Analisis Kompetensi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Pekerja Kehutanan Bidang Pemanenan Kayu di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pekerjaan di bidang kehutanan khususnya dalam kegiatan pemanenan kayu merupakan salah satu pekerjaan lapangan dengan resiko pekerjaan yang tinggi. Hal ini disebabkan karakteristik kerja bidang pemanenan kayu memiliki tingkat bahaya pekerjaan berupa adanya penggunaan gergaji rantai (chainsaw) sebagai alat operasi penebangan dan banyaknya sortimen log yang diproduksi yang dapat menyebabkan terjadinya resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang berpengaruh pada kondisi fisik pekerja dalam jangka panjang (timbulnya cacat/kelainan). Yovi (2007) menyebutkan bahwa pekerjaan di bidang kehutanan merupakan jenis pekerjaan berbahaya yang memiliki berbagai kendala seperti lingkungan kerja yang sulit, pekerjaan fisik yang berat (yang sering melebihi batas kapasitas kerja pekerja hutan), dan resiko kecelakaan kerja yang tinggi.

Berbahayanya kerja hutan dapat terlihat dari tingginya persentasi kecelakaan pada kegiatan pemanenan yang mencapai 70% dari seluruh kecelakaan yang terjadi, 15% pada kegiatan pembinaan hutan, 5% pada pembuatan jalan, dan 10% karena sebab lainnya (Gani 1992). Berdasarkan data Depnaker (1999) dalam ILO (2002) menunjukkan bahwa angka kecelakaan kerja di sektor kehutanan (khususnya kegiatan penebangan kayu) menduduki peringkat keempat setelah sektor pertanian, peternakan, tekstil, dan garmen. Kecelakaan kerja yang terjadi tidak terlepas dari adanya kelalaian pekerja dalam melaksanakan tugasnya, namun faktor keselamatan dan kesehatan pekerja terkadang merupakan aspek yang masih sering terabaikan karena pihak perusahaan cenderung lebih mementingkan pencapaian target produksi dan terselesaikannya pekerjaan tepat waktu tanpa memperhatikan kondisi keselamatan dan kesehatan pekerja.

Para pekerja kehutanan, khususnya di bidang pemanenan kayu berhak mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), setiap


(2)

perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih serta mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses yang berbahaya karena menyebabkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja diwajibkan menerapkan sistem manajemen K3.

Kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian ekonomi, waktu kerja yang terbuang, kerusakan alat, kelainan atau cacat, bahkan kematian. Menurut Birds (1967) dalam Suardi (2005) menyatakan bahwa setiap satu kecelakaan berat disertai oleh sepuluh kejadian ringan, 30 kejadian yang menimbulkan kerusakan harta benda, dan 600 kejadian-kejadian hampir celaka. Bila dilihat dari segi ekonomi, biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat kecelakaan kerja dengan membandingkan biaya langsung dan tak langsung adalah 1:550. Suma’mur (1977) menjelaskan bahwa biaya langsung meliputi kompensasi dan biaya perawatan bagi orang yang terkena kecelakaan, sedangkan biaya tak langsung meliputi biaya kerusakan peralatan dan biaya atas menurunnya produksi akibat ketidakhadiran pekerja yang mengalami kecelakaan. Kerugian besar yang ditimbulkan akibat dampak kecelakaan kerja pada perusahaan menunjukkan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja menjadi hal yang perlu diperhatikan.

Peran pemerintah dalam usaha meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan tercantum dengan adanya peraturan perundangan mengenai K3, antara lain: Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1978 mengenai Keselamatan Kerja dalam Penebangan dan Pengangkutan, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa pengusaha wajib menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja/buruh di tempat kerja.

Kurangnya pemahaman pekerja dan pihak perusahaan terhadap pentingnya K3 akan berdampak langsung pada rendahnya kompetensi penerapan K3 yang meliputi aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude)


(3)

akibatnya terjadi kesenjangan antara peraturan yang telah dibuat pemerintah dengan keadaan sebenarnya di lapangan.

Analisis kompetensi penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja kehutanan bidang pemanenan kayu di BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, diharapkan dapat dapat membantu pelaksanaan penyusunan dan pengimplementasian kebijakan K3 yang dilakukan oleh pihak manajemen KPH Bogor melalui Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).

1.2 Perumusan Masalah

Upaya penerapan dan pemahaman terhadap pentingnya K3 bagi pihak perusahaan dan pekerja di bidang pemanenan kayu, khususnya dalam kegiatan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan, penyakit akibat kerja, dan kecelakaan kerja. Terdapatnya unsur unsafe action dan unsafe condition pada kegiatan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan menjadikan pentingnya tingkat kesadaran pihak perusahaan dan pekerja dalam mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja.

Unsafe action merupakan berbagai macam tindakan yang tidak aman dan berbahaya bagi pekerja antara lain bekerja dengan tidak sesuai standar operasional prosedur yang dapat menimbulkan terjadinya resiko kecelakaan, sedangkan unsafe condition merupakan berbagai macam kondisi yang tidak aman dan berbahaya bagi pekerja, antara lain tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai dengan standar untuk mencegah terjadinya resiko kecelakaan kerja.

Rawannya tingkat keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerja di bidang penebangan, penyaradan, dan pengangkutan akibat terdapatnya unsur unsafe action dan unsafe condition menjadikan analisis untuk mengukur kompetensi penerapan K3 di suatu perusahaan pemanenan kayu perlu dilakukan, dengan mengidentifikasi persepsi pekerja yang mencakup tiga aspek kompetensi (knowledge, skill, attitude), sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.


(4)

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi pekerja terhadap kompetensi penerapan K3 sesuai penilaian berdasarkan standar (control based assessment)?

2. Apakah terdapat hubungan yang signifikan antar aspek kompetensi pekerja sebagai dasar untuk menentukan strategi peningkatan aspek kompetensi yang berhubungan erat dengan penyusunan kebijakan K3?

3. Unsur unsafe action dan unsafe condition apa saja yang mempengaruhi keselamatan dan kesahatan pekerja di tempat kerja?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat aspek kompetensi (knowledge, skill, dan attitude) pekerja terhadap penerapan K3 di lokasi pemanenan kayu yang meliputi kegiatan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan dengan membandingkan dan menguji tingkat perbedaan persepsi antara persepsi pekerja (self assessment) terhadap penilaian objektif yang dilakukan (control based assessment) dan menguji hubungan antar aspek kompetensi pekerja (knowledge, skill, attitude) untuk menentukan aspek kompetensi yang perlu ditingkatkan yang berhubungan erat dalam penyusunan kebijakan K3.

2. Menyempurnakan metode penelitian analisis kompetensi penerapan K3 yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan lokasi KPH yang berbeda.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian berupa analisis kompetensi penerapan K3 pada pekerja kehutanan bidang pemanenan kayu dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan K3 di KPH Bogor agar pelaksanaan pengelolaan hutan dapat sesuai dengan standar yang berlaku. Berdasarkan salah satu prinsip pengelolaan hutan lestari menurut FSC (Forest Stewardship Council) pemenuhan hak-hak pekerja wajib dilaksanakan, salah


(5)

satunya berupa pengadaan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah terjadinya resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1. Pekerjaan di bidang kehutanan yang memiliki tingkat resiko kecelakaan tinggi (pemanenan kayu) meliputi kegiatan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan.

2. Pekerja yang bergerak di bidang kegiatan pemanenan kayu (mandor lapangan, operator chainsaw, penyarad, dan supir truk).

3. Aspek kompetensi pekerja (knowledge, skill, attitude) terhadap penerapan K3 dalam kegiatan pemanenan kayu.


(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan_Kesehatan Kerja (K3) dan Kecelakaan Kerja

Dalam peningkatan produktivitas, faktor kesehatan dan keselamatan kerja memiliki peran penting terhadap bertambahnya produksi akibat terjaminnya kesejahteraan sumberdaya manusia. Dalam jangka panjang, pengeluaran biaya untuk pencegahan dan pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja lebih menguntungkan daripada mengeluarkan biaya akibat terjadinya kecelakaan kerja (Gani 1992).

Keselamatan kerja atau occupational safety, secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Definisi sehat senantiasa digambarkan sebagai suatu kondisi fisik, mental, dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan juga menunjukan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya (Direktorat Sarana Prasarana ITB 2009).

Keselamatan dan kesehatan kerja menunjuk kepada kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja perusahaan. Sebuah perusahaan yang melaksanakan tindakan-tindakan keselamatan dan kesehatan yang efektif, berdampak pada lebih sedikit pekerja yang mengalami cedera atau penyakit jangka pendek maupun jangka panjang sebagai akibat dari pekerjaan (Rivai & Sagala 2009).

Gani (1992) menjelaskan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya, dimana kesehatan kerja tidak akan terlaksana dengan baik bila tindakan dan kegiatan-kegiatan keselamatan kerja tidak terlaksana. Sebaliknya kegiatan keselamatan kerja tidak berjalan dengan baik, bila sumberdaya manusia tidak sehat baik jasmani maupun rohani, misalnya terjangkitnya stress dan ketidakpuasan kerja, dan gangguan kesehatan menahun atau insidental.


(7)

Kecelakaan Kerja (accident) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Pengertian hampir celaka, dalam istilah safety disebut dengan insiden (incident), “near-miss” atau “near-accident” adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan dimana dengan keadaan yang sedikit berbeda akan mengakibatkan bahaya terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses (Direktorat Sarana Prasarana ITB 2009).

Menurut Suma’mur (1977) istilah kecelakaan akibat kerja meliputi seluruh kecelakaan yang dikarenakan oleh pekerjaan dan semua penyakit-penyakit akibat kerja. Suatu kecelakaan disebabkan oleh suatu peristiwa luar yang tiba-tiba dan tak terduga, sedangkan suatu penyakit akibat kerja adalah akibat pengaruh buruk yang lama seperti oleh getaran atau kebisingan.

Berdasarkan ILO (2002) kecelakaan kerja yang timbul akibat atau selama pekerjaan dapat mengakibatkan kecelakaan kerja yang fatal dan kecelakaan kerja yang tidak fatal. Menurut Rahardjo dan Sunarsiah (2008), kecelakaan kerja dapat dikategorikan berupa: (1) Kecelakaan di tempat kerja, dimana tenaga kerja melakukan pekerjaannya sehari-hari sesuai tugasnya. (2) Kecelakaan di luar tempat kerja, yang terjadi dalam perjalanan pergi atau pulang dari rumah menuju tempat kerja. (3) Penyakit akibat kerja, yang timbul karena hubungan kerja dan dipandang sebagai kecelakaan kerja.

Kecelakaan kerja harus dibuat klasifikasinya sebagai berikut: (a) Kematian, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang berakibat kematian/tidak pandang mengenai saat yang telah berlalu diantara tanggal terjadinya kecelakaan dan tanggal kematian. (b) Cacat menetap, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang menyebabkan kerusakan fisik/mental yang menetap. (c) Cacat sementara, yaitu kecelakaan yang berakibat cacat untuk bekerja sekurang-kurangnya satu hari penuh diluar hari terjadinya kecelakaan. (d) Kasus-kasus lain, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang berakibat cacat untuk bekerja kurang daripada keadaan (c) dan tidak mengalami cacat menetap (Suma’mur 1977).

Menurut Safitri (1998) kecelakaan kerja terjadi karena adanya faktor teknologi, manajemen, dan manusiawi. Faktor teknologi adalah teknologi dan manajemen yang digunakan untuk melakukan kegiatan produksi dalam


(8)

perusahaan. Faktor manusiawi yaitu perilaku atau kebiasaan kerja yang buruk, dan faktor manajemen berupa prosedur yang berkaitan dengan K3 serta pengawasan yang kurang baik, termasuk membiarkan keadaan yang kurang aman.

Sudradjad (1998) menyebutkan bahwa definisi kasus kecelakaan kerja yang recordable adalah setiap jenis kecelakaan kerja atau luka (ilness) yang menyebabkan: (1) Kematian/fatality tanpa memperhatikan tenggang waktu antara kecelakaan dan kematian, atau lamanya korban dirawat. (2) Hilangnya hari kerja, selain dari kematian yang menyebabkan hilangnya hari kerja. Kehilangan hari kerja (lost work days) adalah jumlah hari kerja (yang berurutan atau tidak) setelah kecelakaan, dimana pekerja seharusnya bekerja tetapi tidak dapat melakukan pekerjaannya. (3) Kasus non fatal tanpa kehilangan hari kerja tetapi menyebabkan korban dipindahkan ke jenis pekerjaan lain atau harus diputuskan hubungan kerja, memerlukan perawatan dokter bukan hanya sebatas P3K (first aid), dan menyebabkan hilangnya kesadaran yang menghambat untuk bekerja.

2.2 Pengetahuan (knowledge), Keterampilan (skill), dan Sikap (attitude)

Pengetahuan merupakan perpaduan yang cair dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, dan kepakaran yang memberikan kerangka berfikir untuk menilai dan memadukan pengalaman serta informasi baru. Pengetahuan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: pengetahuan tentang sesuatu, pengetahuan tentang mengerjakan sesuatu, pengetahuan menjadi diri sendiri, dan pengetahuan tentang cara bekerja dengan orang lain. Sedangkan tingkatan pengetahuan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: mengetahui bagaimana melaksanakan, mengetahui bagaimana memperbaiki, dan mengetahui bagaimana mengintegrasikan (Suharsaputra 2007).

Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu apabila memenuhi tiga kriteria yaitu: objek kajian, metode pendekatan, dan bersifat universal (Mulyo 2008).

Pengetahuan adakalanya dikategorikan sebagai terstruktur, tidak terstruktur, eksplisit, atau implisit (Kim 2000, dalam Siregar 2005). Jika pengetahuan diorganisasikan dan mudah didiseminasikan disebut pengetahuan terstruktur. Pengetahuan yang tidak terstruktur dan dipahami, tetapi tidak dengan jelas dinyatakan adalah pengetahuan implisit. Pengetahuan implisit juga disebut


(9)

keahlian dan pengalaman pekerja yang belum didokumentasikan secara formal (Laudon and Laudon 2002, dalam Siregar 2005).

Secara sederhana definisi keterampilan adalah kemampuan mengubah sesuatu yang ada menjadi apa yang dikehendaki sesuai dengan rencana. Keterampilan menyangkut pengenalan bahan, input, atau apa yang dapat diolah. Keterampilan juga terkait dengan tahap-tahap pelaksanaan pengolahan serta bobot atau jumlah energi yang dibutuhkan, bahkan kemungkinan-kemungkinan penyimpangan dan perkecualian (Chandra 2003).

Sikap adalah suatu gagasan berupa aspek emosional yang memberikan kecenderungan berperilaku dalam kehidupan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa sikap memiliki tiga komponen: (1) Komponen kognitif, yaitu representasi pandangan (gagasan) yang umumnya berisi kategori (kepercayaan stereotipe) yang digunakan dalam menanggapi masalah isu yang berbeda. (2) Komponen afektif, yaitu perasaan yang menyangkut aspek emosional. (3) Komponen perilaku, yaitu kecenderungan untuk berperilaku (Triandis 1971).

Menurut McClelland dalam Rivai dan Sagala (2009) mendefinisikan kompetensi terdiri dari: aspek keterampilan, pengetahuan, peran sosial, sifat, dan motif. Keterampilan dan pengetahuan lebih mudah untuk dikenali dan dikembangkan melalui proses belajar dan pelatihan yang relatif singkat dibandingkan aspek peran sosial, citra diri, dan motif yang lebih sulit untuk diidentifikasi serta membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki dan mengembangkannya.

2.3 Kegiatan Operasi Pemanenan Hutan

Menurut Conway (1978) pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi luas kawasan hutan dalam rangka memindahkan kayu (memisahkan pohon dari tunggak menjadi sortimen kayu/log) dari dalam hutan ke tempat pengolahan kayu dengan biaya serendah mungkin. Komponen utama pemanenan hutan pada umumnya terdiri dari lima kegiatan, yaitu: penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pembongkaran, serta pengangkutan.


(10)

1. Penebangan (Felling)

Tahapan pertama pemanenan kayu adalah pemisahan pohon berdiri dari tunggak. Kegiatan penebangan sebagian besar dilakukan dengan menggunakan alat tebang mekanis, mulai dari gergaji rantai (chainsaw) sampai alat modern yang disebut harvester.

2. Pembagian Batang (Bucking)

Proses memotong batang pohon yang telah rebah menjadi sortimen-sortimen kayu bulat (log) yang dikehendaki sebagai persiapan untuk kegiatan penyaradan. Panjang sortimen yang diinginkan berbeda-beda tergantung peruntukannya. Pembagian batang bertujuan memudahkan dalam mengolah kayu bulat agar menjadi produk-produk yang dapat dipasarkan dan bernilai jual tinggi, antara lain: veneer, kayu gergajian, dan pulp.

3. Penyaradan (Skidding/Yarding)

Penyaradan merupakan kegiatan pemindahan log yang berawal dari tunggak dan berakhir pada tempat pengumpulan (TPn) dengan berbagai teknik penyaradan dan alat sarad yang digunakan. Kegiatan penyaradan disebut juga sebagai minor transportation.

4. Pemuatan dan Pembongkaran (Loading dan Unloading)

Pemuatan dan pembongkaran kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tanah/lapangan ke atas alat angkut jarak jauh, yang dilakukan di TPn, TPK, petak tebangan, atau sepanjang tepi jalan angkutan.

5. Pengangkutan (Log Transportation)

Tahap terakhir dari rangkaian kegiatan pemanenan kayu berupa kegiatan pemindahan kayu dari tempat pengumpulan (TPn) ke tempat tujuan akhir (TPK, industri, pasar kayu) dengan metode tertentu. Kegiatan pengangkutan disebut juga sebagai major transportation.

2.4 Skala Likert

Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei (Wikipedia 2011).

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial. Dalam penyusunan skala Likert terdapat


(11)

beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu: menetapkan peubah yang akan diteliti, menentukan indikator-indikator yang dapat mengukur variabel yang diteliti, dan menurunkan indikator tersebut menjadi daftar pertanyaan (kuisioner). Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai dengan sangat negatif. Apabila item positif, maka angka terbesar diletakkan pada sangat setuju, sedangkan jika item negatif, maka angka terbesar diletakkan pada sangat tidak setuju, dimana setiap item diberi pilihan respons yang sifatnya tertutup (Suliyanto 2005).

Menurut Suliyanto (2005) banyaknya pilihan respons biasanya berjumlah 3, 5, 7, 9, dan 11. Namun yang paling banyak digunakan adalah lima pilihan respons saja (misalnya sangat setuju, setuju, tidak ada pendapat, tidak setuju,

sangat tidak setuju). Hal ini dikarenakan apabila jumlah pilihan respons terlalu sedikit maka hasilnya terlalu kasar, sedangkan apabila pilihan respons terlalu banyak maka responden akan sulit membedakan antara pilihan respons yang satu dengan pilihan respons yang lain. Tingkat pengukuran data yang berskala Likert


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RPH Tenjo Kelas Perusahaan Acacia mangium BKPH Parung Panjang KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada tanggal 13 Juni 2011 sampai dengan 27 Juni 2011.

3.2. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu: wawancara dan observasi. Proses wawancara dilakukan melalui tanya jawab menggunakan kuisioner yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang persepsi responden terhadap kompetensi penerapan K3. Adapun kuisioner yang digunakan adalah kuisioner yang berasal dari penelitian K3 sebelumnya dengan menggunakan peubah pertanyaan yang telah valid dan menyempurnakan peubah pertanyaan yang tidak valid agar dapat digunakan dalam penelitian. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan pilihan jawaban dan dilakukan juga wawancara tak terstruktur untuk melengkapi informasi-informasi terkait penerapan K3 di perusahaan. Kegiatan wawancara dilakukan secara sensus terhadap 51 responden, yang terdiri dari: 6 responden mandor lapangan serta pekerja di bidang pemanenan kayu (11 responden operator chainsaw, 23 responden penyarad, dan 11 responden supir truk).

Pilihan jawaban dalam kuisioner untuk masing-masing responden ditentukan berdasarkan skala Likert yang telah diberi bobot tertentu sesuai dengan jawaban pertanyaan. Skala Likert merupakan skala pengukuran ordinal yang memberikan hasil berupa peringkat dan berfungsi untuk menunjukkan tanggapan responden (self assessment) terhadap pertanyaan yang diberikan. Penilaian responden dengan menggunakan skala Likert yang telah ditentukan bobotnya dapat dilihat pada Tabel 1. Kegiatan observasi merupakan metode pengumpulan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap kondisi riil di lingkungan kerja yang berkaitan dengan kompetensi penerapan K3 pada bidang pekerjaan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan.


