Estuning Mugi R 21080110130045 Laporan

(1)

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PENGARUH KONSENTRASI

CHEMICAL OXYGEN DEMAND

(COD) DAN pH TERHADAP KINERJA

GRANULAR ACTIVATED

CARBON DUAL CHAMBER MICROBIAL FUEL CELLS

(GAC-DCMFCs)

TUGAS AKHIR

ESTUNING MUGI RAHAJENG

21080110130045

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

SEMARANG


(2)

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PENGARUH KONSENTRASI

CHEMICAL OXYGEN DEMAND

(COD) DAN pH TERHADAP KINERJA

GRANULAR ACTIVATED

CARBON DUAL CHAMBER MICROBIAL FUEL CELLS

(GAC-DCMFCs)

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1)

ESTUNING MUGI RAHAJENG

21080110130045

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

SEMARANG

DESEMBER 2014


(3)

ii

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

NAMA : Estuning Mugi Rahajeng

NIM : 21080110130045

Tanda Tangan :


(4)

(5)

(6)

v bawah ini :

Nama : Estuning Mugi Rahajeng

NIM : 21080110130045

Jurusan/Program Studi : Teknik Lingkungan

Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“Pengaruh Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) Dan pH Terhadap Kinerja Granular Activated Carbon Dual Chamber Microbial Fuel Cells

(GAC-DCMFCs)” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti/ Noneksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang Pada Tanggal : Desember, 2014

Yang menyatakan


(7)

vi

Demand (COD) dan pH Terhadap Kinerja Granular Activated Carbon Dual Chamber Microbial Fuel Cells (GAC-DMFCs)”.

Microbial Fuel Cells (MFCs) merupakan sebuah sistem yang langsung mengonversi energi kimia yang terdapat pada substrat bio-convertible menjadi energi listrik, menggunakan katalis berupa bakteri. Pengolahan dengan menggunakan reaktor ini tidak hanya dapat menurunkan parameter pencemar dalam air limbah akan tetapi sekaligus bisa dijadikan sumber energi alternatif karena elektron yang dihasilkan dari mekanisme bakteri akan ditangkap oleh elektroda yang berada di dalam reaktor. Tujuan penelitian tugas akhir ini adalah menganalisis pengaruh konsentasi COD dan pH dan menentukan konsentrasi COD dan pH optimum terhadap kinerja GAC-DCMFCs.

Akhir kata, semoga Laporan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pembaca terutama mahasiswa sehingga turut berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Semarang, Desember 2014


(8)

vii terimakasih banyak penulis tujukan kepada :

1. Allah SWT, Tuhanku Yang Maha Esa. Tidak ada alasan untuk tidak selalu mengucap syukur pada-Mu.

2. Ibu Sukani, Bapak Aris Mulyanto, dan Mas Sinung Mugi Aji, keluargaku yang selalu mendukung dan setia mendoakan untuk kesuksesanku.

3. Bapak Dr. Ir. Syafrudin, CES, MT selaku ketua program studi Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro.

4. Ir. Dwi Siwi Handayani, MSi selaku dosen wali dan kordinator mata kuliah tugas akhir yang telah membantu kelancaran administrasi penyelesaian tugas akhir.

5. Ibu Sri Sumiyati, ST. MSi dan Bapak Ganjar Samudro, ST. MT selaku pembimbing I dan II Tugas Akhir yang telah memberikan bimbingan dan dukungan untuk penulis dalam pelaksanaan Tugas Akhir.

6. Bapak Dr. Haryono Setiyo Huboyo, ST, MT dan Bapak Wiharyanto Oktiawan, ST, MT selaku penguji I dan II sidang Tugas Akhir.

7. Teman-teman satu tim MFCs yang saya sayangi Amelia Fitriani, Agustin Wijayanti, Nurul Ulfia, Mei Ekowati, Lintang Iradati, Mazlani Firdausya Rohim, serta khusus untuk Bimastyaji Surya Ramadan dan Maulana Khafid Arrohman yang juga telah bersedia mengajak saya menjadi teman satu tim SEC (Super Enviro Club) selama 3 tahun, sungguh pengalaman luar biasa. Terimakasih kawan.

8. Aris Nurhidayah, Agustin Wijayanti, dan Devi Nur Vidyautami, ST yang menjadi sahabat baik sejak maba. Terimakasih dukungan dan doanya. 9. Muhamad Hibban yang selalu mendukung dan membantu penulis dalam


(9)

viii

11.Seluruh teman-teman Teknik Lingkungan angkatan 2010 atas dukungan, semangat dan doanya dari awal hingga saat ini, sampai jumpa lagi pada tahun 2020 di Jepang.

12.Mas Purwono dan Mas Ryan yang setia direpotkan selama penulis melakukan penelitian di laboratorium TL

13.Mas Dayat, Ibu Anik, Mbak Silvy, Pak Adi, Mas Habibi, Mas Budi, dan staff admin lainnya yang telah membantu penulis dalam meberikan kelancaran proses administrasi tugas akhir.

14.Kepada semua orang-orang yang turut membantu penulis selama proses penelitian tugas akhir ini berlangsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Semarang , Desember 2014


(10)

ix

Estuning Mugi Rahajeng*); Sri Sumiyati*); Ganjar Samudro *)

*)

Program Studi Teknik Lingkungan Undip, Jl. Prof. H. Sudarto, SH Tembalang – Semarang

ABSTRAK

Microbial Fuel Cells adalah alat untuk mengonversi energi kimia menjadi energi listrik dengan bantuan reaksi katalis dari mikroorganisme. Kinerja MFCs dapat dipengaruhi oleh konsentasi COD dan pH. Pada penelitian ini, digunakan variasi kedua variabel tersebut, yaitu konsentrasi COD sebesar 400, 800,1200 mg/L dan pH 6, 7, 8. Sistem MFCs ini dilengkapi dengan penggunaan granular activated carbon (GAC) sebagai media perlekatan bakteri di ruang anoda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah COD yang disisihkan meningkat ketika konsentrasi meningkat. Untuk power density, terjadi peningkatan sebesar 132,0 dan 245,0 mW/m2 ketika konsentrasi COD 400 dan 800 mg/L. Tetapi ketika konsentrasi COD 1200 mg/L, power density menurun menjadi 206,0 mW/m2. Kondisi optimum untuk COD 400 dan 800 mg/L berada pada pH 7, sedangkan COD 1200 mg/L berada pada pH 8 yang mampu menyisihkan COD dan memproduksi listrik lebih baik.


(11)

x

Estuning Mugi Rahajeng*); Sri Sumiyati*); Ganjar Samudro *)

*)

Department of Environmental Engineering Undip, Jl. Prof. H. Sudarto, SH Tembalang – Semarang

ABSTRACT

Microbial Fuel Cells are devices to convert chemical energy into electrical energy by the catalytic reaction of microorganisms. MFCs performance can be affected by the COD and pH. In this study, variations of these two variables are used; the COD concentration of 400, 800, 1200 mg/L and pH 6, 7, 8. This system is accompanied by granular activated carbon (GAC) as an attachment media of bacteria in the anode chamber. The result showed that the amount of COD removed increasing as the concentration increased. For power density, increased by 132,0 and 245,0 mW/m2 when the COD concentrations are 400 and 800 mg / L. However, when the COD concentration is 1200 mg/L power density decreased to 206,0 mW/m2. The optimum conditions for the COD of 400 and 800 mg/L were at pH 7, whereas for the COD of 1200 mg/L were at pH 8 which capable of removing COD and produce electricity better.


(12)

xi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ... v

KATA PENGANTAR... ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK... ... ix

DAFTAR ISI .. ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... I-1 1.2 Identifikasi Masalah ... I-2 1.3 Pembatasan Masalah ... I-3 1.4 Perumusan Masalah... I-3 1.5 Tujuan Penelitian... I-3 1.6 Manfaat Penelitian... I-3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Microbial Fuel Cells (MFCs) ... II-1 2.1.1 Keuntungan Microbial Fuel Cells ... II-2 2.1.2 Prinsip Kerja Microbial Fuel Cells ... II-3 2.1.3 Perkembangan Teknologi Microbial Fuel Cells ... II-3 2.1.4 Bakteri di Microbial Fuel Cells ... II-5 2.1.5 Komponen MFCs ... II-5 2.2 Faktor Operasional MFCs ... II-6 2.2.1 Substrat dalam MFCs ... II-6


(13)

xii

2.3 Granular Activated CarbonDual Chamber MFCs (GAC-DCMFCs) ... II-8 2.4 Air Buangan sebagai Bahan Baku MFCs ... II-10 2.5 Proses Pengolahan Biologi Secara Anaerob ... II-10 2.6 Biofilter Tercelup (Biofilm) ... II-11 2.7 Proses Pengolahan Biologi dengan Biakan Melekat ... II-12 2.8 Mekanisme Biofilm dalam Mentransfer Elektron ... II-13 2.9 Tahapan Penelitian ... II-15 2.10 Kapasitas Adsorpsi ... II-16 2.11 Power Density ... II-18 2.11.1 Kuat Arus Listrik ... II-19 2.11.2 Tegangan Listrik ... II-19 2.11.3 Coulombic Efficiency (CE)... II-20 2.12 Penelitian Terdahulu ... II-20 2.13 Hipotesis Penelitian ... II-22 2.14 Variabel Bebas dan Terikat ... II-23 2.25 Kerangka Pemikiran Penelitian ... II-23

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tujuan Operasional Penelitian ... III-1 3.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian... ... III-1 3.3 Variabel Penelitian ... III-2 3.4 Teknik Pengumpulan Data ... III-2 3.4.1 Sumber Data ... III-2 3.4.2 Sumber Pengumpulan Data ... III-3 3.4.3 Metode Pengumpulan Data ... III-3 3.5 Alat dan Bahan ... III-4


(14)

xiii

3.7 Diagram Alir Penelitian ...III-21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Uji Karakteristik Limbah Cair Domestik ... IV-1 4.2 Kemampuan Adsorpsi... ... IV-2 4.2.1 Penentuan Isotherm Percobaan Batch ... IV-3 4.3 Pengoperasian Reaktor MFCs ... IV-7 4.3.1 Seeding dan Aklimatisasi ... IV-7 4.3.2 Tahap Running ... IV-13 4.3.2.1 Pengaruh Konsentrasi COD dan pH terhadap Kinerja

GAC-DCMFCs ... IV-14 4.3.2.2 Menentukan Konsentrasi COD dan pH Optiimum

terhadap Kinerja GAC-DCMFCs... IV-15 4.4 pH Effluent GAC-DCMFCs ... IV-26 4.5 Kesimpulan Hasil Uji Hipotesis ... IV-28

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan... V-1 5.2 Saran... ... V-2 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN A: Data Penelitian

LAMPIRAN B: Dokumentasi Penelitian LAMPIRAN C: Prosedur Uji COD dan BOD LAMPIRAN D: Persyaratan Administratif


(15)

xiv

Gambar 2.3 Transfer Kontak Langsung antara Protein Redox-Aktif di Permukaan Sel Luar ...

