Tujuan Manfaat Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Letak dan Luas

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat KHBTBB seluas 148570,3 ha, merupakan salah satu habitat alami ungko dan siamang yang hidup secara simpatrik di Sumatera Utara. Sebagai salah satu satwa herbivora arboreal kehidupan ungko sangat berkaitan dengan keberadaan vegetasi sebagai habitat dilokasi tersebut. Simorangkir et al. 2009 menyebutkan Kawasan Hutan Batang Toru KHBT terus mengalami degradasi habitat dengan laju rata-rata 2 setiap tahunnya akibat aktivitas penebangan hutan, dan apabila hal tersebut terus berlangsung maka laju kehilangan habitat alami kedua jenis Hylobatidae di kawasan tersebut diperkirakan akan semaking tinggi di masa mendatang. Hal ini akan semakin mengancam populasi ungko dan siamang sehingga dapat menjadi pemicu punahnya spesies tersebut. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi populasi ungko dan siamang di Kawasan Hutan Batang Toru, salah satunya dengan melakukan pengelolaan habitat kedua Hylobatidae tersebut. Studi mengenai struktur dan komposisi vegetasi habitat serta sumber pakan ungko dan siamang diharapkan akan memberikan manfaat sebagai salah satu acuan data dalam upaya untuk mendukung upaya konservasi kedua spesies tersebut.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan struktur, komposisi dan keanekaragaman jenis pohon di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat sebagai habitat ungko dan siamang. 2. Mengidentifikasi pola pemanfaatan ruang serta jenis vegetasi sumber pakan ungko dan siamang di habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

1.3 Manfaat

Studi ini diharapkan memberikan manfaat mengenai deskripsi struktur dan komposisi jenis vegetasi habitat serta pemanfaatannya sebagai salah satu acuan data dalam pengelolaan habitat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat untuk mendukung upaya konservasi spesies Hylobatidae tersebut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Ungko Hylobates agilis dan Siamang Symphalangus

syndactylus 2.1.1 Klasifikasi Ungko Hylobates agilis dan siamang Symphalangus syndactylus merupakan jenis kera kecil lesser ape yang termasuk kedalam keluarga Hylobatidae. Ungko dan siamang masing-masing memiliki klasifikasi sebagai berikut Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi taksonomi antara ungko dan siamang Napier Napier 1985 Klasifikasi Jenis Ungko Siamang Kingdom Animalia Animalia Filum Chordata Chordata Kelas Mammalia Mammalia Ordo Primata Primata Famili Hylobatidae Hylobatidae Genus Hylobates Symphalangus Spesies Hylobates Agilis F. Cuvier 1821 Symphalangus syndactylus Gloger 1841 Nama lokal Ungko Siamang Spesies Hylobates agilis memiliki tiga sub-spesies di Indonesia, yaitu Hylobates agilis ungko, Hylobates agilis agilis dan Hylobates agilis albibarbis Supriatna Wahyono 2000. Sedangkan untuk siamang hanya terdapat satu sub- spesies di Indonesia yaitu Symphalangus syndactylus syndactylus yang terbatas sebarannya di Pulau Sumatera Brandon-Jones et al 2003.

