CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi, saran, dan masukan atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan.
Sebenarnya, jauh sebelum CSR diatur di dalam UU PT dan UU PM, beberapa perusahaan telah dengan aktif melaksanakan CSR, antara lain yaitu:
1. PT. Unilever Indonesia, Tbk. Mengadakan program kali bersih Sungai Brantas;
2. PT. Avon Indonesia melakukan sosialisasi pencegahan kanker payudara; 3. PT. HM. Sampoerna memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa di
berbagai sekolah dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
B. Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility
sebagai Bentuk Akuntabilitas Korporasi.
Agar bisa berjalan, CSR perlu diperkuat dengan peraturan yang mendorong perusahaan bisnis untuk serius menjalankannya. Kewajiban korporasi
melaksanakan CSR merupakan bentuk public accountability. Secara legal ataupun etik. Perusahaan yang mempunyai standar berbisnis tinggi akan menyambut dan
mendukung regulasi itu. Pada sisi lain regulasi itu akan lebih mendorong korporasi mencapai standar berbisnis ke level lebih tinggi.
Praksis berbisnis, yang benar do the right thing berdasarkan keunggulan kompetitif, telah menjadi mind-set komunitas internasional. Komisi Transportasi
Uni Eropa UE, misalnya, melarang warga UE untuk memakai maskapai penerbangan RI karena tidak memenuhi standar penerbangan yang mereka
tetapkan. Begitu pula, UE melarang konsumen Eropa membeli produk makanan AS berlabel GM. Perusahaan nasional dan transnasional yang beroperasi di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab sosial dan lingkungannya karena itu telah menjadi gerakan, mind-set, komitmen, dan standar komunitas
internasional. Memang, negeri ini masih memerlukan banyak investor untuk
meningkatkan perekonomian di tengah krisis yang masih berlanjut. Namun, yang diperlukan ialah investor-investor dan korporasi yang menjalankan kegiatan bisnis
mereka secara benar berdasarkan keunggulan kompetitif, inovatif, ramah lingkungan sosial dan alam. Praktik bisnis seperti itu tidak hanya mendatangkan
keuntungan sepihak bagi perusahaan dan shareholder mereka, tetapi membawa benefit lebih besar bagi semua stakeholder, termasuk berbagai komunitas lokal
yang mengalami dampak sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan secara langsung dari kebijakan dan praksis bisnis korporasi.
Melalui UU Perseroan Terbatas, dunia usaha wajib mencadangkan sebagian keuntungan untuk program sosial dan lingkungan corporate social
responsibility atau CSR. Atas kebijakan itu, asosiasi pebisnis Indonesia, seperti IBL dan Kadin, menyatakan keberatan karena CSR bersifat sukarela, dan tidak
seharusnya menjadi tanggung jawab yang mewajibkan obligatory responsibility bagi korporasi . CSR merupakan sebuah paradigma baru atau
gerakan Gelombang Hijau Green Wave, menempatkan pembangunan sosial dan lingkungan sebagai strategi utama bisnis guna mendapat profit dan benefit.
66
66
Jakarta Pos, edisi 17 Juli 2007.
Sejumlah perusahaan cerdas smart companies bisa menggunakan lensa sosial dan lingkungan untuk meningkatkan daya inovatif, menciptakan standar etik dan
Universitas Sumatera Utara
mendorong keunggulan kompetitif. Sejumlah perusahaan multinasional, seperti British Petroleum BP, Toyota, GE, dan IKEA, sedang menjalankan pendekatan
keunggulan ekologis eco-advantage dan meraih sukses bisnis yang besar. Global compact yang diprakarsai mantan Sekjen PBB Kofi Anan memang
bersifat sukarela. Inisiatif ini bukan mekanisme hukum yang memaksa dan menilai perilaku atau praksis korporasi, tetapi lebih merupakan kesadaran dan aksi
kolektif masyarakat global untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan transparansi perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial, terkait isu
HAM, standar kerja, konservasi lingkungan, dan pemberantasan korupsi. Bentuk akuntabilitas publik dan transparansi perusahaan terkait dengan
tanggung jawab sosial, terkait isu HAM, standar kerja dan konservasi lingkungan, banyak pengalaman menunjukkan, program CSR yang bersifat sukarela tidak
berjalan baik, bahkan gagal. Hannah Griffhs mengklaim, banyak perusahaan yang mengabaikan program CSR. Di Inggris, misalnya, dari 350 perusahaan besar yang
tergabung dalam the Financial Times Stock Exchange’s FTSE’s, hanya 79 perusahaan yang membuat laporan tentang dampak sosial dan lingkungan dari
praktik bisnisnya. Juga, dari 61.000 perusahaan transnasional TNCs dan 900.000 perusahaan yang berafiliasi dengan TNCs, hanya 2.000 3,2 persen mempunyai
laporan tentang dampak sosial dan lingkungan. Gambaran ini menunjukkan, sebagian besar perusahaan nasional dan TNCs masih setengah hati, bahkan gagal
Universitas Sumatera Utara
menjalankan program CSR-nya secara sukarela. Pendekatan voluntaristik atas program CSR tidak efektif.
67
Agar bisa berjalan, CSR perlu diperkuat dengan peraturan yang mendorong perusahaan bisnis untuk serius menjalankannya. Kewajiban korporasi
melaksanakan CSR merupakan bentuk public accountability secara legal ataupun etik. Perusahaan yang mempunyai standar berbisnis tinggi akan menyambut dan
mendukung regulasi itu. Pada sisi lain regulasi itu akan lebih mendorong korporasi mencapai standar berbisnis ke level lebih tinggi. Praksis berbisnis, yang
benar do the right thing berdasarkan keunggulan kompetitif, telah menjadi mind- set komunitas internasional. Komisi Transportasi Uni Eropa UE, misalnya,
melarang warga UE untuk memakai maskapai penerbangan RI karena tidak memenuhi standar penerbangan yang mereka tetapkan. Begitu pula, UE melarang
konsumen Eropa membeli produk makanan AS berlabel GM.
68
Perusahaan nasional dan transnasional yang beroperasi di Indonesia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab sosial dan lingkungannya karena itu telah
menjadi gerakan, mind-set, komitmen, dan standar komunitas internasional. Memang, negeri ini masih memerlukan banyak investor untuk meningkatkan
perekonomian di tengah krisis yang masih berlanjut. Namun, yang diperlukan ialah investor-investor dan korporasi yang menjalankan kegiatan bisnis mereka
67
Martanti, Dwifebri, A., 2007, “Corporate Social Responsibility CSR seharusnya ikut serta
perbaiki perekonomian bangsa” http:72. 14.235.104search?q=cache:HN9RRTtGGung J:www.isei.or.idpage.php3Fid,112920 07
68
Firman Andi www.kutaikartanegara.comforum viewtopic.php?p=5161,http:id, 14 Januari 2008.
Universitas Sumatera Utara
secara benar berdasarkan keunggulan kompetitif, inovatif, ramah lingkungan sosial dan alam.
Praktik bisnis seperti itu tidak hanya mendatangkan keuntungan sepihak bagi perusahaan dan shareholder mereka, tetapi membawa benefit lebih besar bagi
semua stakeholder, termasuk berbagai komunitas lokal yang mengalami dampak sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan secara langsung dari kebijakan dan
praksis bisnis korporasi.
C. Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility dalam Tanggung Jawab Fiduciary terhadap Para Pemegang Saham
Salah satu pasal yang membuat kegaduhan dalam Rancangan Undang Undang Perseroan Terbatas ketika proses legislasi disetujui untuk disahkan oleh
DPR menjadi Undang-Undang adalah Pasal 74 yang mengatur prinsip tanggung jawab sosial korporasi corporate social responsibilityCSR.
