya Pemanfaatan lahan pekarangan rumah merupakan salah satu alternatif mewujudkan kemandirian pangan dalam rumah tangga yang dapat dilakukan oleh
seorang ibu yang menikah muda sehingga dengan demikian dapat meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan, mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
kegiatan ekonomi produktif keluarga serta menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sagita 2009 tentang pola makan dan status gizi pada ibu dan balita pada keluarga pra sejahtera menunjukkan bahwa pola
makan anak balita pada pra sejahtera berdasarkan jenis dan frekuensi yang paling banyak dikonsumsi yaitu PASI dan nasi sebagai makanan pokok, untuk lauk pauk
yaitu telur, tahu dan sayur bayam dan untuk buah semua anak balita mengkonsumsi pisang, pepaya dan jeruk. Sedangkan untuk status gizi anak balita berdasarkan indeks
BBU secara umum baik yaitu 23 orang 74,2, berdasarkan indeks TBU yaitu 23 orang 61,3 dengan kategori normal dan 12 orang 38,7 dengan kategori pendek
dan menurut BBTB pada semua kelompok umur berstatus gizi normal tetapi terdapat juga beberapa anak balita gizinya gemuk dan sangat kurus.
Desa Pulau Mungkur merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuantan Singingi Riau yang termasuk salah satu wilayah yang
mempunyai kebiasaan menikahkan anaknya di usia dini. Wilayah ini memiliki jarak dengan pusat kota sejauh 20 km, ke puskesmas sejauh 10 km dan ke pusat keramaian
atau pasar sejauh 6 km. Dalam pencarian pengobatan masyarakat setempat masih mempercayai kepada dukun kampung dan apabila belum juga sembuh barulah
mereka beralih ke tenaga medis. Di daerah ini rata-rata penduduk memiliki pekerjaan sebagai penyadap karet dan petani dengan penghasilan yang diperoleh rata-rata Rp.
50.000 per hari hanya pada saat musim penyadapan karet. Sedangkan ibu-ibu di daerah ini sebagian besar berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang hanya
memperoleh penghasilan dari suami saja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
mereka harus membagi dari hasil yang diberikan suaminya tidak terkecuali untuk memenuhi kebutuhan makanan yang dikonsumsi, melalui pengamatan peneliti
didapatkan bahwa masyarakat setempat memakan makanan yang tidak memenuhi kecukupan energi dan gizi yang diperlukan oleh tubuh, mereka makan dengan menu
apa adanya. Dari survei awal yang dilakukan ditemukan 80 pasangan usia subur terdapat 45 pasangan yang menikah dibawah usia 20 tahun. Beberapa hal yang
mempengaruhi mereka untuk menikah di usia muda adalah ekonomi yang rendah sehingga masyarakat daerah tersebut berasumsi dengan menikah cepat dapat
mengurangi beban ekonomi keluarga. Disamping itu karena pencapaian tingkat pendidikan anak yang tergolong rendah mendorong mereka untuk menikahkan
anaknya. Hal inilah yang membuat penulis tertarik meneliti tentang “Gambaran
Perilaku Ibu Yang Menikah Di Usia Dini Dalam Pemenuhan Gizi Balita Di Desa Pulau Mungkur Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau
Tahun 2012.
1.2 Perumusan Masalah