2.1.2 Morfologi

Secara umum ciri-ciri fisik ungko dapat dikenali melalui warna rambutnya yang beragam, mulai dari abu-abu, coklat muda sampai dengan hitam. Rambut tersebut menutupi seluruh tubuh satwa ini dan terdapat juga alis yang berwarna putih atau pirang di atas matanya. Satwa ini juga memiliki warna yang lebih gelap pada bagian pergelangan dan jari tangan serta kaki jika dibandingkan dengan anggota bagian tubuh lainnya. Spesies Hylobates agilis memiliki fenomena sexual dichromatism pembedaan warna tubuh berdasarkan jenis kelamin. Pada pejantan dewasa memiliki warna rambut yang lebih terang dari betina pada bagian sekeliling pipi hingga dagu abu-abu hingga coklat muda. Hal yang sama juga terdapat pada betina remaja namun pada saat mencapai usia dewasa warna rambut disekitar muka dan dagu tersebut berubah menjadi lebih gelap Geissman Nijman 2008 Gambar 1. Ungko memiliki ukuran tubuh antara 44 cm sampai 63,5 cm serta memiliki berat tubuh antara 5 sampai 8 kg untuk ungko dewasa Geissman Nijman 2008. Ungko memiliki tangan yang lebih panjang dibandingkan kakinya dan satwa ini tidak dapat berenang. Struktur tangan, kaki dan jari-jarinya panjang sehingga memungkinkannya untuk menjangkau dahan-dahan disekitarnya sehingga efektif untuk melakukan pergerakan berayun di tajuk-tajuk pohon dalam hutan Supriatna Wahyono 2000. Gambar 1 Penampakan fisik Hylobates agilis; sebelah kiri merupakan jenis dengan warna rambut kuning dan sebelah kanan warna rambut hitam Sumber: www.arkive.org. Siamang memiliki ukuran fisik yang paling besar diantara jenis Hylobatidae lainnya. Siamang dapat dikenali melalui warna rambutnya yang hitam pekat dengan warna sedikit keabu-abuan diantara dagu dan mulut mereka Gambar 2. Selain itu Siamang juga memiliki kekhasan tersendiri dibanding Hylobatidae lain yaitu terdapatnya kantung suara gular sacs yang dapat membesar ketika mereka melakukan panggilan suara Ankel-Simon 2000. Siamang dapat tumbuh hingga mencapai ukuran lebih dari 1 meter ketika mereka dewasa dan bobot tubuh siamang jauh lebih berat ketimbang ungko dengan berat rata-rata mencapai 10-15 kg Palombit 1997. Gambar 2 Penampakan fisik Symphalangus syndactylus. Ket: jantan kanan dan betina kiri dengan ciri khas gular sacs kantung suara sumber : www.jackieprime.org. 2.1.3 Penyebaran dan habitat Habitat merupakan kawasan yang merupakan tempat tinggal satwaliar yang didalamnya terdapat beberapa komponen yakni fisik dan biologi dan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya Alikodra 2002. Fungsi habitat secara umum adalah sebagai penyedia makanan, air dan perlindungan bagi satwaliar. Selain itu habitat juga menjadi tempat bagi satwaliar untuk berkembangbiak breeding dan membesarkan anak rearing. Sebagai salah satu satwa herbivora arboreal kehidupan Hylobatidae sangat berkaitan dengan keberadaan vegetasi sebagai habitatnya. Kawasan hutan dengan tajuk pohon yang kontinyu merupakan model habitat yang penting bagi keberadaan Hylobatidae, karena dapat mendukung pergerakan brankiasi satwa tersebut dari satu pohon ke pohon lainnya Sultan 2009. Ungko memiliki penyebaran habitat mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaysia hingga daerah selatan Thailand. Sedangkan penyebaran Siamang terbatas pada Pulau Sumatera, Semenanjung Malaysia hingga daerah selatan Thailand. Kedua jenis Hylobatidae ini menghuni kawasan hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa, hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan hujan pegunungan hingga ketinggian 2000 mdpl. Penyebaran siamang di Pulau Sumatera tersebar luas mulai dari Sumatera bagian utara Aceh hingga ke bagian selatan pulau tersebut. Sedangkan ungko memiliki sebaran dari Sumatera bagian tengah mulai selatan Danau Toba hingga ke Sumatera bagian selatan Supriatna Wahyono 2000 Gambar 3. a b Gambar 3 Peta penyebaran kedua jenis Hylobatidae di Sumatera. Ket: a distribusi ungko Hylobates agilis dan b siamang Symphalangus syndactylus Sumber: www.iucnredlist.org.

2.1.4 Aktivitas harian

Aktivitas harian pada satwaliar adalah refleksi fisiologis terhadap lingkungan sekitarnya. Jenis Hylobatidae pada umumnya melakukan aktivitas harian di tajuk-tajuk pohon arboreal yaitu dimulai dari meninggalkan pohon tidur hingga masuk ke pohon tidur selanjutnya. Chivers 1984 menyebutkan jenis Hylobatidae umumnya mulai beraktivitas sebelum matahari terbit dan mengakhirinya pada sore hari untuk beristirahat lebih awal dari jenis primata diurnal lainnya. Waktu aktivitas hariannya kurang lebih berlangsung 9,5 jam hingga 10,5 jam. Aktivitas yang dilakukan ungko antara lain bersuara calling, berpindah travelling, makan feeding and foraging, berkutu-kutuan grooming bermain playing dan istirahat resting Nowak 1999. Aktivitas harian pada kelompok Hylobatidae diawali dengan bersuara, hal ini dilakukan untuk menunjukan teritorial dan pengaturan ruang antar kelompok Chivers 2001. Aktivitas bersuara dilakukan sebagai pengaturan ruang dengan alasan suara keras dilakukan agar terdengar oleh kelompok lain sebagai komunikasi antar kelompok kemudian saling bersahutan dan jarang terjadinya kontak langsung antar kelompok. Pada ungko aktivitas calling diawali dengan dawn call suara jantan sendiri pada saat sebelum matahari terbit, sedangkan siamang tidak terdapat aktivitas calling sebelum matahari terbit Chivers 1984. Makan merupakan aktivitas yang dilakukan setelah bersuara. Jenis Hylobatidae dapat melakukan kegiatan makan pada satu pohon yang sama selama 2-3 hari berturut-turut. Pada saat itu, satwa jenis ini melakukan perpindahan dan biasanya tidur di sekitar atau dekat pohon pakan. Lama aktivitas makan tergantung pada jenis dan kelimpahan jenis pakan. Hylobatidae makan dengan cara memetik satu-persatu buah atau daun muda yang dimakan Rinaldi 1992. 2.2 Hutan Sebagai Habitat Hylobatidae 2.2.1 Struktur dan komposisi ekosistem hutan Hutan sebagai habitat ungko memiliki karakteristik tersendiri dari elemen penyusunnya. Salah satu hal yang berkaitan dengan karakteristik tersebut adalah struktur dan komposisi jenis vegetasi dalam suatu ekosistem hutan. Richard 1966 diacu dalam Marpaung 2009 mendefinisikan struktur hutan sebagai hal yang menyangkut susunan bentuk life form dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi vertikal dan horizontal dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan, kodominan dan tertekan. Komposisi masyarakat tumbuhan dapat diartikan variasi jenis flora yang menyusun suatu komunitas. Misra 1973 diacu dalam Marpaung 2009 menyebutkan komposisi jenis tumbuhan dapat diartikan juga sebagai daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas.

2.2.2 Pohon sebagai sumber pakan Hylobatidae

Pohon sumber pakan ungko dan siamang adalah jenis pepohonan yang menyediakan sumber pakan untuk kedua jenis Hylobatidae tersebut yang meliputi buah, daun, bunga ataupun bagian tumbuhan lainnya. Secara umum bagian jenis sumber pakan satwa primata terbagi atas bagian vegetatif tumbuhan, bagian reproduktif tumbuhan dan hewan seperti serangga maupun hewan kecil lainnya Palombit 1997. Sebagai satwa primata frugivorous pemakan buah komposisi pakan alami ungko dan siamang yang terbesar adalah buah-buahan yang berasal dari pepohonan hutan. Proporsi pakan alami ungko menurut Elder 2009 terdiri dari buah 63, daun 26, bunga 4 dan serangga 7 . Sedangkan menurut Palombit 1997 proporsi pakan alami siamang terdiri dari 51 buah, 33 daun, 10 serangga dan 6 bunga. Chivers 2001 menyebutkan beberapa jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan bagi keberadaan ungko antara lain dari genus Artocarpus, Baccauarea, Dillenia, Ficus, Litsea, Canarium, Diospyros, Mangifera, Eugenia, Callophylum, Gnetum dan Vitex.

2.2.3. Pohon sebagai cover dan shelter Hylobatidae

Pohon di habitat satwa liar harus memenuhi fungsi sebagai tempat untuk berlindung cover dan bernaung shelter bagi satwaliar Weddel 2002. Pepohonan sebagai tempat berlindung cover bagi keberadaan satwa liar dapat didefinisikan terutama untuk tempat bersembunyi, melarikan diri dan mengawasi keberadaan predator disekitar mereka atau mendukung strategi predator avoidance penghindaran pemangsa. Sedangkan fungsi kedua yaitu pepohonan sebagai shelter tempat bernaung lebih mengutamakan pada fungsi perlindungan terhadap cuaca panas, angin, hujan dan udara dingin. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat dan difokuskan pada stasiun riset penelitian YEL-SOCP Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Program Blok Hutan Batang Toru Bagian Barat, Kecamatan Pahae Jae, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara Gambar 4. Gambar 4 Peta lokasi penelitian di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat. Ket: tanda kuning dalam insert merupakan area Stasiun Penelitian YEL-SOCP di KHBTBB; garis kuning menunjukkan transect yang terdapat dalam areal penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pita ukur, meteran 50 m, range finder insight 400 XL, kompas, GPS, peta kerja, kantong plastik spesimen, binocular, kamera dan alat tulis-menulis. Objek atau bahan utama dalam penelitian ini adalah populasi siamang dan ungko yang terdapat dalam kawasan tersebut. 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Pengamatan vegetasi Pengumpulan data mengenai vegetasi meliputi aspek fisik, komposisi dan struktur vegetasi serta penutupan tajuk. Pengambilan data ini dilakukan dengan jalur analisis vegetasi yang dipilih secara purposive sampling yaitu dengan menggunakan 15 plot monitoring permanen berukuran 10 x 100 m dalam kawasan tersebut. Data yang berkaitan dengan vegetasi habitat yaitu komposisi, struktur vegetasi dan penutupan tajuk diambil dengan cara menganalisis jalur plot vegetasi yang terdapat dalam plot permanen berukuran 10 x 100 m. Analisis vegetasi dilakukan menggunakan metode koordinat yaitu pembuatan absis dan ordinat pada plot tersebut dengan cara membentangkan meteran berukuran 50 meter sebagai garis sumbu absis x dan meteran berukuran 10 meter sebagai ordinat y Gambar 5. Gambar 5 Bentuk plot pengamatan vegetasi pada habitat Hylobatidae di KHBTBB. Data mengenai vegetasi yang dicatat dalam pengamatan pada petak tersebut, yang terdiri dari data jenis tumbuhan, jumlah individu setiap jenis, diameter breast height diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, tinggi total, diameter tajuk berdasarkan arah mata angin utara-selatan; barat-timur dan posisi pohon berdasarkan koordinat x,y.

3.3.2 Pengamatan penggunaan ruang oleh Hylobatidae

Pengamatan penggunaan ruang oleh kedua jenis Hylobatidae dilakukan dengan cara observasi langsung diseluruh transek dan hutan dalam area Camp Pondok Mayang YEL-SOCP. Metode yang digunakan dalam pengamatan ini adalah scan sampling terhadap setiap individu kedua jenis Hylobatidae yang ditemukan. Pengamatan ini juga mengasumsikan setiap individu yang ditemukan dalam waktu yang berbeda dijadikan sampel yang berbeda. Asumsi ini digunakan karena populasi dari kedua jenis Hylobatidae dalam kawasan tersebut belum terhabituasi dan cukup sulit untuk dilakukan pengamatan aktivitas penggunaan ruang dalam periode waktu yang lama, sehingga dengan menggunakan asumsi tersebut diharapkan dapat memperkaya data penggunaan habitat. Data mengenai penggunaan ruang yang dicatat antara lain waktu perjumpaan, lokasi perjumpaan, jenis kelamin, aktivitas, ketinggian dari tanah dan jenis pohon. 3.4. Analisis Data 3.4.1 Analisis data vegetasi Analisis vegetasi habitat ungko dan siamang dengan metode jalur berpetak dihitung menggunakan rumus berdasarkan Soerianegara dan Indrawan 2002 sebagai berikut: Kerapatan suatu jenis K individuha K = Jumlah Individu jenis ke-i Luas total petak contoh Kerapatan relatif suatu jenis KR KR = Kerapatan jenis ke-i X 100 Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis F F = Jumlah petak ditemukannya jenis ke-i Jumlah seluruh petak contoh Frekuensi relatif suatu jenis FR FR = Frekuensi jenis ke-i X 100 Jumlah frekuensi seluruh jenis Dominansi suatu jenis D D= Luas bidang dasar jenis ke-i Luas total petak contoh Dominansi relatif DR DR = Dominansi jenis ke-i X 100 Dominansi seluruh jenis Indeks Nilai Penting INP = KR + FR + DR Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis dalam bentuk tabulasi dan penjelasan secara deskriptif. Seluruh hasil perhitungan nilai kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif serta Indeks Nilai Penting INP dimaknai dengan mengkaitkannya terhadap keberadaan kedua jenis Hylobatidae terutama untuk pemanfaatan jenis pepohonan.

3.4.2 Analisis ketersediaan ruang berdasarkan kelas strata dan tinggi pohon.

Analisis ketersediaan ruang dilakukan dengan mengklasifikasikan tiap individu pohon yang teramati kedalam kelas-kelas tertentu. Klasifikasi strata pohon yang terdapat dalam habitat ungko dan siamang dibagi kedalam empat kategori yaitu strata A 30 m, B 20-30 m, C 10-20 m dan D 10 m Mills et al 1993, diacu dalam Parker Brown 2000. Setelah dikelompokan dalam masing-masing kategori klasifikasi tersebut, selanjutnya dicari nilai frekuensi relatif ketersediaan ruang antara satu kelas strata dengan kelas strata lain menggunakan persamaan: Ketersediaan ruang strata i = total individu pohon strata ke itotal individu seluruh pohon x 100 Analisis yang sama juga digunakan untuk mencari ketersediaan ruang berdasarkan kelas tinggi pohon yang teramati. Namun untuk kelas tinggi pohon dibagi kedalam enam kelas dengan yaitu 0-11 meter, 11-15 meter, 16-20 meter, 21-25 meter, 26-30 meter dan 30 meter. Setelah dikelompokan dalam masing- masing kategori klasifikasi tersebut, selanjutnya dicari nilai frekuensi relatif ketersediaan ruang antara satu kelas strata dengan kelas strata lain menggunakan persamaan: Ketersediaan ruang kelas tinggi i = total individu pohon kelas tinggi ke itotal individu seluruh pohon x 100 Kedua hasil analisis data ini selanjutnya akan digunakan sebagai salah satu variabel dalam perhitungan preferensi pemanfaatan ruang oleh kedua jenis Hylobatidae.

3.4.3 Visualisasi profil habitat dan persentase coverage area

Penggambaran profil habitat dilakukan berdasarkan data hasil pengamatan vegetasi. Dengan menggunakan perangkat lunak coreldraw atau adobe photoshop kemudian data-data hasil pengamatan vegetasi habitat yang telah dilakukan dikonversi kedalam gambar digital untuk menggambarkan struktur pohon dalam habitat tersebut. Persentase coverage area merupakan analisis data mengenai akumulasi seluruh tutupan tajuk pepohonan dalam suatu plot. Persentase coverage area dicari dengan metode overlay dari suatu tajuk pohon menggunakan perangkat lunak coreldraw. Setelah terbentuk seluruh tutupan tajuk pohon yang terdapat di plot tersebut kemudian digunakan perangkat lunak imageJ untuk mencari luasan measurement yang telah di-overlay, kemudian dibandingkan dengan luasan keseluruhan plot sehigga dapat ditemukan nilai persentase luasan area yang ternaungi cover area dan area yang terbuka open area

3.4.4 Analisis pemanfaatan ruang

Data mengenai pemanfaatan ruang oleh ungko dan siamang dianalisis dengan menggunakan Jacob’s D value index. Jacob’s D value index adalah sebuah indeks yang menggambarkan preferensi penggunaan ruang suatu jenis satwa berdasarkan srata maupun ketinggian dalam hutan. Indeks ini sebelumnya telah banyak digunakan untuk menghitung preferensi pakan berdasarkan kelimpahannnya di alam Jacob 1974, diacu dalam Cannon Leighton 1994. Dalam penghitungan indeks tersebut digunakan proporsi kelimpahan relatif aktivitas penggunaan ruang dan kelimpahan relatif ketersediaan ruang dihabitat dengan menggunakan persamaan: D= r-pr+p-2rp Keterangan: D= Jacob’s D value index; r= frekuensi relatif pemanfaatan ruang; p= kelimpahan relatif frekuensi ruang dihabitat. Selanjutnya data tersebut dideskripsikan dengan menggunakan analisis crosstabs menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk menjelaskan nilai perbedaan penggunaan ruang oleh ungko dan siamang. Selanjutnya hasil tersebut di-visualisasikan kedalam bentuk grafik untuk menggambarkan perbedaan nilai pemanfaatan ruang ungko dan siamang. 3.4.5 Pemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan Data mengenai pemanfaatan vegetasi sebagai sumber pakan oleh ungko dan siamang dianalisis secara deskriptif dengan mengaitkan antara jenis-jenis yang dimanfaatkan oleh kedua jenis Hylobatidae tersebut dan ketersediaannya dihabitat.

3.4.6 Indeks keanekaragaman jenis vegetasi

Indeks Keanekaragaman jenis vegetasi pada habitat ungko dihitung dengan menggunakan persamaan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener Latifah 2005. H’ = -∑ pi ln pi Keterangan: H’ : Indeks keanekaragaman jenis Pi : Kelimpahan relatif spesies ke-I NiNt Ni : Jumlah individu spesies ke-i Nt : Jumlah total untuk semua individu Ln : Logaritma natural Setelah diketahui nilai indeks Shanon-Wiener berdasarkan perhitungan di atas, selanjutnya nilai indeks tersebut dibandingkan untuk tiap lokasi pengamatan ataupun dengan hasil penelitian habitat ungko lainnya. Barbour et al. 1987 diacu dalam Simorangkir et al. 2009 menyebutkan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berkisar 0-7 dan memiliki beberapa kriteria yaitu rendah untuk H’=0-2; sedang jika H’=2-3; dan tinggi jika H’3.

3.4.7 Indeks kemerataan jenis vegetasi

Tingkat kemerataan vegetasi pada suatu komunitas ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies species eveness index. Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu spesies dalam suatu komunitas. Menurut Ludwig dan Reynold 1988 indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: E=H’Ln S Keterangan: E=Indeks kem erataan jenis; H’= indeks keanekaragaman jenis; S=jumlah spesies Nilai indeks kemerataan jenis berkisar antara nol sampai satu. Menurut Krebs 1978 nilai indeks kemerataan mendekati satu menunjukkan bahwa spesies yang terdapat dalam suatu komunitas semakin merata, sementara apabila nilai indeks kemerataan mendekati nol menunjukkan ketidakmerataan spesies dalam komunitas tersebut.

3.4.8 Indeks kekayaan jenis vegetasi

Indeks kekayaan jenis Margalef R ’ merupakan perhitungan kekayaan jenis spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini menurut Magurran 1988 dapat dihitungdengan menggunakan persamaan: R= S-1 ln N K eterangan: R=Indeks kekayaan jenis margalef; S= jumlah jenis; N=Jumlah individu Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya nilai ini dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu pada areal tersebut. Berdasarkan Magurran 1988 besaran R3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R=3,5-5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R5 kekayaan jenis tergolong tinggi.

3.4.9 Indeks Kesamaan Komunitas

Indeks kesamaan komunitas atau index of similarity diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antar komunitas di habitat yang diamati. Indeks ini menurut Soerianegara dan Indrawan 1998 dapat dicari dengan menggunakan rumus: IS= 2wa+b x100 Keterangan: IS= Indeks kesamaan jenis w= jumlah spesies yang terdapat dalam kedua komunitas; a=jumlah spesies dalam komunitas a; b=jumlah spesies dalam komunitas b BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Batang Toru KHBT berada pada koordinat 98 46’48”- 99 17’24” Bujur Timur dan 1 27’00”-1 59’24” Lintang Utara. Kawasan ini secara administrasi berada pada wilayah tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah. Luas ekosistem KHBT sebesar 148570,3 ha dan berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, kawasan tersebut terbagi menjadi hutan produksi tetap, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan produksi terbatas Perbatakusuma et al. 2006. Gambar 6 Peta Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat.

4.2 Topografi