(13)

Tabel 1 Tetapan nilai terhadap pilihan jawaban responden

Nilai Jawaban Responden

Knowledge Skill Attitude

5 Sangat mengetahui Sangat bisa Selalu

4 Mengetahui Bisa Sering

3 Cukup mengetahui Kurang bisa Kadang-kadang

2 Tidak mengetahui Tidak bisa Pernah

1 Sangat tidak tahu Sangat tidak bisa Tidak pernah Penjelasan dari pilihan jawaban menurut KBBI online dalam Setiawan (2010) adalah sebagai berikut:

a) Pengetahuan (Knowledge)

1. Sangat tahu : memahami betul dan menguasai ilmunya

2. Tahu :imemaklumi, menyaksikan, dan mengerti akan maksud

: dari suatu hal

3. Cukup tahu : cukup bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti 4. Tidak tahu : tidak bisa memaklumi, menyaksikan, dan mengerti

5. Sangat tidak tahu :isama sekali tidak mengetahui dan belum pernah

: mendengar b) Keterampilan (Skill)

1. Sangat bisa : mampu, kuasa, dan mahir melakukan sesuatu 2. Bisa : mampu melakukan sesuatu namun belum mahir 3. Kurang bisa : cukup mampu melakukan sesuatu namun belum bisa 4. Tidak bisa : telah mencoba namun gagal

5. Sangat tidak bisa : sama sekali belum mampu melakukan c) Sikap (Attitude)

1. Selalu : senantiasa dilakukan secara terus menerus atau

:idilakukan sesuai jadwal yang ditetapkan

2. Sering : kerap kali dilakukan (namun tidak 100% dilakukan) 3. Kadang-kadang :idilakukan sesekali (bila ada kesempatan bagi pelaku)

iiatau dilakukan minimal sebanyak dua kali dengan jeda

iiulangan yang tidak teratur

4. Pernah : sudah menjalani, mengalami (minimal satu kali) 5. Tidak pernah : sama sekali belum pernah melakukan


(14)

Rataan (X)

n i

 

3.3 Pengolahan Data dan Analisis Data

Data penelitian yang diolah dan dianalisis merupakan data primer yang didapatkan melalui proses observasi dan wawancara dengan menggunakan kuisioner terhadap mandor lapangan, penebang (chainsawman), penyarad, dan pengangkut (supir truk). Jawaban pertanyaan responden pada kuisioner yang terdiri dari tiga aspek kompetensi (knowledge, skill, dan attitude) yang berupa skala Likert dengan interval nilai 15 diolah dan dianalisis menggunakan seperangkat komputer dengan aplikasi SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 19 dan Microsoft Excel. Analisis hasil pengolahan data tidak mempertimbangkan perbedaan lokasi kerja (petak tebang) responden karena lokasi kerja memiliki kondisi yang sama (tidak berbeda signifikan).

Untuk mengetahui tingkat aspek kompetensi (knowledge, skill, attitude) yang dimiliki setiap responden dilakukan pengelompokan nilai rataan terhadap jawaban dari pertanyaan kuisioner berdasarkan penilaian responden (self assessment) dan penilaian dengan standar (control based assessment).

Keterangan: inilai masing-masing pertanyaan dalam skala Likert (15) Keterangan:n = jumlah pertanyaan

Pengumpulan Data

Uji Validitas

Uji Reliabilitas

Uji Peringkat Bertanda

Wilcoxon

Analisis Deskriptif

Uji Korelasi Peringkat

Spearman


(15)

Interval = Bobot nilai tertinggi - Bobot nilai terendah = 5 - 1 = 0,8

Banyaknya kelas 5

Nilai rataan digunakan untuk menentukan perbandingan antara penilaian responden dengan penilaian berdasarkan standar serta untuk menentukan besar dan arah perbedaan. Pengelompokan nilai rataan berdasarkan skala Likert

ditentukan intervalnya terlebih dahulu dengan rumus:

Berdasarkan interval ditetapkan nilai kompetensi responden terhadap penerapan K3 sebagai berikut:

Tabel 2 Tingkatan kompetensi responden berdasarkan rataan nilai skala Likert

Interval Nilai Tingkat Kompetensi 4,20 – 5,00 Sangat baik 3,40 – 4,20 Baik 2,60 – 3,40 Cukup 1,80 – 2,60 Buruk 1,00 – 1,80 Sangat Buruk (Sumber: Setiawan 2010)

Adapun penilaian berdasarkan standar (control based assessment) yang digunakan dalam penelitian mengacu pada berbagai aturan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai berikut:

1. Kode Praktis ILO Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pekerjaan Kehutanan Tahun 2002

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja dalam Penebangan dan Pengangkutan Kayu

5. Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja

6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja

7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pertolongan Pertama pada Kecelakaan di Tempat Kerja


(16)

9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri

3.3.1 Uji Validitas

Setelah metode pengumpulan data dengan kuisioner selesai, langkah pertama yang dilakukan adalah menguji validitas kuisioner. Pengujian validitas dimaksudkan untuk menentukan keabsahan dari pertanyaan yang digunakan dalam penelitian, sehingga hanya pertanyaan yang valid saja yang dapat dilanjutkan untuk pengujian selanjutnya. Validasi menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Suliyanto 2005). Uji validitas dilakukan dengan mengukur korelasi antara peubah atau item dengan skor total peubah. Uji validitas ini menggunakan rumus teknik korelasi product moment dengan kriteria uji pertanyaan dinyatakan valid jika rhitung (corrected item-total correlation) > rtabel. Pengujian validitas diolah dengan

menggunakan software SPSS versi 19. 3.3.2 Uji Reliabilitas

Jika alat ukur dinyatakan valid (sahih), selanjutnya reliabilitas alat ukur tersebut diuji. Agusyana dan Islandscript (2011) menjelaskan bahwa reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu instrumen (alat ukur) didalam mengukur gejala yang sama/lebih dari satu kali. Berdasarkan Suliyanto (2005) jika hasil pengukuran yang dilakukan berulang menghasilkan hasil yang relatif sama maka pengukuran tersebut dianggap memiliki tingkat reliabilitas yang baik. Dalam uji reliabilitas nilai korelasi yang dihitung dinyatakan sahih apabila mempunyai nilai cronbach alpha > 0,6. Pengujian reliabilitas diolah dengan menggunakan software SPSS versi 19.

3.3.3 Analisis Deskriptif

Analisis ini bertujuan untuk mengubah kumpulan data mentah menjadi bentuk yang mudah dipahami dan bentuk yang lebih ringkas. Analisis deskriptif nilai dapat diwakili oleh mean, median, modus, tabel frekuensi, persentasi, dan berbagai diagram (Santoso 2011). Untuk mengetahui tingkat aspek kompetensi (knowledge, skill, dan attitude) yang dimiliki responden dilakukan


(17)

pengelompokan nilai rataan terhadap jawaban dari pertanyaan kuisioner melalui

self assessment dan control based assessment. 3.3.4 Uji Wilcoxon

Dalam pengolahan data menggunakan uji statistik nonparametrik, Agusyana dan Islandscript (2011) menyebutkan terdapat tiga jenis uji statistik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis penelitian terhadap dua sampel berhubungan (two dependent sample), yaitu: uji tanda (sign test), uji peringkat bertanda Wilcoxon (Wilcoxon sign-rank), dan uji Mc Nemar (Mc Nemar change test).

Suharyadi dan Purwanto (2009) menyatakan bahwa uji peringkat bertanda

Wilcoxon bertujuan untuk melihat besarnya perbedaan dari sepasang data dan selanjutnya memerhatikan arah atau tandanya, hal ini berbeda dengan uji tanda yang dimaksudkan untuk melihat adanya perbedaan dan bukan besarnya perbedaan.

Menurut Santoso (2011) uji peringkat bertanda Wilcoxon dilakukan dengan menggunakan dua sampel yang saling berhubungan dan menguji hubungan diantara keduanya (menguji perbedaan yang signifikan antar dua sampel yang berhubungan berdasarkan taraf nyata α yang digunakan). Untuk uji

Mc Nemar berdasarkan Sugiyono (2009) digunakan untuk data yang berbentuk nominal/diskrit dan hipotesis penelitian yang digunakan merupakan perbandingan antara nilai sebelum dan sesudah perlakuan/treatment (membuktikan ada tidaknya perubahan).

Berdasarkan karakteristik dari tiga uji statistik nonparametrik untuk dua sampel berhubungan yang telah diuraikan, maka uji Wilcoxon merupakan uji statistik yang digunakan dalam penelitian karena data yang digunakan adalah data ordinal (berperingkat berdasarkan nilai skala Likert) dan hipotesis penelitian yang digunakan untuk menguji perbedaan signifikan antar dua sampel berhubungan dengan memerhatikan besar dan arah perbedaan. Dalam penelitian uji Wilcoxon

digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara persepsi pekerja dengan control based assessment terhadap kompetensi penerapan K3 dengan melihat perbedaan persepsi pekerja terhadap penilaian objektif yang


(18)

dilakukan (overestimate atau underestimate) berdasarkan perbedaan selisih yang dihasilkan (positif atau negatif).

Pengolahan data menggunakan uji Wilcoxon dilakukan dengan software

SPSS versi 19. Taraf nyata yang digunakan sebesar 0,05 dan data yang digunakan adalah data yang telah lulus uji validitas dan uji reliabilitas. Alur analisis uji

Wilcoxon dapat dilihat pada Gambar 2.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam uji peringkat bertanda

Wilcoxon (Supranto 2001):

1. Menentukan formulasi hipotesis.

H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden dengan

assiipenilaian berdasarkan standar.

H1: terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden dengan

penilaian berdasarkan standar.

Keterangan : besarnya nilai angka probabilitas (jika < 0,05 maka terdapat perbedaan signifikan/terjadi kesenjangan antara persepsi responden dengan penilaian berdasarkan standar)

Bidang Pekerjaan

(Mandor lapangan, Pekerja Penebangan-Penyaradan-Pengangkutan)

Uji Wilcoxon

Persepsi Responden Terhadap Kompetensi

Penerapan K3

Penilaian Berdasarkan Standar

(Control Based Assessment)

Knowledge Skill Attitude

Knowledge Skill Attitude


(19)

2. Menentukan taraf nyata (α), dalam penelitian ini taraf nyata yang digunakan sebesar 0,05.

3. Menyusun pasangan data dan menentukan besar tanda perbedaan (positif, negatif, dan nol jika tidak ada perbedaan) untuk setiap pasangan.

4. Menyusun peringkat menurut besarnya perbedaan tanpa memperhatikan tanda. Peringkat 1 diberikan untuk perbedaan terkecil, peringkat 2 untuk perbedaan terkecil berikutnya, dan seterusnya dengan mengabaikan perbedaan yang menghasilkan nilai nol.