Terkait dengan kewajiban perseroan dengan para pemegang saham dalam rangka memenuhi fiduciary responsibilities, pada dasarnya program CSR
merupakan pemberian yang ikhlas dari seluruh pemegang saham dalam rangka berpartisipasi mengembangkan daerah bersama dengan pemerintah. Dana CSR itu
sudah merupakan komitmen dari Pemegang saham dan pengusaha untuk berbagai berkat kepada masyarakat dan merupakan keperdulian sosial perusahaan. Rasa
tanggung jawab sosial yang didorong oleh hati nurani yang suci dan bersih agar masyarakat sekitar juga merasakan dan menikmati benefit dari kehadiran
perusahaan di tengah-tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Sesungguhnya, ketentuan yang erat berkait dengan hal ini telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007,
terutama melalui Pasal 15 dan Pasal 34, yang memberikan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatalan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan
usaha, sampai pencabutan kegiatan usaha. Pertautan antara kedua UU tersebut telah membuat dunia usaha menjerit karena dunia usaha merasa terjepit dengan
terjadinya kemerosotan daya saing, biaya ekonomi tinggi, dan segala masalah lain, seperti reformasi pajak, undang-undang perburuhan, reformasi birokrasi, dan
penguatan kelembagaan hukum yang belum mendapat perhatian yang saksama. Soal itu jugalah yang menjadi perhatian Bruce L Hay, Robert N Stavins,
dan Richard HK Vietor. Bagi guru besar Harvard Law School, pertanyaan mendasar bukan apakah korporasi wajib tunduk dan patuh kepada hukum karena
pertanyaan tersebut tak lagi membutuhkan jawaban. Yang menjadi soal penting adalah pertanyaan tentang tata cara apakah yang dapat mendorong korporasi
bersedia untuk mengorbankan keuntungannya guna kepentingan sosial? Apakah mereka mampu melakukan hal itu mengingat mereka memiliki apa yang disebut
sebagai fiduciary responsibilities terhadap para pemegang saham
69
69
Environmental Protection and the Social Responsibility of Firms, Perspective from Law, Economic and Business, RFF Press, 2005, diakses dari situs : Sumber:
http:www.kompas.comkompas-cetak070723utama3711215.htm
Serangkaian pertanyaan seperti itu akan terus datang bergelombang jika pertanyaan dasar
tentang mengapa perseroan harus punya tanggung jawab sosial tak ditemukan jawabannya. Padahal, menemukan jawaban itu tidaklah terlalu sukar karena pada
dasarnya kepentingan perseroan tidak lagi boleh bergerak terbatas hanya pada kepentingan pemegang saham ataupun karyawan yang terlibat di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
Definisi luas seperti itulah yang pada saat ini banyak dianut dengan meninggalkan apa yang di Amerika dikenal sebagai model philanthropic yang
memperbolehkan korporasi untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dan kemudian diharapkan memberikan donasi sebagai bagian dari tanggung jawab
korporasi. Model belas kasihan seperti ini sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara karena apa yang disebut sebagai CSR berhubungan erat dengan
soal akuntabilitas terhadap dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan korporasi.
70
Itulah sebabnya agak mengherankan jika dunia usaha di Indonesia menjerit ketika RUU tentang PT disetujui untuk disahkan dan di dalamnya diatur tentang
CSR ini. Seolah dunia usaha di Tanah Air menutup mata terhadap serangkaian kerusakan sosial, budaya, alam, dan ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan
produksi korporasiAgak mengejutkan juga ketika disebutkan bahwa tak ada negara lain yang merumuskan soal CSR ini di dalam UU PT. Seolah terlupakan
Dengan kata lain, yang dipersoalkan adalah menghilangkan seluruh dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. Singkatnya, CSR lebih banyak berhubungan dengan terciptanya keseimbangan antara biaya rasional yang
dikeluarkan dalam proses produksi dan laba operasional yang diperoleh korporasi dengan memperhitungkan seberapa besar dampak sosial, lingkungan, dan
ekonomi yang ditimbulkan.
70
Paul Rahmat, Tanggung Jawab Sosial Korporasi, diakses dari situs : http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=8494coid=2caid=2gid=3, tanggal 6
November 2008.
Universitas Sumatera Utara
ketika Inggris memasukkan soal ini ke dalam UU PT dan mengaturnya di dalam ketentuan umum dan bahkan menetapkan adanya kewajiban pelaporan bagi
seluruh perusahaan berkaitan dengan soal CSR yang telah tercatat di bursa saham. Semua persyaratan ini tercatat di dalam hukum di Inggris meskipun negara ini
menganut sistem common law. Tentu saja, sekelumit contoh tadi dapat bergerak secara jauh lebih dramatis jika dipahami bahwa pergerakan terhadap CSR ini
sudah menjadi bagian yang dianggap fundamental bagi kehidupan manusia dan lingkungan tempat korporasi menjalankan aktivitas produksinya.
Ciri yang sangat menonjol yang menyebabkan orang lebih memilih perseroan sebagai badan hukum untuk hukum bagi kegiatan bisnisnya adalah
dikarenakan Pemegang Saham PT hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. UUPT
menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dengan menetapkan bahwa Pemegang Saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
71
Dalam doktrin Common Law, prinsip tanggung jawab terbatas dikenal sebagai konsep “Corporate Veil” yakni:
“… the separation of the company’s rights and liabilities from those of its members and in particular the fact that the members of a company will usually
have no liability for the company’s debts and liabilities.”
72
71
Centre for European Policy Studies, Corporate Governance in Europe: Report of a CEPS Working Party, 1995, hal. 5
72
Gower, LCB, Principles Of Modern Company Law, Sweet Maxwell, London, 1992, hal. lxxxii.
Universitas Sumatera Utara
Namun prinsip tanggung jawab terbatas Pemegang Saham tidak berlaku mutlak. Di dalam hukum positif Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan
prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi:
2. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
3. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau 4.
Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Sebagai perbandingan dengan ketentuan UUPT di atas, yurisprudensi Common Law menyimpulkan adanya tiga doktrin umum bagi kemungkinan dapat
dilanggarnya prinsip tanggung jawab terbatas atau dimungkinkannya Piercing The Corporate Veil, yakni :
73
73
Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting di dalam UUPT, Makalah, hal. 5.
1. Doktrin “Instrumentality”, yang pendekatannya mengacu pada 3 tiga faktor sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.Adanya kontrolpengendalian atas PT, sehingga PT tidak mempunyai eksistensi yang mandiri; dan
b. Pengendalian tersebut berpengaruh atas dilakukannya tindakan melalaikan kewajiban; dan
c. Atas tindakan lalai tersebut menimbulkan kerugian. 2. Doktrin “Alter Ego”, yang berpendapat bahwa Piercing The Corporate Veil
dapat diterapkan dalam hal: a. Kepentingan Pemilik Saham mengalahkan kepentingan PT; dan
b. Sulit untuk membedakan atau mengenali entitas pribadi Pemegang Saham dari entitas PT yang bersangkutan.
3. Doktrin “Identity”, yang menyerahkan permasalahan kesatuan atau pemisahan kekayaan perseroan dalam pembuktian di pengadilan secara per kasus.
Tujuan utama dimungkinkannya penghapusan tanggung jawab terbatas suatu PT Piercing The Corporate Veil, adalah agar PT didirikan tidak semata-
mata sebagai alat yang dipergunakan untuk memenuhi tujuan pribadi Pemegang Saham alter ego, sehingga terjadi pembauran harta kekayaan pribadi Pemegang
Saham dan harta kekayaan PT, atau antara harta kekayaan Pemegang Saham dan harta kekayaan PT tidak dapat lagi dibedakan.
Permasalahan lain yang mungkin timbul, yang pada gilirannya menghambat pelaksanaan GCG berkenaan dengan pengaturan Pemegang Saham
adalah adanya ketentuan yang mewajibkan pemegang saham minimal 2 dua orang. Ketentuan tersebut pada akhirnya cenderung mengakibatkan menjamurnya
lembaga nominee atau dummy yang akan menambah overhead cost, serta tidak
Universitas Sumatera Utara
sejalan dengan kecenderung perkembangan hukum perseroan yang memungkinkan pendirian perseroan oleh 1 satu orang. Artinya ketentuan
wajibnya pemegang saham sejumlah minimal dua orang akan mengakibatkan manipulasi berupa “pemegang saham boneka.
74
Namun untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip GCG, ketentuan- ketentuan yang dimuat UUPT tersebut di atas masih jauh untuk menjadi ketentuan
Berkenaan dengan organ perusahaan yang memiliki tanggung jawab fiduciary responsibility ini adalah difokuskan mengenai Direksi. Sebagaimana
pengertian yang diberikan UUPT, Direksi dituntut untuk menjadi organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan PT untuk kepentingan dan tujuan
PT serta mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selanjutnya UUPT menetapkan kewajiban bagi setiap anggota Direksi dan Komisaris untuk
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Bagi keduanya juga dapat digugat ke
Pengadilan Negeri bilamana atas dasar kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT.Untuk anggota Direksi terdapat tambahan ketentuan bahwa atas
kesalahan atau kelalaiannya tersebut, ia dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan
atau kelalaian Direksi dan kekayaan PT tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas kerugian dimaksud.
74
Ratnawati Prasodjo, Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
yang aplikatif. Ketentuan UUPT dimaksud baru menjelaskan tanggung jawab Direksi secara umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara PT dengan
Direksi yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan Fiduciary Responsibility. Bilamana dirinci lebih lanjut, Fiduciary Responsibility dimaksud
mengandung tiga faktor penting, yaitu:
75
2. Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan
tanggung jawab perseroan Duty of Loyalty. The Supreme Court of Utah menyatakan berkenaan dengan Duty of Loyalty sebagai berikut: “Director and
officers are obliged to use their ineguity, influence, and energy, and to employ all the resources of the corporation, to preserveand enhance the property and
earning power of the corporation, even if the interests of the corporation are in conflict eith their own personal interests”.
1. Prinsip yang menunjuk kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi Duty of Skill and Care;
76
3. Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu opportunity yang
sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan No Secret Profit Rule – Doctrine of Corporate Opportunity.
Bila hanya berpegang pada ketentuan UUPT, akan merupakan persoalan yang tidak mudah untuk menentukan kapan dan bagaimana Direksi dianggap telah
melanggar prinsip-prinsip tersebut. Hal ini mengingat adanya justifikasi dan
75
Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting Di Dalam UU No. 11995, Makalah, hal. 5.
76
Douglas M Branson, Corporate Governance, The Michie Company, Virginia, 1993, hal. 395.
Universitas Sumatera Utara
fleksibilitas yang diberikan kepada Direksi yang secara konseptual dikenal sebagai the Business Judgement Rule, yang merupakan prinsip penyeimbang bagi
ketiga prinsip di atas. Dengan the Business Judgement Rule, Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya
mengakibatkan kerugian pada PT, baik karena salah perhitungan atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari tindakan tersebut, asalkan
tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka keputusan bisnis yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik honest business decisions made in good faith.
Kesulitan identifikasi atas pelanggaran prinsip-prinsip dimaksud, tampak misalnya dalam kasus PLN versus mitra bisnisnya yang merupakan investor asing
melalui Penanaman Modal Asing, yakni PT Paiton Energy Co., PT Jawa Power Co., PT CEPA Indonesia, PT Himpurna CalEnergy, Chevron-Texaco, dan
Unocal-Nusamba. Pusat Pengkajian Hukum menyatakan dalam terbitannya, bahwa terlepas dari unsur tekanan yang tentu bukan semacam dures yang
dialami mantan pengurus PLN, masalah-masalah yang menghimpit PLN tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan fiduciary duties Direksi PLN. Semestinya
Direksi PLN dapat secara common sense memikirkan dampak kerugiannya bila kontrak dipandang tidak wajar dijalankan. Namun yang terjadi kontrak-kontrak
yang nyata-nyata merugikan, tetap ditandatangani Direksi PLN konon dengan tekanan dari menteri dan mantan Presiden Soeharto. Sebenarnya bilamana
penegakan hukum di Indonesia berjalan baik, preseden seperti kasus PLN ini dapat dijadikan test-case bagi implementasi dan enforcement ketentuan UUPT.
Persoalan apakah dilakukan dengan alasan “berada di bawah tekanan, tidak perlu
Universitas Sumatera Utara
menyurutkan pemeriksaan kasus tersebut, mengingat hukum sendiri mempunyai mekanisme untuk membuktikan kebenaran “berada di bawah tekanan tersebut.
Sebagai perbandingan, untuk memperkaya pengalaman kita berkenaan dengan permasalahan apakah suatu tindakan Direksi merupakan pelanggaran atas
prinsip Fiduciary responsibility atau merupakan the Business Judgement Rule, relevan dikemukakan di sini formulasi the American Law Institute ALI
Corporate Governance Project mengenai the Business Judgement Rule yaitu : A director or officer who makes a business judgement in good faith fulfills the [duty
of care] if the director or officer : 1. is not interested in the subject of his business judgement;
2. is informed with respect to the subject of the business judgement to the extent the director or officer reasonably believes to be appropriate under the
circumtances; and 3. rationally believes that the business judgement is in the best interest of the
corporation.
77
Selain Direksi, karyawan officer atau orang lain juga diberikan kemungkinan untuk mewakili PT agent. Berkenaan dengan hal tersebut, UUPT
membatasi dengan ketentuan bahwa kemungkinan tersebut diberikan dengan kuasa tertulis dari Direksi kepada 1 satu orang karyawan PT atau lebih atau
orang lain untuk dan atas nama PT melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ini Direksi bertindak selaku principal dari karyawan atau orang lain yang
77
Douglas M Branson, Corporate Governance, The Michie Company, Virginia, 1993, hal. 328.
Universitas Sumatera Utara
diberi kuasa. Sedangkan sistem common law, sebagaimana tampak dalam putusan atas kasus Firbank’s Executor v. Humpreys 1886 berpendapat bahwa tindakan
seorang agent mengikat PT bilamana: “An agent who has been expressly authorised to act can bind the company with respect to matters within his express,
implied or usual authority. An “agent with no authority at all will not bind the company unless the company later ratifies his acts, which it will wish to do if it
wants to enforce the contract.
78
D. Perkembangan Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility di negara-negara di dunia
Berkenaan dengan ketentuan mengenai agent, UUPT tidak mengaturnya secara lebih lanjut. Biasanya aturan mengenai kewenangan mewakilkan dari
Direksi selaku principal diatur dalam masing-masing Anggaran Dasar PT yang bersangkutan, dan itupun terbatas hanya mengenai pengangkatan dan
pemberhentian pegawai, pemberian penghargaan atau pengenaan sanksi. Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip GCG, seharusnya terdapat penetapan sistem
yang resmi dan transparan bagi pengangkatan pegawai, penetapan gaji dan penilaian yang adil atas kinerja pegawai.
Implementasi CSR di beberapa negara bisa dijadikan referensi untuk mengurai perdebatan itu. Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda,
Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup, hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak
78
Pusat Pengkajian Hukum, Pengurus Perseroan: Antara Fiduciary Duties dan Sikap Oportunis, Newsletter No. 38XSeptember1999, hal. 26 – 29.
Universitas Sumatera Utara
asasi manusia HAM. Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna mengatur CSR. Australia, misalnya, mewajibkan perusahaan membuat
laporan tahunan CSR dan mengatur standardisasi lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu, Kanada mengatur CSR dalam aspek
kesehatan, hubungan industrial, proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.
Belajar dari beberapa pengalaman di negara itu dan mengacu pada upaya internalisasi externality, maka CSR perlu diatur secara formal.
Pada konteks ini, minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, secara substansial, mengacu pada konsep externality, dasar berpijak yang rasional
untuk mengaturnya adalah memikirkan siapa yang terkena dampak externality, wilayah cakupannya, cakupan programnya, dan pendekatan realisasi programnya.
Dengan demikian, fokusnya bukan pada nominal pundi-pundi yang harus dialokasikan perusahaan, sebagaimana yang diatur oleh UU PT.
Kedua, secara institusional, terdapat tumpang tindih aturan hukum yang diberlakukan dan infrastruktur kelembagaan yang mendukung realisasi UU PT
belum siap. UU itu overlap dengan UU Migas tahun 2001 yang telah mengatur realisasi program CD dan reklamasi lingkungan sebagai bagian dari CSR. Namun,
peraturan itu belum bisa ditegakkan karena keterbatasan dukungan kelembagaan. Ini sangat mungkin terulang pada UU PT yang melibatkan pemangku kepentingan
yang lebih kompleks. Mengacu pada kedua hal tersebut, maka aturan hukum CSR sebaiknya difokuskan pada pembuatan rambu-rambu realisasi CSR, tetapi
pelaksanaannya didesentralisasi di level perusahaan. Hal ini bisa dilakukan
Universitas Sumatera Utara
melalui standardisasi CSR secara partisipatif, transparan, dan akuntabel yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk lembaga swadaya
masyarakat LSM dan perguruan tinggi. Dengan cara ini, maka CSR bukan lagi merupakan buah simalakama yang mematikan, tetapi buah manis yang bermanfaat
bagi masyarakat, negara, dan perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan