Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Variabel yang Diamati Analisis Data Sel Darah Merah Eritrosit

14 BAB III BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2011. Penelitian ini dilakukan di kandang Mitra Tani Farm yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi AFF, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian di antaranya adalah tabung reaksi, spuid, mikroskop cahaya, kamar hitung, gelas objek, cover glass, alat USG ultrasonographi, selotip, marker, kertas label, hemositometer alat penghitungan jumlah sel darah merah, Adam Mikrohematokrit Reader alat pengukuran hematokrit, spektrofotometer alat pengukuran hemoglobin, pipet eritrosit. Bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah 15 ekor domba betina yang dewasa kelamin, prostaglandin F2 α, antikoagulan EDTA Ethylene Diamine Tetra Acid, larutan NaCl fisiologis 0,9, metil alkohol, antibiotik, anthelmintik dan vitamin B kompleks, dan sedian ekstrak jamu veteriner. 3.3. Tahap Persiapan 3.3.1. Hewan Percobaan Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 domba betina ekor tipis yang telah dewasa kelamin dengan kisaran bobot badan sekitar 15 sampai 25 kg dan hewan coba ini diperoleh dari Mitra Tani Farm.

3.3.2. Aklimatisasi Domba

Domba penelitian dipelihara selama dua minggu untuk diaklimatisasikan sebelum diberi perlakuan. Selama masa aklimatisasi, domba diberi antibiotik, anthelmintik, dan vitamin B kompleks yang bertujuan agar domba bebas dari penyakit dan parasit. 15

3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang kelompok dengan konstruksi kandang panggung yang berukuran luas 1 x 1 m per ekor. Pakan yang diberikan adalah hijauan pada pagi dan sore hari serta ampas tahu pada siang hari. Air minum tersedia ad libitum.

3.3.4. Sinkronisasi Domba

Tahap pembuntingan domba diawali dengan sinkronisasi estrus yang dilakukan dengan menyuntikkan Prostaglandin F2 α secara intramuscular. Dosis Prostaglandin F2 α yang digunakan ialah sekitar 7,5 mgekor. Penyuntikan Prostaglandin F2 α ini dilakukan sebanyak dua kali dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama. Domba betina yang sudah menunjukkan gejala estrus dicampurkan dengan pejantan unggul selama dua hari. Pencampuran ini dilakukan dengan perbandingan 5:1 yaitu setiap dua ekor domba betina dikawinkan dengan satu pejantan. Sekitar 40 hari setelah pencampuran, dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan peralatan USG ultrasonographi. 3.4. Tahap Pelaksanaan 3.4.1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap RAL. Domba penelitian dibagi ke dalam 3 kelompok perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Perlakuan I : Domba bunting yang tidak dicekok ekstrak jamu veteriner Perlakuan II : Domba bunting yang dicekok ekstrak jamu veteriner dengan dosis 15 mLekor. Perlakuan III : Domba bunting yang dicekok ekstrak jamu veteriner dengan dosis 30 mLekor.

3.4.2. Pemberian Ekstrak Jamu Veteriner

Ekstrak jamu vateriner diperoleh dari Laboratorium Farmakologi FKH-IPB. Ekstrak jamu veteriner ini terbuat dari bahan-bahan herba yang terdiri dari sambiloto, lempuyang, kayu manis kayu legi, merica, dan jahe. Pencekokan jamu veteriner 16 mulai diberikan pada domba setelah kebuntingan berumur kurang lebih 1,5 bulan dan dilakukan sekali seminggu. Pencekokan diberikan per oral dengan dosis 15 mL per ekor pada kelompok domba dosis pertama dan 30 mL per ekor pada kelompok domba dosis kedua.

3.4.3. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid 5 mL kemudian langsung dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi antikoagulan EDTA Ethylene Diamine Tetra Acid. Selanjutnya sampel darah dianalisis di laboratorium fisiologi.

3.4.4. Perhitungan Eritrosit, Hematokrit, dan Hemoglobin

Perhitungan eritrosit dilakukan secara manual dengan metode hemositometer. Sampel darah diambil dengan pipet eritrosit sampai skala 0,5, kemudian noda darah diujung pipet dibersihkan dengan tissue bersih. Setelah itu diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis 0,9 sampai batas tera 101. Aspirator dilepas kemudian ujung pipet ditutup dengan jempol dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Campuran pada pipet tersebut dihomogenkan dengan membuat gerakan angka 8. Setelah homogen, hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung pada tepi kaca penutup. Kamar hitung didiamkan selama beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Jumlah sel darah merah dihitung pada lima kotak dalam kamar hitung yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pojok kiri atas dan bawah serta satu kotak yang berada ditengah. Penghitungan tersebut menggunakan mikroskop dengan perbesaran objektif 40 kali. Hasil penghitungan dari lima kotak tersebut dikalikan dengan 10.000 per mm 3 . Perhitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume PCV dilakukan dengan menggunakan Adam Microhematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1cm kemudian bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu, sampel tadi disentrifuse selama 4-5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. 17 Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin, memakai alat spektrofotometer yaitu sebuah alat penghitung otomatis yang memberikan hasil lebih objektif. Pada metode ini digunakan campuran reagen larutan kalium ferrosianida dan kalium sianida. Campuran reagen ini dimasukkan sebanyak 2,5 mL ke dalam tabung reaksi, kemudian sampel darah diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sama, selanjutnya dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam cuvet. Setelah itu hasil dibaca dengan spektrofotometer.

3.5. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah, nilai hematokrit PCV, dan kadar hemoglobin.

3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh selama penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan. 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah Eritrosit

Jumlah sel darah merah eritrosit domba penelitian selama lima bulan, dari setiap kelompok perlakuan memberikan hasil yang berbeda. Hasil penghitungan sel darah merah ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah sel darah merah 10 6 mm 3 induk domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan Waktu Bulan Dosis Jamu Veteriner 0 kontrol 15 mL 30 mL 1 9,33 ±1,86 a 9,48 ±1,64 a 9,53±1,65 a 2 9,85 ±1,48 a 10,09 ±1,71 a 11,74 ±1,95 a 3 10,04±2,57 a 10,81 ±2,36 a 10,47 ±2,17 a 4 11,13 ±1,73 a 11,30 ±1,23 a 12,26 ±1,99 a 5 9,72 ±1,98 a 9,57 ±1,24 a 9,91 ±1,25 a Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata p0,05 Selama lima bulan pengamatan, kenaikan jumlah sel darah merah eritrosit tertinggi didapatkan pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL. Jumlah sel darah merah terendah didapatkan pada kelompok domba kontrol. Secara uji statistik, faktor pemberian jamu veteriner pada perbedaan jumlah sel darah merah tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Secara keseluruhan, jumlah sel darah merah tertinggi dari setiap kelompok domba penelitian adalah sebesar 12,26±1,99 x 10 6 mm 3 . Jumlah sel darah merah hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting 1987 dan Maheshwari et al. 2001. Penelitian Ginting 1987 pada domba bunting, diperoleh jumlah sel darah merah sebesar 10 x 10 6 mm 3 . Sementara itu, dari penelitian Maheshwari et al. 2001 pada kambing bunting diperoleh jumlah sel darah merah sebesar 11,45±0,80 x 10 6 mm 3 . 19 Peningkatan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok domba perlakuan terjadi sampai dengan bulan keempat kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Maheswari et al. 2001, yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada kambing akan terus meningkat sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan. Peningkatan jumlah sel darah merah ini dapat terjadi karena domba mengalami peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh dan kebutuhan energi yang tinggi sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan Andriyanto et al. 2010. Pada bulan kelima kebuntingan, terjadi penurunan jumlah eritrosit pada setiap kelompok domba perlakuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Iriadam 2007, yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan akan menurun. Penurunan ini diduga terjadi akibat kondisi stress menjelang kelahiran Khan Ludri 2002. Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan selama lima bulan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 1. Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol ♦, diberi jamu veteriner dosis 15 mL ■, dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL ∆ selama lima bulan kebuntingan. Pada Grafik 1 terlihat bahwa peningkatan jumlah sel darah merah pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan 8.5 9 9.5 10 10.5 11 11.5 12 12.5 1 2 3 4 5 Jum lah Sel Darah Merah x10jutam m ³ Waktu Kebuntingan bulan 20 senyawa yang terdapat pada ekstrak jamu veteriner yang merupakan formulasi dari merica, lempuyang, kayu manis, sambiloto, dan jahe diduga dapat mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah. Menurut Septiatin 2008, merica memiliki kandungan senyawa piperine yang dapat berfungsi dalam melancarkan peredaran darah. Kandungan zat besi pada kayu manis berperan penting dalam pembentukan dan mempertahankan sel darah merah. Kecukupan sel darah merah dalam tubuh akan memperlancar oksigenasi jaringan ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme tubuh untuk memperoleh energi sehingga suplementasi kayu manis ini diduga mampu mencegah anemia pada hewan yang sedang bunting, menurunkan risiko kematian saat melahirkan, dan dapat meningkatkan bobot badan anak yang dilahirkan Jayaprakasha 2003. Menurut Arif 2009, suplementasi lempuyang dapat menetralkan dan membersihkan darah. Sementara itu, menurut Bown 2001 sambiloto berkhasiat dalam menurunkan tekanan darah tinggi. Suplementasi sambiloto ini diduga mampu mengontrol peningkatan jumlah sel darah merah di luar batas normal akibat terganggunya oksigenasi jaringan. Jahe dilaporkan memiliki kemampuan antioksidan yang berasal dari kandungan sejumlah senyawa fenolik Kikuzaki Nakatani 1993. Suplementasi jahe ini diduga kuat mampu menambah status antioksidan dalam tubuh serta dapat menghambat proliferasi sel kanker Agustinasari 1998.

4.2. Hemoglobin