II-14

Gambar 2.4 Transfer Elektron melalui Mediator Elektron Terlarut ...II-14 Gambar 2.5 Transfer Elektron menggunakan Nanowires ...II-15 Gambar 2.6 Kerangka Pikir Penelitian ...II-24 Gambar 3.1 Skematik Reaktor GAC-DCMFCs ...III-6 Gambar 3.2 Tampak Depan Rangkaian Reaktor GAC-DCMFCs ...III-6 Gambar 3.3 Tampak Depan Reaktor GAC-DCMFCs ...III-7 Gambar 3.4 Tampak Samping dan Atas Rangkaian Reaktor GAC-DCMFCs

...III-7 Gambar 3.5 Diagram Alir Proses Pembuatan Limbah Artifisial ...III-10 Gambar 3.6 Diagram Alir Proses Pembuatan Jembatan Garam ...III-11 Gambar 3.7 Diagram Alir Proses Preparasi Elektroda ...III-16 Gambar 3.8 Diagram Alir Proses Preparasi GAC...III-16 Gambar 3.9 Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Penyangga ...III-17 Gambar 3.10 Skema Penelitian Taap Seeding dan Aklimatisasi ...III-19 Gambar 3.11 Skema Penelitian Taap Running ...III-20 Gambar 3.12 Diagram Alir Metode Penelitian ...III-22 Gambar 4.1 Kurva Isoterm Freundlich ...IV-3 Gambar 4.2 Kurva Isoterm Langmuir ...IV-4 Gambar 4.3 Kurva Isoterm BET ...IV-5 Gambar 4.4 Penyisihan COD 400, 800, dan 1200 mg/L pada Tahap Seeding

dan Aklimatisasi

.... IV-8

Gambar 4.5 Power Density COD 400, 800, dan 1200 mg/L pada


(16)

xv

Gambar 4.8 A. Penyisihan Konsentrasi COD 1200 mg/L; B. Power

Density COD 1200 mg/L ... IV-22 Gambar 4.9 pH Effluent GAC-DCMFCs ... IV-26


(17)

xvi

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu Microbial Fuel Cells ... II-21 Tabel 3.1 Tujuan Operasional Penelitian ... III-1 Tabel 3.2 Tahap Pengumpulan Data ... III-3 Tabel 3.3 Alat dan Fungsinya... III-4 Tabel 3.4 Bahan dan Fungsinya ... III-5 Tabel 3.5 Keterangan Gambar 3.2 dan 3.3 ... III-8 Tabel 3.6 Massa Molekul Relatif Nutrien N dan P ... III-11 Tabel 3.7 Nilai COD Teoritis per Unit Massa... III-13 Tabel 4.1 Hasil Uji Karakteristik Grey Water Perumahan A ... IV-1 Tabel 4.2 Hasil Uji Karakteristik Grey Water Perumahan B ... IV-1 Tabel 4.3 Hasil Uji Karakteristik Limbah Tahu ... IV-2 Tabel 4.4 Penurunan Konsentrasi COD Uji Batch ... IV-2 Tabel 4.5 Perbandingan Model Persamaan Freundlich, Langmuir, BET ... IV-6


(18)

xvii

Adsorpsi Fluida terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis

Aklimatisasi Upaya adaptasi dari suatu organisme terhadap suatu lingkungan baru yang akan dimasukinya Anaerobik Kondisi tanpa udara (oksigen)

Artifisial Buatan

Batch Proses produksi yang berlangsung secara tidak kontinyu Biofilm Bakteri yang melekat di suatu permukaan dan diselimuti oleh pelekat karbohidrat yang dikeluarkan oleh bakteri.

BOD Biological Oxygen Demand

Buffer Larutan yang digunakan untuk mempertahankan

nilai pH tertentu agar tidak banyak berubah selama reaksi kimia berlangsung

CH3COOH Asam asetat

CH4 Gas metan

COD Chemical Oxygen Demand

DCMFCs Dual Chamber Microbial Fuel Cells Dependent Variable Variabel bebas

Dual Chamber Bilik ganda

GAC Granular Activated Carbon

GAC-DCMFCs Granular Activated Carbon Microbial Fuel Cells Hidrolisis Reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O)

menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH−) melalui suatu proses kimia

Independent Variable Variabel terikat

KMnO4 Kalium Permanganat


(19)

xviii

pH Derajat keasaman

Running Tahap pengoperasian reaktor

Salt bridge Jembatan garam

Seeding Pembiakan bakteri

Sloughing Lepasnya film dari media

Substrat Molekul organik yang telah berada dalam kondisi siap/segera bereaksi


(20)

I-1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan zaman, kebutuhan manusia akan suatu hal semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pula limbah yang dihasilkan tiap harinya. Kegiatan sehari-hari seperti MCK merupakan kontribusi besar dalam menurunnya kualitas lingkungan. Air limbah juga dapat berasal dari kegiatan non domestik, seperti dari kegiatan pertanian, perdagangan, dan industri. Dengan menggunakan teknologi pengolahan yang tepat, diharapkan air limbah dapat tertangani dengan baik. Menurut Sami (2012: 2), sasaran pengolahan air adalah untuk mengurangi BOD, COD, partikel tercampur, membunuh organisme pathogen, menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun yang tidak dapat didegradasikan agar konsentrasi yang ada menjadi rendah.

Beberapa teknologi pengolahan air limbah yang dapat digunakan antara lain adalah UASB dan anaerobic digestion yang dioperasikan secara anaerobik, serta trickling filter, RBC, oxidation ditch, dll yang dioperasikan secara aerobik. Setiap jenis teknologi pengolahan air limbah mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing, oleh karena itu dalam hal pemilihan jenis teknologi tersebut perlu diperhatikan aspek operasional, ekonomis, lingkungan, dan manfaatnya secara keseluruhan. Salah satu teknologi yang memenuhi aspek-aspek diatas adalah Microbial Fuel Cells. MFCs adalah kemajuan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memanfaatkan potensi oksidasi bakteri untuk pengolahan air limbah dan produksi bio-hidrogen dan bio-listrik dan merupakan salah satu bentuk energi yang ramah lingkungan dan dapat menjadi sumber energi di masa depan. MFCs mengubah energi kimia menjadi energi listrik melalui reaksi katalik yang menggunakan mikroorganisme. Penggunaan air limbah dalam sistem microbial fuel cells ini mempunyai beberapa keuntungan, seperti kontaminan dalam air limbah dapat


(21)

menjadi sumber karbon untuk microbial fuel cells, dan energi listrik yang dihasilkan cukup untuk digunakan dalam pengolahan air limbah berikutnya dan ini berarti mengurangi konsumsi energi (Li, 2007: 1).

Dalam pengoperasian MFCs, konsentrasi COD dan pH merupakan variabel yang menjadi faktor operasional sistem. Konsentrasi COD yang tinggi membuat mikroorganisme mensintesis lebih enzim dengan mempertahankan kemampuan menghilangkan COD dalam beberapa waktu, oleh karena itu mikroorganisme mampu menurunkan COD pada tingkat konsentrasi tinggi sehingga meningkatkan intensitas maksimum yang dihasilkan dari sistem MFCs. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Campo, et al. (2012), bertambahnya konsentrasi COD meningkatkan aktivitas mikroorganisme sehingga meningkatkan produksi arus listrik. Peningkatan produksi listrik juga dipengaruhi oleh operasional pH. Pada MFCs dual chamber, kuat arus tertinggi dicapai pada pH netral antara 6,5 sampai 8 (Behera and Ghangrekar, 2009: 5114). Selain mengatur sistem MFCs dalam kondisi COD dan pH yang optimum, kinerja MFC dapat ditingkatkan dengan menggunakan granular activated carbon (GAC) berfungsi sebagai media lekat. MFCs yang menggunakan GAC sebagai media lekat dapat disebut sebagai Granular Activated Carbon Dual Chamber Microbial Fuel Cells (GAC-DCMFCs). Dalam konteks ini, tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah pengoperasian MFCs dengan media lekat GAC ketika COD dan pH digunakan sebagai variabel. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, variasi COD dan pH dapat mempengaruhi performa MFCs, semakin besar COD yang diolah dan pH yang optimum maka kinerja MFCs semakin baik.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah pada penelitian ini adalah:

1. Tingginya konsentrasi organik yang ada di dalam air limbah akan menyebabkan masalah bagi lingkungan sehingga memerlukan pengolahan yang tepat.

2. Belum diketahui pH optimum serta pengaruhnya dalam kinerja GAC-DCMFCs.


(22)

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Konsentrasi COD yang rendah maupun tinggi dapat menyebabkan perubahan produksi listrik dan penyisihan COD di dalam reaktor GAC-DCMFCs.

2. pH dapat menyebabkan perubahan produksi listrik dan penyisihan COD di dalam reaktor GAC-DCMFCs.

1.4 Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh konsentrasi COD dan pH terhadap kinerja GAC-DCMFCs?

2. Berapakah konsentrasi COD dan pH optimum pada GAC-DCMFCs?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh konsentasi COD dan pH terhadap kinerja GAC-DCMFCs.

2. Menentukan konsentrasi COD dan pH optimum terhadap kinerja GAC-DCMFCs.

1.6 Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain adalah: A. Bagi Pembaca

1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengolahan limbah dengan menggunakan Microbial Fuel Cells.

2. Penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya.


(23)

B. Bagi Penulis

1. Menambah pengetahuan mengenai pengolahan limbah dengan menggunakan Microbial Fuel Cells.

2. Mengembangkan jiwa riset bagi penulis tentang GAC-DCMFCs yang merupakan modifikasi dari MFCs konvensional.


(24)

I-1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Microbial Fuel Cells (MFCs)

Microbial Fuel Cells atau (MFCs) adalah peralatan untuk mengubah energi kimia menjadi energi listrik melalui aktivitas katalitik dari mikroorganisme (Winaya,dkk., 2011: 1). Sebagai sebuah peralatan sistem bio-electrochemical yang menggunakan bakteri untuk mengubah (energi kimia) material organik menjadi energi listrik, maka fuel cell ini dibuat dengan konstruksi anoda, katoda, proton exchange membrane (PEM), dan rangkaian listrik luar. Anoda dikondisikan di lingkungan yang mana bakteri anaerob dan material organik yang dikonsumsinya ditempatkan. Pada anoda, bahan bakar dioksidasi oleh mikroorganisme, sebagai bagian dari proses digestive maka bakteri akan menghasilkan ion positif (H+) dan elektron (e-). Hal ini juga diketahui sebagai proses oksidasi. Elektron akan ditarik keluar dari larutan atau ditransfer menuju elektroda di anoda. MFCs membangkitkan listrik dengan mengoksidasi bahan organik secara anaerob melalui bantuan mikoorganisme. Aktivitas katalis dan transfer proton dilakukan dengan menggunakan enzim atau tambahan mediator (Zahara 2011: 10). Dalam MFCs, yang dapat digunakan sebagai donor elektron adalah zat hasil metabolisme mikroba atau elekron yang dilepaskan mikroba saat melakukan metabolismenya. Zat hasil metabolisme mikroba pada umumnya merupakan senyawa yang mengandung hidrogen, seperti etanol, methanol, atau gas methan. Senyawa ini dapat digunakan sebagai sumber hydrogen melalui serangkaian proses dalam reformer untuk memproduksi elektron dan menghasilkan arus listrik (Zahara. 2011: 10). Setiap aktivitas mikroorganisme dan metabolisme umumnya melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium. Elektron ini dapat dimanfaatkan langsung pada anoda dalam MFCs untuk menghasilkan energi listrik.