5. Memberikan tanda (positif atau negatif) bagi setiap peringkat yang ditetapkan. 6. Menjumlahkan semua peringkat positif dan kemudian menjumlahkan semua

peringkat negatif. Nilai terkecil dari kedua hasil penjumlahan ditetapkan sebagai nilai hitung T.

7. Menetapkan nilai tabel T dan menentukan nilai tabel yang tepat sesuai dengan jumlah peringkat (mengabaikan yang bertanda nol) dan taraf nyata yang digunakan (α).

8. Menarik kesimpulan statistik tentang hipotesis nol. H0 diterima apabila nilai Thitung > Ttabel

H0 ditolak apabila nilai Thitung≤ Ttabel 3.3.5 Uji Korelasi Spearman Rank

Pengujian hipotesis penelitian yang termasuk dalam bentuk hipotesis asosiatif untuk menguji signifikasi hubungan antara dua peubah atau lebih dapat menggunakan berbagai teknik korelasi berdasarkan bentuk data yang dianalisis. Sugiyono (2009) menyebutkan teknik statistik nonparametrik untuk menguji hipotesis asosiatif terdiri dari tiga jenis, yaitu: uji koefisien kontingensi, uji korelasi peringkat Spearman, dan uji korelasi Kendall tau.

Menurut Suharyadi dan Purwanto (2009), korelasi peringkat Spearman

adalah korelasi yang digunakan untuk mengetahui hubungan dua peubah yang berskala ordinal atau berperingkat. Sugiyono (2009) menjelaskan bahwa uji koefisien kontingensi digunakan untuk hubungan antara peubah apabila data yang digunakan berbentuk nominal dan berdasarkan Santoso (2011) uji korelasi


(20)

Uji korelasi Spearman merupakan uji statistik nonparametrik untuk menguji hubungan asosiatif antar peubah yang digunakan dalam penelitian karena data yang digunakan ordinal dan memiliki berdistribusi tidak normal. Nilai koefisien korelasi Spearman berkisar dari -1 sampai dengan 1. Apabila koefisien korelasi mendekati 1 dan -1 menunjukkan hubungan yang semakin kuat. Sebaliknya apabila mendekati nilai nol, maka hubungannya semakin lemah. Tanda positif (+) dan negatif (-) menunjukkan arah hubungan dua peubah apakah positif atau negatif.

Besar kecilnya angka korelasi menentukan kuat atau lemahnya hubungan kedua peubah. Sarwono (2006) menentukan tingkat keeratan hubungan antar peubah sebagai berikut:

Tabel 3 Tingkat keeratan hubungan antar peubah

Interval Koefisien Tingkat Hubungan Antar Variabel

00,25 Korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada) > 0,25–0,5 Korelasi cukup

> 0,5–0,75 Korelasi kuat

> 0,75– 1 Korelasi sangat kuat

Korelasi peringkat Spearman digunakan untuk mengukur eratnya hubungan antara dua peubah aspek kompetensi yaitu: knowledge dengan skill,

knowledge dengan attitude, dan skill dengan attitude.

Pengolahan data menggunakan korelasi peringkat Spearman dilakukan dengan software SPSS versi 19. Taraf nyata yang digunakan sebesar 0,05 dan data yang digunakan adalah data yang telah lulus uji validitas dan uji reliabilitas. Alur analisis korelasi peringkat Spearman dapat dilihat pada Gambar 3.

Skill Attitude

Knowledge

Bidang Pekerjaan

(Mandor lapangan, Pekerja Penebangan-Penyaradan-Pengangkutan)

Uji Spearman Rank

Keterangan : nilai koefisien korelasi antar aspek kompetensi Gambar 3 Alur analisis uji korelasi peringkat Spearman


(21)

rs =

) 1 ( 6 1

2 2   

n n

d

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam korelasi peringkat

Spearman (Supranto 2001):

1. Menentukan formulasi hipotesis.

H0: tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aspek yang diuji.

H1: terdapat hubungan yang signifikan antara aspek yang diuji.

Kriteria uji yang digunakan yaitu: H0 diterima jika angka probabilitas (Assymp Sig.) > nilai α (Alpha) dan H0 ditolak jika angka probabilitas (Assymp Sig.) <

nilai α (Alpha).

2. Menentukan taraf nyata (α), dalam penelitian ini taraf nyata yang digunakan sebesar 0,05.

3. Menyusun peringkat data, yaitu menyusun data menjadi urutan dari terkecil sampai terbesar.

4. Menghitung selisih peringkat antara satu peubah dengan peubah lainnya (menghitung perbedaan peringkat antara pasangan peringkat). Selisih ini biasanya dilambangkan dengan Di.

5. Menghitung koefisien korelasi Spearman dengan rumus:

Keterangan: rs = Koefisien korelasi Spearman

Di = Selisih peringkat untuk setiap data


(22)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor berada pada wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bogor, Bekasi dan Tangerang dengan batas-batas geografis sebagai berikut:

a. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta

b. Bagian Timur berbatasan dengan KPH Purwakarta dan KPH Cianjur c. Bagian Selatan berbatasan dengan KPH Sukabumi dan KPH Banten d. Bagian Barat berbatasan dengan KPH Banten

Secara astronomis (berdasarkan garis lintang dan garis bujur), wilayah KPH Bogor terletak pada 106º20'28”BT107º17'09”BT dan 05º55'24” LS06º48'00”LS. Luas kawasan hutan KPH Bogor berdasarkan sejarah berita acara tata batas (BATB) adalah 90.856,45 ha dan yang telah dikukuhkan seluas 84.360,40 ha tersebar di tiga kelas perusahaan yaitu: KP Acacia mangium, KP Meranti, dan KP Pinus. Dikarenakan adanya kawasan hutan yang masuk dalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Gunung Gede Pangrango, maka luasan kawasan KPH Bogor sampai tahun 2010 adalah 49.342,59 ha.

Kawasan KP Acacia mangium termasuk dalam wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parung Panjang yang terdiri dari tiga wilayah Resort Pemangkuan Hutan yaitu: RPH Tenjo, RPH Maribaya, dan RPH Jagabaya. Berdasarkan letak administrasi pemerintahan, kawasan BKPH Parung Panjang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Adapun batas-batas geografis wilayah pengelolaan BKPH Parung Panjang sebagai berikut:

a. Bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang

b. Bagian Timur berbatasan dengan wilayah BKPH Jasinga-Leuwiliang c. Bagian Selatan berbatasan dengan wilayah BKPH Jasinga-Leuwiliang d. Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak

Secara astronomis (berdasarkan garis lintang dan garis bujur), wilayah KP

Acacia Mangium terletak pada: 106º26'03”BT106º35'16”BT dan 06º20'59”LS 06º27'01”LS. Luas KP Acacia mangium KPH Bogor berdasarkan Rencana


(23)

Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) jangka perusahaan 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2015 adalah 5.365,24 ha.

PETA WILAYAH ADMINISTRASI KAB.BOGOR

Sumber: geospasial.bnp.go.id

Gambar 4 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor

4.2 Kondisi Fisik 4.2.1 Iklim

Wilayah KPH Bogor memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm/tahun atau rata-rata curah hujan per bulan mencapai 250 mm/bulan. Suhu udara berfluktuasi antara 180C260C. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951), wilayah KPH Bogor memiliki kriteria bulan basah dengan rata-rata curah hujan per bulan > 100 mm/bulan.

Kawasan hutan KP Acacia mangium memiliki nilai perbandingan antara jumlah bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) dan bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) sebesar 0–14,30 % sehingga termasuk kategori tipe iklim A dengan curah hujan 2.482 mm/tahun.

4.2.2 Topografi

Kawasan hutan KPH Bogor terdiri dari hutan dataran rendah (KP Acacia mangium dan KP Payau) serta hutan pegunungan (KP Pinus dan KP Meranti) dengan bentuk lapangan landai, bergelombang, dan berbukit (kemiringan 0% sampai lebih dari 45%). KP Acacia mangium memiliki kelerengan yang relatif datar (08%) hingga agak curam (1525%). Berdasarkan ketinggian tempat dari


(24)

permukaan laut, kawasan KP Acacia mangium berada pada ketinggian 38–113 m dari permukaan laut yang terdiri dari: kelompok hutan Cikadu I&II (38–75 m dari permukaan laut), kelompok hutan Yanlava (38–88 m dari permukaan laut), dan kelompok hutan Parung Panjang IIII (50–113 m dari permukaan laut).

4.2.3 Geologi

Berdasarkan peta tinjau tanah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, jenis tanah pada kawasan hutan KP Acacia mangium KPH Bogor adalah podsolik merah kekuningan dan podsolik kuning dengan jenis batuan sebagian besar adalah oliocene dan sedimentary facies (Tabel 4).

Tabel 4 Sebaran jenis tanah dan batuan pembentuk tanah kawasan hutan KP

Acacia mangium

No .

RPH Petak

Jenis Tanah Batuan Tanah

1 Tenjo

13 Podsolik kuning

oliocene,

sedimentary facies

410, 1214, 1618

Podsolik merah kekuningan

oliocene,

sedimentary facies

2 Maribaya 11, 1937 Podsolik merah kekuningan

oliocene,

sedimentary facies

3 Jagabaya

3854, 5657 Podsolik merah kekuningan

oliocene,

sedimentary facies

55 Podsolik kuning

oliocene,

sedimentary facies

Sumber: RPKH Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor Jangka Perusahaan 20112015 4.2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Kawasan hutan KPH Bogor termasuk dalam DAS Ciliwung, Cisadane, Citarum, Cidurian, Cimanceuri, dan Kali Bekasi. Untuk kawasan hutan KP Acacia mangium termasuk dalam wilayah DAS Cidurian dengan Sub DAS Cimatuk dan DAS Cimanceuri dengan Sub DAS Cipangaur (Tabel 5).


(25)

Tabel 5 Pembagian wilayah KP Acacia mangium berdasarkan aliran DAS

DAS RPH Luas (ha)

Cidurian Tenjo 1.536,15 Cidurian Maribaya 1.212,40 Cimanceuri Maribaya 914,99 Cimanceuri Jagabaya 1.733,70

Sumber: RPKH Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor Jangka Perusahaan 20112015 4.3 Kondisi Sumberdaya Hutan

Dalam pembagian wilayah kerja, luas kawasan hutan KPH Bogor yang termasuk dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Bogor, Bekasi, dan Tangerang sebesar 49.342,59 ha (Tabel 6).

Tabel 6 Rekapitulasi luas kawasan hutan Perum Perhutani KPH Bogor

aaaaaaaaasberdasarkan wilayah administratif pemerintahan Tahun 2010

No. Kabupaten BKPH RPH Luas (ha)

1 Bogor Bogor

Babakan Madang 3.022,80

Cipayung 2.568,60

Cipamingkis 3.665,82 Jumlah 9257,22

2 Bogor Leuwiliang

Leuwiliang 973,00

Gobang 2.164,22

Nanggung 83,65

Jumlah 3.220,87

3 Bogor Jonggol

Cariu 3.504,60

Tinggarjaya 6.224,92 Gunung Karang 4.603,84 Jumlah 14.333,36

4 Bogor Parung Panjang

Tenjo 1.536,15

Jagabaya 1.733,70

Maribaya 2.095,39

Jumlah 5.365,24

5 Bogor Jasinga Cirangsad 3.338,31

Cigudeg 1.994,89

Jumlah 5.333,20

6 Bekasi Ujung Karawang

Muara Gembong 2.443,75

Singkil 3.318,50

Pondok Tengah 4.718,90 Jumlah 10.481,15 7 Tangerang Parung Panjang Tangerang 1.351,55

Total (ha) 49.342,59

Sumber: RPKH Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor Jangka Perusahaan 20112015 Pembagian wilayah berdasarkan tujuan pengelolaan hutan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang


(26)

penunjukkan kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas), wilayah KPH Bogor terbagi menjadi seperti dalam Tabel 7. Tabel 7 Luas fungsi kawasan hutan KPH Bogor berdasarkan wilayah administratif

aaaaaaaipemerintahan Tahun 2010 No Fungsi Hutan

Kabupaten

Total (ha) Bogor Bekasi Tangerang

1 Hutan Lindung (ha) - 5.311,15 1.351,55 6.662,70 2 Hutan Produksi

Tetap (ha) 20.057,38 5.170,00 - 25.227,38 3 Hutan Produksi

Terbatas (ha) 17.452,51 - - 17.452,51

Jumlah 37.509,89 10.481,15 1.351,55 49.342,59 Sumber: RPKH Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor Jangka Perusahaan 20112015 4.4 Kondisi Sosial

4.4.1 Pengembangan Wilayah Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor dengan luas 230.195 ha (2.301,95 Km2) terdiri dari 40 kecamatan dan 428 desa/kelurahan. KPH Bogor dengan luas wilayah 49.342,59 ha dikelilingi oleh 25 kecamatan dengan 89 desa yang terdiri dari: 68 desa di wilayah kabupaten Bogor, 14 desa di wilayah kabupaten Tangerang, dan 7 desa di kabupaten Bekasi. Secara administrasi pemerintahan, KP Acacia mangium berada di wilayah kabupaten Bogor dengan 2 kecamatan dan 14 desa (Tabel 8).

4.4.2 Pembinaan Masyarakat Desa Hutan

Bagian Hutan Parung Panjang yang sebagian besar wilayahnya berupa dataran dengan sebaran kawasan hutan yang dikelilingi enclave mengakibatkan terciptanya interaksi sosial yang sangat kompleks, terutama dalam hal penggarapan lahan di kawasan hutan. Hampir seluruh lokasi enclave berupa sawah yang berbentuk menjari mengelilingi hutan sehingga tuntutan masyarakat untuk ikut menggarap kawasan hutan sulit untuk dikendalikan.

Kegiatan PHBM yang sifatnya berada dalam kawasan di wilayah KP

Acacia mangium meliputi kegiatan penanaman, penjarangan, dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (komoditi padi). Berdasarkan laporan statistik pemanfaatan HHBK di KP Acacia mangium pada tahun 2008 dan 2009, realisasi pemanfaatan HHBK dengan jenis padi menghasilkan 3.913 ton dengan luas areal


(27)

2.115 ha pada tahun 2008 dan 3.815 ton dengan luas areal 2.062 ha pada tahun 2009.

Tabel 8 Wilayah administratif kelas perusahaan Acacia mangium

No. RPH Wilayah Administratif Luas (ha)

Kabupaten Kecamatan Desa 1 Jagabaya Bogor Parungpanjang

Tenjo Cikuda Dago Gorowong Jagabaya Pingku Gintung Cilejit Ciomas 100,44 144,72 424,75 160,76 67,72 261,25 574,06

Jumlah 1.733,70

2 Maribaya Bogor Tenjo

Jasinga Batok Jagabaya Ciomas Tapos Barengkok Pangeur 381,23 1,76 97,72 402,28 836,42 375,98

Jumlah 2.095,39

3 Tenjo Bogor Tenjo Babakan

Bojong Singabraja Batok Pangaur 580,55 202,76 232,30 71,65 448,89

Jumlah 1536,15

KP Acacia mangium 5.365,24 Sumber: RPKH Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor Jangka Perusahaan 20112015 4.5 Kegiatan Pemanenan Kayu

Kegiatan pemanenan kayu di KPH Bogor menggunakan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dengan menanam kembali lokasi-lokasi tebangan setelah dilakukan tebang habis. Kegiatan tebang habis khusus dilakukan hanya pada areal hutan produksi.

Berdasarkan SK Direktur Jendral Kehutanan No.143/KPTS/DJ/I/74Tahun 1974, Surat Kepala Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan No.534/052.4/Renbang/III tahun 2003, serta Surat Kepala Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan Unit III Jawa Barat dan Banten No.364/053.4/ Renbang/III Tahun 2003 perihal istilah tebangan, tebangan Acacia mangium


(28)

1) Tebangan A/Tebangan Hutan Produktif Sesuai Etat

Tebangan A atau Tebangan Hutan Produktif Sesuai Etat adalah penebangan hutan produksi dari kelas perusahaan tebang habis yang pada umumnya digunakan sebagai dasar untuk perhitungan etat tebangan. Tebangan habis biasa pada kawasan hutan tetap dibagi menjadi:

a) A.1 = Lelesan bidang tebang habis jangka lampau yaitu lapangan yang telah ditebang habis dalam jangka perusahaan yang lalu.

b) A.2 = Tebang habis biasa pada jangka yang berjalan yaitu penebangan habis biasa yang dilaksanakan dalam jangka berjalan.

c) A.3 = Tebang habis biasa pada jangka berikut yaitu lapangan-lapangan yang akan ditebang dalam jangka perusahaan yang akan datang.

2) Tebangan B/Persiapan Rehabilitasi

Tebangan B atau Persiapan Rehabilitasi pada kawasan hutan tetap adalah tebangan habis untuk hutan yang produktif dari lapangan yang baik untuk tebang habis dan dari lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. Tebangan B dibagi menjadi:

a) B.1 = tebang habis bidang-bidang yang tidak produktif tetapi baik untuk perusahaan tebang habis yaitu penebangan habis pada lapangan tak produktif tetapi disediakan untuk penghasilan kayu Acacia mangium, meliputi tanah kosong (TK) dan tanaman Acacia mangium bertumbuhan kurang (TABK). Istilah yang sama untuk tebangan B.1 dari kelas hutan tidak produktif (TK) dan tanaman Acacia mangium bertumbuhan kurang (TABK) adalah persiapan rehabilitasi, sedangkan istilah yang sama untuk tebangan B.1 dari kelas hutan tanaman kayu lain (TKL) adalah persiapan rehabilitasi ke jenis kelas perusahaan.

b) B.2 = tebang habis hutan-hutan yang buruk untuk perusahaan tebang habis, yaitu penebangan habis pada lapangan yang tidak baik untuk tebang habis. 3) Tebangan C/Konversi untuk Pembangunan Non Kehutanan

Tebangan C (tebangan habis hutan yang dihapuskan), yaitu penebangan habis pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah dihapuskan. Bentuk tebangan ini meliputi bidang-bidang yang setelah ditebang


(29)

ditanam kembali. Istilah yang sama untuk jenis tebangan C adalah Konversi untuk Pembangunan Non Kehutanan.

4) Tebangan D/Persiapan Rehabilitasi yang Tidak Direncanakan

a) D.1 = Tebangan pembersihan atau tebangan limbah adalah penebangan pohon-pohon yang tertekan.

b) D.2 = Tebangan tak tersangka adalah penebangan yang berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan akibat angin atau akan dibuat jalan dan sebagainya.

5) Tebangan E/Penjarangan atau Pemeliharaan Hutan

Tebangan E merupakan tindakan silvilkultur, dilaksanakan secara periodik untuk memberikan tempat dan ruang tumbuh yang optimal sehingga diperoleh kayu konstruksi dan kayu industri yang berukuran besar dengan kualitas tinggi sesuai dengan kemampuan tempat tumbuh dengan penekanan pada tegakan tinggal di akhir daur. Selain itu penjarangan dapat meningkatkan fungsi hidrologis dari kawasan hutan tersebut. Berdasarkan laporan rencana dan realisasi tebangan tahun 2006-2010, jenis tebangan yang dilakukan di BKPH Parung Panjang adalah tebangan A, B, dan E.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 5 Kegiatan penebangan pohon (kiri) dan pembagian batang (kanan)

Kegiatan penebangan di KPH Bogor kelas perusahaan (KP) Acacia mangium dilakukan dengan menggunakan chainsaw. Pekerja untuk kegiatan penebangan umumnya berasal dari masyarakat di sekitar hutan. Sebelum memulai pekerjaan sebagai penebang, operator chainsaw diberikan pelatihan (jobtraining) terlebih dahulu mengenai cara-cara menebang yang baik dan benar mulai dari penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan takik balas hingga pembagian batang. Kegiatan pembagian batang dilakukan dengan memperhatikan kualitas kayu (termasuk menghindarkan cacat fisik yang ada) dari pangkal hingga ujung


(30)

kayu dan dilakukan seefisien mungkin agar tidak menghasilkan limbah kayu yang dapat merugikan perusahaan dikarenakan sortimen log yang dihasilkan akan digunakan untuk keperluan kayu perkakas.

Pembagian batang pada KP Acacia mangium terdiri dari tiga jenis sortimen yaitu:

1. Sortimen kayu bundar kecil Acacia mangium (AI) dengan panjang (120 cm, 160 cm, 200 cm) dan diameter 10 cm–19 cm.

2. Sortimen kayu bundar sedang Acacia mangium (AII) dengan panjang (120 cm, 160 cm, 200 cm) dan diameter 20 cm–29 cm.

3. Sortimen kayu bundar besar Acacia mangium (AIII) dengan panjang (120 cm, 160 cm, 200 cm) dan diameter 30 cm up.

Penyaradan dilakukan setelah kegiatan pembagian batang selesai dilakukan, sesuai dengan jalan sarad yang telah dibuat terlebih dahulu (mengikuti pola/alur jalan sarad) untuk meminimalkan dampak kerusakan pada tanah dan tumbuhan bawah.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 6 Kegiatan penyaradan kayu

Sistem penyaradan yang diterapkan di KP Acacia mangium KPH Bogor merupakan sistem penyaradan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia. Dalam pelaksanaannya, penyarad yang merupakan mitra kerja perum perhutani menyarad sortimen log dari lokasi tebangan langsung ke alat angkutan (truk) dengan cara dipikul (diletakkan di atas bahu) secara perorangan untuk sortimen AI dan sebagian AII (dengan panjang dan diameter yang masih dapat dijangkau untuk dipikul perorangan). Untuk jenis sortimen log ukuran besar (AIII) dan AII (dengan panjang dan diameter yang sulit dijangkau untuk dipikul perorangan), penyaradan dilakukan secara beregu 4 orang dengan cara mengikat


(31)

sortimen dengan tali dan dipikul dengan dengan menggunakan bantuan tongkat/kayu pemikul.

Kegiatan pemuatan dilakukan secara manual oleh penyarad yang sama bersamaan dengan dilakukannya penyaradan. Hal ini disebabkan kayu yang disarad dengan cara dipikul langsung dimasukkan ke dalam alat angkut (truk).

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 7 Kegiatan pemuatan kayu (kiri) dan pengangkutan kayu (kanan)

Pengangkutan merupakan kegiatan pemindahan kayu (log) dari tempat pengumpulan ke tujuan akhir. Terdapat 8 tempat tujuan akhir pengangkutan kayu untuk diolah menjadi kayu perkakas yang terdiri dari: 3 pabrik pengolahan kayu mitra kerja perhutani, 4 tempat pengumpulan khusus (TPKh), dan 1 TPn. Supir truk yang digunakan sebagai pengangkut sortimen log di Kelas Perusahaan Acacia mangium KPH Bogor merupakan mitra kerja perhutani yang disewa dengan sistem pembayaran upahnya adalah per 1 rit (1 kali angkutan). Dalam 1 rit kapasitas kayu (volume) yang diangkut berkisar antara 4 m35m3.


(32)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden

Responden merupakan pekerja (karyawan) maupun mitra kerja perhutani di bidang pemanenan kayu, yang terdiri dari 6 mandor lapangan, 11 pekerja penebangan (operator chainsaw), 23 pekerja penyaradan, dan 11 pekerja pengangkutan (supir truk).

Tabel 9 Karakteristik responden berdasarkan umur, pengalaman kerja, dan I pendidikan

No. Karakteristik

Responden Kategori

Mandor

lapangan Penebang Penyarad Pengangkut

∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

1 Umur (tahun) 17-26 - 5 45,45 2 8,7 1 9,09

27-36 5 83,33 3 27,27 13 56,52 4 36,36

37-46 1 16,66 2 18,18 7 30,44 2 18,18

47-56 - 1 9,09 1 4,34 4 36,36

2 Pengalaman

kerja (tahun) ≤ 5 - 7 63,64 9 39,13 7 63,64

6 – 10 1 16,66 3 27,27 8 34,78 2 18,18

11- 15 5 83,33 1 9,09 5 21,74 1 9,09

>15 - - 1 4,35 1 9,09

3 Pendidikan SD/

Sederajat - 11 100 20 86,96 8 72,73

SMP/

Sederajat 1 16,16 - 2 8,69 1 9,09

SMA/

Sederajat 5 83,33 - 1 4,35 2 18,18

Keterangan : ∑ (jumlah); % (persentasi)

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa pekerja berada dalam usia 17–56 tahun dengan usia termuda 18 tahun yang terdapat pada responden penebangan dan tertua 56 tahun yang terdapat pada responden pengangkutan. Sebagian besar pekerja berada dalam usia produktif dengan pengalaman kerja yang bervariasi. Pengalaman kerja responden menunjukkan lamanya masa kerja responden sebagai karyawan maupun mitra kerja perum perhutani KPH Bogor hingga penelitian dilaksanakan. Mandor lapangan merupakan karyawan perum perhutani yang terikat secara langsung pada perusahaan sedangkan operator chainsaw, penyarad, dan supir truk merupakan mitra kerja perhutani yang menjalin hubungan kerja sama dalam kegiatan pemanenan kayu pada kelas perusahaan Acacia mangium


(33)

terendah berada pada penyarad dengan lama kerja 1 bulan dan pekerja dengan pengalaman kerja tertinggi berada pada pengangkutan (supir truk) dengan lama kerja 33 tahun. Adapun pengalaman kerja mandor lapangan berkisar antara 10 hingga 14 tahun sudah menunjukkan bahwa mandor lapangan memiliki pengalaman kerja yang tergolong baik.

Untuk tingkat pendidikan, sebagian besar mandor lapangan adalah lulusan sekolah menengah atas dengan persentasi sebesar 83,33% sedangkan keseluruhan pekerja penebangan berpendidikan tingkat sekolah dasar (100%) dan sebagian besar termasuk tidak menyelesaikan pendidikannya. Pada pekerja penyaradan dan pengangkutan (supir truk), sebagian besar tingkat pendidikannya adalah sekolah dasar dengan persentasi masing-masing sebesar 86,96 % dan 72,73%.

5.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner 5.2.1 Hasil Uji Validitas Kuisioner

Dari hasil pengolahan dan analisis data menggunakan software SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 19, terdapat peubah pertanyaan yang tidak valid sehingga tidak dapat digunakan untuk pengolahan data selanjutnya. Jumlah pertanyaan yang valid dan tidak valid tertera pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah pertanyaan yang valid dan tidak valid pada aspek kompetensi

No. Pekerja Aspek Kompetensi Jumlah Pertanyaan

Valid Tidak Valid

1 Mandor Lapangan Pengetahuan (knowledge) 10 1

Keterampilan (skill) 11 -

Sikap (attitude) 11 -

Jumlah 32 1

2 Penebangan Pengetahuan (knowledge) 10 2

Keterampilan (skill) 9 3

Sikap (attitude) 10 2

Jumlah 29 7

3 Penyaradan Pengetahuan (knowledge) 7 2

Keterampilan (skill) 9 -

Sikap (attitude) 9 -

Jumlah 25 2

4 Pengangkutan Pengetahuan (knowledge) 5 1

Keterampilan (skill) 5 1

Sikap (attitude) 5 1


(34)

Uji validitas kuisioner dimaksudkan untuk menentukan keabsahan (sah atau tidaknya) pertanyaan yang digunakan dalam penelitian, sehingga hanya pertanyaan yang valid saja yang dapat dilanjutkan untuk pengujian selanjutnya.

Berdasarkan Tabel 10 uji validitas dilakukan terhadap peubah pertanyaan pada setiap responden. Untuk responden mandor lapangan mendapatkan 33 pertanyaan dengan 1 pertanyaan dinyatakan tidak valid. Responden penebang (operator chainsaw) mendapatkan 36 pertanyaan dengan 7 pertanyaan dinyatakan tidak valid dan responden penyarad mendapatkan 27 pertanyaan dengan 2 pertanyaan dinyatakan tidak valid. Untuk responden pada pengangkutan (supir truk) mendapatkan 18 pertanyaan dengan 3 pertanyaan dinyatakan tidak valid.

Pertanyaan yang valid pada tiap aspek kompetensi (knowledge, skill,

attitude) pada empat jenis pekerjaan yang diamati untuk selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisis tingkat kompetensi penerapan K3 pada pekerja. Adapun peubah pertanyaan yang digunakan merupakan peubah pertanyaan penelitian K3 yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya (KP Jati KPH Cianjur Tahun 2009) yang sudah valid dan termasuk menyempurnakan pertanyaan yang tidak valid agar menjadi valid. Untuk mandor lapangan terdapat 11 pertanyaan yang berhasil disempurnakan (menjadi valid) dari 12 pertanyaan yang tidak valid. Pada responden penebang terdapat 10 pertanyaan yang berhasil disempurnakan (menjadi valid) dari 17 pertanyaan yang tidak valid dan untuk responden penyarad terdapat 4 pertanyaan yang berhasil disempurnakan (menjadi valid) dari 6 pertanyaan yang tidak valid. Pada responden pengangkutan (supir truk) terdapat 4 pertanyaan yang berhasil disempurnakan (menjadi valid) dari 7 pertanyaan yang tidak valid. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak valid walaupun telah diperbaiki tetap menghasilkan hasil yang sama dengan jumlah tertinggi pada responden penebang sebanyak 7 peubah pertanyaan. Menurut Setiawan (2010), faktor yang menyebabkan pertanyaan menjadi tidak valid antara lain persepsi yang sama antara responden terhadap suatu variabel pertanyaan sehingga menghasilkan nilai validitas sebesar nol (0).

5.2.2 Hasil Uji Reliabilitas Kuisioner

Peubah pertanyaan pada aspek kompetensi dinyatakan reliabel apabila mempunyai nilai cronbach’s alpha > 0,6. Berdasarkan hasil uji reliabilitas dengan


(35)

SPSS versi 19, nilai uji reliabilitas responden mandor lapangan pada aspek

knowledge, skill, dan attitude masing-masing sebesar 0,948; 0,972; 0,962. Uji reliabilitas responden penebang pada aspek knowledge, skill, dan attitude

memiliki nilai masing-masing sebesar 0,922; 0,884; 0,903. Uji reliabilitas responden penyarad aspek knowledge, skill, dan attitude memiliki nilai masing-masing sebesar 0,713; 0,868; 0,869. Untuk responden pengangkutan (supir truk), peubah pertanyaan pada tiap aspek kompetensi bernilai reliabel dengan nilai masing-masing sebesar 0,838; 0,838; 0,837 pada aspek knowledge, skill, dan

attitude.

5.3 Kompetensi Penerapan K3

5.3.1 Analisis Kompetensi Penerapan K3 Mandor Lapangan

a. Uji statistik Wilcoxon antara persepsi mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Untuk menentukan besar dan arah hubungan antara penilaian berdasarkan standar dengan penilaian menurut responden dilakukan analisis deskriptif terhadap nilai rata-rata dari jawaban responden berdasarkan pertanyaan yang valid dan reliabel. Besarnya selisih nilai antar aspek kompetensi dapat dilihat pada Tabel 11 berdasarkan selisih nilai rata-rata.

