penyewa untuk mengosongkan rumah yang disewakan tersebut, karena di dalam perjanjian yang dilakukan oleh tergugat dengan paman penggugat I,II,III,IV,V
tidak disebutkan batas waktu berakhirnya masa sewa.
2. Akibat Hukum Jika Di dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Tidak
Disebutkan Batas Waktunya yang Terdapat Pada Putusan Perkara Perdata No.577Pdt.G2013PN-Mdn
Sewa-menyewa adalah suatu perjanjian yang konsensual, namun oleh undang-undang diadakan perbedaan antara sewa tertulis dan sewa lisan. Jika
sewa-menyewa itu diadakan secara tertulis, maka sewa itu berakhir demi hukum apabila waktu yang ditentukan telah habis, tanpa diperlukannya sesuatu
pemberitahuan pemberhentian itu. Sebaliknya, kalau sewa-menyewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa
itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang menyewakan memberitahukan kepada si penyewa bahwa ia hendak menghentikan
sewanya, pemberhentian tersebut dilakukan dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Jika tidak ada pemberitahuan
seperti itu, maka dianggap bahwa sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama.
73
Peraturan tentang sewa-menyewa yang termuat dalam Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa-menyewa, mengenai semua jenis
barang, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik memakai waktu tertentu
73
R. Subekti I, op. cit, hal 47.
maupun yang tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa-menyewa.
74
Akibat hukum jika di dalam perjanjian sewa-menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya tersebut sesuai dengan putusan hakim terhadap
perkara perdata No.577Pdt.G2013PN-Mdn yaitu bahwa apabila sewa-menyewa rumah yang tidak disebutkan batas waktunya tersebut menimbulkan permasalahan
di antara para pihak, maka pihak yang menjadi tergugat akan digugat melakukan perbuatan melawan hukum. Sebagaimana yang terdapat pada putusan perkara
perdata No.577Pdt.G2013PN-Mdn, perbuatan tergugat yang tidak mau Dalam perkara perdata No.577Pdt.G2013PN-Mdn, tergugat mengadakan
perjanjian sewa-menyewa bangunan rumah toko yang kepunyaan dari Jong Khim Seng atau paman penggugat I,II,III,IV,V, sebelum tanah beserta bangunan rumah
toko yang berada di atasnya dihibahkan Jong Khim Seng kepada penggugat I. Perjanjian sewa-menyewa tersebut disepakati oleh Jong Khim Seng
dengan tergugat tanpa disebutkan batas waktu berakhirnya masa sewa. Perjanjian yang telah disepakati tersebut menimbulkan permasalahan di antara penggugat
I,II,III,IV,V dengan tergugat. Karena salah satu dari penggugat bermaksud untuk menempati rumah tersebut, namun tergugat tidak berkenan untuk mengosongkan
rumah tersebut walaupun penggugat telah memperingati secara tertulis maupun lisan kepada tergugat. Tergugat tidak berkenan untuk mengosongkan rumah
tersebut dengan alasan bahwa adanya perjanjian sewa-menyewa antara Jong Khim Seng atau paman penggugat I,II,III,IV,V dengan tergugat pada tanggal 4 Maret
1968.
74
Ibid., hal 41.
menyerahkan rumah milik penggugat I,II,III,IV,V adalah perbuatan melawan hukum.
75
a. Kerugian yang boleh dipertimbangkan itu selayak dan sepatut mungkin,
yang timbul secara wajar, yaitu menurut cara biasanya timbul karena pelanggaran.
Akibat hukum dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat yaitu menimbulkan kerugian secara materil dan immateril terhadap
penggugat. Tergugat yang melakukan perbuatan melawan hukum diwajibkan untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh penggugat.
Pengadilan menyarankan dua pengujian yang masih membentuk dasar ketentuan-ketentuan yang mencakup terbatasnya ganti rugi. Kerugian atau
kerusakan yang dipandang sebagai akibat dan pelanggaran seharusnya hanya meliputi :
b. Kerugian lainnya yang mungkin dianggap sudah selayaknya terjadi
menurut pendapat kedua belah pihak, pada waktu mereka membuat perjanjian sehingga tergugat sebenarnya menerima tanggung jawab itu.
76
Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan “onrechtmatige daad”, yang menurut Pasal 1365 KUH Perdata bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
77
75
P.N.H Simanjuntak, op. cit, hal 353
76
Abdulkadir Muhammad II, Hukum Perjanjian, PT.Alumni, Bandung, 2006, hal 162.
77
R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ketiga puluh empat, PT.Pradnya Paramita, Jakarta,2004, hal 346, pasal 1365.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut bahwa suatu perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah
memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan tersebut harus melawan hukum, perbuatan itu harus menimbulkan kerugian, perbuatan itu harus dilakukan dengan
kesalahan, dan perbuatan tersebut harus ada hubungan kausal atau sebab dan akibat.
Terdapat beberapa jenis penuntutan yang didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu :
1 Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang.
2 Ganti kerugian atas kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian
keadaan seperti keadaan semula. 3
Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum.
4 Larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
5 Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
78
Akibat umum dari suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu kekotoran dalam tubuh masyarakat, kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari
masyarakat, atau dapat dinamakan suatu keganjilan. Keganjilan ini dapat mengenai berbagai perhubungan hukum dalam masyarakat. Perhubungan hukum
yang terdapat keganjilan ini, dapat mengenai berbagai kepentingan manusia, seperti kekayaan harta benda.
79
Kembali kepada Pasal 1365 KUH Perdata, setiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang
78
Lukman Santoso, op. cit, hal 15.
79
R.Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, cetakan pertama, CV.Mandar Maju, Bandung,2000, hal 13.
karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata, orang bersalah yang dimaksud adalah pelaku
perbuatan melawan hukum, tidak hanya bertanggung jawab karena perbuatannya sendiri, tetapi juga bertanggung jawab karena perbuatan orang lain yang berada di
bawah kekuasaan atau tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada di bawah pengawasannya seperti yang diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata.
3. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Perkara Perdata