(25)

Pada dasarnya, berbagai bentuk bahan organik dapat digunakan sebagai substrat dalam microbial fuel cells, seperti glukosa (Liu dan Logan, 2004), asetat (Logan et al., 2007), asam amino (Logan et al., 2005) dan air limbah dari manusia dan hewan (Liu et al., 2004). Secara umum mekanisme prosesnya adalah substrat dioksidasi oleh bakteri menghasilkan elektron dan proton pada anoda.Elektron ditransfer memalui sirkuit eksternal, sedangkan proton didifusikan melalui larutan menuju katoda. Pada katoda, reakasi elektron dan proton terhadap oksigen akan menghasilkan air (H2O) (Cheng et al., 2006).

2.1.1 Keuntungan Microbial Fuel Cells

MFCs mampu menghasilkan listrik dari bahan organik. Tidak seperti sel bahan bakar konvensional, MFCs memiliki keunggulan tertentu yang secara ringkas dijelaskan oleh Logan et al. (2006) dan Rabaey dan Verstraete (2005: 291) yaitu: (1) ketersediaan bahan bakar yang banyak. Hampir semua jenis bahan organik seperti limbah, lumpur dan biomassa dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar di MFCs untuk produksi listrik, (2) proses produksi bersih. MFCs tidak memiliki proses perantara yang substansial, dapat mengonversi substrat listrik secara langsung, merupakan jenis energi yang siap untuk digunakan, serta tidak memproduksi polutan. Gas hasil sampingan CO2 dapat dibuang tanpa pengolahan

lebih lanjut, (3) memproduksi sedikit lumpur. Hasil pertumbuhan bakteri sangat rendah dibandingkan dengan proses anaerobik, (4) kondisi operasi ringan. Tidak seperti pencernaan anaerobik dan proses fermentasi lainnya, MFCs dapat diterapkan dalam kondisi ringan seperti suhu rendah dan air limbah kekuatan rendah, (5) tidak perlu aerasi. Katoda udara MFCs bisa menggunakan oksigen secara langsung dari udara, sehingga menurunkan biaya aerasi, (6) biaya katalis rendah. Dengan perkembangan bioanode dan biocathode, mikroorganisme bisa menjadi katalis yang efisien, (7) aplikasi yang luas. MFCs pada awalnya dirancang untuk pengolahan air limbah, tetapi dengan beberapa modifikasi, MFCs dapat dengan mudah dikonversi ke teknologi jenis lain untuk aplikasi khusus seperti penghapusan polutan, produksi hidrogen, bioproduction, dll.


(26)

2.1.2 Prinsip Kerja Microbial Fuel Cells

Prinsip kerja MFCs adalah memanfaatkan mikroba yang melakukan metabolisme terhadap medium di anoda untuk mengkatalisis pengubahan materi organik menjadi energi listrik dengan mentransfer elektron dari anoda melalui kabel dan menghasilkan arus ke katoda. Transfer elektron dari anoda diterima oleh ion kompleks di katoda yang memiliki elektron bebas. Dalam MFCs, yang dapat digunakan sebagai donor elektron adalah zat hasil metabolisme mikroba atau elektron yang dilepaskan mikroba saat melakukan metabolismenya. Zat hasil metabolisme mikroba umumnya merupakan senyawa yang mengandung hidrogen, seperti etanol, metanol, atau gas metana. Senyawa ini dapat digunakan sebagai sumber hidrogen melalui serangkaian proses untuk memproduksi elektron dan menghasilkan arus listrik. Setiap aktivitas metabolisme yang dilakukan mikroba umumnya melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium. Elektron ini dapat dimanfaatkan langsung pada anoda dalam MFCs untuk menghasilkan arus listrik (Novitasari, 2011: 7).

Secara umum mekanismenya adalah substrat dioksidasi oleh bakteri menghasilkan elektron dan proton pada anoda. Elektron ditransfer melalui sirkuit eksternal, sedangkan proton didifusikan melalui separator membran menuju katoda. Pada katoda, reaksi elektron dan proton terhadap oksigen akan menghasilkan air (Cheng et al., 2006).

2.1.3 Perkembangan Teknologi Microbial Fuel Cells

Microbial Fuel Cells bukanlah teknologi yang baru. Konsep menggunakan mikroorganisme sebagai katalis di bahan bakar sel telah dikembangkan sejak tahun 1970. Kemudian pada tahun 1991, teknologi ini digunakan sebagai alat untuk mengolah air limbah domestik oleh Habermann dan Pommer. Namun baru-baru ini sedang dikembangkan strategi baru-baru supaya MFCs dapat diaplikasikan langsung di lapangan (Rabaey, et al., 2005). Penelitian ilmiah mengenai MFCs di laboratorium mencapai prestasi yang luar biasa, dengan kepadatan daya yang mencapai lebih dari 1 kW/m3 (volume reaktor) dan 6,9 W/m2 (area anoda) dalam kondisi optimal. Tantangan utama adalah untuk membawa teknologi ini keluar


(27)

dari skala laboratorium dan untuk memproduksi bioenergi pada skala yang lebih besar. Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika di Penn State akhir tahun 2005 lalu mungkin menambah satu bidang lagi kontribusi bakteri terhadap kehidupan manusia. Adalah MFCs, suatu sistem yang ditemukan dengan menggunakan bantuan tenaga listrik untuk menghasilkan hidrogen dan air bersih dari air limbah rumah tangga, pertanian maupun industri. Dr. Bruce Logan, profesor peliti dan penemunya Ramanathan Ramnarayan mengatakan, proses MFCs tidak dibatasi biomassa karbohidrat yang ada pada substrat sebagai penghasil hidrogen seperti pada proses fermentasi biasa. Walaupun MFCs telah ada sebelumnya, Logan mengatakan, MFC yang baru ini sedikit berbeda dengan pendahulunya. Pada MFCs baru, ketika bakteri “memakan” substrat, bakteri mentransfer elektron pada anoda. Bakteri juga melepaskan proton yang kemudian larut. Elektron pada anoda bermigrasi melalui kabel menuju katoda, dimana dengan bantuan secara elektrokimia akan terjadi kombinasi dengan proton membentuk gas hidrogen. Pada saat pertama didemonstrasikan, gas hidrogen benar-benar dapat ditangkap dan dapat dijadikan sebagai bahan bakar yang dapat diperbarui serta ramah lingkungan.

Baik di Indonesia maupun di mancanegara, teknologi MFCs telah diaplikasikan untuk mengolah berbagai jenis air limbah, seperti limbah Rumah Pemotongan Hewan (Ardhianto dan Septyana, 2014), limbah buah-buahan (Khafidiyanto dan Utari, 2014), air bilasan bagas (Winaya dkk, 2011), limbah industri tempe (Kristin, 2012), air limbah dari pengolahan limbah domestik (Jiang, 2009), limbah tekstil (Kalathil, 2009), dan lain-lain. I Nyoman P. Aryantha, Ph.D dan Shinta Asarina, S.Si, kedua peneliti dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB mengembangkan sumber energi listrik alternatif bertenagakan mikroba. Penelitian ini telah dilakukan selama dua tahun sejak tahun 2009. Kedua peneliti tersebut mengembangkan teknologi microbial fuel cells dengan biokatoda (http://www.itb.ac.id/news/3130.xhtml).


(28)

2.1.4 Bakteri di Microbial Fuel Cells

Telah diketahui selama hampir seratus tahun bahwa bakteri bisa menghasilkan listrik (Logan, 2006: 512) tetapi hanya dalam beberapa tahun terakhir, kemampuan ini menjadi lebih populer di laboratorium. Dalam MFCs, bakteri tertentu yang disebut exoelectrogens dapat mengoksidasi bahan organik dan mentransfer elektron ke anoda serta menghasilkan arus listrik (Logan 2006: 512). Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron yang berasal dari metabolisme bahan organik untuk anoda. Sedimen laut, tanah, air limbah, sedimen air tawar dan lumpur aktif adalah sumber yang kaya untuk mikroorganisme ini, seperti Escherichia coli, Geobacter sulfurreducens,

Shewanella oneidensis, Shewanella putrefaciens (Du et al., 2007: 467)

2.1.5 Komponen MFCs

Sebuah MFCs terdiri dari sebuah ruang anodik dan ruang katodik yang dipisahkan oleh membran maupun jembatan garam. Tabel 2.1. menunjukkan ringkasan komponen MFCs dan bahan yang digunakan untuk membangunnya (Logan, 2007: 61).

Tabel 2.1

Material Komponen Microbial Fuel Cells

Bahan Material Keterangan

Anoda Graphite, graphite felt, carbon paper,

carbon-cloth, Pt, Pt black, reticulated vitreous carbon (RVC)

Harus ada

Katoda Graphite, graphite felt, carbon paper,

carbon-cloth, Pt, Pt black, RVC

Harus ada

Ruang anoda Glass, polycarbonate, plexiglas Harus ada

Ruang katoda Glass, polycarbonate, plexiglas Harus ada

Sistem pertukaran ion

Proton exchange membrane: Nafion, Ultrex, polyethylene.poly

(styrene-co-divinylbenzene); salt bridge, porcelain septum, atau solely electrolyte


(29)

Bahan Material Keterangan Katalis Elektroda Pt, Pt black, MnO2, Fe

3+,

polyaniline, electron mediator immobilized on anode

Opsional

Sumber: Du et al., 2007

2.2 Faktor Operasional MFCs 2.2.1 Substrat dalam MFCs

Dalam kultur campuran, sulit untuk menganalisis apakah substrat yang terbaik karena proses metabolisme yang berbeda setiap spesies (Liu, 2007). Beberapa penelitian tentang substrat yang telah dilakukan diantaranya mengunakan substrat asetat (Logan, et al., 2007), glukosa (Catal et al., 2008a), landfill leachete (Greenman et al., 2009), limbah domestik (Wang et al., 2009a), dan sodium fumarate (Dumas., et al 2008). Selain dari penelitian diatas, menurut Zhang (2012: 7), menyatakan bahwa substrat merupakan faktor penting dari berbagai macam reaktor MFCs. Hal ini dapat diinformasikan bahwa komunitas mikroba dan produksi listrik yang dihasilkan selalu berbeda ketika variasi substrat yang digunakan berbeda. COD yang terkandung di dalam limbah mempengaruhi hasil dari produksi listrik, yakni sebagai sumber karbon untuk produksi listrik serta tujuan pengolahan air limbah. Menurut Metcalf and Eddy (1991), COD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik dalam air, sehingga parameter COD mencerminkan banyaknya senyawa organik yang dioksidasi secara kimia. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (Alaerts dan Sumestri,1984; Kasam dkk., 2005: 5). Dalam sebuah sistem MFCs, COD dijadikan sebagai substrat bagi bakteri (Mulyani, 2012). Konsentrasi COD yang tinggi membuat mikroorganisme mensintesis lebih enzim dengan mempertahankan kemampuan menghilangkan COD dalam beberapa waktu.


