BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum rechstaat. Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Dasar 1945. Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan
semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum equality before the law. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menegaskan:“Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”Prinsip
demikian idealnya bukan hanya sekedar tertuang di dalam UUD 1945 dan perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan terutama adalah dalam
pelaksanaan atau implementasinya. Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip tersebut. Misalnya penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa perkara, pemerasan, pungutan
liar dan sebagainya. Kemudian dari pihak korban juga merasakan diabaikan hak- haknya, antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui
perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak
Universitas Sumatera Utara
terpenuhi hak-hak yang lain.
1
Sistem peradilan pidana mempunyai suatu proses dalam mengungkap suatu tindak pidana. Prosesnya yang dimulai dari tahap penyelidikan sampai
dengan pembuktian di persidangan memperlihatkan bahwa keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan dan tidak jarang menjadi faktor penentu dari
keberhasilan mengungkap suatu tindak pidana. Selain tersangka dan korban yang sering diabaikan
hak-haknya satu lagi yang berperan penting dalam mengungkap kebenaran suatu tindak pidana adalah saksi.
Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan
pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berasal dari informasi
masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi
acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum
dan keadilan.
2
1
Bambang Waluyo, S.H., M.H., Viktimologi Perlindungan Korban Saksi, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hal 1-2.
2
Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan Pidana Yang Jujur Dan Adil”,
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana akan sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam persidangan, salah satunya adalah
keterangan saksi. Saat ini tidak sedikit kasus yang kandas ditengah jalan karena ketiadaan saksi untuk membantu tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap
suatu tindak pidana. Keberadaan saksi jelas merupakan elemen yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana, namun perhatian terhadap peran
saksi sampai saat ini masih jauh dari perhatian masyarakat dan aparat penegak hukum. Keengganan dari saksi dalam memberikan keterangan dan informasi telah
membuat pemberitaan-pemberitaan di media tentang suatu tindak pidana menguap begitu saja jauh dari penyelesaian.
Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau
mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena
tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani
mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang
http:www.antikorupsi.orgmod=temaop=viewarticleartid=53 . Diakses pada hari kamis 24
Februari 2012 pukul 13.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami intimidasi ataupun tuntutan hukum
atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Tidak sedikit pula saksi yang akhirnya menjadi tersangka dan bahkan terpidana karena dianggap mencemarkan
nama baik pihak-pihak yang dilaporkan yang telah diduga melakukan suatu tindak pidana.
3
Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu saksi perlu merasa aman dan bebas
saat diperiksa dimuka persidangan. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya walau mungkin keterangannya itu memberatkan si
terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa
kehadiran terdakwa. Alasannya jelas untuk mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa
tanpa rasa takut, khawatir, ataupun tertekan.
4
Saksi harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi,
atau kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya
3
http:www.sinarharapan.co.idberita050627nas07.html ,Perlindungan Saksi dan
Korban, catatan atas Pelanggaran HAM Berat Timor-Timur, ditulis oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zaenal Abidin, diakses pada hari sabtu tanggal 25 Februari 2012,
pukul 08.15 WIB.
4
Tempo Interaktif, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Peradilan HAM, diakses pada hari sabtu 25 Februari 2012 pukul 09.35 WIB.
Universitas Sumatera Utara
atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma
hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak
dapat dibawa ke muka persidangan ataupun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti kejahatan korupsi atau kejahatan
narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak
ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk
melakukan proses peradilan yang bersih, jujur, dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam
kasus tersebut. Dengan demikian, maka jelas bahwa ketersediaan mekanisme perlindungan saksi dan korban amat penting untuk menjamin diperolehnya
kebenaran materil sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait.
5
Banyaknya kasus-kasus kejahatan yang terorganisir dan juga white colar crime dimana korupsi merupakan salah satu bagian dari kejahatan tersebut
membuat keberadaan saksi semakin diperlukan untuk menjerat para pelaku kedalam penjara. Korupsi sebagai suatu bentuk perbuatan pidana memberikan
suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan negara khususnya dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemberantasan
5
Ibid, Tempo Interaktif
Universitas Sumatera Utara
korupsi yang termasuk ke dalam kejahatan yang luar biasa extra ordinary crime, transnasional dan berdampak sistemik ini telah dilakukan dengan berbagai cara
salah satunya dengan membentuk peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seiring dengan berjalannya waktu para pelaku korupsi seolah tidak takut akan hukuman yang tertera dalam undang-
undang tersebut dan malah semakin banyak para pelaku yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sebagai salah satu institusi hukum dalam
penegakan tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik pusat maupun daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan tokoh masyarakat.
6
Penegakkan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak pidana korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang
bulu. Akan tetapi ada berbagai persoalan yang lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tidak mengulang dan
membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan.
7
6
Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Bandung : Mandar Maju hal 2.
Jadi upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai bentuk usaha harus terus
dijalankan khususnya dengan memberikan perlindungan kepada saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi. Tak jarang juga saksi yang
7
Ibid., hal 3.
Universitas Sumatera Utara
mengetahui suatu tindak pidana korupsi harus rela menjadi tersangka karena dilaporkan balik karena tuduhan mencemarkan nama baik.
Masih ingat kita suatu kisah tentang seorang yang bernama Endin Wahyudi yang melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh
beberapa orang Hakim pada 23 April 2001. H. Endin Wahyudi adalah saksi yang melaporkan kasus korupsi yang melibatkan seorang bekas Hakim Agung dan dua
Hakim Agung kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK. Endin mengaku bahwa pada bulan September dan Oktober 1998, ia
bersama temannya menyetorkan sejumlah uang operasional senilai Rp. 196 juta untuk memenangkan perkara perdata Nomor 560. KPDT1997 dalam perkara
yang diperiksa oleh hakim M. Yahya Harahap, Ny. Marnis Kahar dan Ny. Supraptini Sutarto. Surat pengakuan penyetoran uang itu tertuang dalam surat
berkop Ikatan Penyalur Surat Kabar dan Majalah Ipsukam yang dikirim Endin secara pribadi kepada ketiga Hakim Agung, Harahap waktu itu belum pensiun, di
kantor Mahkamah Agung MA, Jakarta pada tanggal 1 Mei 2000. Waktu itu Endin mewakili ahli waris Ny. Aminah, yang berperkara dalam perkara perdata
tersebut. Namun, laporan Endin kepada TGPTPK ini bocor sehingga ia diadukan oleh dua Hakim Agung tersebut Ny. Supraptini Sutarto dan Ny. Marnis Kahar
ke Kepolisian dengan tuduhan menista dan mencemarkan nama baik dan Endin pun diproses secara hukum. Surat Endin itu diterima oleh TGPTPK yang dipimpin
mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Adi pun menerbitkan Surat Nomor R-07TGPTPK072000 tertanggal 22 Agustus yang meminta Saksi dalam
Universitas Sumatera Utara
Ancaman, Tahun 2005.
8
Perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur terhadap perlindungan tersangka dan terdakwa untuk perlindungan dari berbagai
kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Padahal saksi merupakan salah satu alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana dimana keterangannya dapat
membuktikan terjadi atau tidaknya perbuatan pidana. Hal ini sejalan dengan Pasal 184 KUHP dimana alat-alat bukti adalah:
Sang Hakim bebas dari hukuman, sementara yang pelapor dihukum pengadilan karena terbuki melakukan tindak pidana yang dituduhkan.
Kasus ini memberikan kita suatu pandangan bahwa perlindungan terhadap saksi yang mengetahui adanya tindak pidana korupsi sangatlah lemah karena belum
didukung oleh perangkat hukum yang ada untuk melindungi keberadaan dan informasi yang dimilikinya.
a. keterangan saksi b. keterangan ahli
c. surat d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
9
8
Supriyadi Widodo Eddyono, Betty Yolanda dan Fajrimei A Gofar, Saksi dalam Ancaman , Jakarta 2005.
9
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal. 184.
Universitas Sumatera Utara
Tuntutan perlunya diberikan perlindungan kepada saksi yang memiliki informasi tentang suatu tindak pidana untuk terutama tindak pidana korupsi
membuat pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berhasil merancang suatu undang-undang yang mengakomodasi perlindungan terhadap
saksi. Berdasarkan asas kesamaan didepan hukum equality before the law yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus
diberi jaminan perlindungan hukum. Sampai akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006 diundangkanlah Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Lahirnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU PSK merupakan tonggak sejarah dimulainya upaya-upaya yang lebih serius terhadap perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Hukum Acara Pidana
sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia belum mengatur secara signifikan perlindungan saksi dan korban. Perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa masih lebih dominan. Padahal saksi maupun korban memegang peran penting dalam proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin dari
dimulainya proses penegekan hukum karena adanya permohonan dari saksi atau korban.
10
Selain Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perlindungan
saksi yang tersebar di dalam peraturan perundang-undangan yaitu di bidang tindak
10
Darmono, Komitmen Kejaksaan RI Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban Tindak Pidana, Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011, hal 118.
Universitas Sumatera Utara
pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur dalam Pasal 41 ayat 2 e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada juga Peraturan Pemerintah PP No.
2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat sebagai pelaksanaan dari UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian terdapat PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik,
Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai pelaksanaan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Kita juga memiliki PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang TPPU. PP No. 57 Tahun 2003 ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kapolri No. 17 Tahun
2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Kemudian diterbitkan lagi PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi
dan Korban. Salah satu amanat dari UU PSK adalah pembentukan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK. UU PSK menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri.
11
11
ibid., Pasal. 11 ayat 1.
Apa yang dimaksud mandiri dalam UU ini, lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen
biasanya disebut sebagai komisi independen, yakni organ negara state organs
Universitas Sumatera Utara
yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, namun memiliki fungsi campuran antar
ketiga cabang kekuasaan tersebut.
12
Apa yang dimaksud dengan independen? Dalam berbagai kepustakaan yang dimaksud dengan independen adalah: 1
berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi
yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden karena merupakan bagian dari
eksekutif
13
2 bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan atau apabila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas
memutuskan discretionary decesion pemberhentian pimpinan komisi.
14
3 Sifat independen juga tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya
seorang pimpinan 4 kepemimpinan tidak dikuasaimayoritas berasal dari partai politik tertentu dan 5 masa jabatan pimpinan komisi tidak habis secara
bersamaan, tetapi bergantian stargged terms.
15
12
Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, rekomen dasi
bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta 7 Maret 2007 yang dikutip dari Jimly Ashidik Struktur Kenegaraan Indonesia setelah perubahan
Keempat UUD 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Denpasar 14- 18 Juli2003.
13
Michael R. Asimow dalam Administratif Law, 2002. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executors v. United States.
14
William F. Fox Jr, Understanding Administratif Law, 2000, hal 56.
15
William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example and Explanation, 2001, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
Dengan hadirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap saksi agar berani
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum. Kewenangan
yang dimiliki oleh LPSK seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi harus sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal untuk
melindungi saksi yang mengetahui atau memiliki informasi tentang suatu tindak pidana terutama tindak pidana korupsi yang makin menjamur belakangan ini.
Diharapkan dengan adanya suatu lembaga yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat memberikan suatu sumbangsih bagi negeri ini yaitu
terciptanya kepastian hukum terhadap perlindungan saksi, sehingga perkara- perkara seperti perkara korupsi dan kejahatan lainnya dapat terungkap
dikarenakan saksi merasa aman untuk mengungkapkan kesaksiannya dimuka pengadilan.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas maka penulis merasa sangat tertarik bahkan merasa bahwa ini adalah merupakan kewajiban penulis untuk mengangkat
masalah mengenai perlindungan hukum terhadap saksi kedalam skripsi penulis
yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana
Korupsi”. B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimanakah peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi? 2.
Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan