4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat keempat untuk sahnya perjanjian. Sebab yang dimaksud adalah isi suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang
yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.
30
Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas disebut syarat subjektif, yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian ini dapat
dibatalkan, untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya. Syarat suatu hal
tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai objeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, yakni
sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan.
31
2. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas, namun menurut Handri Raharjo terdapat 5 lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas kepastian hukum pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Penjelasan mengenai kelima asas tersebut dapat diuraikan sebagi berikut : a.
Asas Kebebasan Berkontrak
30
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, cetakan kedua, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal 99.
31
Handri Raharjo, op. cit, hal 57.
Asas ini mengandung pengerian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun
yang belum diatur oleh undang-undang. Tetapi kebebasan ini ada batasnya, selama kebebasan itu tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian,pelaksanaannya,dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis dan lisan.
32
b. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berarti kesepakatan, perjanjian lahir atau terjadi dengan kata sepakat. Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para
pihak yang membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Perjanjian sudah sah dan mengikat para pihak tanpa perlu
suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu
perjanjian, seperti jual-beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik notaris.
33
c. Asas Kepastian Hukum pacta sunt servanda
32
Ibid., hal 44.
33
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2008, hal 133.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 yang
menegaskan: “Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”
34
d. Asas Itikad baik
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan
bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum, secara pasti memiliki perlindungan hukum.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan :
“ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan
melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu
daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Itikad baik dalam perjanjian
34
Handri Raharjo, op. cit, hal 45.
mengacu pada kepatutan dan keadilan, sehingga dalam pelaksanaan perjanjian disyaratkan dilaksanakan dengan itikad baik.
35
e. Asas Kepribadian
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.
Asas tersebut dinamakan asas kepribadian. Berdasarkan asas ini suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang
membuatnya sedangkan pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian tersebut tidak terikat.
Terhadap asas kepribadian ini terdapat suatu pengecualian yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga. Dalam janji untuk pihak ketiga
ini, seorang membuat suatu perjanjian, dimana perjanjian ini memperjanjikan hak- hak bagi orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang
menyebutkan sebagai berikut: “Lagi pun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ketiga apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang
dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh
menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendak untuk mempergunakannya.”
36
3. Berakhirnya Suatu Perjanjian