(30)

2.2.2 pH

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH merupakan faktor kritis untuk semua proses berbasis mikroba. Pada MFCs, pH tidak hanya mempengaruhi metablisme dan pertumbuhan bakteri tapi juga terhadap transfer proton dan reaksi katoda sehingga mempengaruhi performa MFCs. Sebagian besar MFCs beroperasi pada pH mendekati netral untuk menjaga kondisi pertumbuhan optimal komunitas mikroba yang terlibat dalam pembentukan listrik (Liu, 2008; Kristin, 2012). Menurut Budhi dkk (1999: V-159), derajat keasaman kultur medium sangat berpengaruh terhadap populasi mikroba. Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Pada rentang pH 6-8, laju produksi gas metana berkisar antara l-4 ml/hari. Penambahan larutan penyangga diperlukan untuk mempertahankan pH sekitar 7 agar pertumbuhan bakteri penghasil metana tidak terhambat. Kapasitas penyangga dalam reaktor ditunjukkan dengan adanya alkalinitas.

2.2.3 Temperatur

Kinetika bakeri, transfer massa proton melalui elektrolit dan laju reaksi okisgen pada katoda menetukan performa MFCs dan semua tergantung pada temperatur. Biasanya konstanta reaksi biokimia mengganda setiap kenaikan temperatur 10°C sampai tercapai temperatur optimal. Sebagian besar studi MFCs dilakukan pada temperature 28-35°C (Liu et al., 2008: 277). Dalam penelitian (Patil et al., 2010: 16) dijelaskan bahwa temperatur tidak hanya berpengaruh kepada pertumbuhan bakteri tetapi juga berpengaruh dalam produksi listrik. Secara umum, produksi listrik meningkat sesuai dengan suhu lingkungannya. Hal ini sudah di observasi dalam penelitian bahwa dalam peningkatan suhu dari 30 - 40 oC meningkatkan produksi listrik hingga 80 % (Liu et al., 2010: 2165).

2.2.4 Hydraulic Retention Time ( HRT)

Hydraulic Retention Time merupakan variabel penting lainnya dalam pengolahan air limbah menggunakan reaktor MFCs. HRT mempengaruhi


(31)

penurunan kadar COD/BOD dan pembentukan daya pada MFCs (Liu, 2008; Kristin 2012: 12).

2.2.5 Arsitektur Reaktor MFCs

Secara umum, desain reaktor MFCs dan pemilihan material sangat penting dan berpengaruh terhadap perfoma MFCs. Faktor utama dalam desain MFCs terdiri dari desain reaktor, jarak elektroda, tipe dan jenis separator, jumlah rasio dari elektroda (luas dan volume) , jenis elektroda dan pemilihan katalis, larutan maupun bio katoda (Borole et al., 2011: 4816)

2.3 Granular Activated Carbon Dual Chamber MFCs (GAC-DCMFCs) MFCs dua kompartemen biasanya dijalankan dalam modus batch dengan media kimia tertentu seperti glukosa atau larutan asetat untuk menghasilkan energi. MFCs dua kompartemen saat ini hanya digunakan di laboratorium. Komponennya memiliki ruang anodik dan ruang katodik yang dihubungkan oleh PEM, atau kadang-kadang jembatan garam untuk memungkinkan proton bergerak melintasi ke katoda sementara mencegah difusi oksigen ke anoda. Kompartemen ini dapat dibuat dalam berbagai bentuk praktis (Du et al., 2007: 6).

Karbon aktif granular (GAC), media filter yang umum digunakan dalam proses pengolahan air limbah, merupakan bahan yang murah dan tahan lama dengan luas permukaan yang tinggi (minimal 1000 m2 /g), yang bisa meningkatkan adhesi bakteri dan dapat digunakan sebagai bahan anoda yang cocok di MFCs (Jiang, 2009: 31). Filter GAC telah digunakan selama 20 tahun untuk menghilangkan bahan organik terlarut oleh adsorpsi. Baru-baru ini, telah diketahui bahwa selain mengadsorpsi bahan organik, GAC juga merupakan bahan yang baik untuk pengembangan bakteri yang menempel. Granular Activated Carbon Dual Chamber MFCs merupakan modifikasi dari dual chamber MFCs dengan tambahan GAC di ruang anoda seperti desain penelitian Jiang et al. (2009).


(32)

Gambar 2.1 GAC-DCMFCs

Sumber: Jiang et al. (2009: 32)

Menurut Liu (2012), manfaat penggunaan GAC adalah kemampuannya untuk menyerap senyawa organik beracun yang mungkin menghambat mikroorganisme yang terlibat dalam sistem anaerobik di MFCs. GAC dapat memberikan luas area tinggi untuk perlekatan mikroba. Sifat tambahan dari GAC adalah konduktivitas listrik yang tinggi dan kemungkinan bahwa hal itu dapat berfungsi sebagai akseptor elektron. GAC adalah salah satu jenis elektroda yang efektif dalam MFCs karena mikroorganisme dapat mentransfer elektron ke GAC yang berfungsi sebagai elektroda di anoda. Produksi arus dalam MFCs dapat dibatasi oleh jumlah luas permukaan anoda tersedia untuk pembentukan biofilm, dan lambatnya kinetika degradasi substrat.

Gambar 2.2

GAC sebagai Akseptor Elektron Sumber: J. Liu et al. (2014: 279)


(33)

2.4 Air Buangan sebagai Bahan Baku MFCs

Air buangan merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan, pertanian, dan sebagainya. Dalam sistem MFCs, mikroba yang terdapat secara alami dalam air buangan dimanfaatkan untuk memproduksi energi listrik melalui reaksi yang memungkinkan terjadinya transpor elektron dari permukaan sel ke anoda. Energi listrik yang dihasilkan oleh konsorsium mikroba dalam sampel air buangan tanpa perlakuan khusus mungkin tidak cukup besar untuk dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan perolehan energi listrik, akan dilakukan pengukuran secara seri dan optimasi terhadap sampel. Optimasi bertujuan untuk meningkatkan produksi energi listrik oleh konsorsium mikroba. Upaya ini juga diharapkan dapat menurunkan kadar pencemar pada sampel air buangan yang digunakan (Sitorus, 2010: 12).

2.5 Proses Pengolahan Biologi Secara Anaerob

Menurut Budhi dkk (1999: V-159), proses fermentasi anaerob pada dasarnya adalah proses pengubahan senyawa organik menjadi metana dan karbondioksida, tanpa kehadiran oksigen. Mengingat pengolahan ini tidak membutuhkan oksigen, secara otomatis dapat mengurangi kebutuhan energi, manjaga kestabilan efluen yang dihasilkan, produksi lumpur yang rendah, kebutuhan nutrisi rendah, dan menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan (Grady dan Lim, 1980). Berikut ini tahapan dekomposisi seyawa organik secara anaerob menurut Menurut Budhi dkk(1999: V-159):

1. Reaksi hidrolisis, merupakan proses pelarutan senyawa organik yang semula tidak larut dan proses penguraan senyawa tersebut menjadi senyawa dengan berat molekul lebih rendah dan dapat melewati membran sel. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim yang dikeluarkan oleh bakteri anaerob. Zat-zat organik seperti polisakarida, lemak dan protein dihidrolisis menjadi gula dan asam amino. 2. Proses pembentuk asam melibatkan dua golongan besar bakteri yaitu bakteri asidogenik dan asetogenik. Bakteri asidogenik memfermentasikan hasil hidrolisis menjasi asam lemak volatil berantai pendek seperti butirat, propionat,


(34)

dan alkohol. Kemudian bakteri asetogenik menghidrolisis zat hasil fermentasi menjadi asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida.

3. Proses pembentukan metana terutama berasal dari asam asetat, tetapi ada juga yang berasal dari hidrogen dan karbondioksida. Ada dua bakteri yang berperan, yaitu bakteri metana asetoklasik dan bakteri metana pengonsumsi hidrogen. Bakteri metana asetoklasik mengubah asam asetat menjadi metana dan karbondioksida. Bakteri ini mampu mengendalikan nilai pH proses fermentasi dengan jalan mengonsumsi asam asetat membentuk karbondioksida. Bakteri pengonsumsi hidrogen mengubah hidrogen bersama-sama dengan karbondioksida menjadi metana dan air.

2.6 Biofilter Tercelup (Biofilm)

Biofilm yang dikenal sebagai kumpulan lendir adalah kumpulan komunitas mikroba yang melekat secara bertahap membentuk endapan di atas permukaan dari operator (pembawa) yang akan mengakibatkan efisiensi limbah (pembawa) akan turun (Hui Huang dkk, 2014 : 2).

Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter tecelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengembang-biakan mikroorganisme dengan atau tanpa aerasi. Untuk proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di bawah permukaan air. Media biofilter yang digunakan secara umum dapat berupa bahan material organik atau anorganik (Said, 2002 : 131). Di dalam reaktor biofilter, mikroorganisme tumbuh melapisi keseluruhan permukaan media. Pada saat operasi, air yang mengadung senyawa polutan mengalir melalui celah media dan kontak langsung dengan lapisan massa mikroba (biofilm). Biofim yang terbentuk pada lapisan atas media dinamakan zoogleal film, yang terdiri dari bakteri, fungi, alga, protozoa. Metcalf dan Edy (2003) mengatakan bahwa sel bakterilah yang paling berperan dan banyak dipakai secara luas di dalam proses pengolahan air buangan. Proses yang terjadi pada pembentukan biofilm pada pengolahan air


(35)

limbah sama dengan yang terjadi di lingkungan alami. Mikroorganisme yang ada pada biofilm akan mendegradasi senyawa organik yang ada di dalam air. Lapisan biofilm yang semakin tebal akan mengakibatkan berkurangnya difusi oksigen ke lapisan biofilm yang dibawahnya (Herlambang dan Said, 2010: 3)

Menurut Monroe (2007), ada 5 tahap pembentukan biofilm yaitu:

1. Pelekatan awal: mikrooganisme melekat pada permukaan suatu benda dan dapat diperantarai oleh fili (rambut halus sel) contohnya pada P.aeruginosa. 2. Pelekatan permanen: mikrooganisme melekat dengan bantuan eksopolisakarida

(EPS).

3. Maturasi I: proses pematangan biofilm tahap awal.

4. Maturasi II: proses pematangan biofilm tahap akhir, mikroorganisme siap untuk menyebar.

5. Dispersi: Sebagian mikroorganisme akan menyebar dan berkolonisasi di tempat lain.

2.7 Proses Pengolahan Biologi dengan Biakan Melekat

Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Proses ini disebut juga proses film mikrobiologis atau proses biofilm (Said, 2000: 101). Sistem pengolahan limbah dengan biakan melekat adalah sistem yang menggunakan reaktor dimana air limbah dikontakkan dengan film mikrobiologis yang dilekatkan pada permukaan media. Pada proses biakan melekat, mikroorganisme bertanggungjawab untuk mengubah materi organik atau nutrien dengan cara melekat pada packing material inert. Proses biakan melekat dapat dioperasikan pada proses aerob dan anaerob.

Dalam pengolahan air limbah, proses biofilm mempunyai beberapa kemampuan antara lain dapat mengubah ammonia menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat dan akhirnya menjdi gas nitrogen, menghilangkan polutan organik (BOD, COD), menghilangkan kelebihan nitrogen dan gas inert lainnya,


(36)

menghilangkan kekeruhan dan menjernihkan air. Pada umumnya proses biofilm dirancang untuk mengubah dan menghilangkan polutan organik dan senyawa ammonia (Said, 2000: 101).

Tabel 2.2

Keunggulan dan Kelemahan Proses Biakan Melekat

Keunggulan

Pengoperasian mudah

Lumpur yang dihasilkan sedikit

Mampu mengolah berbagai konsentrasi limbah Tahan terhadap fluktuasi debit dan konsentrasi Tahan terhadap penurunan suhu

Memerlukan lahan sedikit Estetis

Tidak ada masalah pada pengendapan lumpur Kemampuan pengolahan lebih efektif

Kelemahan

Menimbulkan bau

Padatan hasil sloughing tidak dapat dikontrol

Biayanya lebih besar dibanding pengolahan dengan lumpur aktif

Sumber: Said (2000: 102)

2.8 Mekanisme Biofilm dalam Mentransfer Elektron

Transfer elektron ekstraselular didefinisikan sebagai proses di mana elektron yang dilepaskan pada oksidasi donor elektron ditransfer keluar dari mikroorganisme menuju akseptor elektron ekstraselular. Menurut Leang et al., (2010: 4080), tiga mekanisme di mana elektron ditransfer dari mikroorganisme menuju anoda antara lain:

a) Transfer Elektron melalui Kontak Langsung antara Protein Redox-Aktif di Permukaan Sel Luar

G. sulfurreducens menunjukkan adanya banyak jenis sitokrom C dan protein multicopper yang penting untuk mentransfer elektron ekstraseluler di


(37)

biofilm, sedangkan OmcB berpartisipasi dalam transfer elektron dari biofilm ke anoda (Leang et al, 2010: 4080; Lovley, 2012: 396).

Gambar 2.3

Transfer Elektron melalui Kontak Langsung antara Protein Redox-Aktif di Permukaan Sel Luar

Sumber: Lovley, 2012

b) Transfer Elektron melalui Elektron Mediator Terlarut

Mediator elektron menyediakan sarana untuk mengantar elektron dari bagian dalam mikroorganisme menuju anoda. Mediator ini dapat diberikan secara eksternal untuk memudahkan transfer elektron (mediator eksogen), maupun diproduksi sendiri oleh mikroorganisme (mediator endogen).

Gambar 2.4

Transfer Elektron melalui Elektron Mediator Terlarut Sumber: Lovley, 2012


(38)

c) Konduksi Elektron menggunakan Nanowires

Nanowire ini dapat mendorong transfer elektron jangka panjang di biofilm multilayer setebal kira-kira 40-50 μm, dan juga bertindak sebagai komponen struktural pembentukan biofilm (Reguera et al., 2006).

Gambar 2.5

Konduksi Elektron menggunakan Nanowires Sumber: Lovley, 2012

2.9 Tahapan Penelitian 1. Seeding dan Aklimatisasi

Seeding atau pembenihan bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangbiakkan mikroorganisme di dalam substrat yang akan diolah (Syafila, 2000: 243), sedangkan proses aklimatisasi dilakukan untuk mendapatkan suatu kultur mikroorganisme yang stabil dan dapat beradaptasi dengan air buangan. Proses aklimatisasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu dengan konsentrasi air limbah sebesar 50% dan 100% untuk menghindari shock loading (Himawan, 2012: 4). Apabila aklimatisasi berhasil yang ditandai dengan penurunan COD mencapai angka penurunan yang stabil (Fauzia, 2012: 32)

2. Running

Proses pengoperasian reaktor (running) berjalan ketika hasil dari aklimatisasi dalam hal ini efisiensi penurunan COD dalam bentuk stasioner, maka reaktor siap digunakan dalam penelitian. Reaktor digunakan dengan sistem yang


(39)

berbeda dengan sistem sebelumnya yaitu dengan sistem kontinyu (Septyana, 2014: IV-6).

2.10 Kapasitas Adsorpsi

Isoterm adsorpsi adalah adsorpsi yang menggambarkan hubungan antara zat yang teradsorpsi oleh adsorben dengan tekanan atau konsentrasi pada keadaan kesetimbangan dan temperatur konstan. Persamaan yang sering digunakan untuk menggambarkan data percobaan isoterm telah dikembangkan oleh 1) Freundlich, 2) Langmuir, dan 3) Brunauer, Emmett, dan Teller (Isoterm BET) (Tchobanoglous et al., 1991:318).

Dalam sistem cair, isoterm adsorpsi menyatakan variasi adsorben dan adsorbat yang terjadi pada suhu konstan. Pada kondisi kesetimbangan terjadi distribusi larutan antara fasa cair dan fasa padat.Rasio dari distribusi tersebut merupakan fungsi konsentrasi dan larutan. Pada umumnya jumlah material yang diserap per satuan berat dari adsorben bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi walaupun hal itu tidak selalu berbanding lurus.

1. Isotherm Freundlich

Bila diasumsikan bahwa volume cairan tidak mengalami perubahan selama proses adsorpsi berlangsung, pelarut sedikit sekali atau bahkan tidak terjerap dan volume adsorben tidak mengalami perubahan, maka akan berlaku persamaan empiris sebagai berikut:

q = k. Cn1

Keterangan:

q = konsentrasi maksimum adsorbat dalam adsorben dalam keadaan setimbang (gram/gram)

k dan n = konstanta dimana nilainya tergantung pada temperatur, jenis adsorben dan jenis unsur yang akan diserap (Sawyer, 2003)

C = konsentrasi zat terlarut pada saat setimbang (mg/l)

Persamaan diatas berbentuk parabolik. Untuk membuatnya linear, maka persamaan diubah dalam bentuk logaritmik, sehinggan persamaan menjadi:


(40)

Log q = log K + 1 nlog C

2. Isotherm Langmuir

Langmuir menganggap permukaan suatu zat padat tediri dari ruang elementer yang masing-masing dapat mengadsorpsi suatu molekul gas. Langmuir mengandaikan bahwa semua ruang elementer tersebut adalah identik atau sama dalam afinitasnya untuk molekul gas dan adanya molekul ruang yang ada di dekatnya. Isotherm Langmuir mengasumsikan bahwa satu adsorbat mengikat satu bagian pada adsorben dan seluruh permukaan pada adsoerben mempunyai afinitas yag sama terhadap adsorbat (Sawyer, 2003). Pada isoterm Langmuir, adsorpsi terbatas pada lapisan tunggal dari molekul-molekul terlarut terlarut adsorbat tidak bebas berpindah ke permukaan.Model isotherm tersebut dikembangkan berdasarkan serapan atau adsorpsi oleh “lapisan pertama” (monolayer) gas oleh fasa padat, kemudian diperluas untuk digunakan untuk digunakan pada adsorpsi zat terlarut oleh adsorbat padat dengan adsorpsi monolayer dan permukaan yang homogen (Kurniawan, 2005: 9).

Persamaan Langmuir ini didasarkan oleh kesetimbangan antara kondensasi dan evaporasi (penguapan) dari molekl yang terserap dengan memertimbangan lapisan jerap monokuler. Dari pernyataan di atas diperoleh persamaan Langmuir seperti di bawah ini (Sawyer, 2003):

q = qm

Kads. C 1 + Kads. C Keterangan :

q = konsentrasi adsorbat terjerap (massa adsorbat/ massa adsorben) biasanya disebut adsorption density (F)

qm = kapasitas maksimum adsorben

Kads = ukuran afinitas adsorat pada adsorben

C = konsentrasi zat terlarut pada saat setimbang

Persamaan tersebut dapat diubah menjadi persamaan linear seperti di bawah ini (Sawyer, 2003):


(41)

1

= 1

.

1

+ 1

3. Isotherm Brunauer-Emmet-Teller (BET)

Selain dua persamaan isotherm di atas, pada adsorpsi juga berlaku ersamaan isotherm Brunnauer-Emmet-Teller (BET). Persamaan ini digunakan dengan asumsi untuk mendeskripsikan adsorpsi multilayer (Sundstrom, 1979). Selain itu asumsi pada model persamaan BET adalah:

1. Molekul terserap tidak berpindah ke permukaan

2. Entalpi adsorpsi konstan pada setiap molekul di setiap lapisan

3. Semua molekul di luar lapisan pertam amemiliki energi yang sama untuk adsorpsi

4. Untuk memulai pada lapisan yang lain lapisan sebelumnya tidak harus penuh

Berdasarkan asumsi diatas, bentuk persamaan BET adalah: =

− 1 + −1 / Keterangan :

Co = Konstanta awal larutan

kB = Konstanta (tergantung pada energi adsorpsi)

Persamaan tersebut dapat diubah menjadi persamaan linier menjadi persamaan seperti dibawah ini (Sundstrom, 1979).

− =

1

. +

−1 .

2.11 Power Density

Kinerja MFC ini dilihat dari kuat arus (I) dan tegangan (V) yang dihasilkan melalui pengukuran menggunakan digital multimeter dan analog mikroampere. Dari data kuat arus dan tegangan, dapat diperoleh nilai power density (mW/m2), yaitu daya per satuan luas permukaan elektroda. Power density dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (Momoh et al, 2010).


(42)

� � mWm 2 = I mA X V(volt )

A(m2)

2.11.1 Kuat Arus Listrik

Menurut Utomo (2013), Kuat arus listrik ialah banyaknya muatan listrik yang mengalir tiap detik melalui suatu penghantar. Simbol kuat arus adalah I. Satuan kuat arus listrik ialah Ampere yang diambil dari nama seorang ilmuwan Perancis yaitu: Andrey Marie Ampere (1775 –1836). Misalkan bahwa dalam waktu t detik mengalir muatan listrik sebesar q coulomb dalam suatu penghantar berpenampang A, maka dirumuskan:

= atau q = I . t

Satuan = = ( ). Satuan lain untuk kuat arus misalnya miliampere (mA) dan mikroampere (µA), dengan konversi 1 mA = 10-3A dan µA 10-6A. Sedangkan kuat arus untuk setiap satuan luas penampang dinamakan kerapatan arus. Rapat arus dinyatakan dengan:

= A/m2

Jumlah muatan adalah n x electron-elektron yang berpindah atau q = n. e Sehingga berlaku pula n .e = I .t

2.11.2 Tegangan Listrik

Tegangan listrik (kadang disebut sebagai voltase) adalah perbedaan potensial listrik antara dua titik dalam rangkaian listrik, dan dinyatakan dalam satuan volt. Besaran ini mengukur energi potensial dari sebuah medan listrik yang mengakibatkan adanya aliran listrik dalam sebuah konduktor listrik. (Wikipedia.com, 2014).

Untuk mengalirkan muatan listrik dari katoda ke anoda membentuk siklus yang tiada henti sumber tegangan harus mengeluarkan energi. Banyaknya energi yang dikeluarkan oleh sumber tegangan tersebut bergantung pada banyaknya muatan listrik yang dipindahkan. Makin besar muatan yang dipindahkan, makin besar energi yang harus dikeluarkan. Beda potensial antara kutub-kutub sumber tegangan pada saat sumber tegangan itu belum


(43)

mengalirkan arus dinamakan gaya gerak listrik (ggl) yang diberi symbol ε. Satuan ggl adalah volt (V) (Utomo, 2013).

Beda potensial antara titik A dan B di luar sumber tegangan disebut tegangan jepit atau tegangan terpakai, dinyatakan dengan simbol VAB. Satuan

beda potensial ialah volt. Konversi lain yang sering dipakai adalah satuan milivolt (mV). Dimana 1 mV = 10-3volt. Dua titik mempunyai beda potensial 1 volt, bila sumber arus mengeluarkan energi sebesar 1 joule untuk setiap coulnmb muatan yang dipindahkannya A ke B. Jika energi yang dikeluarkan sumber tegangan = W joule, muatan yang dipindahkan dari A ke B = q coulomb, maka beda potensial antara A dan B

= dalam Volt. Jadi 1 Volt = 1

2.11.3 Coulombic Efficiency (CE)

Coulombic Efficiency (CE) merupakan parameter penting untuk mengevaluasi kinerja MFCs. CE didefinisikan sebagai rasio dari muatan yang sebenarnya dihasilkan dengan muatan teoritis saat substrat sudah benar-benar dikonversi menjadi listrik. Perhitungan ini didasarkan pada persamaan dibawah ini mana I adalah arus, ∆COD adalah perubahan COD dalam larutan anoda, v adalah volume ruang anoda, 4 adalah mol elektron yang ditransfer ketika 1 mol oksigen teroksidasi, 32 g/mol adalah berat molekul oksigen dan F adalah konstanta Faraday (Jiang, 2009: 33).

2.12 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan teknologi MFCs dengan variasi pH dan penggunaan GAC sebagai media lekat dijabarkan pada tabel 2.3 sebagai berikut:


(44)

Tabel 2.3

Penelitian Terdahulu Microbial Fuel Cells

Nama Judul Metode Kesimpulan

Guerrini , Edoardo et al., 2013

Relation of anodic and cathodic performance to pH variations in membraneless Microbial Fuel Cells

Eksperimen yang menyelidiki variasi pH. MFCs dioperasikan dengan limbah mentah (inokulum) dan natrium asetat sebagai substrat.

pH netral menjadi pilihan terbaik untuk start up dari MFCs.

Jiang, Daqian dan Li, Baikun, 2009. Granular activated carbon single-chamber Microbial Fuel Cells (GAC-SCMFCs): A design suitable for large-scale wastewater treatment processes

Percobaaan tiga desain MFCs, yaitu GAC SCMFCs dengan 3 ketinggian yang berbeda, perbandingan 2CMFCs, banyaknya GAC, dan konsentrasi COD 400, 800, 1200, dan 1600 mg/L

Penggunaan GAC sebagai bioanoda meghasilkan tenaga listrik optimum pada kosentrasi substrat 800 mg/L dikarenakan tingginya resistensi internal pada

konsentrasi COD yang lebih tinggi. Li, Baikun; Karl Scheible; Michael Curtis, 2011 Electricity Generation From Anaerobic Wastewater Treatment In Microbial Fuel Cells

Disain dan konstruksi MAC-GACMFC,

aklimatisasi dan persiapan sistem, pengukuran debit, penyisihan COD dan HRT

test serta penggunaan katalis

Konfigurasi MAC-GACMFC mampu meningkatkan efisiensi pengolahan air limbah dan pembangkitan listrik, HRT dam konsentrasi COD, reduksi oksigen di katoda menjadi faktor penting dalam produksi listrik

Nimje, Vanita Roshan;

Microbial fuel cell of Enterobacter cloacae: Effect of anodic pH

Eksperimen menggunakan

dual chamber MFCS dengan kultur murni dari

Operasi MFCs pada pH 6,5 (0.40 mA) dan 7.4 (0.42 mA)


(45)

Nama Judul Metode Kesimpulan et al.,

2011

microenvironment on current, power density, internal

resistance and

electrochemical losses

Enterobacter cloacae

sebagai fungsi dari variasi pH lingkungan mikro nya. Kinerja dianalisis lebih dari selama 21 hari

menggunakan air limbah doemstik dengan pH antara 6,5 hingga 9,5.

menunjukkan kinerja yang sangat efektif sehubungan dengan generasi arus maksimum dan kerapatan daya maksimum. Puig, Sebastia; et al., 2009

Effect of pH on nutrient dynamics and electricity production using microbial fuel cells

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pH terhadap produksi listrik

menggunakan MFCs. Untuk meneliti efek ini, air-cathode MFCs digunakan untuk mengolah air limbah perkotaan dengan mengatur pH 6 hingga 10.

Tes jangka pendek menunjukkan bahwa produksi tertinggi listrik (0.66 W/m3) adalah pada pH 9,5. MFC dioperasikan pada mode kontinyu selama 30 hari pada pH optimal dapat meningkatkan produsi listrik dan

menyisihkan COD 77%.

2.13 Hipotesis Penelitian

Dari arti katanya, hipotesis memang berasal dari 2 penggalan kata “hypo” yang artinya “di bawah” dan “thesa” yang artinya “kebenaran”. Jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis (Arikunto, 2010: 110).

Hipotesis penelitian berjudul “Pengaruh Konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) dan pH terhadap Kinerja Granular Activated Carbon Microbial Fuel Cells (GAC-DCMFCs)” yaitu:


(46)

H0: Terdapat hubungan yang positif antara COD dan pH dalam mempengaruhi efisiensi penurunan COD dan produksi listrik yang dihasilkan dalam reaktor GAC-DCMFCs

H1: Tidak ada hubungan yang positif antara COD dan pH dalam mempengaruhi efisiensi penurunan COD dan produksi listrik yang dihasilkan dalam reaktor GAC-DCMFCs

2.14 Variabel Bebas dan Terikat

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variable dependent/ varibel terikat (Sugiyono, 2008). Variabel ini dapat diberi masukan, dimanipulasi. Variabel ini dianggap dapat menyebabkan, mengakibatkan atau mempengaruhi hasil tersebut. (Tahir, 201:,33). Sedangkan variabel terikat atau variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen (Sangadji, 2010). Variabel ini adalah hasil atau akibat dari bagaimana variabel bebas dimanipulasi.

2.15 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pemikiran merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi obyek permasalahan dan menjadi argumentasi dalam merumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan (Suriasumantri, 2003). Dalam kerangka pemikiran diuraikan pola pikir peneliti, dalil-dalil hukum, kaidah-kaidah, dan ketentuan-ketentuan dari kepustakaan, kemudian dapat ditarik benang merahnya menurut jalan pikiran peneliti sehingga membentuk model alur berpikir (Suryana, 2010). Kerangka pemikiran ini disusun berdasarkan state of the art sebagai alat untuk merumuskan hipotesis baru berdasarkan teori-teori yang ada sebelumnya.


(47)

pH

Tinggi kecepatan

proses menthanogenesis

ketika pH nya berada pada kondisi optimum

(6,5–8,5) (Ginting, 2007:

162).

Dalam penelitian Nimje,

et al. (2011: 11096), operasi MFCs pada pH anoda sebesar 6,5 menghasilkan kuat arus 0,42 mA, pada pH 7.4 menghasilkan kuat arus 0,43 mA, dan pH 8,5 menghasilkan kuat arus sebesar 0,38 mA.

Konsentrasi COD

Modifikasi konsentrasi COD

dari konsentrasi rendah ke tinggi (100 – 3000) meningkatkan produksi arus listrik dari 1,2-1,8 x 105

A (Campo et al, 2012)

Produksi listrik meningkat pada konsentrasi COD 100-850 mg/l tetapi menurun pada konsentrasi tinggi 1000-1500 mg/l. Efisiensi penurunan COD meningkat seiring beban yang diberikan dari 100-850 mg/l

(Jiang, 2009)

Proses peningkatan pH akan memperbesar laju hidrolisis senyawa organik kompleks sehingga meningkatkan kemampuan biodegradasi senyawa organik Aktivitas methanogen dihambat dalam kondisi basa, membuat lebih banyak substrat yang tersedia untuk produksi listrik

Peningkatan

konsentrasi COD influen meningkatkan aktivitas mikroorganisme

Semakin tinggi konsentrasi COD maka semakin tinggi pula produksi listrik dan efisiensi penurunan COD yang dihasilkan

Penentuan pH yang lebih disukai bakteri akan meningkatkan efisiensi penurunan COD dan produksi listrik karena aktivitas mikroorganisme menjadi semakin optmal sehingga produksi arus yang dihasilkan semakin besar.

Peningkatan konsentrasi COD influen meningkatkan efisiensi penurunan COD dan produksi listrik karena aktivitas mikroorganisme menjadi semakin meningkat sehingga tingkat konsumsi dan produksi arus yang dihasilkan semakin besar pada beban konsentrasi COD yang tinggi.

Jika menggunakan pH netral dan COD tinggi maka efisiensi penurunan COD dan produksi listrik yang dihasilkan juga tinggi, sebaliknya jika menggunakan pH terlalu asam ata terlalu basa dan COD rendah maka efisiensi penurunan COD dan produksi listrik juga rendah. H a si l Pe n e lit ia n An a lisi s Kri si s d a n Ko mp a ra ti f Si n te sa Ke ra n g ka Be rp iki r

Terdapat hubungan yang positif antara COD dan pH dalam mempengaruhi efisiensi penurunan COD dan produksi listrik yang dihasilkan dalam reaktor MFCs

H ip o te si s Gambar 2.6

Kerangka Pikir Penelitian

Meningkatnya aktivitas manusia, berbanding lurus dengan buangan (limbah) yang dihasilkan dari kegiatan sehari - hari. Adanya limbah tersebut berpotensi dapat menurunkan kualitas lingkungan. Untuk itu perlu adanya treatment untuk mengolah limbah tersebut menggunakan teknologi microbial fuel cells. Selain dapat menurunkan parameter pencemar, misalnya chemical oxygen


(48)

demand, teknologi ini dapat menghasilkan listrik yang dapat dimanfaatkan untuk proses produksi. Tetapi teknologi ini masih perlu dikembangkan dan dioptimalkan. Penggunaan pH yang ptimum di ruang anoda diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan COD dan memproduksi listrik. Selain itu, dengan mencari nilai optimal COD yang dapat diolah oleh teknologi ini dengan volume reaktor yang sama, maka dapat diketahui kemampuan dan efisiensi pengolahan MFCs terhadap beban organik yang diumpankan ke MFCs. Hal ini bukan saja memberikan solusi terhadap pengolahan limbah secara umum menggunakan MFCs, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang baik akibat kehadiran limbah.


(49)

III-1 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tujuan Operasional Penelitian

Dalam melakukan kegiatan penelitian, diperlukan suatu perumusan tujuan operasional penelitian. Tujuan operasional merupakan keterangan secara lengkap beserta data-data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian ketahap selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh variasi konsentrasi COD dan pH dalam kinerja GAC-DCMFCs. Untuk mempermudah penyampaian tujuan operasional dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

Tabel 3.1

Tujuan Operasional Penelitian

No Tujuan Operasional Data yang Dibutuhkan

1 Menganalisis pengaruh

konsentasi COD dan pH

terhadap kinerjaGAC-DCMFCs.

