Intimidasi, terror serta penganiayaan fisik

Ancaman terhadap saksi dengan pola ini biasanya cukup berhasil untuk membungkam atau membuat laporan saksi atas tindak pidana menjadi mentah dan para saksi menjadi bungkam. Penting untuk diperhatikan harus diberi catatan khusus bahwa Kepolisian dan juga Kejaksaan justru digunakan sebagai alat untuk membungkam para pelapor atau saksi yang justru ingin membantu Polisi sebagai penyelidik dan Kejaksaan sebagai Penuntut untuk mengungkap berbagai kejahatan. Pihak Kepolisiandan Kejaksaan sendiri dalam beberapa kasus seakan- akan tidak peduli dan tutup mata.

2. Intimidasi, terror serta penganiayaan fisik

Intimidasi dan teror adalah hal yang dominan terjadi pada saksi, baik itu saksi korban maupun saksipelapor. Tujuannya sangat jelas, yaitu mengharapkan saksi tidak mengungkap fakta-fakta yang diketahui saksi. Bentuk intimidasi dan teror ini lebih pada serangan psikologis saksi, sehingga ketakutan ketakutan terhadap intimidasi dan teror ini menghantui saksi dalam memberikan keterangan. Tidak jarang pula, akibat intimidasi dan teror, saksi urung mengungkapkan fakta bahkan mencabut laporan yang ia berikan. Intimidasi dan teror ini bisa dilakukan langsung oleh tersangka atau melalui orang suruhannya. Biasanya melalui telepon, bahkan menggedor-gedor pintu rumah seperti yang terjadi pada kasus Dukuh Salam. Parahnya lagi, intimidasi dan teror dapat pula terjadi di depan persidangan, seperti pada Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur. Kehadiran aparat militer yang dimobilisasi dan memenuhi ruang sidang mengakibatkan saksi tidak merasa bebas menguraikan fakta-fakta yang diketahuinya. Keselamatan saksi merasa terancam. Universitas Sumatera Utara Dalam persidangan itu, terkadang intimidasi juga dilakukan oleh Penasehat Hukum melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Intimidasi juga bisa dilakukan dalam bentuk pemecatan atau PHK sepihak. Kasus-kasus seperti ini sering terjadi jika ada hubungan kerja antara pelaku dengan saksi atau pelapor yang kebetulan memilki hubungan atasan bawahan. Kasus para Bupati dari Temanggung dan kasus karyawati KR bias menjadi contoh yang relevan bagaimana perjuangan saksi dan pelapor untuk mengungkap tindak pidana yang dilakukan oleh atasan mereka. Berikut ini terdapat beberapa kasus saksipelapor kasus korupsi yang akhirnya mendapat intimidasi, kekerasan dan terancamnya pekerjaannya yaitu: Tabel 5 Daftar SaksiPelapor Kasus Korupsi yang Mendapatkan Intimidasi, Teror, serta Penganiyaan Fisik No. NAMA PERKARA TAHUN KETERANGAN 1. Ahmad Dedi Albidin Dugaan Korupsi pemotongan dana Instruksi Gubernur oleh Bupati Sumedang senilai Rp. 3,4 miliar 2003 Sejak laporan dugaan korupsi diperiksa dan diadili oleh pengadilan, hidupnya justru terkatung- katung. Gajinya sebagai PNS beberapa bulan tidak diberikan dan pendidikan anaknya nyaris putus perkara korupsi masih dalam proses banding 2. LPS- HAM Dugaan korupsi DPRD Palu November 2004 Kantor LPS-HAM yang terletak di jantung kota Palu sempat dikepung oleh ratusan orang tak dikenal. Intimidasi ini terkait dengan demonstrasi terhadap Kejati Sulteng untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD di beberapa kabupaten Sulteng Universitas Sumatera Utara 3. Hidayat Monoorfa Dugaan korupsi DPRD Banggai 26 Desember 2004 Dipukul benda keras dibagian kepala oleh orang yang tidak dikenal hingga pingsan. Ini terjadi karena Hidayat Monoorfa melakukan kesaksian tertulis atas kasus korupsi DPRD Banggai yang dibacakan pada persidangan 27 Desember 2004. Sebagian anggota DPRD Banggai telah divonis bersalah oleh PN Luwuk sedangkan beberapa anggota DPRD masih dalam tahap penyidikan Kejaksaan Negeri Luwuk 4. Lendo Novo, Staf Ahli Menteri BUMN Dugaan korupsi dalam kementrian BUMN 7 April 2005 Saat Lendo membawa berkas-berkas kasus korupsi yang diungkap di kementriannya, sekitar 10 orang yang tidak dikenal menganiayanya di kawasan jalan Jenderal Sudirman, Jakarta dan data-data yang dibawanya dirampas Sumber : Dokumentasi Indonesia Corruption Watch ICW dari berbagai sumber UU PSK menyatakan bahwa perlindungan yang diberikan kepada Saksi danatau Korban dalam tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu haruslah sesuai dengan keputusan LPSK. Kasus-kasus tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotikapsikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK akan melakukan perlindungan terhadap saksi dari seluruh tindak pidana yang ada dan tidak terbatas pada tindak pidana tertentu. Universitas Sumatera Utara Sudah ditegaskan dalam