Pengertian Ijtihad Jenis – Jenis Ijtihad

22 Artinya: Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat QS. An- Nisa‟4 : 77. Pada ayat diatas hanya ada perintah mendirikan sholat tidak ada penjelasan bagaimana cara sholat maka sunnahlah yang menjelaskan bagaimana cara melakukan sholat seperti hadis Nabi: Artinya: Sabda Rasulullah saw : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku melakukan shalat” Shahih Bukhari 17

C. Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad ْداهتْجا itu dari bahasa arab, dari kata kerja fi‟il دهتْجا ijtihada - دهتْجي yajtahidu اداهتْجا ijtihada, yang artinya “sungguh – sungguh” misalnya dikatakan: رْمأْا ىف دهتْجا ia bersungguh-sungguh dalam suatu urusan”. Tetapi yang dimaksud dengan kata ijtahada atau “ bersungguh – sungguh” itu, bukan dalam urusan yang ringan atau mudah, melainkan dalam urusan yang berat atau sulit. Oleh sebab itu, maka kata ijtahada itu dalam bahasa Arab harus dipergunakan dengan rangkaian kata yang menunjukan akan sesuatu yang berat, bukan yang ringan. Misalnya: احَرلا لْمح ىف دهتْجا ia bersungguh – sungguh dalam membawa batu penggilingan. Tidak boleh dikatakan ىف دهتْجا ل دْرخ لْمح ia telah bersunggu-sungguh dalam membawa sebiji sawo. 17 Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadis terpilih, Gema Insani : Jakarta, 1991 hal. 68 23 Kata ijtahada harus dipergunakan demikian, karena kata ijtahada itu pokok kata jahdu دْهج atau juhdu دْهج, yang artinya”kuasa” atau “kuat” danatau “kepayahan” dari sinilah makna kata jihad داهج bisa diartikan “perang” karena berjihad itu tentu disertai dengan susah payah, dengan mengeluarkan kekuatan dan dengan penuh kesungguhan untuk melawan musuh. 18 Demikian arti kata ijtihad, maka dengan demikian, kata mujtahid ْدهتْجم itu, artinya sepanjang l ughat, ialah „yang bersungguh-sungguh” dalam berusaha mengerjakan urusan yang berat atau sulit. Adapun ijtihad menurut istilahan para ulama ahli usul fiqih yaitu: ijtihad ialah menghabiskan kesanggupam dalam memperoleh suatu hukum syarak yang amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah. Mujtahid itu ialah seorang fakih ahli hukum agama yang menghabiskan kesanggupanya untuk menghasilkan dalam sangkaan dengan menetapak hukum syarak dengan jalan istinbath dari al-quran dan sunnah. 19

2. Jenis – Jenis Ijtihad

a. Ijma Secara definitif ijma‟, menurut ahli usul adalah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah terhadap suatu hukum syari‟at mengenai suatu peristiwa. Dengan kata lain, apabila 18 KH. Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran dan Assunnah, PT. Bualan Bintang, Jakarta: 1999 hal. 428-429. 19 ibid, hal. 42 24 terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya Al- Qur‟an dan Sunnah, kemudian para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, maka kesepakatan itulah yang disebut dengan ijma‟. Ijma‟ merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat dalam menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits Nabi menjadi justifikasi teologis kekuatan ijma‟ sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki jadd ketika ia berkumpul dengan anak laki-laki orang yang meninggal dunia. Nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah orang yang meninggal untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijma‟ sahabat. 20 Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna‟ atau pemesanan barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh, karena dinilai sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijma‟, sahabat. Penggunaan ijma‟ sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama 20 Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2001 hal. 31 25 beliau hidup setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijma‟ memiliki kehujjahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surat An- Nisa‟ yang mana didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia seperti kepala negara, menteri, legislatif, yudikatif dan sebagainya dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti dan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya 21 . Dalam surat An- Nisa‟ ayat 83 dikemukakan :                                  Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka Rasul dan Ulil amri. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah 21 Ibid, hal 32 26 kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antaramu.Q.S, An-Nisa: 83 Argumentasi teologis kedua yang dijadikan justifikasi kehujjahan ijma‟ sebagi sumber hukum dalam Islam adalah sejumlah hadits Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan seperti hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibn Majah, yang mengatakan “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan”. Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh para mujtahid memiliki kehujjahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya. b. Qiyâs Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamarkan sesuatu dengan yang lain. Adapun qiyas secara teriminologi yang dikemukakan oleh Sadr al- Syari‟ah qiyas adalah memberlakukan hukum a sal kepada hukum furu‟ desebabakan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. 22 Adapun menurut Ibnu Rusyd, al-Qiyas berfungsi sebagai sebuah metode dan solusi untuk menjawab dan merespon kasus - kasus hukum yang tidak disentuh oleh Syara yang tidak terdapat didalam Al- Qur‟an dan Hadis 23 Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya 22 Drs. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqih, Jakarta: Logos, 1996 hal.62 23 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hal. 3 27 namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. 24 Dalam Islam, Ijma dan qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya maka qiyas dapat digunakan sebagi sumber hukum. c. Istihsan Istihsan menurut harfiyah meminta berbuat kebaikan, yakni menganggapnya baik. Menurut istilah banyak definisi diantaranya: Menurut pendapat Al Ghazali berpendapat semua hal yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut akalnya. Adapun menurut Abu Ishaq berpendapat pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz ‟i dalam menanggapi dalil yang bersifat global. Sebagian ulama yang lain mengatakan sebuah perbutan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia. Mengenai kehujjahan istihsan ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, ulama Hanabilah, golongan inilah yang menerima istihsan sebagai hujjah. Sedangkan ulama Syafi‟iyah menolak, bahkan beliau berkata barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari‟at sendiri. Beliau juga berkata segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT. Setidaknya ada yang meyerupai sehingga boleh memakai qiyas, namun tidak boleh memakai istihsan. 25 24 Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, hal. 86 25 Ibid, hal. 111-112 28

3. Kedudukan Ijtihad