ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MADIUN TAHUN 1991 2010

(1)

commit to user

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MADIUN

TAHUN 1991-2010

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Konsentrasi: Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah

Oleh:

ALI CHAKIM

S4210002

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN

SURAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

commit to user

MOTTO :

Barangsiapa berbuat kebaikan seberat

benda terkecil pun, maka dia akan melihat

(balasan)nya.

Dan barangsiapa yang berbuat keburukan

seberat benda terkecil pun, maka dia akan

melihatnya. (QS. AZ-Zalzalah: 7,8).


(6)

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk :

ü Anak-anakku tersayang Naqiya dan Alya yang telah memberikan dorongan semangat

ü Istriku tercinta Dewi Wahyuningsih yang telah memberikan bantuan moril dan materiil


(7)

commit to user ABSTRAKSI

PAD sebagai salah satu penerimaan daerah mencerminan tingkat kemandirian daerah. Semakin besar PAD maka menunjukkan bahwa daerah itu mampu melaksanakan desentralisasi fiskal dan ketergantungan terhadap pemerintah pusat berkurang. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah penduduk, PDRB, pengeluaran pemerintah.

Data yang diamati dalam penelitian ini adalah data runtut waktu periode 1991-2010. Model estimasi yang digunakan adalah regresi berganda yang ditransformasikan ke bentuk logaritma.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel independen secara parsial dan simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PAD. Hipotesis penelitian dibuktikan bahwa variabel jumlah penduduk, PDRB dan pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan secara statistic terhadap PAD.


(8)

commit to user ABSTRACT

PAD as one of local revenue reflects the local independence. The greater the PAD indicates that the local was able to implement fiscal decentralization and reduced dependence on central government. The purpose of this research is to analyze the factors that influence PAD in Madiun district in 1991-2010. These factors are population, PDRB, government expenditure.

The data observed in this research is time series data from 1991 to 2010 period. Estimation model used was multiple regression are transformed into logarithmic model.

The results showed that all independent variables partially and simultaneously have a significant effect on PAD. The research hypothesis prove that the variable number of population, PDRB and government expenditure has positive effect and statistically significant to PAD


(9)

commit to user KATA PENGANTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis dengan judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN MADIUN TAHUN 1991-2010”, guna memenuhi salah satu persyaratan dalam penyelesaian derajat sarjana S-2 Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (MESP) Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rasa terimakasih penulis sampaikan antara lain kepada:

1. Dr. JJ. Sarungu, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Evi Gravitiani, M.Si selaku pembimbing I dalam penyusunan tesis yang banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan selama penelitian. 3. Malik Cahyadin, SE, M.Si selaku pembimbing II dalam penyusunan tesis

yang banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan selama penelitian. 4. Pimpinan dan staf Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan, Bappeda,

Badan Pusat Statistik dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Madiun yang telah mendukung selama penelitian.

5. Segenap staf UNS.

6. Teman-teman, khususnya teman seangkatan.

7. Semua pihak yang turut membantu kelancaran penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang berkepentingan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, April 2011 Ali Chakim


(10)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...………..………….i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………...………...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI...iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS...iv

MOTTO...v

PERSEMBAHAN...vi

ABSTRAKSI...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI. ………...……….……...….x

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB I PENDAHULUAN ...…………...………...………1

1.1 Latar Belakang Masalah………...……….….1

1.2 Perumusan Masalah………...………...12

1.3 Tujuan penelitian……...……….…….13

1.4 Manfaat Penelitian…...…...……….……….13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...…14

2.1 Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia………...14

2.1.1 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah………...……...14

2.1.2 Pengertian Dan Sumber Keuangan Daerah………....17

2.1.3 Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah………...……18

2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)… ………...……….23

2.2.1 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah……...……...….24

2.2.1.1 Pajak Daerah………...……….…...…26

2.2.1.2 Retribusi Daerah………...………..29

2.2.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan………...33


(11)

commit to user

2.2.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah…..35

2.2.2 Prinsip Pengenaan Pajak…………...……..35

2.3 Landasan Teori Pendukung Hipotesis………...………40

2.3.1 Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap PAD …….…...40

2.3.2 Pengaruh PDRB Terhadap PAD………...………...……41

2.3.3 Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap PAD...45

2.4 Penelitian Terdahulu……...………..……...49

2.5 Kerangka Pemikiran………...………...53

2.6 Hipotesis Penelitian………....…………...54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...……….55

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian………….………...…….………..55

3.2 Variabel Penelitian………...………..56

3.3 Jenis dan Sumber Data………...…...……….57

3.4 Definisi Operasional……….………..57

3.5 Teknik Analisis Data………….……….57

3.6.1 Analisis Regresi Linier Berganda...57

3.6.2 Uji Statistik...58

3.6.2.1 Uji F (Metode Pengujian Simultan)...58

3.6.2.2 Uji t (Metode Pengujian Parsial)...60

3.6.2.3 Analisis Determinasi (R2)...62

3.6.3. Pengujian Asumsi Klasik...63

3.6.3.1 Uji Normalitas...63

3.6.3.2 Uji Multikolinearitas...63

3.6.3.3 Uji Heteroskedastisitas...64

3.6.3.4 Uji Autokorelasi...64

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN...66

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Madiun...66


(12)

commit to user

4.2.1 Gambaran Umum Kondisi Perekonomian...67

4.2.2 Produk Domestik regional Bruto Tahun 2007-2010 ...69

4.2.3 Struktur Ekonomi Kabupaten Madiun ...72

4.2.4 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Madiun...75

4.2.5 PDRB Per Kapita Dan Pendapatan Regional Per Kapita...77

4.3 Deskripsi Variabel-variabel Penelitian...78

4.3.1 Variabel Pendapatan Asli Daerah...78

4.3.2 Variabel Jumlah Penduduk...86

4.3.3 Variabel Produk Domestik Regional Bruto...89

4.3.4 Variabel Pengeluaran Pemerintah...91

4.4 Hasil Estimasi Regresi Linier Berganda...93

4.5 Pengujian Hipotesis...94

4.5.1 Uji Secara Individual (Uji t)...94

4.5.1.1 Pengujian Variabel Jumlah Penduduk...95

4.5.1.2 Pengujian Variabel PDRB...95

4.5.1.3 Pengujian Variabel Pengeluaran Pemerintah...96

4.5.2 Uji Secara Bersama-sama (Uji F)...97

4.5.3 Analisis Determinasi (R2)...99

4.5.4 Pengujian Asumsi Klasik ...100

4.5.4.1 Uji Normalitas...100

4.5.4.2 Uji Multikolinearitas...101

4.5.4.3 Uji Heteroskedastisitas...102

4.5.4.4 Uji Autokorelasi...103

4.6 Pembahasan Hasil Penelitian/ Interpretasi Ekonomi...104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...109

5.1 Kesimpulan ...109

5.2 Saran...110

DAFTAR PUSTAKA 112


(13)

commit to user DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Sumber Penerimaan APBD Kabupaten Madiun Tahun 2005-2010

(Rp)...4

Tabel 1.2. Kontribusi Sumber Penerimaan APBD Kabupaten Madiun Tahun 2005-2010 (%)…...5

Tebel 1.3. Komposisi PAD Kabupaten Madiun Tahun 2006-2010...6

Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto (ADHB) Kabupaten Madiun Tahun 2007-2010 (Juta Rupiah)...71

Tabel 4.2. Struktur Ekonomi Kabupaten Madiun Tahun 2007-2010...73

Tabel 4.3. PAD Kabupaten Madiun Tahun 1991-2010...79

Tabel 4.4. Kontribusi Sumber-sumber PAD di Kabupaten Madiun 1991- 2010...82

Tabel 4.5. Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kabupaten Madiun Tahun 1991-2010...87

Tabel 4.6. Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Di Kabupaten Madiun Tahun 2010...89

Tabel 4.7. Jumlah dan Pertumbuhan PDRB Kabupaten Madiun Tahun 1991- 2010...90

Tabel 4.8. Jumlah dan Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah...92

Tabel 4.9. Hasil Uji Regresi Linier Berganda...93

Tabel 4.10. Anova (Uji F)...97


(14)

commit to user

Tabel 4.12. Hasil Uji Normalitas...101 Tabel 4.13. Hasil Uji Multikolinearitas...101 Tabel 4.14. Hasil Uji Heteroskedastisitas...103


(15)

commit to user DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah...15

Gambar 2.2. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah...48

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran...53

Gambar 3.1. Daerah Kritis Uji F...59

Gambar 3.2. Daerah Kritis Uji t...61

Gambar 3.3. Gambar Uji Durbin Watson...65

Gambar 4.1. Grafik Pertumbuhan PAD Kabupaten Madiun...80

Gambar 4.2. Grafik Pertumbuhan Penduduk...88

Gambar 4.3. Grafik Pertumbuhan PDRB...91

Gambar 4.4. Grafik Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah...93

Gambar 4.5. Daerah Kritis Uji t Variabel Jumlah Penduduk...95

Gambar 4.6. Daerah Kritis Uji t Variabel PDRB...96

Gambar 4.7. Daerah Kritis Uji t Variabel Pengeluaran Pemerintah...96

Gambar 4.8. Daerah Kritis Nilai F Test pada Uji F ...98


(16)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Penelitian

Lampiran 2. Data Logaritma Natural (ln) Lampiran 3. Hasil Print Out SPSS 17.0 Lampiran 4. Tabel t

Lampiran 5. Tabel Distribusi F, α = 5%


(17)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mensyaratkan adanya dukungan personil, peralatan dan pembiayaan (keuangan) yang cukup memadai. Dengan dipenuhinya tiga syarat di atas, maka pemerintah daerah diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang telah dilimpahkan, sekaligus dapat mewujudkan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, perkembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pemerintah pusat telah membagi berbagai sumber pembiayaan kepada daerah untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang dilimpahkan, sebagaimana yang diatur dalam undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta peraturan pemerintah pendukungnya. Menurut ketentuan yang ada dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004,

pendapatan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi bersumber dari: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; dan (c) Lain-lain Pendapatan.


(18)

commit to user

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat kemandirian suatu daerah otonom dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya (Koswara, 2000). Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.

Pada prinsipnya semakin besar kontribusi PAD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, baik dalam bentuk block grant

maupun specific grant. Sebaliknya semakin rendah kontribusi PAD dalam APBD maka semakin besar ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, sehingga peran pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggaran ke daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah cenderung dominan. Kondisi ideal dimana PAD mampu membiayai total pengeluaran dalam APBD, ternyata belum dapat dicapai oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia. Banyak kabupaten/kota di Indonesia yang kontribusi PAD terhadap total APBD masih rendah. Secara historis, PAD di Indonesia mempunyai peran yang relatif kecil dalam keseluruhan anggaran daerah (Simanjuntak, 2002).


(19)

commit to user

Kewenangan meningkatkan PAD tersebut dibatasi bahwa pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Santoso (2002) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah, meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah .

Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai, artinya bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Proporsi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Madiun seperti terdapat dalam APBD Kabupaten Madiun dapat dilihat pada Tabel 1.1.


(20)

commit to user

Tabel 1.1. Sumber Penerimaan APBD Kabupaten Madiun Tahun 2005-2010 (Rp) Tahun Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Transfer Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Total Penerimaan 2005 14,615,450,924 289,912,874,299 12,712,000,000 317,240,325,223 2006 21,792,536,902

461,331,811,837 - 483,124,348,739 2007 26,413,339,754

521,257,454,517 - 547,670,794,271 2008 28,693,204,342 611,261,294,600 11,318,000,000 651,272,498,942 2009 31,590,306,400 635,402,447,400 17,663,905,000 684,656,658,800 2010 37,321,534,950 731,655,094,666 46,790,380,000 815,316,909,616

Sumber: APBD Kabupaten Madiun, 2005-2010

Berdasarkan informasi pada Tabel 1.1 tersebut, dapat diketahui bahwa dalam enam tahun terakhir yaitu tahun 2005-2010 Total Pendapatan Daerah masih didominasi oleh pendapatan transfer (dana perimbangan), meskipun PAD nilainya terus meningkat. Dilihat dari kontribuasinya terhadap pembentukan APBD, maka peran PAD dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 memperlihatkan bahwa nilai kontribusi dari PAD terhadap pembentukan APBD selama tahun 2005-2010 dalam setiap tahunnya rata-rata kurang dari 5%, sedangkan Pendapatan Transfer memiliki kontribusi rata-rata sekitar 90% terhadap Total Penerimaan Daerah, sehingga terbukti bahwa PAD di Kabupaten Madiun belum dapat memberikan kontribusi secara signifikan terhadap APBD. Dengan demikian, maka perlu dicari potensi-potensi daerah untuk meningkatkan PAD dari pajak, retribusi, laba BUMD maupun lain-lain PAD yang sah.


(21)

commit to user

Tabel 1.2. Kontribusi Sumber Penerimaan APBD Kabupaten Madiun Tahun 2005-2010 (%)

Tahun Pendapatan Asli

Daerah Pendapatan Transfer

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah

2005 4.61 91.39 4.01

2006 4.51 95.49 0.00

2007 4.82 95.18 0.00

2008 4.41 93.86 1.74

2009 4.61 92.81 2.58

2010 4.58 89.74 5.74

Sumber: APBD Kabupaten Madiun Tahun 2005-2010, data diolah.

Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat dimana sebenarnya letak kecilnya nilai PAD suatu daerah. Mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Bab V Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa PAD terdiri dari :

a. Pajak daerah; b. Retribusi daerah;

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; d. Lain-lain PAD yang sah.

Dari keempat komponen PAD tersebut, pajak dan retribusi daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) identik dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal tersebut diperkuat dengan komposisi PAD dalam APBD selama lima tahun terakhir pada Tabel 1.3.


(22)

commit to user

Tabel 1.3. Komposisi PAD Kabupaten Madiun Tahun 2006-2010 (Rp)

Tahun Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil

Pengelolaan Kekayaan Daerah yang

Dipisahkan

Lain-lain PAD yang Sah

2006 5,498,548,927 13,053,863,125 330,843,275 2,909,281,575 2007 5,961,760,000 14,835,019,000 836,776,054 4,779,784,700 2008 6,436,260,000 14,829,838,800 923,648,317 6,503,457,225 2009 7,038,260,000 15,824,726,400 1,125,000,000 7,602,320,000 2010 8,492,092,000 7,473,171,450 1,872,000,000 19,484,261,500 Sumber: APBD Kabupaten Madiun, 2006-2010.

Tabel 1.3 memperlihatkan komposisi nilai PAD Kabupaten Madiun dalam 5 tahun terakhir. Tabel 1.3 tersebut memperlihatkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan elemen dominan penyumbang PAD di Kabupaten Madiun. Pada tahun 2010 terjadi pergeseran dalam penentuan target PAD dimana pendapatan retribusi berkurang karena dengan berdirinya BLUD RSUD Caruban, maka pendapatan retribusi kesehatan berubah menjadi lain-lain PAD yang sah sehingga terdapat peningkatan pendapatan yang tinggi dari pos lain-lain PAD yang sah.

Widayat (1994) dalam Syaharuddin (2009) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain:

1) Banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB);

2) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;


(23)

commit to user

3) Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;

4) Adanya kebocoran-kebocoran; 5) Biaya pungut yang masih tinggi;

6) Banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan; 7) Kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.

Jaya (1996) dalam Syaharuddin (2009) menyebutkan beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah:

1) Kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah; 2) Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis

pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;

3) Pajak daerah cukup beragam, tetapi hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;

4) Alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme;

5) Kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.

Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh


(24)

commit to user

mengenai perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, diantaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.

Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997) menyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1) Faktor manusia pelaksana yang baik;

2) Faktor keuangan daerah yang cukup dan baik; 3) Faktor peralatan yang cukup dan baik;

4) Faktor organisasi dan manajemen yang baik.

Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan


(25)

commit to user

Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.

Seiring dengan besarnya tuntutan kepada daerah untuk dapat melaksanakan otonomi daerah, maka tidak ada upaya lain kecuali mengoptimalkan peran PAD di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi PAD di Kabupaten Madiun.

Faktor penduduk merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan pemerintah ditujukan untuk kemakmuran masyarakat yang berarti posisi penduduk dalam hal ini adalah sebagai obyek pembangunan yang menikmati hasil pembangunan tersebut. Pada sisi lain, penduduk juga dapat dipotensikan sebagai penggerak pembangunan yang berarti peran penduduk sebagai subyek pembangunan yang tidak hanya menikmati tetapi juga berperan aktif. Oleh karena itu, penduduk dalam pembangunan suatu wilayah berada pada posisi sentral.

Pada saat ini, penduduk justru dipandang sebagai pemacu pembangunan. Berlangsungnya kegiatan produksi adalah berkat adanya orang yang membeli dan mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan. Konsumsi dari penduduk inilah yang menimbulkan permintaan agregat. Pada gilirannya, peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara keseluruhan. Jadi perkembangan ekonomi turut ditentukan oleh permintaan yang datang dari penduduk.


(26)

commit to user

Jumlah penduduk yang bertambah akan memperbesar jumlah tenaga kerja. Peningkatan jumlah tenaga kerja memungkinkan suatu negara untuk menambah produksi. Disamping itu, sebagai akibat pendidikan, latihan dan pengalaman kerja, maka kemampuan penduduk akan bertambah tinggi sehingga produktivitas akan bertambah dan ini selanjutnya menimbulkan pertambahan produksi yang lebih cepat daripada pertambahan tenaga kerja. Para pengusaha yang merupakan penduduk, ikut berperan di dalam menentukan luasnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara. Apabila tersedianya pengusaha dalam sejumlah penduduk tertentu lebih banyak, maka lebih banyak pula kegiatan ekonomi yang akan dijalankan.

Dorongan lain yang timbul dari perkembangan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan pasar barang dan jasa. Besarnya luas pasar dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu ekonomi tergantung kepada pendapatan penduduk dan jumlah penduduk. Apabila jumlah penduduk bertambah, maka luas pasar akan bertambah pula. Ini berarti perkembangan penduduk akan menimbulkan dorongan kepada pertambahan dalam produksi dan tingkat kegiatan ekonomi.

Kegiatan ekonomi suatu daerah secara umum dapat digambarkan melalui kemampuan daerah tersebut menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan hidup masyarakat yang diindikasikan dengan PDRB. PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau


(27)

commit to user

merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Penyajian PDRB dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan. Nilai PDRB harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah dan pergeseran struktur perekonomian daerah, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan dapat mencerminkan perkembangan riil ekonomi secara keseluruhan dari tahun ke tahun yang digambarkan melalui laju pertumbuhan ekonomi.

Penghitungan nilai PDRB akan diperoleh Pendapatan Regional suatu wilayah. Jika pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk akan mencerminkan tingkat pendapatan per kapita yang digunakan sebagai indikator untuk membandingkan tingkat kemakmuran materiil suatu daerah terhadap daerah lain. PDRB dalam hal ini berfungsi sebagai: (a) Indikator tingkat pertumbuhan ekonomi, (b) Indikator pertumbuhan regional income per kapita, (c) Indikator tingkat kemakmuran, (d) Indikator tingkat inflasi, (e) Indikator struktur perekonomian, dan (f) Indikator hubungan antar sektor (PDRB Kab. Madiun, 2009).

Salah satu komponen dalam permintaan agregat (aggregate demand) adalah pengeluaran pemerintah. Secara teori dinyatakan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka permintaan agregat akan meningkat. Selain itu, peranan pengeluaran pemerintah di negara sedang berkembang masih besar, mengingat kemampuan sektor swasta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi


(28)

commit to user

relatif terbatas sehingga diperlukan peranan pemerintah. Peningkatan permintaan agregat berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB). Peningkatan PDB berarti peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan berarti peningkatan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak.

Berdasarkan uraian dan fenomena, mendorong dilakukannya penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi PAD Kabupaten Madiun. Faktor-faktor yang mempengaruhi PAD di Kabupaten Madiun banyak. Penelitian ini akan dibatasi pada beberapa faktor terpenting saja yang dianggap berpengaruh cukup besar terhadap PAD, yaitu Jumlah Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah. Periode penelitian ini adalah tahun 1991-2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah.

1) Apakah Jumlah Penduduk berpengaruh terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010?

2) Apakah PDRB berpengaruh terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010?

3) Apakah Pengeluaran Pemerintah berpengaruh terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010?


(29)

commit to user 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui,

1) Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010.

2) Pengaruh PDRB terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun 1991-2010. 3) Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap PAD di Kabupaten Madiun tahun

1991-2010.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1) Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang PAD.

b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi peneliti lain baik sebagai pembanding maupun penelaahan lebih lanjut tentang PAD.

2) Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan dalam rangka menyusun kebijakan tentang peningkatan PAD di Kabupaten Madiun

b. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan PAD, diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam upaya peningkatan PAD yang akan datang.


(30)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia 2.1.1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Hubungan keuangan pusat dan daerah erat kaitannya dengan azas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Darumurti (2000) menyebutkan, hubungan keuangan antara pusat dan daerah timbul karena adanya pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang disusun secara bertingkat (multiplicity of government

units). Yani (2002) menyatakan hubungan keuangan pusat dan daerah erat

kaitannya dengan azas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Latar belakang

timbulnya hubungan keuangan pusat-daerah, yaitu: (a) desentralisasi, (b) dekonsentrasi, dan (c) tugas pembantuan. Ketiga azas tersebut adalah

merupakan landasan pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hubungan keuangan pusat dan daerah, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan ketiga azas tersebut, dimana dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi, dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Oleh sebab itu corak hubungan keuangan pusat-daerah diwarnai pula oleh hubungan fungsi pusat dan daerah berdasarkan ketiga azas tersebut. Kerangka hubungan fungsi pusat dan daerah dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(31)

commit to user

Gambar 2.1. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah Sumber: Sakti, 2007.

Samudra (2000) menyebutkan persoalan pokok hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah pembagian sumber-sumber pendapatan dan kewenangan pengelolaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan ini menyangkut tanggung-jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluarannya. Tujuan utama hubungan ini adalah


(32)

commit to user

mencapai perimbangan antara berbagai pembagian sumber penerimaan, agar potensi dan sumberdaya masing-masing daerah yang sekalipun berbeda-beda dapat diseimbangkan terutama alokasinya.