UU PSK bahwa saksi yang dilindungi oleh LPSK adalah saksi-saksi dalam kasus tindak pidana. Walaupun tidak dinyatakan secara tegas dinyatakan saksi dalam posisi siapakah yang dilindungi, namun dalam kelaziman program perlindungan saksi diberbagai negara saksi yang dilindungi adalah saksi yang memberikan keterangan membantu Jaksa Penuntut, dan bukanlah saksi dari pihak terdakwa. Tidak semua kualifikasi saksi mendapat perlindungan dari LPSK. Beberapa kriteria saksi yang mendapatkan perlindungan dari LPSK adalah sebagai berikut: 1. Saksi yang berstatus Pelaku Dalam konteks seorang saksi yang berstatus tersangka dalam perkara tindak pidana, UU PSK hanya rnernberikan aturan yakni: 63 63 Pasal 10 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006. “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan rneyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertirnbangan hakirn dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan” Aturan dari UU ini hanya memberikan hak atau reward bagi saksi yang berstatus tersangka berupa keringanan hukuman pidana, jika kasusnya diteruskan dalarn pengadilan. Namun perlindungan yang ada dalarn UU rnasih tetap diberikan kepada saksi yang berstatus pelaku sama seperti saksi lainnya sesuai dengan keputusan LPSK. UU PSK hanya rnernberikan reward hanya bagi saksi yang berstatus tersangka pelaku dalarn kasus yang sama. Apa maksud kasus yang sama ini adalah apabila saksi pelaku atau berstatus tersangka mernberikan kesaksian terhadap tersangka lainnya hanya dalam Universitas Sumatera Utara perkara dimana ia terlibat di dalamnya. Jika saksi tidak masuk dalarn kategori tersangka kasus yang sama maka saksi tersebut tidak akan dikurangi hukumannya, namun hanya masuk kategori yang dilindungi sesuai dengan keputusan LPSK. Oleh karena itu rnaka aturan dari UU PSK terhadap saksi yang berstatus tersangka ini mernang masih terbatas. Dalarn kaitannya rnengenai reward bagi saksi pelaku ini rnaka penting LPSK untuk rnembuat kategori reward yang akan diberikan kepada saksi pelaku ini berdasarkan jasa yang telah diberikannya dalarn pengusutan tindak pidana. Jika LPSK atau aparat penegak hukum lainnya tidak memiliki rnekanisrne reward, disamping LPSK akan kesulitan dalarn mempraktikanya juga rnaka tidak akan ada saksi pelaku yang akan rnernbantu proses penuntutan kasus-kasus lainnya. 2. Saksi Pelapor atau Whistleblower pengungkap fakta Hal yang penting pula dikemukakan terkait dengan kategori saksi adalah saksi yang statusnya sebagai pelapor atau whistleblower. Walaupun saksi pelapor dalam UU PSK tidak didefinisikan secara lebih cermat, namun dalam pasal 10 ayat 1 telah dinyatakan bahwa pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Dalam pasal 1 angka 1 UU PSK juga telah dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, danatau ia alami sendiri. Ketentuan ketentuan ini yang menegaskan bahwa pelapor juga masuk dalam skema perlindungan dalam UU ini. Universitas Sumatera Utara Terminologi pelapor sendiri sebenarnya sudah diterima secara umum yaitu orang yang memberikan informasi kepada aparat penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai peraturan yang ada seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan untuk terminologi “whistleblower” dalam konteks hukum Indonesia sudah diakui dan diterima secara legal formal yaitu dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama justice collaborators. Dalam Pasal 8 mendefinisikan whistleblower sebagai seseorang yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu yang bukan pelaku tindak pidana itu. 3. Saksi Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborator Dasar hukum perlindungan terhadap saksi yang berstatus sebagai pelaku atau Justice Collaborator terdapat dalam Pasal 10 ayat 2 UU No. 13 Tahun 2006 yang berbunyi “seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Jenis saksi ini juga bias disebut sebagai saksi mahkota, saksi kolaborator, dan kolaborator hukum. Ia memang tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah, tetapi keterangannya dapat dijadikan pertimbangan Universitas Sumatera Utara hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Saksi kasus ini biasanya merupakan kasus-kasus organized crime atau white colar crime. 64 Sadar dengan ketentuan yang yang mengatur tentang Justice Collaborator belum memberikan penjelasan yang rinci mengenai saksi pelaku yang bekerjasama, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana Whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama Justice Collaborators di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA No. 4 Tahun 2011 angka 9 menyatakan bahwa Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama Justice Collaborator adalah sebagai berikut: a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan; b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik danatau penuntut umum dapat mengungkapkan tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar danatau mengembalikan asset-asethasil suatu tindak pidana. c. Atas bantuannya tersebut maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana yang dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana 64 Di banyak negara, organized crime atau white colar crime, sulit mengetahui pelaku utama kejahatannya. Dalam kebanyakan kasus, sebagaimana disampaikan Benjamin B. Wager, Jaksa Agung Distrik Timur California, AS, mereka yang mengetahui kejahatan tersebut juga terlibat di dalamnya, dan cenderung mendapatkan keuntungan dari kejahatan tersebut sehingga kecil kemungkinan melaporkannya kepada aparat yang berwenang. Kebanyakan pelaku kejahatan juga menggunakan hubungan antara beberapa pelaku kunci, dan sifat dasar hubungan seperti ini hanya dapat dibuktikan melalui pertolongan pelaku yang terlibat dalam hubungan tersebut. Lihat: Benjamin B. Wager, Pemberian Kekebalan dan Penandatanganan Kesepakatan Kerjasama: Perangkat Penting Dalam Menghadapi Korupsi di Amerika Serikat, Makalah Diskusi, tidak dipublikasikan, 2006. Universitas Sumatera Utara yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut: i. Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan atau ii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat; d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal- hal sebagai berikut: i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Mengenai syarat dalam pemberian perlindungan telah dibahas pada bahasan tentang perlindungan saksi dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yaitu terdapat pada pasal 28 UU No.13 Tahun 2006. Akan tetapi selain terdapat dalam Pasal 28 UU No. 13 Tahun 2006, LPSK juga mengeluarkan peraturan internal yang mengatur tentang tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi danatau korban yaitu Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 4 Peraturan LPSK No. 6 Tahun 2010 menyatakan: 1. Saksi danatau korban untuk memperoleh perlindungan wajib mengajukan permohonantertulis kepada Ketua LPSK. 2. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diberi materai yang cukup. 3. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diajukan oleh: Universitas Sumatera Utara a Pemohon yang datang sendiri atau melalui keluarganya; b Melalui pejabat yang berwenang, antara lain: 1 aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan; 2 instansi yang diberikan kewenangan dalam Undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi danatau korban; dan 3 lembaga atau komisi, yang mempunyai kewenangan untuk melindungi saksi danatau korban; c Melalui kuasa hukumnya dengan menunjukkan surat kuasa dari pemohon; danatau korban; d Melalui surat danatau dokumen elektronik. 4. Ketentuan mengenai tata cara penerimaan permohonan perlindungan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan LPSK. Pasal 5 Peraturan LPSK No. 6 Tahun 2010 menyatakan: 1 Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat ditindak lanjuti oleh UP2 LPSK untuk meneliti atas kelengkapan persyaratan permohonan perlindungan. 2 Penelitian atas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi : a. Formil; dan b. Materil. Pasal 6 Peraturan LPSK No. 6 Tahun 2010 menyatakan: 1 Persyaratan materil sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a berisikan antara lain: a. nama lengkap, nama alias, nama panggilan; b. tempattanggal lahir; c. jenis Kelamin; d. alamat KTP danatau alamat tempat tinggal terakhir kediamandomisili; e. nomor KTP atau identitas diri lainnya; f. agama; Universitas Sumatera Utara g. status perkawinan; h. pekerjaan; i. tempat bekerja; j. pendidikan; dan k. Jumlah dan nama Anggota keluarga. 2 Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemohon wajib mengisi formulir penerimaan permohonan pada UP2 LPSK. 3 Penelitian persyaratan formil sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat meneliti persyaratan tambahan data identitas lainnya meliputi : a. Kartu keluarga pelapor; b. Surat nikah pelapor; c. Akte kelahiran pelapor; d. Dokumen financial perbankan; dan e. Dokumen asuransi jika ada; Dan Pasal 7 : 1 Persyaratan materi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 2 hurub b berisikan antara lain: a. kronologisuraian singkat mengenai peristiwa yang dialami sendiri atas ancaman yang berkaitan dengan perkara yang di hadapi; b. dokumen otentik kedudukan pemohon sebagai saksi danatau korban; c. dokumen otentik sebagaimana dimaksud pada huruf b, untuk menunjukkan bahwa pemohon merupakan saksi danatau korban tindak pidana atau korban pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM berat; d. dokumen lain yang berkaitan dengan permohonan yang diajukan sesuai petunjuk dari UP2 LPSK; dan e. apabila memungkinkan, dapat menyebut identitas dari seorang yang diduga pelaku pengancam; 2 selain persyaratan materil sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat mengumpulkan data informasi yang berkaitan dengan perkaranya antara lain: Universitas Sumatera Utara a. Hasil Berita Acara Pemeriksaan BAP; b. Sifat pentingnya kesaksian dalam perkara; c. Surat panggilan kepolisian atau Kejaksaan atau Pengadilan; d. Surat laporan atau informasi kepada pejabat terkait : kepolisian, Komisi Negara, pemerintah, pemerintah Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor; e. Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya; Untuk pemberian perlindungan kepada saksi harus melalui mekanisme yang ada sesuai yang diatur dalam UU PSK. Mekanisme pemberian perlindungan itu sendiri telah ditetapkan dalam Pasal 29 UU PSK yang menyatakan bahwa Saksi danatau Korban baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK, kemudian LPSK akan meneliti laporan dari permohonan yang dilakukan saksi itu yang selanjutnya jika memenuhi syarat permohonan baik syarat formil maupun materil maka tugas selanjutnya dari LPSK adalah membuat Nota Kesepahaman dengan saksi yang akan dilindungi iu. Perjanjian perlindungan oleh LPSK kepada saksi diberikan dengan mempertimbangkan syarat-syarat sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28 UU PSK. Setelah kedua belah pihak sepakat dimana LPSK akan melakukan perlindungan kepada saksi sesuai dengan kesepakatan yang terdapat dalam Nota Kesepahaman. Saksi akan diberikan tindakan perlindungan dan pengamanan sebagai bentuk pelaksanaan tugas dan tanggung jawab LPSK sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006. Universitas Sumatera Utara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai lembaga yang mandiri berdasarkan Pasal 11 ayat 1, LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada Saksi danatau Korban sebagaimana diatur dalam UU PSK. Dalam kaitannya dengan perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi, LPSK memberikan perlindungan sepenuhnya kepada setiap saksi yang mengetahui tindak pidana korupsi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat akut dan jamak dijumpai tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia tetapi juga telah merambah ke berbagai daerah di pelosok negeri. Korupsi menimbulkan kesengsaraan masyarakat karena uang hasil kejahatan ini yang seharusnya dugunakan untuk kesejahteraan masyarakat digunakan oleh pelaku untuk kepentingan dirinya sendiri. Sulit untuk mengungkap kejahatan korupsi karena kejahatan ini sudah terorganisasi dan tersusun rapi, sehingga tidak jarang sekarang ini banyak dijumpai istilah “korupsi berjamaah” sebab yang melakukan korupsi bukan hanya satu orang saja tetapi sudah melibatkan banyak orang sehingga sulit untuk mendapat pelaku utama dari kejahatan ini. Keberadaan LPSK dapat dipandang sebagai angin segar dalam struktur hukum di Indonesia karena LPSK hadir untuk menunjang agenda Negara untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang sudah menjadi penyakit bangsa ini selama bertahun-tahun. LPSK juga menjadi harapan terhadap penegakan hak asasi manusia khususnya terkait perlindungan terhadap saksi Universitas Sumatera Utara dimana sering terjadi perlakuan yang tidak pantas terhadap saksi ketika ingin memberikan kesaksian tentang kejahatan korupsi. Bagaimanapun juga LPSK tidak dapat berjalan sendiri dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Di butuhkan dukungan dan partisipasi dari masyarakat karena pengaduan dari mereka yang mengetahui tindak pidana korupsi sangat dibutuhkan oleh LPSK. Kehadiran LPSK juga dapat memperkuat institusi penegak hukum lain terutama Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam memberantas korupsi. Kesemuanya ini dibutuhkan agar terwujudnya visi dari LPSK yaitu “Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana”. Universitas Sumatera Utara 124 BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN FUNGSI LEMBAGA PELINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan