Analisis Posisi Fiskal Daerah Sumatera Utara

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM S-1 EKSTENSION

ANALISIS POSISI FISKAL DAERAH SUMATERA UTARA

Diajukan oleh :

NAMA : CHRISTA TD. SIALLAGAN

NIM : 060523008

DEPARTEMEN : EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

ABSTRACT

Fiscal position is relation between the government’s revenue and expenditure. The revenue increased because there’s a change of taxes roles which decreased salaries’ tax so it will be increase consumption. For the region level, the revenue can measured by Gross Domestic Region Product (GDRP ).

The research is aimed at analyzing influence by Gross Domestic Region Product to North Sumatra Revenue and Expenditure Budgeting such as Total of North Sumatra Revenue, The Region Original Revenue and Total Region Expenditure before and after region autonomous in the periods of 1993-2007 using Ordinary Least Square (OLS).

Estimation result with series data using OLS show that Gross Domestic Region Product is positively and significantly affecting North Sumatra Revenue and Expenditure Budgeting. But region autonomous is not significantly affecting Expenditure Budgeting

Keywords: Gross Domestic Region Product (GDRP), Total of North Sumatra Revenue, The Region Original Revenue and Total Region Expenditure.


(3)

ABSTRAK

Posisi fiskal merupakan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Penerimaan meningkat karena adanya perubahan kebijakan perpajakan, dimana menurunkan pajak pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan pengeluaran agregat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh PDRB dan dummy terhadap APBD Sumatera Utara yaitu Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah seelm dan sesudah otonomi daerah selama kurun waktu 1993-2007 dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS).

Hasil estimasi data series dengan OLS menunjukkan PDRB mempengaruhi positif Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah Sumatera Utara. Akan tetapi otonomi daerah sama sekali tidak mempengaruhi Belanja Daerah Sumatera Utara.

Kata kunci : PDRB, Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Daerah Sumatera Utara.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Bapaku Yesus Kristus karena kasih dan karunia-Nya yang selalu menyertai dan memberkati penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, “Analisis Posisi Fiskal Daerah Sumatera Utara”. Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis menghadapi banyak pengalaman dan tantangan yang berharga. Akan tetapi, menghasilkan suatu perjuangan untuk suatu karya yang kupersembahkan untuk Tuhanku dan almamaterku tercinta.

Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa partisipasi dan kerjasama yang baik mereka, skripsi ini tak akan selesai. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimah kasih yang sangat mendalam kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, Mec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratom, SE, MEc, selaku Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Penasehat Akademik.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan waktu, pemikiran, saran dan kesabaran sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu DR. Murni Daulay, SE, MSi, selaku Dosen Penguji I dan Drs. H.B

Tarmizi selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan kritikan yang berarti dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Seluruh dosen pengajar di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan nasehat kepada penulis.

7. Seluruh staf administrasi di Fakultas Ekonomi dan Departemen Ekonomi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

8. Keluarga tercinta, Ayahanda J.W. Siallagan dan Ibunda R.R Tambunan serta adik-adikku Alex, Andri dan April yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. Terimakasih orangtuaku dan adik-adikku, kalian hartaku paling berharga.


(5)

9. Terkhususnya Kekasih Hati dan Jiwaku, Ipda. Samuel Simanjuntak yang jauh dari sisiku tetapi selalu setia mencintaiku dan memberikan apapun yang terbaik buatku dalam segala keperluanku. Terimakasih sayangku, semoga cintamu selalu abadi selamanya.

10.Teman-temanku di Ekstension (Novin, Marganda, Wahyu, Larima, Asima, Ka Alvi, Sutan, Valino, Romy, Reza, Julesio, Ero, Wani, Lia, Indra dan yang lainnya). Terimakasih buat kebersamaan yang singkat dan indah selama kuliah, sukses selalu dan Tuhan Yesus menyertai kita.

11.Sahabat-sahabatku yang jauh (Ira Sibarani, Enika Saragih, Rose Tampubolon, Megawati Situmorang, Yunita Damanik, Rika Siahaan dan lainnya). Terimakasih buat semangat dan doa kalian, Tuhan Yesus memberkati.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, sehingga diperlukan saran dan kritikan yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Akhir kata, semoda damai Yesus Kristus selalu menyertai kita semuanya.

Medan, Februari 2009


(6)

DAFTAR ISI

ABSTACT ……….…… i

ABSTRAK ……….…... ii

KATA PENGANTAR ………..…… iii

DAFTAR ISI ……… v

DAFTAR TABEL ……… vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ……….……… 1

1.2. Perumasan Masalah ……… 3

1.3. Hipotesis ………. 3

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 3

BAB II URAIAN TEORITIS 2.2. Penganggaran ……….…... 5

2.2.1. Penyususnan APBD ………...…. 5

2.3. Penerimaan Daerah ……….… 8

2.3.1. Pendapatan Asli Daerah ……….…... 8

2.3.1.1. Pajak Daerah ………... 9

2.3.1.2. Retribusi Daerah ………...….. 12

2.3.1.3. Penerimaan Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya ………... 13

2.3.1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah ... 15

2.3.2. Dana Perimbangan ……….. 15

2.3.2.1. Dana Bagi Hasil ………. 17

2.3.2.2. Dana Alokasi Umum …………...…... 18

2.3.2.3. Dana Alokasi Khusus ……….... 19

2.3.4. Pinjaman Daerah ………...… 21

2.3.5. Lain-lain Penerimaan Daerah Yang Sah ...… 22

2.4. Belanja Rutin Daerah ……….… 22 2.4.1. Peranan Anggaran Belanja Rutin dalam


(7)

APBD ………...… 22

2.4.2. Kelompok Kerja ……… 24

2.5. Belanja Pembangunan Daerah ……….... 24

2.6. Product Domestic Regional Bruto (PDRB) …..…...… 25

2.6.1. Pendekatan Perhitungan PDRB ……… 25

2.6.2. Cara Penilaian Harga Konstan ………. 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ………..…. 29

3.2. Jenis dan Sumber Data ……… 29

3.3. Pengolahan Data ……… 29

3.4. Model dan Metode Analisis Data ………... 29

3.5. Uji Kesesuaian (Ordinary Least Square) …………....… 30

3.6. Uji Asumsi Klasik ………... 31

3.7. Defenisi Operasional ……….. 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Indikator Makro Ekonomi Sumatera Utara .. 33

4.1.1. Perkembangan PDRB ADHB dan ADHK ..…… 33

4.1.2. Perkembangan Inflasi ………... 33

4.1.3 Perkembangan Perbankan ………... 34

4.1.4. Perkembangan Ekspor dan Impor ……… 34

4.2. Perkembangan APBD Sumatera Utara …………..…… 36

4.2.1. Perkembangan Penerimaan Daerah ………. 36

4.2.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah …....….. 37

4.2.3. Perkembangan Belanja Daerah ……… 39

4.3. Perkembangan PDRB ADHK 1993 Sumatera Utara …. 40 4.4. Hasil dan Analisis ……….. 42

4.4.1. Analisis dan Pengumpulan Data ………..… 42

4.4.2. Hasil Regresi dan Interpretasi Model ………….. 42

4.4.3. Hasil Uji Asumsi Klasik ……….……….… 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………...……….. 47

5.2. Saran ……….…….. 48


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Penerapan Tarif Pajak 10

4.1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan

Atas Dasar Harga Konstan Provinsi Sumatera Utara,

2000 – 2007 32

4.2 Perkembangan laju Inflasi Sumatera Utara dan Indonesia,

2003 – 2007 33

4.3 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor

Provinsi Sumatera Utara, 2003 – 2007 35

4.4 Perkembangan Penerimaan Daerah Sumatera Utara,

Tahun 1993-2007 36

4.5 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara,

Tahun 1993-2007 38

4.6 Perkembangan Belanja Daerah Sumatera utara,

Tahun 1993-2007 39

4.7 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993

Sumatera Utara, tahun 1993-2007 41

4.8 Hasil Analisa Regresi Penerimaan Daerah Sumatera Utara 42

4.9 Hasil Analisa Regresi Pendapatan Asli Daerah

Sumatera Utara 43

4.10 Hasil Analisa Regresi Belanja Daerah Sumatera Utara 44

4.11 Hasil Uji LM-Test Penerimaan Daerah Sumatera Utara 45

4.12 Hasil Uji LM-Test Pendapatan Asli Daerah

Sumatera Utara 46


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis perbelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah langsung dikelola oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dalam menyelenggarakan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya di daerah sendiri. Pemerintah daerah juga harus mampu menyusun keuangan daerah yang tepat sasaran dan tujuan dalam pengelolaan sumber-sumber dana dan pembiayaan daerahnya.

Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan lain-lain pendapatan yang sah. Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan Hak atas tanah dan


(10)

bangunan, dan penerimaan dari SDA serta dana alokasi umum dan dan alokasi khusus. Bagian daerah dari penerimaan PBB, Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari SDA merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil (Bratakusumah, 2002).

Dengan diberlakukan otonomi daerah sejak tahun 2000, pemerintah lebih leluasa dalam memaksimalkan hasil-hasil potensi daerah yang ada dalam daerah. Didaerah Sumatera Utara banyak ditemui potensi daerah, dimana salah satu dari sekian potensi yang ada adalah perkebunan yang merupakan bagian dari sektor pertanian. Sektor pertanian memberikan kontribusi besar dalam penerimaan daerah yang berasal dari SDA.

Penerimaan dan pengeluaran daerah merupakan bagian penting dalam menjalankan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan daerah yang melibatkan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dalam menjalankan kewajibannya untuk meningkatkan pengeluaran agregat adalah kebijakan fiskal, dimana dilakukan perubahan di bidang perpajakan. Akan tetapi dalam penelitian ini, posisi fiskal lebih diarahkan kepada penerimaan di bidang perpajakan dan pengeluaran daerah untuk mempengaruhi pengeluaran agregat. Perubahan di bidang perpajakan yang dimaksud adalah pengurangan pajak pendapatan masyarakat yang bertujuan untuk menambah kemampuan masyarakat dalam membeli barang dan jasa daerah tersebut sehingga meningkatkan pendapatan asli daerah serta secara langsung meningkatkan penerimaan daerah.

Untuk mengukur prestasi perekonomian daerah digunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam 1 periode biasanya 1 tahun. Sektor-sektor yang terdapat dalam PDRB adalah seperti sektor pertanian, pertambangan, industri, listrik dan gas, bangunan, perdagangan, pengangkutan, komunikasi, hotel, perbankan dan lembaga keuangan lainnya dan jasa-jasa.

Jika penurunan pajak pendapatan dilakukan Pemerintah Daerah maka ke-9 sektor lapangan usaha akan bisa dinikmati masyarakat daerah khususya di Sumatera Utara. Masyarakatpun akan lebih bisa memanfaatkan pendapatannya dan pengusaha-pengusaha akan lebih bergairah memajukan usahanya sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Jika masyarakat dan pengusaha telah dapat memaksimalkan pendapatan maka pemunggutan pajak maupun retribusi akan lancar, sehingga


(11)

mendorong peningkatan pendapatan daerah melalui PDRBnya dan dalam setiap proses ke-9 sektor lapangan usaha juga dikenakan pajak dan retribusi sesuai Peraturan Daerah, sehingga mempenggaruhi pendapatan asli daerah sekaligus peningkatan penerimaan daerah dan secara tidak langsung meningkatkan pengeluaran daerah seperti belanja rutin daerah. Oleh karenanya, akan memberikan dampak positif terhadap APBD Sumatera Utara, selain sumber penerimaan daerah juga pembiayaan kesejahteraan pegawai dalam menjalankan tugas pemerintahan yang tujuan akhirnya juga bertujuan untuk kesejatehraan masyrakat daerah Sumatera Utara dan belanja pembangunan bertujuan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah yang bertujuan meningkatkan fasilitas daerah.

Untuk melihat proporsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diperkirakan mempengaruhi Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Daerah Sumatera Utara maka penulis mencoba menganalisanya dengan melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Posisi Fiskal Daerah Sumatera Utara”.

1.2.Perumusan Masalah

Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera Utara? 2. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara? 3. Apakah ada pengaruh PDRB terhadap Belanja Daerah Sumatera Utara?

1.3. Hipotesis

Adapun hipotesis sementara yang dapat disimpulkan adalah:

1. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera Utara, ceteris

paribus.

2. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara,

ceteris paribus.

3. Terdapat pengaruh PDRB terhadap Belanja Daerah Sumatera Utara, ceteris

paribus.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian


(12)

1. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Penerimaan Daerah Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Pendapatan Asli Daerah

Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap Belanja Rutin daerah Sumatera Utara.

Manfaat yang diharapkan dari penelitan ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan. 2. Sebagai referensi untuk menganalisa masalah-masalah yang ada hubungannya

dengan APBD Sumatera Utara.

3. Sebagai bahan penambah wawasan ilmiah, khususnya bidang keuangan


(13)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.2. Penganggaran

Anggaran dalam suatu negara yang biasa diartikan adalah suatu rencana keuangan yang konkrit arah tujuannya dan pelaksanaan dalam memenuhi kebutuhan negara dalam menjalankan segala roda pemerintah negara tersebut yang dituangkan dalam APBD. Artinya ada 2 hal penting yaitu pendapatan dan pembiayaan, kemudiaan dialokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. Masing-masing kegiatan tersebut dikelompokan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggungjawab dari satuan kerja tertentu. Misalnya dinas pendidikan; kata dinas disini berarti satuan kerja dan pendididkan akan terdiri dari sejumlah aktivitas, misalnya penyusunan kurikulum, penyediaan sarana belajar mengajar, pemeliharaan gedung, penyuluhan tenaga pengajar dan sebagainya.

2.2.1 Penyusunan APBD

Sistem penyusunan dan pelaksanaan APBD erat kaitannya dengan pola yang berlaku dalam APBN. Hal ini dapat dilihat dari:

a. Anggaran disusun berdasarkan persentase kenaikan dari tahun ke tahun berikutnya sehingga yang dipikirkan oleh para penyusun APBD, berapa tambahan dana yang akan diperoleh dari pusat. Sistem ini kurang memperhatikan sasaran yang dicapai. b. Anggaran yang disusun merupakan kombinasi antara klasifikasi organisasi dan

objek yang dalam literatur dikenal sebagai line budgeting. Dalam sistem ini evaluasi terhadap pengeluaran sulit dilakukan antara lain karena sering satu sama lain.


(14)

c. Masing-masing organisasi menghendaki jumlah pembagian dana (plafon) yang lebih besar, walaupun sasaran yang hendak dicapai kurang jelas.

d. Tingkat ketergantungan belanja pegawai dan belanja pembangunan daerah yang sangat tinggi (rata-rata diatas 70%). Gaji pegawai daerah hampir 100% dibayar dari APBN, kecuali pegawai honor daerah.

e. Penyusunan anggaran pembangunan daerah yang pembiayaannya disediakan dari APBN misalnya program inpres.

Perencanaan fisik proyek menerapkan sistem perencanaan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Akan tetapi ternyata campur tangan instansi pusat seperti bappenas dan departemen dalam negeri lebih dominan, baik dalam penyusunan rencana fisik maupun dalam alokasi dan pelaksanaan anggarannya. Karena itu dalam perencanaan anggaran pembangunan, daerah hanya mencantumkan jumlah alokasi dana inpres ke dalam APBN pada kas penerimaan pembangunan. Dan tujuan program inpres itu sendiri antara lain berguna untuk menunjang pelaksanaan proyek-proyek sektoral departemen. Sampai pada tahun anggaran 1998/1999 terdapat setidaknya 12 jenis pembiayaan daerah termasukpembiayaan pembangunan yang dialokasikan melalui progaram inpres.

Dengan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari 2001, penyusunan APBD dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Dalam PP No. 105 tahun 2000 dikemukakan azas umum dan proses penyusunan APBD seperti berikut: a. Proses Penyusunan APBD

Tahap-tahap proses penyusunan APBD:

 Perumusan kebijakan umum APBD antara Pemda dan DPRD.

 Penyusunan strategi pola prioritas oleh Pemda.

 Penyusunan RAPBD dilakukan oleh Pemda.

 Pembahasan RAPBD dilakukan oleh dan DPRD.

 Penetapan APBD oleh Perda.

 Apabila DPRD tidak menyetujui RAPBD yang diusulkan, maka dipergunakan APBD tahun lalu.

 Perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 bulan. b. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah

 Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif dan bertanggungjawab.


(15)

 Semua pendapatan dan belanja darah dicatat dalam APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD (asas bruto).

 Daerah dapat membentuk dana cadangan.

 Daerah dapat mencari sumber-sumber pembiayaan lainnya selain sumber

pembiayaan yang telah ditetapkan, seperti kerjasama dengan pihak lain.  Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dalam peraturan daerah.

Menurut PP No. 105 struktur APBD terdiri dari:  Pendapatan

 Belanja

 Surplus/Defisit

 Pembiayaan

Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, yaitu bulan Januari 2001 merupakan masa transisi bagi Pemda dari kebiasaan sentralisasi berubah ke permulaan tugas menyusun sendiri anggarannya (APBD). Lalu menyusul dan beberapa ekses seperti kekurangan gaji pegawai dan beberapa mengalami daerah APBD defisist. Beberapa daerah menuntut tamabhan DAU, kemudian pemerintah pusat mengalokasikan dana kontijensi.

Ekses yang timbul pada masa transisi ini, sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya, sebelum pelaksanaan otonomi daerah sudah disiapkan pelbagai perangkat terutama yang berkaitan dengan hubungan APBD dan APBN.

Istilah mismatch dalam kebijakan transfer fiscal, sebenarnya kurang dikenal, lebih tepat disebut misallocation. Karena yang ditransfer dari APBN ke dalam APBD daerah otonomi itu adalah eks dana SD, inpres, sebagian DIK dan DIP. Demikian juga limpahan pegawai dari provinsi ke kabupaten/kota, belanja pegawai semestinya tertampung di dalam DAU.

Bagi daerah-daerah yang kaya SDA, mereka mendapatkan alokasi dana dari Dana Bagi Hasil (DBH) dalam jumlah yang besar. Sehingga dampak alokasi DAU dan APBD mereka relatif kurang bermasalah.

Fenomena tersebut memberikan indikasi bahwa banyak daerah yang APBDnya masih akan tergantung pada pembagian DAU dari pemerintah pusat. Oleh


(16)

karena itulah untuk tahun berikutnya pemerintah daerah dapat meningkatkan jumlah pendapatannya, antara lain mengupayakan melalui:

a. Kenaikan PAD

b. Land dan Building Valution

c. Menyempurnakan variabel DAU, dengan cara perhitunagan yang disusun oleh

masing-masing daerah, yang kemudian diajukan sebagai susulan ke pusat. d. Pengelolaan asset daerah dan menyusun neraca SDA.

Aplikasi PP No. 5 tahun 2000 memberikan pedoman ke arah restrukrisasi format APBD dari T account menjadi I account. Perubahan (reform) format anggaran itu akan menuju ke arah penyempurnaan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah (SAKP), sistem penganggaran dan perbendaharaan untuk mencapai keseragaman tidak sistem dan prosedur. Selanjutnya beberapa tahun yang akan datang prinsip pengelolaan keuangan daerah memiliki standar, misalnya untuk perencanaan:

a. Berdasarkan suatu strategic planning

b. Anggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting dan mengikuti

Government Financial Statistic [GFS]).

Dalam pelaksanaan anggaran daerah harus dilandasi oleh good governance dan manajemen keuangan yang efisien (cash management efficiency). Sebagai dasar aplikasi perubahan system akuntansi keuangan daerah itu adalah peraturan daerah yang DPRD akan menunjang keberhasilan pembangunan daerah. Misalnya pada saat pembahasan anggaran tahunan dengan DPRD akan dapat dihindari perbedaan persepsi jumlah alokasi dana rutin dan proyek, sehingga tidak perlu terjadi suatu fight antar pihak eksekutif dan legislatif daerah. Artinya akan terdapat kesepahaman di antara kedua lembaga tersebut, karena terdapat “kesetaraan pemahaman ” mengenai penganggaran, system akuntansi dan pengelolaan asset daerah.

2.3. Penerimaan Daerah 2.3.1. Pendapatan Asli Daerah

Dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan undang-undang No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada tanggal 1 januari 2001, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam


(17)

mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, baik yang berasal dari daerah maupun dari APBN.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) diatur dalam undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atau perbaikan UU No. 18 tahun 1997 terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi dan Bagian Laba Perusahaan Daerah (BLPD).

2.3.1.1. Pajak Daerah

Undang-undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan dalam menjamin penerapan prosedur umum Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah.

Menurut UU No. 18 tahun 1997 menyebutkan bahwa pajak daerah disebutkan sebagai pajak yang berarti iuran wajib yang dilakukan pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Sebelum terbit UU No. 18 tahun 1997, Pajak Daerah kabupaten/kota mencapai 50 jenis, walaupun yang dapat direalisasikan hanya 8 hingga 12 jenis pajak saja. Artinya terdapat berbagai jenis pajak daerah yang secara ekonomis kurang memenuhi syarat principle, sedangkan biaya adaministrasi pemungutan akan lebih besar dibandingkan dengan hasil penerimaan pajak yang akan diterima oleh daerah. Peningkatan penerimaan antara lain dapat dipenuhi melalui:

a. Upaya meningkatkan penerimaan pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap jenis-jenis pajak tertentu, antara lain dengan memberi kemudahan lapangan usaha baru.


(18)

c. Fungsi budgeter dari penerimaan pajak daerah artinya meningkatkan efisiensi dengan cara mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai kegiatan yang produktif.

Adapun pasal 2 ayat (1) dan (2) dalam UU No. 18 tahun 1997 menyebutkan jenis-jenis pajak daerah yaitu:

a. Jenis pajak daerah Tingkat I terdiri dari:  Pajak kendaraan bermotor

 Bea balik nama kendaraan bermotor  Pajak bahan bakar kendaraan bermotor b. Jenis pajak daerah Tingkat II terdiri dari:

 Pajak hotel dan restauran  Pajak hiburan

 Pajak reklame

 Pajak penerangan jalan

 Pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C  Pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan

Tabel 2.1 Penerapan Tarif Pajak

No. Jenis Pajak Tarif Pajak Penggenaan Tarif Pajak

1.

2.

3. 4.

Pajak Kendaraan Bermotor Dan Kendaraan Di Atas Air

Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor dan di atas Air

Pajak Bahan Bakar Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air bawah

5%

10%

5% 20%

o Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jualnya serta faktor-faktor penyesuaiannya yang mencerminkan biaya ekonomis yang diakibatkan oleh penggunaan kendaraan bermotor, misalnya

kerusakan jalan dan lingkungan.

o Tarif Pajak Kendaraan diatas Air dikenakan atas nilai jualnya.

Atas nilai jualnya

Atas nilai jualnya

Atas nilai perolehan air yang diambil dan dimanfaatkan,


(19)

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Tanah dan Air Permukaan

Pajak Hotel

Pajak Restoran

Pajak Hiburan

Pajak Reklame

Pajak Penerangan Jalan

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.

Pajak Parkir 10% 10% 35% 25% 10% 20% 20%

antara lain berdasarkan jenis, volume, kua litas air dan alokasi sumber air.

Atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan/atau menikmati hiburan.

Atas nilai sewa reklame, yang didasarkan atas nilai jual objek pajak reklame dan nilai strategis pemasangan reklame.

Atas nilai jual tenaga listrik yang terpakai.

Atas nilai jual hasil

pengambilan Bahan Galian Golongan C.

Atas penerimaan

penyelenggaraan parker yang berasal dari pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir kendaraan bermotor.

Tarif pajak daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan penetapannya seragam diseluruh Indonesia. Sedangkan untuk daerah Tingkat II ditetapkan oleh Peraturan Daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak daerah tidak dapat berlaku surut. Memperhatikan sumber pendapatan asli daerah masing-masing sangat bervariasi.

Sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000 yang merupakan perubahan terhadap UU No. 18 tentang pajak dan retribusi daerah, telah diatur antara lain mengenai bagi hasil pajak dan relokasi pajak daerah provinsi dengan daerah kabupaten kota.


(20)

Menurut ketentuan dalam UU No. 34 tahun 2000, minimum 10% dari hasil penerimaan pajak kabupaten dialokasikan untuk kepentingan desa. Pengaturan mengenai alokasi tersebut didasarkan pada aspek pemerataan dan potensi yang dimilki oleh desa-desa yang bersangkutan. Sementara itu mengenai hasil penerimaan pajak kabupaten/kota dalam suatu provinsi yang terkonsentrasi pada kabupaten/kota tertentu, diambil kebijakan oleh gubernur untuk membagikan sebagian hasil penerimaan pajak itu kepada kabupaten/kota yang lainnya. Dalam hal objek pajak beralokasi di lintas kabupaten/kota, maka gubernur berwenang menetapkan pembagian hasil pajak tersebut kepada daerah kabupaten/kota yang berhak.

Kebijakan ini dilakukan oleh gubernur berdasarkan persetujuan dan kesepakatan dengan pemerintah daerah bersama DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan. Kebijakan mengenai pembagian hasil penerimaan pajak antara kabupaten/kota dalam satu provinsi tersebut diatas tentunya dimaksudkan untuk menghindari ketimpangan penghasilan daerah kabupaten/kota didalam satu wilayah provinsi. Tarif pajak kabupaten/kota yang berasal dari pajak hiburan, pajak reklame, pajak pengambilan bahan galian golongan C dan pajak parkir relitif cukup tinggi. Masing-masing 35%, 25% dan 20%. Penetapan dasar tarif pajak tersebut kurang jelas antara lain karena konsep usulan undang-undangnya disiapkan dalam waktu yang singkat oleh pemerintah pusat yang selanjutnya diajukan kepada DPR untuk disetujui sebagai konsekuensi yang dapat terjadi adalah membatasi jumlah konsumen pemakai jasa itu dan kurang mendorong pengembangan usaha di bidang tersebut.

2.3.1.2. Retribusi Daerah

Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemakai jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Retribusi sampah dan retribusi pasar misalnya harus dibayar oleh pengguna jasa-jasa tersebut, karena mereka menikmati langsung. Dalam UU No. 34 tahun 2000, jenis retribusi air, pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan, serta retribusi bahan galian golongan C dikategorikan sebagai pajak. Jasa-jasa yang dipungut retribusinya dan penetapan tarifnya dielompokkan menjadi 3 golongan yaitu:

a. Retribusi Jasa Umum, berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat dan aspek keadilan. Penetapan tarifnya pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan


(21)

perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional. Di samping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.

b. Retribusi Jasa Usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Penetapan tarifnya ditetapkan oleh daerah sehingga dapat tercapai keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan swasta.

c. Retribusi Perizinan, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian dan seluruh perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan, misalnya, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan dan biaya pengawasan.

2.3.1.3. Penerimaan Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik daerah merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh perusahaan milik daerah seperti kelemahan manajemen, masalah kepegawaian dan terlalu banyaknya campur tangan pejabat daerah sehingga tidak berjalan dengan efisien. Dalam menghadapi beban dan kurang mandiri, sehingga kebanyakan merugi dan menjadi beban APBD. Perusahaan daerah seperti perusahaan air bersih (PDAM), bank pembanguna daerah, hotel, bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pembangunan ekonomi daerah.

Sesuai Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang perusahaan daerah bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya, dan pembangunan ekonomi nasional umumnya, dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat adil dan makmur”. Jenis-jenis perusahaan daerah yang terdapat di Indonesia meliputi kegiatan-kegiatan:


(22)

a. Penyediaan Air Minum b. Pengelolaan Persampahan c. Pengelolaan Air kotor

d. Rumah Pemotongan Hewan

e. Pengelolaan Pasar

f. Pengelolaan Objek Wisata g. Pengelolaan Sarana Wisata h. Perbankan dan Perkreditan

i. Penyediaan Perumahan dan Pemukiman

j. Penyediaan Transportasi k. Indusri lainnya

Undang-undang pasal 5 tahun 1962 juga menyebutkan bahwa perusahaan daerah bersifat:

a. memberi jasa

b. menyelenggarakan pemanfaatan umum

c. memupuk pendapatan.

Menurut teori yang lain ada tiga kiat dalam memilih bidang usaha yang dapat membantu mengembangkan perusahaan daerah yaitu:

a. pertama, harus ada pemisahaan antara pembuat kebijaksanaan (eksekutif) dengan

bagian keuangan agar menghasilkan pelayanan yang efisien. Maksudnya memberikan keleluasaan kepada para eksekutif dalam membuat kebijakan penentuan harga, produksi dan pegawai dan sebagainya.

b. Kedua, produk yang dihasilkan harus laku dijual, berkualitas baik dan bermanfaat

sebagai private good.

c. Ketiga, menetapkan harga harus didasarkan pada hubungan antara biaya produk

dengan harga jual kepada konsumen perorangan.

Dengan demikian perusahaan daerah minimal dapat mencapai kondisi break even dan selanjutnya dapat memperoleh keuntungan, misalnya perusahaan jalan tol.

Selanjutnya terdapat beberapa hal sebagai penyebab kurang berhasilnya perusahaan daerah memberi kontribusi dalam PAD disebabkan:

a. Kurang tegas dalam menetapkan visi, misi dan objektif perusahaan, sehingga secara tepat sasaran dapat dipilih jenis usaha yang menguntungkan pada skala usaha yang sesuai (economies scale).


(23)

b. Kualitas sumber daya manusia yang rendah, recuitment dan placement pegawai yang tidak benar dan ada campur tangan birokrat daerah dengan urusan bisnis perusahaan daerah telah menyebabkan biaya tinggi atau inefisiensi sehingga perusahaan lebih sering merugi. Penerimaan pegawai seringkali dilakukan melalui sistem sanak kerabat dan kenalan bos, selain mengakibatkan merongrong perusahaan juga merugikan dan menjurus kepada kebangkrutan perusahaan daerah. Contoh konkret seperti yang dialami oleh perusahaan air minum dan bis kota.

Dengan demikian untuk menjadi perusahaan daerah sebagai salah satu sumber penghasilan pendapatan daerah, harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menetukan secara jelas tujuan yang akan dicapai oleh perusahaan daerah tertentu

yaitu apakah mencari laba usaha atau memberikan pelayanan kepada publik. b. Menetukan pilihan usaha, melalui analisis break even.

2.3.1.4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

Pendapatan asli daerah tidak seluruhnya memiliki kesamaan, terdapat pula sumber-sumber pendapatan lainnya, yaitu penerimaan lain-lain yang sah, kelompok penerimaan lain-lain dalam pendapatan daerah Tingkat II mencakup berbagai penerimaan kecil-kecil, seperti hasil penjualan alat berat dan bahan jasa. Penerimaan dari sewa, bunga simpanan giro dan bank serta penerimaan dari denda kontraktor. Namun walaupun demikian sumber penerimaan daerah sangat bergantung pada pot ensi daerah itu sendiri.

2.3.2. Dana Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Selain dari pendapatan asli daerah, sumber penerimaan pemerintah daerah otonom kabupaten/kota berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah salah satu bentuk kebijakan desentralisasi dibidang fiskal yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Secara ideal tujuan dari kebijakan adalah:

a. Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah daerah yang selama ini tertinggal di bidang pembangunan.

b. Untuk mengintensifikasikan aktifitas dan kreatifitas perekonomian masyarakat daerah yang berbasis pada potensi yang dimiliki masing-masing daerah.


(24)

Pemerintah daerah dan DPRD bertindak sebagai fasilitator dalam pembangunan daerah, rakyat dan masyarakat harus berperan aktif dalam perencanaan pembangunan daerahnya.

c. Mendukung terwujudnya good governance oleh pemerintah daerah melalui

perimbangan keuangan yang transparan.

d. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah secara demokratis, efektif dan efisien dibutuhkan sumber daya manusia yang profesional serta memiliki akhlak atau moral yang baik.

Oleh sebab itu desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan meningkatkan kemampuan daerah untuk membangun dan meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat daerah, artinya bukan sekedar pembagian dana, lalu memindahkan korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat ke daerah.

Ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70% kecuali provinsi DKI Jakarta. Dengan terbitnya UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah akan lebih memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melaksanakan otonomi akan menjalankan roda pembangunan.

Dana perimbangan terdiri dari bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Bagi hasil sendiri mencakup bagi hasil dari pajak-pajak pusat (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Pajak Penghasilan) dan bagi hasil sumber daya alam (minyak, gas, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan).

Mulai tahun 2001 diharapkan merupakan tahun awal dari daerah membangun. Selain daripada itu, melalui kebijakan tersebut diharapkan akan terjadi pembagian ke nasional yang adil dan rasional. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam akan memperoleh bagian pendapatan yang jumlahnya lebih besar, sedangkan daerah lainnya akan mengutamakan bagian dana alokasi umum dan alokasi khusus. Secara filosofi otonomi daerah maksudnya adalah pemberdayaan dan intensifikasi sumber-sumber daya yang ada di dalam daerah. Oleh karena itu, otonomi bukan sekedar membagi-bagikan dana ke daerah, kemudiaan daerah beramai-ramai


(25)

berbelanja atau bepergian ke luar negeri atau menggunakan dana perimbangan untuk menaikkan gaji pejabat atau anggota DPRD.

Kata otonomi (autos da nomos) berarti mengurus sendiri daerahnya, untuk sampai pada tahap itu akan membutuhkan suatu proses, waktu dan biaya. Disamping itu juga memerlukan pula pembaharuan dan perubahan sikap mental dari para pelaku pembanguan. Dengan kewenangan otonomi, daerah akan dapat melaksanakan program pembangunan sesuai dengan kondisi dan prioritas lokal yang dimilikinya. Kondisi lokal, yaitu faktor-faktor endogen yang bersifat kondusif dimaksudkan untuk menggerakkan roda pembangunan seperti APBD, potensi dan prasarana ekonomi, ketersediaan SDM, kepastian hukum dan keamanan.

Faktor-faktor tersebut akan memberikan daya tarik kepada investor untuk melakukan investor. Dalam pada itu prioritas yang berkaitan dengan sasaran pembangunan perlu segera diwujudkan. Ini termasuk aktivitas yang didahulukan penyediannya, misalnya dalam jangka waktu dua atau tiga tahun anggaran. APBD harus dimaanfaatkan untuk lapangan kerja produktif, peningkatan produktifitas dan daya saing masyarakat daerah. Hal ini penting untuk kesiapan menghadapi ekonomi global.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 tahun 2000, ada tiga sumber dana perimbangan:

a. Bagi hasil pajak dan penerimaan sumber daya alam.

b. Dana Alokasi Umum (DAU).

c. Dana Alokasi Khusus (DAK).

2.3.2.3. Dana Bagi Hasil (DBH)

Salah satu komponen dari dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat dan daerah yaitu pembagian hasil penerimaan sumber daya alam dan penerimaan perpajakan. Termasuk dalam pembagian hasil perpajakan adalah pajak perseorangan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sedangkan pembagian hasil penerimaan dari SDA berasal dari minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan.

Sementara bagi hasil sumber daya alam jelas-jelas menguntungkan daerah-daerah kaya sumber daya alam berhubung pembagiannya didasarkan pada alokasi


(26)

atau letak sumber daya alam bersangkutan. Bagi hasil ini diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 sebagai jawaban terhadap tuntutan daerah dan praktis memang dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (pusat – daerah). Dominasi pusat dalam penguasaan keuangan negara berkurang dengan ketegasan dalam pelaksanaan di daerah. Namun munculnya masalah baru yakni ketimpangan fiskal antar daerah yang cukup serius.

Dominasi pusat yang dicoba diatas dengan dana perimbangan seperti tersebut diatas tercermin dari porsi PAD dalam APBD. Sebagaimana diketahui penerimaan daerah dari PAD pun sangat bervariasi. Namun secara umum, PAD hanya menyumbang rata-rata 20% - 30% APBD provinsi dan 10% - 20% APBD kabupaten/kota. Sacara historis, PAD daerah-daerah di Indonesia punya peran relatif kecil dalam keseluruhan anggaran daerah. Lebih jauh, yaitu PAD untuk daerah-daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi tinggi akan cukup besar misalnya, PAD DKI Jakarta dan kabupaten bandung. Jadi, adanya kecenderungan bias ke perkotaan.

2.3.2.2. Dana Alokasi Umum

Di era otonomi daaerah, distribusi dana alokasi umum atau dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah dalam bentuk block grant (DAU) sudah dua kali dilakukan, yaitu untuk tahun 2001 dan 2002 dan hingga sekarang (2008). Namun, tersimpul belum memuaskan. Terutama pada tahun 2001, DAU belum dapat secara utuh menjalankan dan merealisasikan amanat UU No. 25 tahun 1999 dimana DAU sebagai alat pemerataan. Kebanyakan DAU bukan jadi solusi setelah sampai di daerah-daerah malah menyebabkan permasalahan, sehingga tujuan DAU sebagai pemerataan dari kekurangan di daerah tidak terealisasi dengan maksimal.

Adapun permasalahan yang kebanyakan dihadapi daerah-daerah yang belum menerapakan tujuan DAU sebenarnya. Pertama, model formulanya sendiri yang masih jauh dari sempurna. Memang tidak mudah membuat formula dana transfer ke daerah yang bersifat umum (general purpose transfer) untuk negara yang sangat majemuk seperti Indonesia. Penyerderhanaan atas berbagai faktor yang menjadi ciri khas dari daerah-daerah tertentu harus dilakukan. Artinya, satu atau beberapa faktor yang sangat menonjol di daerah tertentu terpaksa terabaikan. Sebab, jika sebagian besar karakteristik dari daerah dicoba ditampung, maka formula akan menjadi rumit, memerlukan solusi komputer dan rangkaian data yang untuk negara seperti Indonesia


(27)

cenderung tidak realistis. Padahal, untuk situasi dan kondisi saat ini, formula yang sederhana jauh lebih diperlukan. Kedua, adanya yang berpengaruh lebih dominan, kentalnya pertimbangan non ekonomi dalam penentuan besaran DAU. Persoalannya adalah kepentingan politis cenderung dominan, terutama dalam tahap-tahap penting penentuan formula. Artinya intervensi politik sudah melekat tak terpisahkan dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. Ketiga, DAU hanya cukup bahkan kurang jumlahnya untuk membayar kebutuhan negara seperti gaji pegawai. Ini terjadi terutama di daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang dapat menghasilkan. Hal ini terjadi karena penyusunan formula DAU belum diperhitungkan variabel-variabel P3D yang dilimpahkan dari institusi pusat maupun pegawai provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota. Keempat, adanya keterlambatan dalam penyaluran DAU yang dialami oleh beberapa daerah, kemungkinan terjadi karena mekanisme penyaluran belum berjalan dengan semestinya.

Pada intinya sebenaranya keberadaan DAU seharusnya menjadi penetral bagi ketimpangan keuangan yang terjadi dalam APBD. Tapi kebanyakan daerah menyalah fungsikan DAU menjadi sumber penerimaan daerah, sehingga keempat permasalahan terbenam dalam daerah-daerah yang masih menganggap DAU bukan alat penetral yang sesungguhnya.

2.3.2.3. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus disediakan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijaun bagi daerah kabupaten penghasil penerimaan sektor kehutanan. Sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 25 tahun 1999 daerah memperoleh alokasi sebesar 40% dari penerimaan APBN sektor kehutanan. Bagi daerah yang akan menggunakan DAK diwajibkan menyiapkan dana pendamping minimal 10% dari penerimaan umum APBD. Jika dilihat dari besaran jumlah DAK ini, tidak seberapa signifikan peranannya. Namun apabila dikaitkan dengan fungsi belanja itu dengan upaya pemilihan kondisi ekosistem suatu daerah yang memiliki asset sumber daya hutan, maka peranan DAK menjadi sangat strategis untuk membiayai investasi jangka waktu menengah yang nantinya akan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan rakyat lokal dan pemerintah daerahnya.


(28)

Sementara itu menurut ketentuan peraturan pemerintah No. 104 tahun 2000 tentang dana perimbangan terdapat ketentuan mengenai dana alokasi khusus seperti berikut:

a. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu dan membiayai

kebutuhan khusus dengan memperhatikan tersediannya dana dalam APBN.

b. Kebutuhan khusus yang dibiayai dengan DAK yaitu kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

c. 40% dari penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK untuk membantu membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan.

d. Kriteria teknis sektor/kegiatan yang dapat dibiayai dari DAK ditetapkan oleh Menteri teknis terkait.

e. DAK diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah. Penyediaan DAK memerlukan adanya dana pendamping sebesar 10% dari penerimaan umum APBD (kecuali DAK reboisasi).

f. Pengalokasian DAK ditetapakan oleh Menteri Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.

g. Kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK yaitu biaya administrasi, biaya perjalanan dinas dan biaya administrasi umum dan lain-lain biaya umum sejenis. h. Penyaluran DAK dilakukan oleh Menteri Keuangan.

Pemerintah Daerah juga sangat mengharapkan agar Pemerintah Pusat dapat memberikan kriteria-kriteria yang pasti dan leluasa kepada Pemerintah Daerah dalam menggunakan DAK, misalnya untuk membiayai masalah pengungsi, bencana alam, pemekaran daerah serta kondisi darurat tertentu.

2.3.3. Pinjaman Daerah

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa Pinjaman Daerah adalah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam APBD.


(29)

Dana Pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana. Daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Selain itu, daerah dimungkinkan melakukan peminjaman untuk mengatasi masalah jangka pendek yang berkautan dengan kas daerah.

Pinjaman daerah harus disesuaikan dengan kemampuan daerah, karena dapat menimbulkan beban APBD tahun-tahun berikutnya yang cukup berat sehingga perlu didukung dengan keterampilan perangkat daerah dalam mengelola pinjaman daerah.

Adapun sumber-sumber pinjaman daerah yaitu: 1. Pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari:

a. Pemerintah Pusat. Ketentuan-ketentuan mengenai pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat seperti jenis, jangka waktu pinjaman, masa tenggang, tingkat bunga, cara penghitungan dan cara pembayaran bunga, pengadministrasian dan penyaluran dana pinjaman, ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

b. Lembaga Keuangan Bank. Pelaksanaan pinjaman daerah yang bersumber dari lembaga keuangan bank mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Lembaga Keuangan Bukan Bank. Pelaksanaan pinjaman daerah dari LKBB mengikuti peraturan yang berlaku.

d. Masyarakat. Pinjaman daerah dari masyarakat melalui penerbitan obligasi daerah. Pelaksanaan dan pembayaran kembali obligasi daerah mengkuti peraturan yang berlaku.

e. Sumber lainnya. Pinjaman daerah lainnya berasal dari pemerintah daerah lain. 2. Pinjaman daerah dari luar negeri dapat berubah pinjaman bilateral atau pinjaman

multilateral.

2.3.4. Lain-Lain Penerimaan Daerah Yang Sah

Lain-lain penerimaan daerah yang sah mencakup hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupaten/Kota lainnya dan penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(30)

2.4. Belanja Rutin Daerah

Belanja rutin daerah adalah bagian dari anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) untuk membiayai program kerja pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas-tugas umum pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain belanja rutin adalah dana yang disediakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintah daerah supaya dapat menjalankan tugas-tugasnya dalam satu tahun anggaran. Agar dapat mengetahui jumlah dan besarnya dana yang diperlukan, harus dibuatkan suatu negara yang dapat diartikan sebagai suatau perkiraan penerimaan dan pengeluaran. Oleh karena itu, dalam mengalokasikan dana anggaran rutin harus mengacu pada prioritas dan kemampuan penerimaan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan hasil kajian empiris tampak bahwa anggaran rutin merupakan salah satu fungsi dari kenaikan pendapatan daerah. Artinya jumlah

anggaran rutin akan mengalami kenaikan jika pendapatan daerah meningkat.

2.4.1. Peranan Anggaran Belanja Rutin dalam APBD

Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan daerah, anggaran rutin memiliki peranan penting agar roda pemerintahan dapat berjalan. Artinya dengan tersedianya dana rutin akan dipergunakan untuk:

a. Pembiayan administrasi pemerintahan.

b. Pembiayaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum. c. Pemeliharaan asset daerah.

d. Membiayai kegiatan operasional proyek-proyek pembangunan yand selesai

dibangun.

e. Meningkatkan tabungan pemerintah antara melalui penghematan pemakaian

sumber-sumber kekayaan daerah. Penghematan belanja rutin penting, karena jika dana itu digunakan secara tepat akan mempengaruhi kelancaran jalannya roda pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada public.

Prinsip penyusunan rencana belanja rutin selain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga memperhatikan asas berikut ini:

a. Memperbandingkan dengan anggaran dan realisasi tahun sebelumnya.

b. Memperhatikan prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan pada masing-masing dinas sesuai dengan kemampuan keuntungan daerah.


(31)

Selain memperhatikan ketiga prinsip tersebut diatas dalam penyusunan anggaran belanja daerah secara implisit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Angaran belanja harus disusun secara menyeluruh, mencakup semua kegiatan dalam satu kesatuan unit organisasi sehingga tercermin suatu rencana kerja yang akan dilaksanakan.

b. Rencana kerja yang disusun dan alokasi biaya agar dirinci secara jelas dan tertib sesuai dengan unit kerjanya masing-masing.

c. Jumlah biaya yang dibebankan adalah wajar dan hemat.

d. Transparansi dalam menyediakan anggaran belanja yang dialokasikan kepada masing-masing dinas sehingga mudah dilakukan kontrol.

Selanjutnya dalam penyusunan anggaran terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian karena apabila diabaikan akan membawa dampak terjadinya defisit dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak mencapai sasaran. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Arah kebijakan dan program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah misalnya, memprioritaskan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Kebijakan ini akan mempeoleh jumlah penyediaan dana untuk pembangunan gedung sekolah. Terlebih lagi jika kepada siswa dibebaskan uang pembinaan pendidikan.

b. Perubahan struktur organisasi pemerintah daerah sebagai akibat pelimpahan pegawai instansi vertikal atau karena dibentuknya unit yang baru.

c. Realisasi anggaran tahun lalu sebelumnya akan berpengaruh terhadap besaran jumlah anggaran yang sedang disiapkan untuk tahun depan.

d. Kebutuhan riil bagi setiap belanja juga akan mempengaruhi rencana anggaran. e. Penentuan jumlah alokasi dana menurut kewajaran dalam batas memungkinkan

tugas-tugas dapat dilaksanakan.

2.4.2. Kelompok Kerja

Pada tahun anggaran 1999/2000 dan tahun 2000, belanja daerah kabupaten/kota:

a. Belanja pegawai b. Belanja barang c. Belanja pemeliharaan d. Belanja perjalanan dinas


(32)

e. Belanja lain-lain

Kelancaraan pelaksanaan tugas umum pemerintah merupakan ukuran utama keberhasilan pemerintah. Dengan perkataan lain pemberian pelayanan kepada masyarakat merupakan tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah. Dalam kaitan ini misalnya pebangunan gedung kantor akan menunjang pemberian pelayanan yang lebih cepat dan tepat. Oleh karena itu, penyediaan anggaran rutin secara tepat waktu dan tepat jumlah penting sekali agar terwujud kelancaran dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah antara lain dalam jangka panjang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Hal ini membutuhkan dan rutin yang cukup serta administrasi pemerintah yang baik. Kata ”baik” diartikan efisien dan mencapai sasaran. Apabila kondisi ini tidak dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, maka masyarakat akan merasa kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan, karena akan terjadi biaya birokrasi diluar sistem anggaran yang membebani masyarakat.

2.5. Belanja Pembangunan Daerah

Belanja pembangunan daerah yaitu pengeluaran pemerintah daerah yang

bersifat penambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan nonfisik. Belanja pembangunan daerah merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai program-program pembangunan sehingga anggaranya selalu dapat disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang direncanakan. Belanja pembangunan daerah seperti keperluan pembangunan sektor industri, pertanian dan kehutanan, sumberdaya air dan irigasi, tenga kerja, transportasi, pariwisata dan komunikasi dan sebagainya.

2.6. Produk Domestik Regional Brutto (PDRB)

PDRB merupakan nilai netto dari barang dan jasa (nilai produksi dikurang biaya antara) yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomiyang melakukan kegiatan produksi dalam batas wilayah suatu provinsi. Dalam pengertian sektoral, PDRB merupakan penjumlahan dari nilai tambah yang diciptakan oleh seluruh sektor ekonomi, yang dalam penggolongan besarnya terdiri dari: sektor pertanian, sektor


(33)

pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik,gas dan ari minum, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restauran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serat sektor jasa-jasa.

PDRB dapat dihitung dari penggunaan komponen faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi suatu barang/jasa. Oleh karena itu, komponen PDRB terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha (bunga, sewa dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung.

Dari segi penggunaannya, PDRB dapat pula didefenisikan sebagai jumlah dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga (Ch), penggeluaran untuk konsumsi (Cg), pembentukan modal tetap (I), perubahan stok (S) dan ekspor netto (X-M). Pengertian PDRB yang terakhir ini sebenarnya merupakan ”keynesian model”, Y=C+S ; S=I; Y=C+I. Jadi PDRB menjadi Y=Ch+Cg+I+S(X-M).

Selanjutnya pengertian mengenai PDRB hampir sama dengan PDB, hanya perhitungannya mencakup nasional.

2.6.1. Pendekatan Perhitungan PDRB

a. Pendekatan Produksi/Supply

PDRB adalah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan olrh berbagai unit produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (1 tahun). Unit produksi dalam penyajian dikelompokkan dalam 9 sektor atau lapangan usaha yaitu pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air, bangunan, hotel dan restauran, pengangkutan dan komunikasi, jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan jasa-jasa.

Modelnya:

PDRB = NTB sektor 1 + NTB sektor 2 + ... + NTB sektor 9 (NTB = Nilai Produksi (Output) – Biaya Antara)

b. Pendekatan Pendapatan/Income

PDRB merupakan penjumlahan seluruh komponen permintaan terakhir yaitu:  Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari

untung


(34)

 Pembentukan modal tetap domestik brutto  Perubahan stok

 Ekspor netto dalam jangka waktu tertentu Modelnya:

PDRB = Sewa Tanah + Bunga/ Deviden + Upah/Gaji + Keuntungan c. Pendekatan Pengeluaran/Expenditure

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB kecuali faktor pendapatan, termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tidak langsung netto.

Jumlah semua komponen pendapatan ini menurut sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. PDB adalah jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).

Modelnya:

PDRB = C (Private + Goverment) + Investment (FC) + ∆ Inv + Ex-Im

Dari 3 pendekatan tersebut secara konsep jumlah pengeluaran tadi harus sama dengan jumlah barang jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya PDRB yang telah diuraikan diatas disebut PDRB Atas Dasar Harga Pasar.

2.6.2. Cara Penilaian Harga Konstan

Perhitungan PDRB atas dasar harga tahun dasar tertentu (dipakai tahun 1993) sangat penting untuk mengetahui perkembangan riil agregat ekonomi yang diamati dari tahun ke tahun. Harga konstan artinya harga produk didasarkan atas harga pada tahun tertentu. Tahun yang dijadikan patokan harga disebut tahun dasar untuk penentuan harga konstan. Jadi, kenaikan pendapatan hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah fisik produksi, karena harga dianggap konstan. Pada sektor jasa yang tidak memiliki unit produksi, nilai produksi dinyatakan dalam jumlah harga jual. Sehingga harga jual dideflasikan dengan menggunakn indeks inflasi atau defalator lainnya dianggap lebih sesuai. BPS sekarang lebih memakai tahun dasar penentuan harga konstan, yaitu tahun 1993 dan 2000.


(35)

Agregat yang dimaksud dapat berupa PDRB secara keseluruhan maupun PDRB sektoral. Dalam penghitungan nilai tambah atas dasar harga konstan dikenal 4 cara, sebagai berikut:

a. Revaluasi

Metode ini dilakukan dengan cara menilai produksi dan biaya antara pada, masing-masing tahun dengan harga pada tahun dasar (tahun 1993). Selisih nilai produksi dan biaya atas dasar harga konstan merupakan nilai tambah atas dasar harga konstan.

b. Ekstrapolasi

Nilai tambah suatu tahun atas dasar harga konstan 1993 diperoleh dengan cara mengekstrapolasi nilai tambah pada tahun dasar dengan indeks produksi. Indeks produksi ini merupakan indeks dari masing-masing atau sekelompok komoditas hasil produksi (output) atau indeks dari berbagai indikator produksi seperti tenaga karja, kapasitas produksi (mesin, kendaraan dan sebagainya) dan lain-lain sesuai dengan jenis kegiatan ekonomi yang ada.

Ekstrapolasi dapat pula dilakukan terhadap penghitungan nilai produksi atas dasar harga konstan. Yang perlu diperhatikan dalam cara ini adalah penentuan ektrapolatornya. Kuantitas produksi dari masing-masing sektor/sub sektor merupakan ekstrapolator yang terbaik.

c. Deflasi

Penghitungan nilai tambah atas dasar harga konstan 1993 dapat pula dilakukan dengan cara deflasi, yaitu dengan cara mebagi nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku pada masing-masing tahun dengan indeks harga sesuai dengan kegiatannya. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator antara lain Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar, Indeks Produsen dan sebagainya.

d. Deflasi Berganda

Pada deflasi berganda ini yang diseflasikan adalah nilai produksi dan biaya antara pada masing-masing tahun, sedangkan nilai tambahnya diperoleh dari selisih keduanya yang merupakan hasil deflasi. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator dalam perhitungan nilai produksi atas dasar harga konstan biasanya adalah indeks harga produsen atau indeks harga perdagangan besar sesuai dengan cakupan komoditinya. Sedangkan indeks harga yang dipakai untuk memperoleh


(36)

biaya antara atas dasar harga konstan adalah indeks harga dari komponen biaya terbesar komoditinya.

BAB III

METODE PENELITIAN


(37)

Penelitian ini mencakup apakah PDRB mempengaruhi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) yaitu Total Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Belanja Daerah Sumatera Utara selama kurun waktu 1993 - 2007.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data digunakan adalah data sekunder yang berbentuk angka kuantitatif tahunan dari tahun 1993 hingga tahun 2007. Data diperoleh dari Website Departemen Keuangan, perpustakaan Bank Indonesia Sumatera Utara, BPS Sumatera Utara dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian.

3.3. Pengolahan Data

Pengolahan data yang akan digunakan adalah program Eviews 5.

3.4. Model dan Metode Analisis Data

Model yang digunakan untuk menganalisa pengaruh PDRB terhadap APBD Sumatera Utara adalah dengan menggunakan ekonometrika. Sedangkan metode analisisnya akan menggunakan model kuadarat terkecil biasa (Ordinary Least

Square).

Adapun model-model persamaan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

LTPD = α0 + α1 LPDRB + D+ µ …………. (1)

LPAD = β0 + β1 LPDRB + D + µ ... (2)

LBD = ∂0 + ∂1 LPDRB + D + µ ... (3)

Dimana:

TPD = Penerimaan Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)

PAD = Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)

BD = Belanja Daerah Sumatera Utara (Juta Rupiah)

α0,β0,∂0 = Konstanta

α1,β1,∂1 = Koefisien Regresi

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto diproxy dengan harga konstan tahun

1993 (Juta Rupiah)

D = Variabel boneka (0=sebelum otonomi; 1=setelah otonomi)


(38)

3.5. Uji Kesesuaian (Ordinary Least Square)

Model ini menjelaskan tentang suatu hasil analisa yang menggunakan data time series untuk mengestimasi dengan model Ordinary Least Square (OLS).

1. Koefisien Determinasi (R-Square/ R2)

Koefisien Determinasi yang dinotasikan R2, merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang diestimasi. Nilai koefisien determinasi mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Bila R2 = 0 artinya, variasi dari variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Sementara R2 = 1 artinya variasi variabel terikat dapat diterangkan variabel bebasnya.

2. Uji t-statistik

Uji t merupakan suatu pengujian untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel independen lain konstan. Pengaruh variabel independen PDRB terhadap Penerimaan Daerah, Penerimaan Asli Daerah dan Belanja Daerah dilakukan tingkat kepercayaan.

Adapun uji-t dapat didefenisikan sebagai berikut: H0 : β1 = 0  Tidak signifikan

Hi : β1≠ 0  Signifikan

Dengan kriteria sebagai berikut: H0 diterima jika t hitung < t tabel

Artinya variabel bebasnya tidak mempengaruhi variabel terikatnya. H0 ditolak jika t hitung > t tabel

Artinya variabel bebasnya mempengaruhi variabel terikatnya.

3.6. Uji Asumsi Klasik

Dalam hal ini dipakai Uji Autokorelasi saja. Uji ini merupakan hubungan variabel-variabel dari serangkaian yang tersusun dalam rangkain waktu. Autokorelasi juga menunjukkan hubungan nilai-nilai yang berurutan dari variabel-variabel yang


(39)

sama. Autokorelasi dapat terjadi jika kesalahan pengganggu suatu periode korelasi dengan kesalahan pengganggu periode sebelumnya. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam penelitian dilakukan Uji Lagrange Multiplier Test (LM-Test). Dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2 tabel, kriteria penilaian adalah:

a. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak

ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.

b. Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan bahwa tidak

ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan diterima.

3.7. Defenisi Operasional

Untuk membatasi ruang lingkup variabel yang ada, maka defenisi operasional variabel-variabel yang terkait adalah sebagai berikut:

a. PDRB harga konstan tahun 1993, adalah penerimaan dari ke-9 sektor atau lapangan uasah daerah seperti sektor pertanian, industri, bangunan dan sebagainya. (dalam juta rupiah)

b. Penerimaan Daerah adalah seluruh penerimaan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman pemerintah daerah dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. (dalam juta rupiah)

c. Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. (dalam juta rupiah)

d. Belanja Daerah adalah belanja yang terdiri dari belanja rutin daerah yang merupakan pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah untuk membiayai pegawai, barang, pemeliharaan, perjalanan dinas maupun pengeluaran tidak tersangka dan belanja pembangunan daerah yang merupakan pembiayaan infrastruktur daerah seperti bangunan-bangunan untuk sektor pertanian dan jalan raya untuk sektor jalan raya. (dalam juta rupiah)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


(40)

4.1.1. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)

PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku (adhb) pada tahun 2002 sebesar Rp. 86.741.280 juta. Sektor pertanian kembali sebagai kontributor utama dengan peranan mencapai 29,10 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor industri sebesar 27,15 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restauran 18,84 persen. Sementara sektor-sektor lain hanya memberikan total kontribusi sebesar 24,91 persen terhadap perekonomian di Sumatera Utara.

Untuk melihat produktivitas ekonomi (dengan mengabaikan inflasi), maka digunakan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). Berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Sumatera Utara pada tahun 2002 sebesar Rp. 25.925.360 juta. Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 8,60 persen diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 7,89 persen dan sektor industri sebesar 7,26 persen. Secara keseluruhan perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2002 naik sebesar 4,04 persen jika dibandingkan tahun 2001.

Tabel 4.1 PDRB ADHB dan ADHK Provinsi Sumatera Utara, 2002 – 2007

(dalam Juta Rupiah)

Tahun PDRB ADHB PDRB ADHK 1993

2002 86.741.280,00 25.925.360,00

2003 96.233.390,00 27.071.250,00

2004 114.647.290,00 28.688.853,00

2006 160.033.720,00 25.272.416,52

2007 181.819.740,00 27.234.454,02

Sumber: Sumatera dalam Angka, 2002-2007 dan BI

PDRB Provinsi Sumatera Utara atas dasar harga berlaku (adhb) pada tahun 2006 sebesar Rp. 160.033.720 juta. Sektor pertanian kembali sebagai kontributor utama dengan peranan mencapai 25,74 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor pertanian sebesar 22,18 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restauran 18,96 persen. Sementara sektor-sektor lain hanya memberikan total kontribusi sebesar 33,12 persen terhadap perekonomian di Sumatera Utara.


(41)

Untuk melihat produktivitas ekonomi (dengan mengabaikan inflasi), maka digunakan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). Berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDRB Sumatera Utara pada tahun 2002 sebesar Rp. 25.272.416,52 juta. Sector pengangkutan dan kounikasi mengalami bangunan sebesar 10,33 persen dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 9,87 persen. Secara keseluruhan perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2006 naik sebesar 6,18 persen jika dibandingkan tahun 2005. Selanjutnya sampai tahun 2007 perekonomian Sumatera Utara 6,90 persen dari tahun sebelumnya.

4.1.2. Perkembangan Inflasi

Inflasi Sumatera Utara dari tahun 2003 hingga 2005 mengalami peningkatan hingga pada level 22,41 persen. Begitu pula dengan inflasi Nasional juga mengalami peningkatan dari tahun 2003 hingga 2005 sampai pada level 17,11 persen. Melihat tabel 4.2 dibawah menyimpulkan bahwa inflasi Sumatera Utara jauh lebih besar daripada inflasi Nasional terutama pada tahun 2005.

Tabel 4.2 Perkembangan Inflasi Sumatera utara dan Indonesia, 2003 – 2007 (dalam persen)

Tahun Laju Inflasi Kumulatif Sumatera Utara

Laju Inflasi Kumulatif Indonesia

2003 4,23 5,06

2004 6,86 6,40

2005 22,41 17,11

2006 6,11 6,60

2007 6,60 6,59

Sumber: Sumatera Dalam Angka, 2003-2007

Tahun 2006, Sumatera Utara mengalami inflasi 6,11 persen jauh lebih rendah daripada tahun 2005 yang sebesar 22,41. Inflasi tahun 2006 tersebut lebih rendah dari inflasi nasional sebesar 6,60 persen. Sementara tahun 2007, inflasi meningkat menjadi sebesar 6,60 persen. Inflasi tahun 2007 lebih tinggi dari inflasi nasional sebesar 6,59 persen. Selanjutnya laju inflasi Sumatera Utara yang dihitung dari Indeks Harga Konsumen (IHK) pada triwulan III-2008 tercatat sebesar 10,47 persen sedikit menglami tekanan dibandingkan dengan posisi yang sama tahun sebelumnya yang


(42)

tercatat sebesar 7,03 persen namun berada dibawah inflasi nasional yang tercatat sebesar 12,14 persen.

4.1.3. Perkembangan Perbankan

Perekonomian Sumatera Utara hingga 2008 mengalami pertumbuhan tahunan yang lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, dengan tekanan inflasi yang cenderung menurun. Kinerja perbankan di Sumatera Utara menunjukkan kinerja yang meningkat dibandingkan posisi yang sama pada tahun sebelumnya. Sebagian besar indicator utama kinerja perbankan mengalami perbaikan, sebagaimana tercermin dari meningkatnya total asset, dana pihak ketiga yang dihimpun dan penyaluran kredit.

4.1.4. Perkembangan Ekspor – Impor

Pada tahun 2003 volume ekspor Sumatera Utara mencaapai 5,49 juta ton dan volume impor sebesar 2,34 juta ton. Hal ini berarti terjadi penurunan -6,92 persen pada ekspor dan -12,69 persen pada impor (Tabel 4.3). Nilai ekspor Sumatera Utara pada tahun yang sama mencapai 2.687,88 juta dollar Amerika dan nilai impor mencapai 679,81 juta dollar Amerika. Dengan demikian Sumatera Utara mempunyai surplus perdagangan luar negeri sebesar 2.008,07 juta dollar Amerika, yang berarti mengalami penurunan sebesar 3,12 persen dibandingkan tahun lalu.

Komoditi utama ekspor Sumatera Utara adalah minyak/ lemak nabati dan hewani yang mencapai 1.011,48 juta dollar Amerika (37,63 persen) dan diikuti oleh bahan baku sebesar 564,49 juta dollar Amerika serta barang hasil industri sebesar 428,45 juta dollar Amerika. Sumatera Utara umumnya mengekspor komoditinya ke India, yang mencapai 294,36 juta dollar Amerika (10,95 persen) dan Belanda yang mencapai 172,94 juta dollar Amerika (6,43 persen).

Nilai Impor Sumatera Utara yang bernilai 679,81 juta dollar Amerika mengalami penurunan sebesar -17,03 persen dari tahun 2002. Impor Sumatera Utara menurut kelompok barang ekonomi sebagian besar berupa bahan baku/penolong yang mencapai 373,68 juta dollar Amerika (54,97 persen). Sedangkan yang berupa barang konsumsi sebesar 169,23 juta dollar Amerika (24,89 persen) dan sisanya berupa barang modal.

Tabel 4.3 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Dan Impor Provinsi Sumatera Utara, 2003 – 2007


(43)

Tahun

Volume Nilai

(Juta Ton) (Juta US Dollar)

ekspor impor ekspor impor

2003 5,49 2,34 2.687,88 679,81

2004 7,51 3,22 4.239,41 953,36

2005 8,17 3,72 4.563,08 1.178,01

2006 8,70 4,40 5.523,90 1.456,99

2007 7,84 4,74 7.082,90 2.109,90

Sumber: Sumatera Dalam Angka, 2003 – 2007

Tahun 2004, 2005 dan 2006 komoditi utamanya juga minyak/ lemak nabati dan hewani dan diikuti oleh bahan baku serta barang hasil industri. Masing-masing nilai ekspor dan impor dapat dilihat dari tabel diatas (Tabel 4.3).

Pada tahun 2007 volume ekspor Sumatera Utara mencapai 7,84 juta ton dan volume impor sebesar 4,74 juta ton. Hal ini berarti terjadi penurunan 9,88 persen pada ekspor, sedangkan pada impor terjadi kenaikan 7,28 persen. Nilai ekspor Sumatera Utara pada tahun yang sama mencapai 7.082,9 juta dollar Amerika dan nilai impor mencapai 2.109,9 juta dollar Amerika. Dengan demikian Sumatera Utara mempunyai surplus perdagangan luar negeri sebesar 4.973 juta dollar Amerika, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 22,28 persen dibandingkan tahun lalu.

Komoditi utama ekspor Sumatera Utara adalah minyak/ lemak nabati dan hewani yang mencapai 3.132,78 juta dollar Amerika (44,23 persen) dan diikuti oleh bahan baku sebesar 1.577,78 juta dollar Amerika serta bahan makanan dan binatang hidup sebesar 844,71 juta dollar Amerika. Sumatera Utara umumnya mengekspor komoditinya ke Jepang, yang mencapai 949,64 juta dollar Amerika (13,41 persen) dan India yang mencapai 907,38 juta dollar Amerika (12,81 persen). Nilai impor Sumatera Utara yang bernilai 2.109,88 juta dollar Amerika mengalami kenaikan sebesar 44,81 persen dari tahun 2006.


(44)

4.2.1. Perkembangan Penerimaan Daerah Sumatera Utara

Penerimaan daerah Sumatera Utara lebih didominasi dari pendapatan asli

daerah. Sekitar tahun 1994-1998, penerimaan diperoleh dari hasil pajak & bukan pajak dan sumbangan dan bantuan. Kedua sumber penerimaan adalah sumber kedua yang memberi kontribusi terhadap penerimaan daerah Sumatera Utara. Setiap tahun terjadi peningkatan yang dapat kita lihat dari tabel dibawah.

Tabel 4.4 Perkembangan Penerimaan Daerah (TPD) Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1993 – 2007

Tahun Penerimaan

Daerah Sumatera Utara (juta rupiah) Pertumbuhan Penerimaan Daerah Sumatera Utara (%) Fluktuasi

1993 450.789,9 - Naik

1994 543.559,89 17,07 Naik

1995 613.429,04 11,39 Naik

1996 673.819,91 8,96 Naik

1997 772.628,76 12,79 Naik

1998 347.839,00 54,98 Turun

1999 515.926,10 32,58 Naik

2000 600.279,62 14,05 Naik

2001 1.066.803,84 43,73 Naik

2002 1.179.812,70 9,58 Naik

2003 1.571.972,62 24,95 Naik

2004 1.882.700,00 16,50 Naik

2005 1.909.800,00 1,42 Naik

2006 2.517.300,00 24,13 Naik

2007 2.737.800.00 8,05 Naik

Sumber: Website Depkeu dan Sumatera Utara Dalam Angka, 2005-2007 .

Penerimaan daerah pada tahun 1998 mengalami penurunan dari seluruh sumber yang ada akibat krisis ekonomi melanda Indonesia, sehingga penurunan yang terjadi sebesar 54,98 persen dari tahun sebelumnya. Akan tetapi pemerintah daerah berhasil meningkatkan penerimaannya kembali sebesar 32,58 persen pada tahun 1999. Secara perlahan-lahan peningkatan penerimaan daerah tetap berjalan baik dengan semakin bertambahnya sumber-sumber penerimaan daerah diantaranya dana perimbangan dan penerimaan sah yang lain yang dimulai pada tahun 2001 hingga 2007 setelah disahkannya otonomi daerah pada Januari 2000.

Hal demikian dapat kita lihat dari tabel 4.3, dimana tahun 2001 meningkat sebesar 43,73 persen. Hal ini menunjukkan penerimaan daerah mengalami perubahan


(45)

yang baik setiap tahunnya dengan adanya sumber penerimaan seperti dana perimbangan dari pusat seperti DAK dan DAU yang digunakan untuk keperluan daerah di bidang pembangunan infrastruktur daerah. Adapun sumber penerimaan sah diperoleh dari pemerintah, propinsi, kabupaten/ kota lainnya dan dana darurat. Sumber-sumber penerimaan tersebut, memberi peningkatan penerimaan yang signifikan . Hingga pada tahun 2007 telah meningkat sebesar 8,05 persen dari tahun sebelumnya.

4.2.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara

Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu penerimaan daerah terbesar diantara penerimaan-penerimaan yang lain. Pajak daerah merupakan sumber terbesar dalam pendapatan asli daerah Sumatera Utara. Pemerintah daerah dengan sengaja membuat peraturan tentang perpajakan dengan mengenakan pajak terhadap fasilitas-fasilitas umum seperti hotel, restaurant, pemasangan iklan dan sebagainya. Belum lagi sekarang-sekarang ini istilah NPWP atau pajak penghasilan sedang digalakkan dengan berbagai ketentuan menurut daerah. Hal ini juga meningkatkan penerimaan pajak daerah Sumatera Utara.

Selain pajak daerah, retribusi daerah dan laba perusahan daerah juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah.hal ini dapat kita lihat pada tabel 4.4, setiap tahunnya tetap mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan sebagainya. Peningkatan pajak kendaraan bermotor misalnya, dimana akhir-akhir ini banyak perusahaan otomotif mempermudah penjualan kendaraan beroda 4 maupun beroda 2 dengan pembayaran secara cicilan kepada masyarakat. Hal demikian meningkatkan pajak kendaraan di daerah Sumatera Utara khususnya.

Tabel 4.5 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1993 – 2007


(46)

Tahun Pendapatan Asli Daerah Sumatera

Utara (juta rupiah)

Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah

Sumatera Utara (%)

Fluktuasi

1993 119.889,77 - Naik

1994 124.141,38 3,42 Naik

1995 156.859,08 20,86 Naik

1996 171.953,97 8,78 Naik

1997 212.842,68 1,.21 Naik

1998 122.888,67 4,.26 Turun

1999 187.597,43 34,50 Naik

2000 255.078,47 26,46 Naik

2001 423.075,22 39,71 Naik

2002 614.489,38 31,15 Naik

2003 908.262,19 32,34 Naik

2004 1.143.128,73 20,55 Naik

2005 1.354.000,00 15,68 Naik

2006 1.368.200,00 1,04 Naik

2007 1.503.000,00 8,97 Naik

Sumber: Website Depkeu dan Sumatera Utara Dalam Angka, 2005-2007.

Pendapatan asli daerah Sumatera Utara mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar dari tahun ke tahun berikutnya karena hanya pada kenyataannya sumber PAD lebih banyak diperoleh dari pajak daerah berdasarkan data yang diperoleh. Sedangkan sumber PAD yang lain belum optimal, tetapi tetap memberikan kontribusi meskipun dalam jumlah jauh lebih kecil dari pajak daerah.

Setelah otonomi, PAD tidak terlalu mengalami peningkatan yang besar, seperti tahun 2001 mengalami peningkatan hanya sebesar 39 persen dari tahun sebelumya hingga tahun 2006 hanya mengalami sebesar 1,03 persen dan tahun 2007 sebesar 8,9 persen. Hal ini mencerminkan bahwa peningkatan PAD Sumatera Utara belum dioptimalkan pemerintah daerah walaupun sudah otonomi daerah.

4.2.3. Perkembangan Belanja Daerah Sumatera Utara

Belanja pemerintah daerah Sumatera Utara juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berikutnya. Kita dapat lihat pada tabel 4.5 dimana belanja daerah Sumatera Utara sangat dipengaruhi dan bergantung pada penerimaan daerah sendiri. Jika penerimaan daerah Sumatera Utara meningkat maka akan meningkatkan belanja daerahnya pula.


(47)

Selama kurun waktu 1993 hingga 2007, belanja pemerintah daerah Sumatera Utara juga mengalami fluktuasi. Belanja daerah terdiri dari belanja rutin daerah dan belanja pembagunan daerah. Menurut data yang diperoleh, belanja rutin daerah mendominasi mulai tahun 1993 hingga tahun 2002 dan tahun selanjutnya belanja pembangunan daerah mulai mengalami peningkatan. Hal demikian, mungkin disebabkan banyaknya pembangunan di daerah Sumatera Utara seperti pembangunan jalan layang, perumahan, hotel dan sebagainya.

Tabel 4.6 Perkembangan Belanja Daerah (BD) Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1993 – 2007

Tahun Belanja Daerah

Sumatera Utara (juta rupiah)

Pertumbuhan Belanja Daerah Sumatera

Utara (%)

Fluktuasi

1993 435.464,43 - Naik

1994 515.626,86 15,55 Naik

1995 591.287,56 12,80 Naik

1996 672.806,78 12,12 Naik

1997 785.176,01 14,31 Naik

1998 342.560,03 56,37 Turun

1999 468037,65 26,81 Naik

2000 416.771,93 10,95 Turun

2001 916.215,53 54,51 Naik

2002 1.026.440,78 10,74 Naik

2003 1.352.066,95 24,08 Naik

2004 1.501.500,00 9,95 Naik

2005 1.830.600,00 17,98 Naik

2006 2.184.600,00 16,20 Naik

2007 2.717.900,00 19,62 Naik

Sumber: Website Depkeu dan Sumatera Utara Dalam Angka, 2005-2007.

Otonomi daerah tahun 2000, memiliki dampak terhadap penerimaan daerah Sumatera Utara. Begitu juga dengan pengeluaran daerah Sumatera Utara semakin meningkat. Pada tahun 2001 belanja rutin daerah mengalami peningkatan sebesar 65 persen dari tahun berikutnya. Sedangkan belanja pembangunan daerah hanya meningkat sebesar 31,5 persen.

Dengan banyaknya pembangunan infrastruktur di Sumatera Utara, memacu meningkatnya belanja pembangunan daerah Sumatera Utara. Mulai tahun 2003 hingga tahun 2006, belanja pembangunan selalu meningkat. Meskipun pada tahun 2007 mengalami penurunan hanya sebesar 14,26 persen dari tahun sebelumnya.


(48)

Secara keseluruhan belanja daerah dari tahun 1993 hingga 2007 selalu mengalami peningkatan.

4.3. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 1993 Sumatera Utara

Dalam mengukur pertumbuhan daerah digunakan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto. Penulis memilih PDRB atas harga konstan, dimana tingkat perubahan harga (nilai rupiah) tidak diperhitungkan. PDRB tahun 1994 mengalami peningkatan pada seluruh sektor sebesar 8,7 persen seperti sektor pertanian, pertambangan, listrik dan gas. Selanjutnya tahun 1995 peningkatan keseluruhan sebesar 8,33 persen, dimana sektor industri meningkat sebesar 8,44 persen. Walaupun jumlah peningkatan tidak besar, akan tetapi tetap memberikan kontribusi terhadap penerimaan daerah Sumatera Utara. Begitu juga dengan sektor-sektor lain tetap meningkat meskipun dengan persentase yang kecil.

Selanjutnya tahun 1996 secara agregat pendapatan daerah Sumatera Utara meningkat sebesar 8,27 persen. Jika diperhatikan tidak ada sektor yang peningkatannya terlalu menonjol hanya sebagian saja seperti sektor pertanian, bangunan serta air, listrik dan gas masing-masing meningkat sebesar 8 persen; 8,05 persen; 11,97 persen. Selanjutnya tahun 1997 tidak begitu ada peningkatan bahkan penurunan secara merata. Adapun peningkatan hanya sekitar 5,4 persen.

Dari tabel 4.6 dapat dilihat penurunan PDRB dari tahun 1997 ke tahun 1998. Kita ketahui Mei 1998 turunnya Soeharto menyebabkan keamanan kurang kondusif dan banyaknya investor luar negeri menarik dananya dari Indonesia sehingga terjadi krisis moneter. Sumatera Utarapun terkena imbasnya, sehingga PDRB mengalami penurunan 10,9 persen.

Tabel 4.7 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 1993

Provinsi Sumatera Utara, Tahun 1993 – 2007

Tahun PDRB

(juta rupiah)

Pertumbuhan PDRB (%)

Fluktuasi

1993 18.215.459 - Naik

1994 19.942.023 8,66 Naik

1995 21.753.805 8,33 Naik

1996 23.714.737 8,27 Naik

1997 25.065.405 5,39 Naik


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bratakusumah, Deddy Supriady, 2002. Otonomi penyelenggaran Pemerintah

Daerah. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Elmi, Bachrul, 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Jakarta

: Penerbit Universitas Indonesia.

Kaho, Josef Riwu, 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik

Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi,

Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Nachrowi, D. Nachrowi, 2006. Ekonometrika. Jakarta : FE UI.

Partomo, Wahyu Ario, 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews dalam

Ekonometrika. Medan : USU Press.

Rachbini, Didik, 2001. Pembangunan Ekonomi dan SDM. Jakarta :Grasindo.

Sukirno, Sadono, 2000. Makroekonomi Modren. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sukirno, Sadono, 2006. Makroekonomi Teori Pengantar, Edisi Ketiga. Jakarta :

Raja Grafindo Persada.

Tarigan, Robinson, 2005. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi.

Medan : Bumi Aksara.

__________, Sumatera Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Sumatera Utara.

__________, Perpustakaan Bank Indonesia Cabang Medan


(2)

LAMPIRAN

Lampiran 1

: Tabel Produk Domestik Regonal Bruto Atas Dasar Harga Konstan

1993 Provinsi Sumatera Utara, 1993-2007 (dalam Juta Rupiah)

Lampiran 2

: Tabel Penerimaan Daerah Sumatera Utara, 1993-2007 (dalam Juta

Rupiah)

Lampiran 3

: Tabel Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara, 1993-2007 (dalam

Juta Rupiah)

Lampiran 4

: Tabel Belanja Daerah Sumatera Utara, 1993-2007 (dalam Juta

Rupiah)

Lampiran 5

: Tabel Hasil Regresi Penerimaan Daerah Sumatera Utara dengan

OLS

Lampiran 6

: Tabel Hasil Regresi Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara dengan

OLS

Lampiran 7

: Tabel Hasil Regresi Belanja Daerah Sumatera Utara dengan OLS

Lampiran 8

: Tabel Hasil Uji LM-Test Penerimaan Daerah, Pendapatan Asli


(3)

Lampiran 5

Tabel Hasil Regresi Penerimaan Daerah Sumatera Utara dengan OLS

Dependent Variable: LTPD Method: Least Squares Date: 01/29/09 Time: 12:56 Sample: 1993 2007

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LPDRB 2.761809 1.052789 2.623326 0.0222 DUMMY 0.503035 0.267425 1.881034 0.0844


(4)

Lampiran 6

Tabel Hasil Regresi Pendapatan Asli Daerah Sumatera Utara dengan OLS

Dependent Variable: LPAD Method: Least Squares Date: 01/29/09 Time: 13:00 Sample: 1993 2007

Included observations: 15

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LPDRB 3.522215 1.238895 2.843029 0.0148 C -33.47166 17.79383 -1.881082 0.0844

R-squared 0.775393 Mean dependent var 13.75661 Adjusted R-squared 0.737959 S.D. dependent var 0.662836 S.E. of regression 0.339305 Akaike info criterion 0.853024 Sum squared resid 1.381538 Schwarz criterion 0.994634 Log likelihood -3.397679 F-statistic 20.71334 Durbin-Watson stat 0.734217 Prob(F-statistic) 0.000128


(5)

DUMMY 0.995557 0.314699 3.163525 0.0082 C -47.59083 20.93932 -2.272797 0.0422

R-squared 0.859510 Mean dependent var 12.82955 Adjusted R-squared 0.836096 S.D. dependent var 0.986253 S.E. of regression 0.399286 Akaike info criterion 1.178578 Sum squared resid 1.913150 Schwarz criterion 1.320188 Log likelihood -5.839333 F-statistic 36.70780 Durbin-Watson stat 0.900594 Prob(F-statistic) 0.000008

Lampiran 7

Tabel Hasil Regresi Belanja Daerah Sumatera Utara dengan OLS

Dependent Variable: LBD Method: Least Squares Date: 01/30/09 Time: 09:06 Sample: 1993 2007

Included observations: 15


(6)

LPDRB 3.084078 1.236280 2.494644 0.0282 DUMMY 0.319962 0.314034 1.018876 0.3284 C -38.95012 20.89511 -1.864078 0.0870

R-squared 0.681959 Mean dependent var 13.66015 Adjusted R-squared 0.628952 S.D. dependent var 0.654110 S.E. of regression 0.398443 Akaike info criterion 1.174351 Sum squared resid 1.905081 Schwarz criterion 1.315961 Log likelihood -5.807634 F-statistic 12.86546 Durbin-Watson stat 0.786998 Prob(F-statistic) 0.001035