- Data pengukuran pH dan COD

- Grafik hubungan antara hasil penurunan

COD dan produksi listrik dengan nilai efisiensi yang dilihat dari variasi konsentrasi COD.

- Data uji pengukuran voltase dan hambatan pada rangkaian listrik.

2 Menentukan konsentrasi COD

dan pH optimum terhadap kinerjaGAC-DCMFCs.

3.2. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. Waktu pelaksanaan penelitian di laboratorium adalah selama enam bulan dimulai dari Mei 2014 hingga November 2014.


(50)

3.3. Variabel Penelitian

Ada beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan terikat. Berikut ini penjelasannya:

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi COD awal dan pH karena dianggap yang menyebabkan perubahan efisiensi dari COD dan jumlah produksi listrik yang dihasilkan.

b. Variabel Terikat

Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah kinerja reaktor (penyisihan COD dan produksi listrik) yang akan dipengaruhi oleh adanya COD dan pH.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data yang akan dibutuhkan untuk mengetahui tingkat penurunan kandungan COD dan produksi listrik yang optimum dari reaktor Microbial Fuel Cells. Data hasil dari penelitian ini bersifat kuantitatif yang merupakan hasil pengukuran dari analisis laboratorium.

3.4.1. Sumber Data a. Data Primer

Data-data primer yang dibutuhkan yaitu data COD inlet dan outlet, voltase, kuat arus, pH, dan suhu.

b. Data Sekunder

Data-data sekunder yang dibutuhkan yaitu literatur-literatur yang berhubungan dengan MFCs, serta diskusi maupun interview dengan narasumber terkait.


(51)

3.4.2. Sumber Pengumpulan Data a. Data Primer

Sumber pengumpulan data primer yaitu bersumber pada place dan paper. Place merupakan data yang berasal dari sampel ke 9 reaktor dan paper berarti berasal dari hasil laboratorium.

b. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder ini bersumber dari paper yaitu buku dan jurnal dengan metode pengumpulan data dan/ didokumentasikan. Selebihnya data sekunder diperoleh dari hasil diskusi maupun bimbingan dosen dan narasumber terkait lainnya.

3.4.3. Metode Pengumpulan Data a. Data Primer

Proses pengumpulan data primer ini menggunakan tes yaitu uji laboratorium sehingga alat penggumpul datanya adalah alat-alat laboratorium. b. Data Sekunder

Pengumpulan data skunder ini bersumber dari paper yaitu buku dan jurnal dengan metode pengumpulan data dan didokumentasikan.

Tabel 3.2 menggambarkan tahapan pengumpulan data penelitian agar lebih jelas.

Tabel 3.2

Tahap Pengumpulan Data

Data Sifat Data Sumber Data

Metode Pengumpulan Data Alat Pengumpulan Data Primer Data COD, kuat arus, voltase,pH, suhu, jumlah GAC Data kuantitatif (data hasil pengukuran) Place(reaktor MFCs) Tes uji laboratorium, dokumentasi Alat-alat laboratorium.

Sekunder Cara kerja MFCs

Data kualitatif (studi literatur)

Paper (Jurnal

dan buku) Dokumentasi

Sumber dari studi literatur yang mengarah.


(52)

3.5. Alat dan Bahan

Dalam proses penelitian ini, alat dan bahan yang digunakan sebagai bahan aklimatisasi, analisis COD, pengukuran kuat arus, voltase serta reaktor penelitian adalah sebagai berikut.

A. Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.3

Alat dan Fungsinya

No. Alat Fungsi

1. Toples vol. 1 L Reaktor MFCs.

2. Multimeter digital Mengukur tegangan yang dihasilkan sistem.

3. Kabel dan jepit buaya Menghubungkan arus listrik dari sistem menuju ke

multimeter dan mikroampermeter.

4. Gelas beaker Wadah pengaduk larutan.

5. Tabung reaksi Tempat untuk uji COD

6. Spektofotometer Untuk pengukuran absorbansi.

7. Pipet ukur Untuk mengukur volume larutan dan memindahkan

larutan tersebut.

8. Pipet tetes Untuk memindahkan larutan dalam jumlah yang

kecil.

9. COD reaktor Alat pemanas sampel COD.

10 Pipa bening Tempat jembatan garam.

11. Neraca analitik Untuk menimbang bahan-bahan.

12. pH meter Sebagai pengukur pH.

13. Thermometer Sebagai pengukur suhu.

B. Bahan


(53)

Tabel 3.4 Bahan dan Fungsinya

No Bahan Fungsi

1. CH3COOH Bahan limbah artifisial

2. Glucose Monohydrate

3. Elektroda karbon baterai Elektroda penghantar listrik

4. Solution digestion (K2Cr2O7 + HgSO4) dan pereaksi asam sulfat (H2SO4 + Ag2SO4)

Reagen COD

5. Aquadest Sebagai larutan pengencer

6. Agar dan NaCl Sebagai bahan jembatan garam

7. KMnO4 Sebagai larutan elektrolit di katoda

8. HCl 1 M Sebagai bahan preparasi elektroda

9. NaOH 1M Sebagai bahan preparasi elektroda

10. GAC Sebagai media lekat bakteri

3.6. Prosedur Penelitian

Pada penelitian ini terbagai menjadi tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap analisis data.

3.6.1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan persiapan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian. Tahapan persiapan meliputi pembuatan reaktor, pembuatan limbah artifisial, pembuatan jembatan garam, preparasi elektroda, GAC, pembuatan larutan elektrolit dan persiapan alat dan bahan.

1. Pembuatan reaktor

Reaktor dirancang dengan kondisi aerob di ruang katoda dan anaerob di ruang anoda. Desain reaktor dibuat dengan menggunakan wadah plastik berkapasitas 1 kg dengan diameter 11,5 cm dan tinggi 11,5 cm. Volume kerja yang digunakan adalah 600 mL. Pertimbangan pemilihan volume tersebut ialah untuk memudahkan dalam proses penelitian yang membutuhkan ruang yang kecil.


(54)

Reaktor GAC-DCMFCs di buat berjumlah 9 pasang (ruang anoda-katoda), seluruh reaktor di buat duplikasinya. Desain reaktor adalah sebagai berikut:

V= 600 mL (Jiang dan Li, 2009).

Td= 10 jam = 600 menit (Jiang dan Li, 2009). = �

� =

600

600 � = 1 / �

Gambar 3.1

Skematik Reaktor GAC-DCMFCs

Gambar 3.2


(55)

Gambar 3.3

Tampak Depan Reaktor GAC-DCMFCs

Gambar 3.4


(56)

Tabel 3.5

Keterangan Gambar 3.2. dan 3.3

No. Keterangan Fungsi

1 Bak inlet (limbah + nutrisi)

Bak penampung limbah yang akan di olah.

2 Buffer pH Larutan penyangga (HCl/ NaOH) yang digunakan untuk mempertahankan nilai pH.

3 Selang inlet Alat untuk menyalurkan limbah ke ruang anoda. 4 Tutup toples Mengondisikan ruangan anoda dalam suasana

anaerob.

5 Kabel Penyambung elektroda ke jepit buaya

6 Outlet gas Tempat pengukuran gas pada waktu tertentu. 7 Multimeter Alat untuk mengukur produksi listrik.

8 Elektroda graphite rod

Sebagai penghantar listrik, berjumlah masing-masing 5 buah pada ruang anoda dan katoda.

9 Selang outlet anoda Alat untuk menyalurkan limbah setelah pengolahan menuju outlet anoda.

10 Outlet anoda Tempat pengambilan sampel pH, COD. 11 Thermometer Alat untuk mengukur suhu setiap hari.

12 GAC Sebagai media lekat bakteri, terletak di ruang anoda sebanyak 300 gram.

13 Jembatan garam Media pentransfer proton, penghubung ruang anoda dan katoda.

14 Selang outlet katoda Alat untuk menyalurkan air menuju outlet anoda.

Air limbah dan nutrisi dialirkan secara kontinyu dengan debit 1 mL/menit dengan waktu tinggal 10 jam (Jiang dan Li, 2009). Sedangkan larutan penyangga pH diberikan pada bak reservoir hingga mencapai pH yang diharapkan. Kemudian campuran air limbah dan nutrisi yang pH nya sudah diatur tersebut mengalir ke ruang anoda melalui selang dengan debit 1 mL/menit. Pada ruang anoda (anaerobik), terdapat saluran outlet (COD, pH) yang nantinya diuji kualitasnya


(57)

pada waktu-waktu yang telah direncanakan. Pada ruang katoda (aerobik) terdapat saluran outlet tempat keluarnya H2O. Ruang anoda dan katoda dihubungkan

dengan sebuah jembatan garam. Kedua ruangan tersebut dilengkapi oleh elektroda yang terhubung dengan kabel menggunakan penjepit buaya, tetapi terdapat perbedaan didalam ruang anoda yang dilakukan penambahan GAC sebagai media lekat bakteri. Listrik yang dihasilkan oleh sistem dapat diukur menggunakan multimeter.

2. Pembuatan limbah artifisial

Limbah yang digunakan adalah limbah artifisial menggunakan asetat pro analis berupa asam asetat glasial dan glukosa monohidrat. COD yang terkandung di dalam limbah mempengaruhi hasil dari produksi listrik, sebagai sumber karbon untuk produksi listrik serta tujuan pengolahan air limbah. Asam asetat sangat mudah digunakan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi karena memiliki rantai karbon yang paling rendah, (Du et al, 2007). Glukosa juga menjadi salah satu substrat yang paling digunakan dalam MFCs karena menghasilkan power density yang lebih besar daripada substrat yang lain walaupun glukosa memiliki couloumbic efficiency paling rendah karena glukosa merupakan substrat yang dapat difermentasi sehingga elektron yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk proses metanogenesis dan fermentasi (Lee et al, Du et al, 2007).

Dalam pembuatan limbah artifisial dengan COD yang bervariasi (400, 800, 1200 mg/L), dilakukan percobaan berkali-kali (trial and error) hingga mencapai konsentrasi yang diharapkan. Berikut ini merupakan cara pemubatan dan pengujian COD:


(58)

Mulai

COD 400 mg/L pengenceran 1 x Pencampuran larutan asam asetat dan glukosa Pengaturan pH mencapai netral menggunakan NaOH 5M Masing-masing sampel diambil 2,5

mL

COD 800 mg/L pengenceran 2 x

COD 1200 mg/L pengenceran 3 x

Pencampuran sampel dengan

reagen Dipanaskan di

COD reaktor selama 2 jam Pengukuran

absorbansi dengan λ 600 nm Analisis data

Pengambilan sampel 2,5 ml ke

tabung reaksi

Selesai

Gambar 3.5

Diagram Alir Proses Pembuatan Limbah Artifisial

Untuk membuat limbah artifisial mula-mula menyiapkan asam asetat dan glukosa dengan jumlah yang telah ditentukan dan dilakukan pengenceran masing-masing hingga mencapai volume 100 mL. Kemudian kedua larutan dicampur, maka didapatkan air limbah sebanyak 200 mL. Untuk mendapatkan volume limbah yang lebih besar, komposisi bahan pembuat air limbah artifisial ditambahkan sesuai kelipatannya. Setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga mencapai suasana netral menggunakan larutan penyangga NaOH 5M (Jung, et al.,2011). Ketika pH sudah netral, sampel diambil sebanyak 2,5 mL dan dilakukan pengenceran sesuai kebutuhan konsentrasi COD (400 mg/L 1 kali, 800 mg/L 2 kali, 1200 mg/L 3 kali pengenceran). Setelah diencerkan, sampel dipipet ke tabung reaksi sebanyak 2,5 ml lalu ditambahkan 1,5 mL digestion solution dan 3,5 mL pereaksi asam sulfat. Sampel yang telah dibuat, dipanaskan di COD reaktor selama 2 jam dengan temperatur 150 °C. Selanjutnya sampel yang telah dipanaskan, didiamkan beberapa saat untuk menghilangkan panas dan bisa dilakukan analisis menggunankan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm (SNI 6989.2:2009).

Air limbah dapat diolah secara biologis apabila terdapat nitrogen dan fosfor dalam jumlah yang cukup. Rasio karbon, nitrogen dan fosfor (C:N:P) pada


(59)

pengolahan biologis yang optimum adalah 100:5:1 (Gray, 2004) sehingga pada penelitian ini, digunakan rasio tersebut.

Tabel 3.6

Massa Molekul Relatif Nutrien N dan P

KNO3 KH2PO4

Ar K 39,10 Ar K 39,10

Ar N 14,00 Ar H 2 x 1,00 = 2

Ar O 3x15,99 = 47,99 Ar P 30,97

Ar O 4 x 15,99 = 63,99

Mr KNO3 101,10 gram/mol Mr KH2PO4 136,099 gram/mol

Contoh perhitungan nutrisi COD 400 mg/l rasio C : N : P = 100 : 5 : 1 di dalam 200 mL air limbah artifisial.

Massa KNO3 yang ditambahkan sebagai unsur N

Massa KNO3 =

3

� x

� �

� � � xKonsentrasi COD x V

= 101,10 � � /

14 � � / x

5

100 x 400 mg/l x 0,2 liter = 28,885 �

Massa KH2PO4 yang ditambahkan sebagai unsur P

Massa KH2PO4 =

2 4

� x

� �

� � � x Konsentrasi COD x V

= 136,099 � � /

30,97 � � / x

1

100 x 400 mg/l x 0,2 liter = 3,516 �

Dalam tes COD dan BOD, konsentrasi bahan organik dihitung dari konsumsi oksidan yang diperlukan untuk oksidasi bahan organik. Perbedaan utama adalah oksidan yang digunakan dan kondisi operasional selama pengujian. Dalam kasus COD, sampel air limbah yang mengandung bahan organik dikontakkan dengan oksidan anorganik yang sangat kuat, campuran dikromat dan asam sulfat dengan sulfat perak sebagai katalis. Suhu meningkat dan mengakibatkan peningkatan tingkat oksidasi. Setelah dua jam (durasi standar tes) oksidasi senyawa organik hampir selesai. Nilai yang dihasilkan COD dapat


(60)

ditentukan dengan cara titrasi atau dengan bantuan spektrofotometer. Nilai COD teoritis dari senyawa tertentu dapat dihitung dari pertimbangan stoikiometri. Jika nilai teoritis ini sesuai dengan nilai eksperimental, disimpulkan bahwa oksidasi bahan organik selesai. Teoritis COD dari senyawa dengan rumus C struktural dapat ditentukan dari dua persamaan redoks yang menggambarkan reaksi oksidasi keseluruhan.

a. Reaksi Oksidasi

CxHyOz + (2x-z).H2O → x.CO2 + (4x + y – 2z).H+ + (4x + y -2z).e- atau

1/(4x + y – 2z). CxHyOz + (2x-z)/ (4x + y – 2z). H2O → x/(4x + y – 2z).CO2 +

H+ + e- (1.1a)

b. Reaksi Reduksi

e- + H+ + ¼. O2 → ½ H2O (1.1b)

Setelah persamaan (1.1a) dan (1.1b) digabung maka menjadi:

CxHyOz + ¼·(4x+y-2z)·O2→ x·CO2 + y/2·H2O (1.1)

Dari persamaan (1.1) dapat diketahui bahwa teori COD (atau kebutuhan oksigen teoritis) 1 mol senyawa CxHyOz berjumlah ¼ · (4x + y-2z) mol O2.

Mengetahui bahwa massa molar CxHyOz dapat dinyatakan sebagai (12x+y+16z)

g.mol-12 dan massa molar oksigen adalah 32 gram, dapat disimpulkan bahwa COD dari (12x + y + 16z) gram senyawa CxHyOz sama dengan ¼ · (4x + y -2z) · 32 = 8 · (4x + y-2z) gram O2. Oleh karena itu COD teoritis per satuan massa

CxHyOz adalah:

CODt = 8. (4x+y-2z)/ (12x+y+16z) g COD. g-1 CxHyOz (1.2)

Ketika prosedur untuk uji COD sudah dipenuhi, hampir semua senyawa hasil eksperimen tidak akan berbeda beberapa persen dari nilai teoritis. Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa:

1. Selama menguji COD bahan organik benar-benar teroksidasi, dan 2. Ketepatan dan kemampuan pengujian akurat.

Persamaan (1.2) dapat digunakan untuk menghitung COD teoritis per satuan massa untuk rumus struktur yang berbeda CxHyOz. Tabel dibawah ini


(61)

Tabel 3.7

Nilai COD Teoritis per Unit Massa

Sumber: www.wastewaterhandbook.com

Perhitungan COD glukosa:

Nilai COD secara teoritis untuk 1 kg glukosa (C6H12O6) adalah

Dari persamaan (1.2) dan diketahui bahwa x=6, y=12, dan z=6, maka CODt = 8.( (4.6)+(12)-(2.6))/ ((12.6)+(12)+(16.6))

= 192/180

= 1,067 mg COD/ mg C6H12O6

= 1,067 kg COD/ kg C6H12O6

Perhitungan COD asam asetat:

Nilai COD secara teoritis untuk 1 kg asam asetat (CH3COOH) adalah


(62)

CODt = 8. ((4.2)+(4)-(2.2))/ ((12.2)+(4)+(16.2))

= 64/60

= 1,067 mg COD/ mg CH3COOH

= 1,067 kg COD/ kg CH3COOH

Konversi COD ke metan

Satu mol metan membutuhkan 2 mol oksigen untuk mengoksidasinya menjadi karbondioksida dan air. Maka, satu gram metan yang diproduksi sama dengan penyisihan 4 gram COD. Reaksiya adalah (Rabaey et al, 2005):

CH4 +2O2→ CO2 + 2H2O

16 64

Atau 1 kg COD = 250 gram CH4

250 gram CH4 =

250

16 mol gas

= 15,62 mol

1 mol gas STP = 22,4 liter 15,62 mol x 22,4 = 349,8 liter

= 0,35 m3 CH4

Dalam 1,067 kg COD = 0,37 m3 CH4

3. Pembuatan jembatan garam

Jembatan garam dibuat dengan menggunakan agar pro analis 15 gram (Nair, 2013) dan ditambahkan dengan NaCl dengan konsentrasi tertentu. Pembuatan salt bridges dilakukan dengan menggunakan larutan NaCl 1M karena memiliki nilai produksi listrik yang tinggi dalam penelitian Kumar et al, (2012). Berikut ini perhitungan dalam preparasi NaCl 1 Molar dalam 250 ml:

Diketahui Mr Na :23 dan Mr Cl : 35,45 jadi Mr NaCl = 58,45 Molar = � � ( � )

� � �

1000

� ( )

1 M = � � ( � )

58,45 �

1000


(63)

Massa NaCl adalah = 58,45

4 = 14,6125 � �

Jadi dalam Preparasi Jembatan Garam NaCl 1 Molar dibutuhkan massa NaCl sebanyak 14,6125 gram. Adapun langkah pembuatan jembatan garam dapat dijelaskan di diagram alir di bawah ini:

Pengambilan air 250 mL

Menuangkan agar 15 g

Penambahan NaCl 14,6125 g Pengadukan larutan kemudian dipanaskan dalam

magnetic stirrer

Proses pendinginan Pewadahan dalam

pipa jembatan garam Mulai

Selesai

Gambar 3.6

Diagram Alir Proses Pembuatan Jembatan Garam

4. Persiapan elektroda karbon baterai

Elektroda dalam penelitian kali ini digunakan sebagai penangkap elektron hasil dari proses metabolisme bakteri yang ada di anode chamber. Pada penelitian ini digunakan elektroda graphite rod dari karbon batu baterai. Menurut Artadi dkk (2007), batang karbon dari batu baterai ini digunakan karena sifat mekanisnya seperti logam, ringan, mempunyai daya hantar listrik yang tinggi dan cocok untuk pertumbuhan mikroba. Kali ini digunakan elektroda sebagian menggunakan karbon baterai baru dan baterai bekas dikarenakan kemudahan dalam mengakses bahan baku dan relatif murah. Dalam preparasinya, elektroda direndam kedalam larutan HCl 1 M selama dua hari kemudian dibilas dengan menggunakan aquades. Setelah itu elektroda direndam kembali kedalam larutan NaOH 1 M selama dua hari kemudian dilakukan pembilasan dengan menggunakan aquades. Elektroda direndam dalam larutan aquades hingga saat akan digunakan kedalam kompartemen anoda dan katoda (Septyana, 2014). Berikut ini diagram alir penjelasan langkah-langkah preparasi elektroda:


(64)

Mempersiapkan elektroda

Merendam elektroda dalam larutan HCl 1 M 1

hari

Membilas elektroda dengan aquadest

Merendam elektroda dalam larutan NaOH 1 M

1 hari Merendam elektroda dalam aquadest sampai akan dioperasikan Membilas elektroda dengan aquadest Mulai Selesai Gambar 3.7

Diagram Alir Proses Preparasi Elektroda

5. Persiapan media lekat GAC

Media lekat GAC digunakan untuk meningkatkan performa dalam menurunkan konsentrasi COD serta media perlekatan bakteri. Dalam preparasinya digunakan HCl dan NaOH 1 M yang diketahui dapat meningkatkan power density dan luas mikropori GAC (Wang et al., 2013). Mula-mula GAC direndam dalam larutan HCl 1M selama dua hari, lalu dibilas dengan air. Selanjutnya GAC direndam dalam larutan NaOH 1 M selama dua hari, dan dibilas kembali menggunakan air. Setelah dibilas, GAC dijemur dibawah sinar matahari, dan siap untuk digunakan. Untuk lebih jelasnya langkah dalam preparasi GAC dapat dilihat pada diagram alir berikut:

Merendam GAC dalam HCl 1 M

selama 2 hari

Membilas GAC dengan air

Merendam GAC dalam NaOH 1 M

selama 2 hari Membilas GAC dengan air Menjemur GAC sampai kering GAC siap digunakan Mulai Selesai Gambar 3.8

Diagram Alir Proses Preparasi GAC

6. Persiapan larutan elektolit KMnO4

Dalam penelitian ini digunakan larutan elektrolit KMnO4 dengan fungsi

sebagai penerima donor proton dari cathode chamber. Dalam penelitian ini larutan KMnO4 digunakan dengan konsentrasi 0,15 M (Ardhianto, 2014).


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)