Yani (2002) menyatakan hubungan keuangan pusat dan daerah diperlukan untuk; (a) mengatasi ketimpangan fiskal vertikal (ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dengan daerah), (b) mengatasi ketimpangan fiskal horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah), (c) menjaga tercapainya standar pelayanan publik minimum di setiap daerah, (d) menjalankan fungsi stabilisasi antara pusat dan daerah dan/atau antar daerah, dan, (e) mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari melimpahnya dan/atau menyebarnya efek pelayanan publik.

Pengertian tersebut menunjukkan ada tugas dan wewenang tertentu tetap dilaksanakan oleh pusat, dan ada pula tugas dan wewenang tertentu dilaksanakan daerah, sebagai akibat dari pelimpahan tugas dan wewenang dari pusat kepada daerah yang bersangkutan. Konsekwensi dari pelimpahan tugas dan wewenang tersebut adalah pusat menyerahkan pula sebagian sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut kepada daerah. Hal inilah yang menjadi latar belakang timbulnya masalah hubungan keuangan pusat dengan daerah.

Hubungan keuangan pusat dan daerah, secara praktisnya memberikan pengertian bagaimana Pemerintah Pusat memberikan dana transfer kepada Pemerintah Daerah. Sidik (2002) menyebutkan dana transfer dari pusat ke daerah dibedakan dalam 2 (dua) golongan, yaitu: (a) bagi hasil pendapatan (revenue


(33)

commit to user

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah untuk; (a) meniadakan dan meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal, (b) meniadakan dan meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal, (c) menginternalisasi atau memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat yang menimbulkan biaya.

2.1.2. Pengertian dan Sumber Keuangan Daerah

Pengertian Keuangan Daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Sumber pendapatan daerah untuk penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber pada:

1) Pajak Daerah; 2) Retribusi Daerah;

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-lain PAD yang sah.

b. Dana Perimbangan, terdiri atas:

1) Dana Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Bukan Pajak; 2) Dana Alokasi Umum;


(34)

commit to user 3) Dana Alokasi Khusus.

c. Lain-lain Pendapatan yang terdiri atas pendapatan hibah, pendapatan dana darurat, dana bagi hasil pajak dari propinsi dan pemerintah daerah lainnya, dan bantuan keuangan dari propinsi atau pemerintah daerah lainnya.

2.1.3. Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah

Pengelolaan dan pertangungjawaban keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ini berarti bahwa seluruh sumber penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas Pemerintah Daerah dicatat dan dikelola dalam APBD. APBD pada hakekatnya adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah, yang merupakan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerahnya. Secara garis besar APBD terdiri dari dua komponen pokok yaitu pendapatan dan belanja (pengeluaran) daerah.

Komponen pendapatan terdiri atas Pendapatan Asli daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Komponen pengeluaran pemerintah menurut Kunarjo (1993) sebagai berikut.

a) Pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang disediakan untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, pengeluaran rutin ini digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, bunga dan cicilan hutang serta pengeluaran rutin lainnya.


(35)

commit to user

b) Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Kategori penggunaan pengeluaran pembangunan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu.

1) Pengeluaran pakai habis, yaitu pengeluaran yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang sifatnya secara langsung tidak menghasilkan return kepada pemerintah tetapi secara tidak langsung mempunyai dampak luas kepada pertumbuhan kemajuan perekonomian negara serta pemerataan pendapatan masyarakat.

2) Pengeluaran transfer adalah pengeluaran dari dana APBN yang dipergunakan untuk bantuan pembangunan daerah, penyertaan modal pemerintah dan subsidi.

Komponen pengeluaran pemerintah menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan sebagai berikut.

a) Belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung ini adalah belanja pegawai dalam bentuk gaji dan tunjangan, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.

b) Belanja langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung ini adalah belanja pegawai dalam bentuk honorarium/upah kegiatan, belanja barang dan jasa dan belanja modal.


(36)

commit to user

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, menyatakan bahwa “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”.

Tujuan utama pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah menurut Binder (1989) dalam Nuryanti (2003) adalah:

a. Pertanggungjawaban (accountability)

Pemerintah Daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kepala Daerah (orang yang membawahi semua satuan tata usaha), dan masyarakat umum.

b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan

Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang (termasuk pinjaman jangka panjang).

c. Kejujuran

Urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur, dan kesempatan untuk berbuat curang diperkecil.

d. Hasil Guna (Effectiveness) dan Daya Guna (Efficiency) kegiatan daerah. Tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk


(37)

commit to user

mencapai tujuan Pemerintah Daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya.

e. Pengendalian.

Petugas keuangan Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut di atas tercapai, mereka harus mengusahakan agar selalu mendapat informasi yang diperlukan untuk memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran dan untuk membandingkan penerimaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran.

Binder (1989) menjelaskan bahwa pengelolaan keuangan yang baik memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.

a. Sederhana

Sistem yang sederhana lebih mudah dipahami dan dipelajari oleh mereka yang bertugas menjalankannya, dan lebih besar kemungkinan diikuti tanpa salah; dapat lebih cepat memberikan hasil; dan mudah diperiksa dari luar dan dari dalam.

b. Lengkap

Secara keseluruhan, pengelolaan keuangan hendaknya dapat digunakan untuk mencapai tujuan utama pengelolaan keuangan daerah, dan harus mencakup segi keuangan setiap kegiatan daerah. Jadi, misalnya kegiatan menyususn anggaran harus menegakkan keabsahan penerimaan dan pengeluaran; menjaga agar daerah selalu dapat melunasi kewajiban keuangannya; menjalankan pengawasan dari dalam; berusaha mencapai hasil guna dan daya guna


(38)

commit to user

setinggi-tingginya dalam semua kegiatan; dan menjaga jangan sampai ada penerimaan dan pengeluaran yang tidak masuk rencana atau tidak dimasukkan dalam anggaran.

c. Berhasil Guna

Pengelolaan keuangan harus dalam kenyataan mencapai tujuan-tujuan bersangkutan. Hal ini kadang-kadang dapat diwujudkan melalui peraturan, misalnya peraturan mengharuskan Pemerintah Daerah menyelesaikan rencana anggarannya pada tanggal tertentu sebelum tahun anggaran.

d. Berdaya Guna

Pengertian berdaya guna memiliki dua segi. Pertama, daya guna melekat pengelolaan keuangan bersangkutan harus dinaikkan setinggi-tingginya; artinya, hasil yang ditetapkan harus dapat dicapai dengan biaya serendah-rendahnya, dari sudut jumlah petugas dan dana yang dibutuhkan; atau hasil harus dicapai sebesar-besarnya, dengan menggunakan petugas dan dana pada tingkat tertentu. Kedua, pengelolaan keuangan yang bersangkutan harus dirancang sedemikian rupa sehingga memperbesar daya guna yang menjadi alat bagi Pemerintah Daerah untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya dan tidak menghambatnya.

e. Mudah Disesuaikan

Pengelolaan keuangan jangan dibuat sedemikian kaku sehingga sulit menerapkannya, atau menyesuaikannya pada keadaan yang berbeda-beda.


(39)

commit to user 2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Salah satu faktor yang mendukung keberhasilan penyelenggaran tugas Pemerintah Daerah, sebagai perwujudan dari otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung-jawab adalah tersedianya sumber pembiayaan (keuangan) yang memadai. Kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu faktor penting dalam mengukur kemampuan daerah untuk melaksanakan otonominya. Pentingnya keuangan daerah ini, Gie (1968:33) mengemukakan sebagai berikut.

“Pada prinsipnya setiap daerah harus dapat membiayai sendiri semua kebutuhannya sehari-hari yang rutin. Apabila untuk kebutuhan daerah itu masih mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat, maka sesungguhnya daerah itu tidak otonomi. Otonomi yang diselenggarakan tidak akan ada artinya, karena akan mengikuti irama datangnya dan banyaknya bantuan pusat itu. Dengan demikian daerah itu tidak dapat dikatakan memiliki kehidupan sendiri”.

Pendapat lain dikemukakan Syamsi (1983:180) yang menyatakan bahwa, “Keuangan Daerah adalah merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri”. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, harus didukung dengan kemampuan keuangan daerah.

Berdasarkan uraian di atas, maka Pemerintah Daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan menggali semua sumber-sumber keuangan sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber penerimaan daerah yang penting dan strategis dalam pelaksanaan otonomi


(40)

commit to user

daerah bagi sebagian besar Pemerintah Daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Kontribusi PAD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemandirian suatu daerah otonom. Kemandirian daerah otonom diukur melalui seberapa besar peranan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah, khususnya belanja rutin daerah. Semakin besar kontibusi PAD dalam APBD maka dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kemandirian daerah, sehingga ketergantungan dana dari pemerintah pusat semakin kecil. Sebaliknya, semakin rendah kontribusi PAD dalam APBD, semakin besar ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah pusat.

2.2.1. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Sumber Pendapatan Asli Daerah menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bab V Pasal 6, terdiri dari: 1) Pajak Daerah;

2) Retribusi Daerah;

3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang di pisahkan; dan 4) Lain-lain PAD yang sah.

Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah di atas memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan. Namun demikian kontribusi terbesar dalam menyumbang penerimaan PAD berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagai sumber utama PAD, pemerintah


(41)

commit to user

senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Saat ini ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Sidik (2001) menyatakan, pajak daerah (regional tax) dan retribusi daerah, merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam penggalian PAD, karena selalu menjadi sumber penerimaan utama daerah. Secara langsung pajak daerah dan retribusi daerah secara bersama-sama merupakan komponen pembentuk pendapatan asli daerah yang terkait dengan kemampuan pendanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah, sebagaimana anggarannya ditentukan oleh APBD yang ditetapkan.

Susilih (2002) menyatakan, pajak daerah dan retribusi daerah adalah sumber pendapatan pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah daerah, untuk menggalang dana pembangunan. Peran pajak dan retribusi dalam APBD suatu daerah sangatlah penting. Penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang tinggi akan dapat meningkatkan dana bagi pembangunan daerah yang bersangkutan. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan unsur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang sangat berpengaruh bagi optimalisasi pembangunan daerah.


(42)

commit to user 2.2.1.1. Pajak Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak daerah memiliki peran strategis bagi daerah, karena pajak daerah memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PAD, kemudian disusul retribusi daerah. Pajak daerah yang identik dengan pajak memiliki beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli.

Pengertian pajak menurut Djajadiningrat yang dikutip oleh Munawir (1992) adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. Pendapat senada dengan pengertian sebelumnya, menyatakan bahwa Pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat dalam keseluruhannya untuk jasa-jasa pemerintah. Akan tetapi, jumlah yang dibayarkan oleh orang tidak perlu mempunyai hubungan dengan jumlah-jumlah kegiatan pemerataan yang diterimanya, yang seringkali tidak dapat dihitung atau diukur sedangkan menurut sifatnya merupakan paksaan (Due, 1985).

Mangkoesoebroto (1994) menyatakan, definisi pajak (termasuk pajak daerah/regional tax) adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah, dimana pungutan tersebut dapat dipaksakan kepada subyek pajak dan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya. Definisi pajak menurut Suparmoko (1985) adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada


(43)

commit to user

pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa secara langsung dapat ditunjuk, misalnya pajak kendaraan bermotor, pajak penjualan dan lain sebagainya.

Beberapa definisi pajak di atas merupakan pengertian mendasar, sehingga hampir tidak ada perbedaan dengan pengertian pajak daerah. Pengertian pajak daerah menurut Davey (1988) dapat diartikan sebagai: (1) Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri; (2) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah; (3) Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah; (4) Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , memberikan definisi, “Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan beberapa pengertian pajak diatas, disimpulkan bahwa pengertian pajak daerah adalah pajak asli daerah, maupun pajak yang diserahkan ke daerah, dimana kewenangan pemungutan dilakukan oleh daerah dalam wilayah kekuasaannya berdasarkan peraturan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas


(44)

commit to user

Pemerintah Daerah. Unsur-unsur penting yang terdapat di dalam pengertian pajak daerah adalah:

a) Pajak; merupakan sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah, pajak pemerintah pusat yang diserahkan maupun pajak pemerintah pusat yang dibagihasilkan ke daerah.

b) Daerah; merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c) Dalam wilayah kekuasaannya; maksudnya pemungutan pajak hanya dapat dilakukan oleh daerah di wilayah administrasi yang dikuasai.

Pajak daerah mempunyai fungsi ganda (Makmun, 2009), yaitu: Pertama, sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary) untuk mengisi kas daerah guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah dalam pelaksanaan tugas pemerintah daerah. Kedua, berfungsi sebagai alat pengatur (regulatory) dalam artian untuk mengatur perekonomian guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengadakan redistribusi pendapatan dan stabilisasi ekonomi.

Jenis pajak daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, adalah:

a). Jenis Pajak provinsi terdiri atas: 1) Pajak Kendaraan Bermotor;

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;


(45)

commit to user 4) Pajak Air Permukaan; dan

5) Pajak Rokok akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2014.

b). Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: 1) Pajak Hotel;

2) Pajak Restoran; 3) Pajak Hiburan; 4) Pajak Reklame;

5) Pajak Penerangan Jalan;

6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7) Pajak Parkir;

8) Pajak Air Tanah;

9) Pajak Sarang Burung Walet;

10)Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2014; dan

11)Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011).

2.2.1.2. Retribusi Daerah

Disamping pajak daerah, sumber pendapatan yang cukup besar peranannya dalam menyumbang terbentuknya PAD adalah Retribusi Daerah. Menurut Munawir (1992), retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini bersifat ekonomis


(46)

commit to user

karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, tidak dikenakan iuran itu, misalnya retribusi pasar, parkir, uang kuliah, uang ujian dan sebagainya.

Definisi retribusi yang lain dikemukakan oleh Mangkoesoebroto (1994) dimana retribusi adalah pungutan pemerintah kepada masyarakat karena masyarakat (pembayar retribusi) menerima jasa tertentu dari pemerintah. Pungutan parkir, pembayaran listrik, pembayaran air bersih dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk retribusi. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Usman dan Subroto (1989) menyebutkan, retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata kepada masyarakat tersebut.

Pengertian retribusi menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Ciri-ciri pokok retribusi daerah, berdasarkan beberapa pengertian diatas yaitu:

a. Retribusi dipungut oleh pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah; b. Terdapat jasa balik atau kontra prestasi langsung yang dapat ditunjuk;

c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja baik orang pribadi maupun badan yang merasakan atau memperoleh manfaat yang disediakan oleh daerah.

Pada Pasal 108 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, retribusi dikelompokkan menjadi tiga macam sesuai dengan objeknya. Objek retribusi


(47)

commit to user

adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Jasa-jasa pelayanan tersebut dibagi atas tiga golongan yang berlaku pada Kabupaten/Kota, yang meliputi (a) Jasa Umum; (b) Jasa Usaha; dan (c) Perizinan Tertentu. Rincian retribusi daerah tersebut meliputi :

a). Jenis Retribusi Jasa Umum, merupakan retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Yang termasuk Retribusi Jasa Umum adalah:

1) Retribusi Pelayanan Kesehatan;

2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;

3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;

4) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; 5) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;

6) Retribusi Pelayanan Pasar;

7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;

8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;

10)Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus; 11)Retribusi Pengolahan Limbah Cair;

12)Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; 13)Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan


(48)

commit to user

b). Jenis Retribusi Jasa Usaha, dapat dikenakan atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Yang termasuk dalam Retribusi Jasa Usaha adalah:

1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 2) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 3) Retribusi Tempat Pelelangan;

4) Retribusi Terminal;

5) Retribusi Tempat Khusus Parkir;

6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; 7) Retribusi Rumah Potong Hewan;

8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; 9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; 10)Retribusi Penyeberangan di Air; dan

11)Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

c). Jenis Retribusi Perizinan Tertentu merupakan retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perijinan Tertentu adalah:


(49)

commit to user

2) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 3) Retribusi Izin Gangguan;

4) Retribusi Izin Trayek; dan 5) Retribusi Izin Usaha Perikanan.

2.2.1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Perusahaan Daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini yang seluruh atau sebagian modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.

Tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggaraan kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan Pemerintah Daerah. Kamaludin (2001) mengatakan peran dan fungsi yang dibebankan kepada BUMD adalah: a) Melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan

daerah;

b) Pemupukan dana bagi pembiayaan pembangunan daerah; c) Mendorong peran serta masyarakat dalam bidang usaha;

d) Memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi kepentingan publik; e) Menjadi perintis kegiatan dan usaha yang kurang diminati swasta.


(50)

commit to user

Peran BUMD hingga saat ini dalam menunjang pendapatan daerah masih kecil. Menurut Sunarsip (2009) salah satu penyebabnya karena stakeholder

BUMD terlihat kurang responsif dalam mengikuti dinamika yang ada, khususnya dinamika pengelolaan di BUMN. Padahal, banyak hal yang berlaku di BUMN dapat menjadi role model bagi pengelolaan BUMD.

Menurut hasil studi Biro Analisis Kinerja BUMN non PDAM (1997), dikemukakan berbagai permasalahan yang dihadapi BUMD dalam kegiatan operasionalnya, sebagai berikut,

a) Lemahnya kemampuan manajemen perusahaan; b) Lemahnya kemampuan modal usaha;

c) Kondisi mesin dan peralatan yang sudah tua atau ketinggalan dibandingkan usaha lain yang sejenis;

d) Lemahnya kemampuan pelayanan dan pemasaran sehingga sulit bersaing; e) Kurang adanya koordinasi antar BUMD khususnya dalam kaitannya dengan

industri hulu maupun hilir;

f) Kurangnya perhatian dan kemampuan atas pemeliharaan asset yang dimiliki, sehingga rendahnya produktivitas serta mutu dan ketepatan hasil produksi; g) Besarnya beban administrasi, diakibatkan relatif besarnya jumlah pegawai

dengan kualitas yang rendah;

h) Masih dipertahankannya BUMD yang merugi dengan alasan menghindarkan PHK dan kewajiban pemberian pelayanan umum bagi masyarakat.


(51)

commit to user 2.2.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Lain-lain PAD yang sah menurut Soelarno (1990) adalah hasil daerah yang diperoleh dari hasil usaha perangkat pemerintah daerah dan bukan hasil kegiatan dan pelaksanaan tugas, juga bukan merupakan hasil pelaksanaan kewenangan perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan. Lebih jelasnya sumber ini bukan hasil pajak daerah, bukan hasil retribusi daerah dan juga bukan hasil perusahaan daerah.

Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, meliputi:

a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b) Jasa giro;

c) Pendapatan bunga;

d) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan

e) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.2.2. Prinsip Pengenaan Pajak

Pemerintah Daerah dituntut untuk meningkatkan penerimaan daerah, sehingga mampu membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan daerah. Upaya peningkatan penerimaan daerah dimaksud dapat dilakukan dengan menggali dan mengembangkan potensi, kapasitas dan kemampuan yang dimiliki daerah dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(52)

commit to user

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah senantiasa mendorong peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari PDRD tersebut melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang PDRD adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun. Undang-Undang-undang PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut.

1) Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

2) Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. 3) Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah

dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan undang-undang ini seperti dinyatakan dalan Nota Keuangan RAPBN 2011 yaitu:

1) Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat.


(53)

commit to user

2) Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang (Closed-List). Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

3) Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Pemberian kewenangan dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.

4) Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. 5) Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara

preventif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi

harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan DAU dan/atau DBH.

Sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah, prinsip pengenaan pajak harus memenuhi Smith’s Canons (Suparmoko, 2002), yang meliputi:

a. Unsur keadilan (equity)

Pajak harus adil baik secara vertikal maupun secara horizontal. Adil secara vertikal artinya pajak harus dikenakan sedemikian rupa sehingga dirasakan adil di antara berbagai tingkat atau golongan yang berbeda. Sedangkan adil secara horisontal artinya pajak dikenakan sedemikian rupa sehingga dirasakan


(54)

commit to user

adil diantara berbagai sektor yang berbeda pada tingkat atau golongan pendapatan yang sama.

b. Unsur kepastian (certainty)

Pajak hendaknya dikenakan secara jelas, pasti dan tegas kepada setiap wajib pajak. Hal ini akan mendorong pemerintah dalam membuat perkiraan mengenai rencana pendapatan daerah yang akan datang dan juga akan ada keikhlasan dan usaha yang sungguh-sungguh bagi wajib pajak dalam membayar pajak.

c. Unsur kelayakan (convenience)

Dalam memungut pajak daerah, wajib pajak harus dengan senang hati membayar pajak kepada pemerintah karena pajak yang dibayarnya layak dan tidak memberatkan para wajib pajak. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus menggunakan uang pajak untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara optimal dan masyarakat tahu bahwa uang tersebut tidak diselewengkan penggunaannya.

d. Unsur efisien (economy)

Pajak yang dipungut pemerintah daerah jangan sampai menciptakan biaya pemungutan yang lebih tinggi daripada pendapatan pajak yang diterima pemerintah daerah.

e. Unsur ketepatan (adequacy)

Pajak tersebut di pungut tepat pada waktunya dan jangan sampai memperberat anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang bersangkutan.


(55)

commit to user

Davey (1988) memberikan beberapa kriteria umum tentang perpajakan terutama di daerah sebagai berikut.

a. Kecukupan dan elastisitas

Hasil pemungutan pajak harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Selain itu harus diperhatikan pula apakah biaya pemungutan pajak sebanding dengan besarnya hasil pajak, kemudahan untuk memperkirakan besarnya hasil pajak yang sangat tergantung pada elastisitas pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya.

b. Keadilan

Prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah daerah harus dipikul untuk semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Terdapat tiga dimensi keadilan, yaitu (a) adil secara vertikal, artinya golongan masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih besar wajib membayar pajak lebih besar dibandingkan dengan golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah; (b) adil secara horizontal, artinya pajak dirasakan sama bebannya bagi berbagai golongan yang berbeda tetapi dengan tingkat penghasilan sama; (c) adil secara geografis, artinya pembebanan pajak harus adil antar penduduk di berbagai daerah.

c. Kemampuan administratif

Pajak harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah, baik secara politik maupun secara administrasi.