Tabel 11 Perbedaan nilai aspek kompetensi penerapan K3 antara penilaian mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Knowledge Skill Attitude

SA CBA Selisih SA CBA Selisih SA CBA Selisih

Nilai

Total 18,40 15,90 -2,50 18,36 15,36 -3,00 15,00 13,00 -2,00

Rata-rata 3,06 2,65 -0,41 3,06 2,56 -0,5 2,50 2,16 -0,34

Keterangan: SA = self assessment (penilaian subjektif /persepsi responden mandor lapangan)

iiiiiiiCBA = control based assessment (penilaian objektif berdasarkan standar)

Pada Tabel 11 terlihat bahwa aspek knowledge mandor lapangan memiliki selisih sebesar -0,41. Berdasarkan uji Wilcoxon menggunakan SPSS versi 19 selisih tersebut merupakan perbedaan yang signifikan, demikian halnya untuk aspek skill dan attitude terdapat perbedaan selisih sebesar -0,50 dan -0,34. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki mandor lapangan berbeda dengan penilian yang dilakukan berdasarkan standar. Tanda negatif (-) menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan responden bersifat overestimate terhadap


(36)

penilaian objektif yang dilakukan sesuai standar. Untuk mengetahui terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden dengan penilaian berdasarkan standar, dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil uji Wilcoxon antara persepsi mandor lapangan dengan penilaian berdasarkan standar

Nilai Knowledge Skill Attitude

Z -2,032 -2,023 -2,023

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,042 0,043 0,043

α 0,05 0,05 0,05

Keterangan: H0 diterima jika angka probabilitas(asymp.sig) > nilai α

Keterangan: H0 ditolak jika angka probabilitas(asymp.sig) < nilaiα

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa aspek kompetensi (knowledge,

skill, attitude) memiliki nilai probabilitas masing-masing sebesar (0,042; 0,043; 0,043) yang kurang dari nilai α sebesar 0,05 sehingga hipotesis H1 diterima atau

tolak H0 (H0: tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden

dengan penilaian berdasarkan standar).

b. Hubungan antar aspek kompetensi pada pekerja mandor lapangan

Untuk melihat keeratan hubungan antar aspek kompetensi pada pekerja mandor lapangan sebagai strategi untuk meningkatkan aspek kompetensi, dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil uji korelasi Spearman antar aspek kompetensi mandor lapangan

Knowledge Skill Attitude Spearman's rho Knowledge Correlation Coefficient 1,000 0,971* 0,529

Sig. (2-tailed) . 0,001 0,280

N 6 6 6

Skill Correlation Coefficient 0,971* 1,000 0,588

Sig. (2-tailed) 0,001 . 0,219

N 6 6 6

Attitude Correlation Coefficient 0,529 0,588 1,000

Sig. (2-tailed) 0,280 0,219 .

N 6 6 6

Keterangan: * = korelasi signifikan pada taraf nyata 0,05(2-tailed) H0 diterima jika angka probabilitas(asymp.sig) > nilaiα H0 ditolak jika angka probabilitas (asymp.sig) < nilaiα

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi peringkat Spearman pada Tabel 13, terdapat korelasi yang signifikan antara aspek knowledge dengan skill dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,971 dan nilai probabilitas (Sig.2-tailed) < nilai α pada selang kepercayaan 95%, atau dapat dikatakan bahwa hipotesis H0 ditolak (H0:


(37)

Untuk hubungan antara aspek knowledge dengan attitude dan skill dengan

attitude (koefisien korelasi sebesar 0,529; 0,588) tidak terdapat hubungan yang signifikan (nilai probabilitas (Sig.2-tailed) > nilai α). Hal ini dapat dikatakan bahwa walaupun terdapat korelasi sebesar 0,529 dan 0,588 tetapi korelasi tidak cukup signifikan untuk menggambarkan hubungan antara knowledge dengan

attitude dan skill dengan attitude.

Berdasarkan penilaian objektif menggunakan standar terhadap aspek kompetensi responden mandor lapangan, aspek skill merupakan prioritas utama yang harus ditingkatkan. Adanya hubungan yang signifikan pada aspek skill

dengan knowledge pada korelasi peringkat Spearman dan terjadi korelasi yang bernilai positif antara kedua peubah maka korelasi bersifat searah, sehingga dengan meningkatkan aspek skill dapat meningkatkan aspek knowledge. Sarwono (2006) menyebutkan bahwa korelasi positif menyebabkan dengan meningkatkan salah satu peubah maka peubah yang lainnya akan meningkat searah peningkatan yang dilakukan pada peubah sebelumnya.

Dari hasil analisis pada aspek skill diketahui bahwa responden mandor lapangan memiliki nilai rata-rata sebesar 2,56 yang apabila dilihat berdasarkan rataan skala Likert aspek keterampilan tentang pemahaman K3 mandor lapangan berada pada tingkatan kurang baik (buruk). Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa perlunya peningkatan aspek keterampilan mandor lapangan tentang pembuatan data statistik kecelakaan dan penyakit akibat kerja berdasarkan data laporan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Depnakertrans (2008) perusahaan yang mempekerjakan 11 orang atau lebih karyawan harus membuat laporan tentang cedera dan sakit yang diakibatkan oleh kerja. Termasuk dalam kategori sakit kerja berupa kondisi abnormal atau kesalahan fungsi tubuh (disorder) yang diakibatkan oleh kecelakaan. Pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar penyusunan statistik kecelakaan kerja yang berhubungan pada kegiatan pemanenan kayu. Suma’mur (1977) menyatakan bahwa angka kecelakaan kerja merupakan tujuan utama penyusunan statistik kecelakaan dengan angka kecelakaan yang sangat terperinci biasanya memadai jika data dikumpulkan setiap lima tahun, sedangkan statistik tahunan yang dilakukan bertujuan memberikan


(38)

informasi mengenai banyaknya kecelakaan yang digolongkan menurut akibat dan angka peristiwa yang terjadi (frekuensi, hilangnya waktu kerja, biaya). Dengan adanya penyusunan statistik kecelakaan secara tepat maka dapat dilakukan upaya penanggulangan resiko (pendekatan pencegahan) untuk mengatasi persoalan kecelakaan kerja.

Mandor lapangan sebagai pengawas langsung kegiatan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, dan pengangkutan) di lokasi petak tebang tidak dapat melaksanakan kegiatan penerapan K3 tanpa adanya dukungan manajemen puncak. Secara umum dalam menangani permasalahan K3, Perum Perhutani KPH Bogor telah membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) berdasarkan keputusan administratur perum perhutani No.76/KPTS/BGR/ III/2011 namun penerapan K3 pada kegiatan pemanenan kayu belum diimplementasikan sepenuhnya berdasarkan penilaian objektif yang dilakukan sesuai standar terhadap kompetensi pekerja. Dalam pelaksanaan kegiatan wawancara dengan pihak responden mandor lapangan dapat disimpulkan bahwa pimpinan perusahaan belum mendukung secara penuh dalam pelaksanaan K3 di lokasi kerja, antara lain dengan belum tersedianya alat pelindung diri (APD) bagi pekerja bidang pemanenan kayu. Hal ini bertolak belakang dengan standar pengelolaan hutan menurut LEI (2004), bahwa prinsip-prinsip FSC terkait pengelolaan hutan produksi lestari menyaratkan perlu dilakukannya perlindungan terhadap kepentingan para pekerja industri hutan.

Sumber: koleksi pribadi

Gambar 8 Pemberian ukuran diameter dan panjang pada bontos (kiri) dan pengawasan penebangan (kanan)

Flippo (1984) menyebutkan bahwa manajemen puncak harus memberikan dukungan aktif pada program keselamatan dan memberikan lebih banyak perhatian dimana terdapat suatu hubungan yang kuat antara dukungan manajemen puncak terhadap berkurangnya jumlah pekerja yang cedera. Tanpa adanya


(39)

komitmen penuh dari keseluruhan manajemen tingkat atas suatu perusahaan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja maka setiap upaya untuk melakukan tindakan pencegahan kecelakaan akan kurang mendapatkan hasil yang signifikan.

Berdasarkan data hasil kuisioner pada keseluruhan aspek kompetensi, menunjukkan bahwa keseriusan pihak manajemen puncak perusahaan terhadap pengadaan alat pelindung diri (APD), pelayanan kesehatan, penyediaan bantuan medis, penyusunan peraturan K3, dan pembinaan K3 bagi pekerja bidang penebangan, penyaradan, dan pengangkutan masih tergolong perlu untuk dilakukan peningkatan. Suma’mur (1977) menyatakan bahwa pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang menetap sangat dianjurkan untuk mengetahui apakah terdapat penyakit seperti kardio-vaskuler (paru-paru berat), persendian, hernia inguinal, kelainan tulang belakang, tuli, dan pengelihatan yang buruk dimana pekerja yang mendapatkan penyakit akibat kerja tersebut tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaannya. Berdasarkan kondisi di lingkungan kerja dengan karakteristik cuaca yang panas dan timbulnya kebisingan maupun getaran mekanis akibat peralatan kerja seperti chainsaw maka pihak Perhutani KPH Bogor setidaknya melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala bagi tenaga kerja sekurang kurangnya satu tahun sekali sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.2 Tahun 1980 dan menurut Suma’mur (1977) yang menyebutkan bahwa pekerja yang memungkinkan menderita akibat dari pekerjaan yang berat, kebisingan, dan getaran mekanis perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala dengan jangka waktu satu tahun termasuk cukup memadai. Untuk upaya pertolongan terhadap kecelakaan kerja, fasilitas P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan) sudah seharusnya disediakan perusahaan. Berdasarkan wawancara terhadap mandor lapangan, pihak perhutani termasuk tidak serius terhadap penyediaan perlengkapan kotak P3K minimum dalam mengatasi kecelakaan kerja yang terjadi.

Berbahayanya tingkat pekerjaan pemanenan kayu di kelas perusahaan

Acacia mangium akibat terdapatnya unsur unsafe action dan unsafe condition

seharusnya menjadikan pihak manajemen puncak Perhutani KPH Bogor untuk mementingkan kondisi K3 para pekerja sebagai prioritas utama yang disejajarkan dengan kondisi pencapaian target produksi, kualitas log, dan biaya produksi.


(1)

2. Perencanaan Jalan Sarad:

 Jaringan jalan sarad yang sesuai dengan metode penyaradan dan arah penyaradan harus direncanakan sebelum operasi dilakukan. (ILO 2002, point 459)

 Untuk penyaradan secara manual, jarak harus dijaga sependek mungkin dengan menggunakan suatu arah rebah yang tepat dan jaringan jalan sarad yang cukup dekat. (ILO 2002, point 463)

 Tumbuhan bawah pada jalan sarad harus dipotong serendah mungkin terhadap permukaan tanah sepanjang dapat dipraktekan dan rintangan harus dipindahkan dengan hati-hati. (ILO 2002, point 485)

 Penyaradan harus disesuaikan dengan penebangan sedapat mungkin dan dimulai dari titik terjauh rute penyaradan untuk menghindari penyaradan terlalu banyak di atas cabang, batang-batang tajuk, dan limbah pemanenan lainnya. (ILO 2002, point 486)

3. Cara Penyaradan Sesuai Kondisi Areal Kerja:

 Untuk penyaradan secara manual berat beban harus dikurangi seringan mungkin sesuai sortimen/ukuran kayu yang dibutuhkan. (ILO 2002, point 464)

Pada penyaradan manual, pengangkutan kayu dari bawah sikap tubuh harus tegak dengan lutut berada dalam keadaan menekuk dan pekerjaan mengangkat dilakukan dengan kekuatan tumpuan pada kaki bukan pada punggung. (Permenaker No.1/1978 pasal 10)

 Untuk penyaradan dengan binatang penghela hanya dapat digunakan untuk binatang dengan kekuatan dan daya tahan yang cukup untuk mengatasi ketegangan pekerjaan penyaradan (ILO 2002, point 483) dan orang yang memandu binatang harus selalu berjalan di samping binatang atau di belakang beban apabila tali pengikat yang digunakan panjang. (ILO 2002, point 490)

4. Cara Memperkecil Kerusakan Tanah Akibat Penyaradan:

 Gangguan terhadap tanah dan kerusakan pada tegakan tinggal harus diperkecil sepanjang dapat dilakukan dengan menggunakan metode penyaradan yang sesuai (ILO 2002, point 458).

 Pada umumnya batang kayu harus disiapkan sebelum operasi penyaradan dengan memotongnya dalam spesifikasi yang ditentukan, untuk mengendalikan berat beban dan memperkecil kerusakan pada tegakan tinggal. (ILO 2002, point 460)

5. Waktu/Kondisi Untuk Penyaradan:

 Untuk alasan keselamatan dan pertimbangan lingkungan, operasi penyaradan harus ditunda selama cuaca buruk (ILO 2002, point 462). Hal ini termasuk hujan deras, angin kencang, dan saat panas terik.

 Harus dibuat ketetapan untuk waktu istirahat yang cukup dengan interval waktu tertentu. (ILO 2002, point 465)

6. Alat Bantu Penyaradan Manual:

 Penyaradan kayu secara manual tidak boleh dilakukan tanpa penggunaan perkakas bantu seperti kait, penjepit, atau sapi-sapi. (ILO 2002, point 466) Sulky atau peralatan serupa harus digunakan untuk memperkecil beban

kerja dalam penyaradan manual. (ILO 2002, point 468) Lampiran 6 (Lanjutan)


(2)

7. Jenis APD Penyaradan:

 Pelindung kepala (dalam hal ini dapat berupa topi pengaman atau helm kerja/ILO 2002)

 Pelindung tangan (dalam hal ini berupa sarung tangan/ILO 2002)

 Pelindung kaki (dalam hal ini berupa sepatu boot karena memiliki daya cengkraman yang baik dan penutup bagian kaki yang aman/ILO 2002, point 651.b)

8. Ketentuan Menggunakan Peralatan Penyaradan:

 Untuk penyaradan menggunakan hewan, tali kekang yang sesuai harus digunakan untuk menghindari luka-luka dan mengurangi ketegangan fisik pada binatang pada saat sedang menarik beban. (ILO 2002, point 487)  Untuk penyaradan secara manual sulky harus digunakan untuk mengurangi

friksi antara beban dan landasan. (ILO 2002, point 488) 9. Cara Pemeliharaan/Perawatan Alat Penyaradan:

Penyaradan dengan menggunakan binatang harus selalu memberi makan, minum, dan istirahat yang cukup sesuai kebutuhan fisiknya (ILO 2002, point 483). Untuk mengurangi kerusakan pada sapi-sapi maupun sulky, maka penggunaan alat-alat tersebut harus digunakan sesuai dengan fungsinya.

IV. Bidang Pekerjaan : Pengangkutan

1. Pengoperasian Alat Angkut Sesuai SOP (ILO 2002, point 611):

 Para supir harus memegang lisensi yang diharuskan sesuai dengan jenis truk yang dioperasikan.

 Para supir harus memiliki pengetahuan menyeluruh mengenai jenis truk yang sedang dikemudikan.

 Para supir dapat melakukan pemeliharaan dan perawatan kecil terhadap alat angkut/truk.

 Para supir memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa truk dimuat kayu sesuai dengan kapasitasnya (tidak berlebihan).

2. Kapasitas Maksimum Alat Angkut:

 Truk tidak boleh dimuat berlebihan (ILO 2002, point 622). Operator dapat menggunakan perbandingan volume-berat untuk mengukur berat muatan dan berdasarkan pengalaman untuk mengestimasi bahwa kayu telah mencapai kapasitas muatan maksimum.

3. Pemeriksaan Alat Angkut:

 Setiap hari harus dilakukan pemeriksaan penuh terhadap truk, khususnya perhatian pada mekanisme kemudi, lampu, rem, kabel-kabel sambungan, dan kopling. Roda harus diperiksa secara teratur terhadap keretakan, injakan tidak seimbang, tekanan ban, dan lepas atau hilangnya baut. (ILO 2002, point 612–613)

 Pemeriksaan oli, bahan bakar, air, rem, ban, dan peralatan lainnya sebelum mengoperasikan truk; pemeriksaan keadaan kabel pengikat (sling) sebelum dipergunakan. (Permenaker No.1/1978 pasal 7)

4. Peraturan Keselamatan Lalulintas:

 Kecepatan jangan melampaui daya muat truk dengan mengingat keadaan jalan dan jembatan yang akan dilalui. Kecepatan tidak boleh melampaui Lampiran 6 (Lanjutan)


(3)

batas yang telah ditetapkan dan selalu memperhatikan rambu-rambu jalan. (Permenaker No.1/1978 pasal 7)

5. Penggunaan APD:

 Pengemudi truk harus menggunakan alat pelindung diri untuk keselamatan kerja (Permenaker No.1/1978 pasal 7), antara lain: topi pengaman (untuk melindungi dari cuaca panas pada siang hari), sepatu boot (memiliki daya cengkraman yang baik), dan pakaian pelindung tubuh/termasuk celana (menutupi seluruh tubuh hingga kaki).

6. Regulasi Ketika Pemuatan (Permenaker No.1/1978 pasal 7) dan (ILO, 2002):

 Tidak dibenarkan membawa penumpang lain selama membawa muatan

 Dilarang berada dalam kabin dan berada di depan truk sewaktu pemuatan dilakukan

 Mengusahakan agar tidak seorangpun boleh berada di depan truk sewaktu pemuatan-pemuatan dilakukan

 Segera dilaporkan setiap ada gangguan atau gejala-gejala gangguan mesin kepada pimpinan kerja/mekanik

 Selain di kabin dilarang keras naik kendaraan di bagian lain truk pengangkut kayu (ILO, 2002)

Lampiran 6 (Lanjutan)


(4)

(5)

RINGKASAN

MUHAMAD AMAR SYAKIR. E14070047. Analisis Kompetensi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bagi Pekerja Kehutanan Bidang Pemanenan Kayu di KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Dibimbing oleh EFI YULIATI YOVI

Pekerjaan di bidang kehutanan, khususnya dalam kegiatan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, dan pengangkutan) merupakan salah satu pekerjaan lapangan yang memiliki resiko pekerjaan tinggi terhadap kondisi keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan tingginya angka kecelakaan yang terjadi. Kurangnya pemahaman pihak perusahaan dan pekerja terhadap pentingnya K3 berdampak pada rendahnya kompetensi penerapan K3 yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap sehingga terjadi kesenjangan antara berbagai peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tingkat kompetensi pekerja pada kegiatan penebangan, penyaradan, dan pengangkutan dengan menguji persepsi pekerja (self assessment) terhadap penilaian objektif yang dilakukan (control based assessment) dan menguji hubungan antar aspek kompetensi pekerja (knowledge, skill, attitude) untuk menentukan aspek kompetensi yang perlu ditingkatkan yang berhubungan erat dalam penyusunan kebijakan K3.

Metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu wawancara terstruktur terhadap responden menggunakan kuisioner yang telah ditentukan pilihan jawaban pertanyaan berdasarkan skala Likert dan observasi untuk mengetahui kondisi riil penerapan K3 pada kegiatan pemanenan kayu.

Berdasarkan analisis data menggunakan analisis deskriptif terdapat selisih yang bernilai negatif antara persepsi responden dengan penilaian berdasarkan standar yang menunjukkan bahwa persepsi responden overestimate dengan penilaian sesuai standar yang dilakukan. Besarnya selisih yang terdapat pada tiap aspek kompetensi setelah dilakukan uji Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi responden dengan penilaian sesuai standar.

Dari hasil penelitian pada uji korelasi Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara aspek kompetensi sehingga perlu peningkatan kompetensi pada aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja untuk masing-masing pekerja pada kegiatan pemanenan kayu.

Kata kunci: kegiatan pemanenan kayu, pekerja kehutanan, keselamatan dan


(6)

SUMMARY

MUHAMAD AMAR SYAKIR. E14070047. Competency Analyze of Application Occupational Safety and Health for Forestry Workers on Timber Harvesting Sector in KPH Bogor Perum Perhutani Unit III West Java and Banten. Under supervised by EFI YULIATI YOVI

Forestry work, especially in timber harvesting activities (felling, skidding, and transportation) known as one of the field work that has a high risk condition to occupational safety and health (OSH) based on the high level of accidents that occurred. Poor understanding by employers and workers on OSH protection regulations

have a direct impact on the weak application on OSH standards which includes aspect of knowledge, skill, and attitudes resulted a gap between the rules applicable to

the real application on the field. Therefore, this study was conducted to analyze the

worker’s competency in felling, skidding, and transportation with examined the perception of workers (self assessment) based on objective assessment (control based assessment), and examined the relationships between aspects of the competency to determined aspects that need to be improved which expected to be used as input for the company in making decisions for the establishment OSH polices.

The method used to collect data that was a structured interview of respondents

using the questionnaire that has been predetermined answers based on Likert scale and

observation to determined the condition of the real OSH implementation on timber harvesting activities.

The research showed that analyses of data using descriptive formulas was found a negative difference between the perceptions of respondents and objective

assessment which showed that the perception of respondents overestimate from control

based assessment. The difference was found in all aspect of competency after the

Wilcoxon test showed there were significant differences between the perceptions of respondents to the assessment standard.

In this research based on the Spearman correlation test was found a significant relationship between aspects of competency. This shows that the knowledge, skills and attitude of each workers on timber harvesting sector needs to be improved to enhance the overall competency.

Keywords: timber harvesting activities, forestry workers, occupational safety and