Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak

BAB II PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan. Hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184-185 KUHAP yang menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan. Mengingat kedudukan saksi sangat penting dalam proses peradilan, tidak hanya dalam proses peradilan pidana, namun juga proses peradilan yang lainnya, dan tidak adanya pengaturan mengenai hal ini, maka dibutuhkan suatu perangkat hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi. Pengalaman empirik di Indonesia menjelaskan bahwa masalah perlindungan saksi dan korban menjadi masalah yang sangat krusial. Persoalan yang utama adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai, terutama jaminan atas hak-hak tertentu ataupun Universitas Sumatera Utara mekanisme tertentu untuk bersaksi. 40 Selain itu, hak-hak korban atas perkara- perkara tertentu juga tidak diberikan. 41 Kasus korupsi di Indonesia bukanlah praktik baru yang terjadi di negeri ini. Secara historis korupsi sudah mulai terjadi sejak masa-masa berkuasanya kerajaan yang ada di Indonesia. Faktor penyebab korupsi secara umumnya adalah feodalisme dan materialism. Feodalisme adalah sistem kekuasaan yang didasarkan atas status. Akan tetapi, status bukan jaminan sebuah kekuasaan dan kekayaan. Hal tersebut sangat berbeda dengan golongan borjuis di Eropa yang memang mereka terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki modal besar. Kaum Feodal membutuhkan dukungan besar agar kekuasaan bias bertahan survive. Di Indonesia, masih menganut pola-pola demikian, ini terbukti pada masa kepemimpinan Soeharto. Pada masa itu, korupsi sangat merajalela baik di pusat maupun ke pelosok daerah sekalipun di tanah air. Secara terminologi, Ketidakmauan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan tidak hanya terjadi di dalam kasus HAM, tetapi juga terjadi di dalam kasus-kasus seperti kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga KDRT, terorisme, korupsi, pencucian uang dan anak. Khusus kasus korupsi, penulis akan membahas pada bagian ini yang menyangkut tentang perlindungan saksi dalam tindak pidana yang menyangkut korupsi. 40 Lihat proses persidangan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur, dimana banyak saksi dari Tim-Tim yang akhirnya memilih untuk tidak mau datang ke Indonesia untuk menjadi saksi karena ada pengalaman dari beberapa saksi sebelumnya yang mengalami intimidasi psikologis selama proses pemberian kesaksian. 41 Lihat juga beberapa putusan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dimana tidak ada satupun putusan yang menyebutkan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi meskipun sudah terbukti ada pelanggaran dan terdakwa dinyatakan bersalah. Universitas Sumatera Utara korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 42 Perkara tindak pidana korupsi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah perlindungan saksi. Hal ini dikarenakan keberhasilan pengungkapan suatu kasus korupsi sangat tergantung dari keterangan yang diberikan oleh saksi di dalam persidangan. Namun, banyak kasus korupsi yang tidak dapat diungkap karena tidak adanya saksi yang berani mengungkapkan kasus tersebut. Ada suatu ketakutan bahwa dirinya bisa saja berubah status dari saksi menjadi tersangka dengan dakwaan pencemaran nama baik. UU Nomor 31 Tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi tindak pidana korupsi. Beberapa pasal dalam UU ini kemudian dirubah dengan dikeluarkannya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, ternyata UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak merubah sedikitpun pasal-pasal yang berkenaan dengan perlindungan bagi saksi. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap saksi dan hak-hak saksi di dalam mengungkap kasus korupsi sangat sedikit dijelaskan dalam UU ini. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjamin perlindungan kepada pihak-pihak pelapor, dalam hal ini orang-orang yang memberikan informasi dan keterangan tentang terjadinya tindak pidana korupsi, berupa larangan bagi para saksi menyebut 42 Lamintang, PAF., Delik-delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Pionir Jaya, 1999, hal. 121. Universitas Sumatera Utara identitas pelapor. Masalahnya tidak ada ketentuan eksplisit dalam undang-undang ini yang memberikan rumusan seperti apa bentuk dan bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada saksi pelapor. Perlindungan saksi bersanding dengan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana. 43 Menurut penjelasan otentik Pasal 31 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi baik dalam tahap dugaan, sedang terjadi maupun telah terjadi. Pentingnya peranan saksi di dalam menguak kasus tindak pidana korupsi diakui langsung oleh undang-undang ini, sehingga dalam Pasal 31 yang menyebutkan; 1 Dalam penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. 2 Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut. 43 http:www.cic-fcgi.orgPedoman-GCG-o6o96 ,diakses pada hari Selasa 6 Maret 2012 pukul 08.00 WIB. Universitas Sumatera Utara Pelapor dibutuhkan kesaksiannya mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada pemeriksaan sidang pengadilan. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya orang yang memberikan informasilaporan tentang adanya tindak pidana korupsi disebut dengan pelapor, pada tingkat pengadilan orang yang memberikan informasiketerangan disebut sebagai saksi pelapor, sebagaimana di dalam Pasal 41 ayat 2 e.2. “….diminta hadir dalam proses penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli….” Begitu juga perlindungan terhadap saksi sedikit disinggung dalam Pasal 41 ayat 2 huruf e yang menjelaskan masyarakat yang berperan serta di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat perlindungan hukum. Pada tingkat penyidikan pelapor yang memberikan laporan kepada pihak yang berwenang harus menandatangani berita acara pemeriksaan saksi, hal ini yang memungkinkan pelapor takut memberikan laporan sebab pembuktian tindak pidana korupsi sangatlah sulit, sehingga apabila tidak terbukti, pelapor dapat dituduh mencemarkan nama baik atau bahkan dituntut balik sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu bahwa pelapor takut identitasnya diketahui oleh umum, unuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti teror, ancaman terhadap keluarga, intimidasi sehingga pelapor jarang menyebutkan identitas secara langsung, yang banyak dijumpai oleh penyidik adalah denga adanya pemberian laporan yang berupa surat kaleng yang tanpa identitas pengirim. Kasus menyangkut pelaku adalah pejabat public white collar crimes maupun tindak pidana yang sulit pembuktiannya seperti tindak pidana suap, Universitas Sumatera Utara sungguh-sungguh membutuhkan perhatian lebih bagi aparatur penegak hukum agar si pelaku dijerat dan dihukum dengan tindak pidana yang didakwakan. Perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi ini memiliki akibat hukum yang tidak kecil karena sejak diberlakukannya Undang- Undang RI No. 31 Tahun 1999, perbuatan suap dalam KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum melainkan diartikan sebagai tindak pidana khusus. Dengan demikian di dalam UU No. 31 Tahun 1999 perbuatan suap aktif maupun pasif adalah merupakan tindak pidana korupsi. Bahkan perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak pidana korupsi atau dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingga suap dan korupsi merupakan kembar. Kedua jenis perbuatan ini sudah tentu bermuara kepada kerugian negara baik material maupun immaterial krisis kepercayaan. Apabila kita memiliki persepsi yang sama dalam memandang perbuatan suap sebagai suatu mata rantai dari perbuatan korupsi dan tidak merupakan perbuatan yang berdiri sendiri pandangan lama yang dianut KUHP maka perbuatan suap pada abad ini sudah mengalami perubahan makna dan implikasi hukumnya yang berbeda secara mendasar dengan perbuatan suap pada awal kelahirannya abad ke-18. Perubahan makna dan implikasi perbuatan suap sebagai mata rantai dari korupsi menyebabkan pemberian sanksi terhadap pemberi dan penerima suap tidak lagi Universitas Sumatera Utara seharusnya ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas yaitu bagaimana memenangkan perang terhadap korupsi saat ini. 44 Tindak pidana suap sebagai pintu gerbang dilakukannya tindak pidana korupsi karena dengan penyuapan itu timbul penyalahgunaan kewenangan. Sering terdapat dimasyarakat bahwa penyuapan dengan istilah uang semir, uang pelicin, uang kopi, uang administrasi, uang terima kasih adalah suatu keadaan yang lumrah dilakukan apalagi berurusan dengan birokrasi pemerintah. Pengaruh birokrasi pemerintah dipandang salah satu pendorong penyebab terjadinya tindak pidana suap. 45 Perlindungan hukum berupa untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut pidana para saski, pelapor, saksi pengungkap faktawhistlebower yang melaporkan pejabat yang menerima suap bahwa telah terjadinya penyalahgunaan kewenanangan bahkan pemberi suap melakukan serangan balik yakni dengan melaporkan atau mengadukan si pelapor kepada pihak yang berwenang dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Sistem beban pembuktian terbalik yang dianut dalam undang-undang tindak pidana korupsi, mewajibkan tersangka Pelaku tindak pidana suap sulit dijerat karena perbuatan tersebut hanya diketahui oleh penyuap dan penerima suap dan pelakunya cukup lihai dan rapi dalam melakukan modus operandinya. 44 http:m.antikorupsi.org?q-node4812 , Diakses pada hari Kamis 8 Maret 2012 pukul 12.24 WIB. 45 M. Hamdan, Tindak Pidana Suap Money Politics, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 9. Universitas Sumatera Utara atau terdakwa terlapor untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 46 Secara khusus, UU Nomor 30 Tahun 2002 mengatur mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut KPK. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Salah satu kewajiban dari KPK adalah memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. 47 Rehabilitasi dan kompensasi cukup mendapat perhatian dalam UU ini. Namun, rehabilitasi dan kompensasi yang dimaksud dalam UU ini berbeda dari UU lainnya yang juga mengatur mengenai masalah tersebut. Dalam UU ini, rehabilitasi dan kompensasi hanya dapat diajukan oleh orang yang telah dirugikan oleh adanya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang- Undang ini atau dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian, pengaturan yang berkenaan dengan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor dalam UU ini hanya terbatas pada 1 satu pasal, yaitu perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Hak-hak 46 Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung : PT Grafitri, 2006, hal. 38. 47 Pasal 15 huruf a UU No. 13 Tahun 2002. Universitas Sumatera Utara saksi, kewajiban serta mekanisme dari perlindungan yang dimaksud tidak dijelaskan dalam undang-undang ini.

B. Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006