(56)

commit to user d. Kesepakatan politis

Keputusan pembebanan pajak sangat tergantung pada kepekaan masyarakat, pandangan masyarakat secara umum tentang pajak dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat pada suatu daerah. Sehingga sangat dibutuhkan suatu kesepakatan bersama bila dirasakan perlu dalam pengambilan keputusan perpajakan.

e. Kecocokan suatu pajak sebagai pajak daerah daripada sebagai pajak pusat. Jelas bagi daerah, bahwa penetapan suatu pajak daerah harus memperhatikan letak objek pajak daerah, mobilitas basis pajak daerah, subjek pajak daerah, hasil pemungutan pajak yang memadai serta sederhana dalam proses administrasi.

2.3. Landasan Teori Pendukung Hipotesis

2.3.1. Pengaruh Jumlah Penduduk Terhadap PAD

Di negara sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah penduduk termasuk Indonesia akan selalu mengkaitkan antara kependudukan dengan pembangunan ekonomi. Hubungan antara keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi oleh setiap negara, dengan demikian tiap negara atau daerah akan mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan yang khas pula (Wirosardjono,1998).

Jumlah penduduk yang besar bagi Indonesia oleh para perencana pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila dapat meningkatkan


(57)

commit to user

kualitas maupun keahlian atau ketrampilannya sehingga akan meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Widarjono, 1999 dalam Budihardjo, 2003)

Adam Smith dalam Santosa dan Rahayu (2005) berpendapat bahwa dengan didukung bukti empiris bahwa pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui penambahan tingkat dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Penambahan penduduk tinggi yang diiringi dengan perubahan teknologi akan mendorong tabungan dan juga penggunaan skala ekonomi di dalam produksi. Penambahan penduduk merupakan suatu hal yang dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur panting yang dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya penduduk dapat mempengaruhi pendapatan. Jika jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik juga meningkat.

2.3.2. Pengaruh PDRB Terhadap PAD

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada satu periode tertentu. PDRB dihitung berdasarkan dua cara, yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. Perhitungan PDRB atas dasar harga berlaku menggunakan harga barang dan jasa tahun berjalan, sedangkan pada PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga pada suatu


(58)

commit to user

tahun tertentu (tahun dasar). Penghitungan PDRB saat ini menggunakan tahun 2000 sebagai tahun dasar. Penggunaan tahun dasar ini ditetapkan secara nasional.

PDRB dapat didefinisikan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Produksi (Production Approach)

PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (NTB) yang tercipta sebagai hasil proses produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah/region pada suatu jangka waktu tertentu, biasanya setahun.

PDRB = NTB sektor 1 + …...… + NTB Sektor 9 b. Pendekatan Pendapatan (IncomeApproach)

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut di dalam proses produksi di suatu wilayah/region pada jangka waktu tertentu (biasanya setahun). Balas jasa faktor produksi tersebut adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan. Komponen penyusun PDRB lainnya adalah penyusutan barang modal tetap dan pajak tidak langsung neto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. PDRB merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).

PDRB = Sewa tanah + Bunga &/Deviden + Upah/Gaji + Keuntungan + Pajak Tidak Langsung Netto

c. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

PDRB adalah jumlah semua pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah,


(59)

commit to user

pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan inventori, dan ekspor neto di suatu wilayah/region pada suatu periode (biasanya setahun). Ekspor netto adalah ekspor dikurangi impor.

PDRB = Konsumsi (Rmhtg + Pemerintah) + Investasi (PMTB) + ∆ Inventori + Ekspor –Impor

Beberapa penelitian menyatakan, pada dasarnya ada fenomena hubungan yang dapat diterangkan antara perkembangan penerimaan pendapatan negara

(revenue) dengan perkembangan Gross Domestic Bruto (GDB), atau Produk

Domestik Bruto (PDB).

Wilford dan Wilford (1978) dalam Siregar (2004) menyatakan, perkembangan perekonomian suatu negara yang tercermin dari perkembangan PDBnya, akan menyebabkan mobilitas sumberdaya yang dimiliki guna meningkatkan produksi sektor-sektor perekonomian di dalam perekonomian nasionalnya. Perkembangan produksi sektor-sektor ekonomi tersebut, akan dapat menciptakan potensi bagi penerimaan pendapatan negara yang bersangkutan.

Prest (1978) dalam Iskandar (2004) menyatakan, penerimaan pendapatan Negara tersebut adalah untuk membiayai sektor-sektor public (public sector). Secara esensial perkembangan PDB hendaknya proporsional dengan perkembangan penerimaan pendapatan negara untuk membiayai aktivitas sektor publik, sehingga perkembangan perekonomian negara yang tercermin dari perkembangan PDB-nya, tidak menimbulkan kesenjangan kemakmuran. Sesuai dengan fungsinya, penerimaan pendapatan negara adalah merupakan sarana bagi


(60)

commit to user

pemerintah untuk menjalankan fungsi distribusi (distribution) kemakmuran yang tercipta dari perkembangan ekonomi yang terjadi.

Gillani (1995) dalam Siregar (2004) menyatakan, peningkatan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dapat meningkatkan kapasitas potensi penerimaan pajak, dan juga memungkinkan hal tersebut dapat dipergunakan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Banyak negara mengandalkan penerimaan negara pada sistem perpajakannya, guna mendapatkan penerimaan keuangan yang cukup memadai, yang akan dipergunakan untuk mengimbangi pengeluaran negara yang ada. Akan tetapi juga sering dijumpai kasus di beberapa negara, di mana kondisi fiskalnya tidak seimbang (inbalance), karena penerimaan pajaknya lebih rendah dari pengeluaran. Sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga dibentuk dari komponen penerimaan dari pajak dan non pajak, sebagaimana yang terjadi dalam pembentukan penerimaan bagi pendapatan negara. PAD adalah merupakan komponen utama penerimaan daerah yang akan dipergunakan untuk membiayai pembangunan sektor-sektor publik (public sector) dan pelayanan publik (public

service) di suatu daerah.

Sumber PAD ini terdiri dari ; (a) Pajak daerah, (b) Retribusi daerah, (c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (d) Lain-lain PAD yang sah. Komponen pembentuk PAD yang paling besar (dominan) adalah berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.

Hubungan antara PAD dengan PDRB merupakan hubungan secara fungsional, karena PAD merupakan fungsi dari PDRB. Dengan meningkatnya


(61)

commit to user

PDRB maka akan menambah penerimaan pemerintah daerah untuk membiayai program-program pembangunan. Selanjutnya akan mendorong peningkatan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat yang diharapkan akan dapat meningkatkan produktivitasnya.

Analisis keterkaitan antara perkembangan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di suatu daerah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Siregar, 2004).

Ln PAD = ao + a1 Ln PDRB + e

Dimana :

PAD = Nilai PAD suatu daerah PDRB = Nilai PDRB suatu daerah

ao = Intercept / konstanta

a1 = Koefisien elastisitas perkembangan penerimaan PAD

terhadap perkembangan PDRB

e = Error term

2.3.3. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Terhadap PAD

Pengeluaran Pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut merupakan pengeluaran pemerintah. Teori makro mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu (Mangkusubroto, 1994):


(62)

commit to user

a. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Teori ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave (Assery, 2009) yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Musgrave dan Rostow menyatakan perkembangan pengeluaran negara sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran negara yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan, utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan pendidikan, pelayanan kesehatan masyarakat, jaminan sosial, dan sebagainya.

b. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “ The Law of Expanding State

Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari


(63)

commit to user

Wagner menerangkan mengapa peran pemerintah menjadi semakin besar, yang terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Formulasi hukum Wagner ialah sebagai berikut (Alfirman dan Sutriono, 2002) :

PkPP1 < PkPP2 < …...< PkPPn PPKI PPK2 PPKn Dimana:

PkPP = Pengeluaran Pemerintah per kapita

PPK = Pendapatan per kapita, yaitu GDP per jumlah penduduk 1,2,...,n = Jangka waktu (tahun)

c. Teori Peacock dan Wiseman

Teori Peacock dan Wiseman didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran. Masyarakat dilain pihak, tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.

Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah


(1)

commit to user

dan signifikan terhadap PAD. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso dan Rahayu (2005) yang membuktikan bahwa secara statistik variabel PDRB secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD.

PDRB yang disajikan dengan harga konstan akan bisa menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah itu. Dari penghitungan PDRB akan diperoleh pendapatan regional suatu wilayah. Jika Pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk akan mencerminkan tingkat perkembangan pendapatan perkapita yang dapat digunakan sebagai indikator untuk membandingkan tingkat kemakmuran materiil suatu daerah. Jika pendapatan perkapita tinggi maka kesediaan masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi sebagai komponen pembentuk PAD akan meningkat.

Hipotesis 3: Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap PAD di Kabupaten Madiun.

Variabel Pengeluaran Pemerintah mempunyai koefisien regresi sebesar 0,406. Koefisien yang bertanda positip berarti peningkatan Pengeluaran Pemerintah akan dapat meningkatkan penerimaan PAD, artinya peningkatan Pengeluaran Pemerintah sebanyak 10 persen akan meningkatkan penerimaan PAD sebesar 4 persen.

Variabel Pengeluaran Pemerintah mempunyai nilai t-hitung sebesar 3,294 lebih besar dari t-tabel sebesar 2,110, maka dapat disimpulkan bahwa Pengeluaran Pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso dan Rahayu (2005)


(2)

yang membuktikan bahwa secara statistik variabel Pengeluaran Pemerintah secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD.

Pengeluaran pemerintah seperti yang tertuang dalam belanja APBD merupakan bagian penting dari kebijakan publik. Sebagai bagian dari kebijakan publik, maka sudah semestinya jika pengeluaran pemerintah digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan publik yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat. Apabila kesejahteraan masyarakat meningkat yang ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita maka kesediaan masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi juga akan meningkat yang pada akhirnya akan meneingkatkan penerimaan PAD.

Dalam rangka mencapai kesejahtera masyarakat tersebut maka pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai berbagai jenis kegiatan, yaitu:

1) Pengeluaran untuk investasi yaitu pengeluaran yang ditujukan untuk

menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa datang. Misalnya, pengeluaran untuk pembangunan jalan, jembatan, saluran irigasi, peningkatan kapasitas SDM, dan lain-lain.

2) Pengeluaran untuk penciptaan lapangan kerja yaitu pengeluaran untuk

menciptakan lapangan kerja, serta memicu peningkatan kegiatan

perekonomian masyarakat.

3) Pengeluaran untuk kesejahteraan rakyat, yaitu pengeluaran yang mempunyai


(3)

commit to user

pembangunan tempat rekreasi, subsidi, bantuan langsung tunai, bantuan korban bencana, dan lain-lain.

4) Pengeluaran untuk penghematan masa depan, yaitu pengeluaran yang tidak

memberikan manfaat langsung bagi negara, namun bila dikeluarkan saat ini akan mengurangi pengeluaran pemerintah yang lebih besar di masa yang akan datang. Misalnya pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan masyarakat, pengeluaran untuk anak-anak yatim, dan lain-lain.

Hipotesis 4: Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah berpengaruh signifikan secara statistik terhadap PAD di Kabupaten Madiun.

Hasil regresi, diperoleh F hitung sebesar 170,517 lebih besar dari F tabel

atau F 0,05 (3,16) sebesar 3,239 yaitu nilai F dengan tingkat signifikan 95% (α =

5%) untuk derajat kebebasan (df) = 3 dan 16. Dengan demikian hipotesis nol dapat ditolak yang berarti secara bersama-sama variabel Jumlah Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah mempengaruhi variabel PAD. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso dan Rahayu (2005) yang membuktikan bahwa secara statistik variabel Jumlah Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap PAD.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil analisis data dan pengujian hipotesis menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

1) Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Madiun dipengaruhi oleh Jumlah Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah. Hal ini telah dibuktikan melalui uji F dan Uji t yang menolak hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif, yang berarti baik secara bersama-sama maupun individual ketiga variabel bebas tersebut mempunyai pengaruh signifikan secara statistik. Nilai koefisien determinasi yang tinggi mendukung hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini.

2) Variabel Jumlah Penduduk di Kabupaten Madiun berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD. Itu berarti dengan semakin banyaknya jumlah penduduk maka jumlah PAD akan meningkat. Hal ini tercapai jika penambahan penduduk diikuti dengan peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan dan pelatihan ketrampilan kerja sehingga produktivitas meningkat. Peningkatan produktivitas akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

3) Variabel PDRB di Kabupaten Madiun mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PAD. Itu berarti semakin banyak jumlah PDRB maka


(5)

commit to user

indikator tingkat pertumbuhan ekonomi, juga indikator pertumbuhan pendapatan per kapita dan tingkat kemakmuran.

4) Variabel Pengeluaran Pemerintah di Kabupaten Madiun mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PAD. Artinya dengan semakin banyaknya pengeluaran pemerintah, maka jumlah PAD akan semakin meningkat. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini digunakan untuk kegiatan investasi pembangunan sarana & prasarana kepentingan publik, pengeluaran untuk penciptaan lapangan kerja, pengeluaran untuk kesejahteraan rakyat dan pengeluaran untuk kesehatan, dan pendidikan masyarakat.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, maka perlu diambil tindak lanjut dari berbagai pihak terkait masalah PAD di Kabupaten Madiun yaitu.

1) Pemerintah Kabupaten Madiun

Pengeluaran pemerintah diutamakan untuk kepentingan publik, utamanya dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana misalnya jalan, jembatan dan pasar dan investasi peningkatan SDM dalam bentuk pendidikan dan pelatihan ketrampilan tenaga kerja, sehingga kegiatan pembangunan dapat dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.

2) Dunia usaha

Meningkatnya sarana dan prasarana yang dibangun oleh Pemda (misalnya jalan, jembatan dan pasar) harus dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha dalam


(6)

kegiatan ekonomi dengan meningkatkaan produksi barang dan jasa. Peningkatan jumlah produksi barang dan jasa ini akan meningkatkan PDRB.

3) Masyarakat

Pertumbuhan penduduk harus diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM akan dapat meningkatkan pendapatan per kapita.

4) Penelitian selanjutnya

Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melakukan pendalaman dengan model lain yang bisa menjelaskan pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB dan Pengeluaran Pemerintah terhadap PAD.


Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI PROVINSI YOGYAKARTA TAHUN 2010-2015 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Di Provinsi Yogyakarta Tahun 2010-2015.

1 5 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN SRAGEN Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sragen Tahun 1991-2013.

0 2 15

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN SRAGEN Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sragen Tahun 1991-2013.

0 0 13

PENDAHULUAN Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Sragen Tahun 1991-2013.

0 2 14

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Pati Tahun 1993 - 2013.

0 2 14

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 1991 2008

1 21 101

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KOTA Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kota Surakarta Tahun 1991-2012.

0 1 12

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KOTA Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Di Kota Surakarta Tahun 1991-2012.

0 1 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI MALUKU TAHUN 1990–2010 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Provinsi Maluku Tahun 1990–2010.

0 0 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA MADIUN TAHUN 2000-2014 TESIS

0 0 16