2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan pengaturan di dalam No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal., yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut:“Setiap penanam
modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d disebutkan sebagai berikut: “Setiap
penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.” Namun demikian, pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan-
undangan Indonesia tersebut masih menciptakan kontroversi dan kritikan. Kalangan pebisnis CSR dipandang sebagai suatu kegiatan sukarela, sehingga tidak
diperlukan pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Ketua Umum Kadin, Mohammad S. Hidayat, CSR adalah kegiatan di luar kewajiban
perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan
memberikan beban baru kepada dunia usaha
B. Standard Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social
Responsibility di Indonesia.
Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru
Universitas Sumatera Utara
dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social
responsibility. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka
memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan
menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam
mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan
dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya.
Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan
masyarakat. Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan
partisipasi aktif masing-masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para
Universitas Sumatera Utara
stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan
corporate value yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya financial saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini
bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara
berkelanjutan sustainable. Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah
menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak
memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Pada bulan September 2004, ISO International Organization for
Standardization sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim working group yang
membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. Pengaturan
untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman
tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development WSSD” tahun
2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan.
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan
standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan “Strategic Advisory
Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara berkembang, selanjutnya di
tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005,
dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari
CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena
pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar
pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di
negara berkembang maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini
dengan cara: 1 mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2 menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-
prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3 memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas
atau masyarakat internasional.
Universitas Sumatera Utara
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang
secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 tujuh isu pokok yaitu :
27
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat
dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang : 1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen 3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan 5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia 7. Organisasi Pemerintahan Organizational Governance
28
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok
diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu a. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
b. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder c. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
d. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
27
Ibid.
28
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum
melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan kepedulian terhadap pemasok perusahaan yang tergolong
industri kecil dengan mengeluarkan kebijakan pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM. Secara logika produk atau jasa tertentu yang
dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu akan lebih efisien jika dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki arus kas yang kuat dan jaminan
yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank, sehingga jika perusahaan membantu pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan perusahaan tersebut telah
melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya. Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi :
29
f. Perilaku yang beretika a. Kepatuhan kepada hukum
b. Menghormati instrumenbadan-badan internasional c. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
d. Akuntabilitas e. Transparansi
29
Chrysanti Hasibuan, Sekali Lagi, CSR, 10 November 2006, diakses dari situs : http:www.swa.co.id
Universitas Sumatera Utara
g. Melakukan tindakan pencegahan h. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun 2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006,
penyusunan draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 diperkirakan pada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut
diperkirakan rampung pada tahun 2009. Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orang dari 55 negara dan 26 organisasi
internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 ini hanya memuat panduan guidelines saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan karena ISO 26000
ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya.
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan
CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai
panduan guideline atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global
termasuk Indonesia. C.
Manajemen Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility
Mempunyai program CSR bukanlah hanya sekedar untuk tunduk pada tekanan publik dan politik., tetapi pelaksanaan CSR khususnya yang dikaitkan
Universitas Sumatera Utara
pada Community Development telah dianggap pula sebagai “faktor pendukung daya saing” perusahaan bersangkutan. Seperti terungkap dalam suatu survei di
tahun 1999 terhadap ribuan responden di dunia 23 negara di 6 benua, maka antara lain :
a separuh responden “care about the social behaviour of companies” b duapertiga responden ingin perusahaan meninggalkan peranan perusahaan
yang hanya menekankan pada: membuat keuntungan, membayar pajak, dan menggunakan tenaga kerja; mereka minta agar fokus perusahaan adalah juga
bagaimana menyumbang pada tujuan-tujuan masyarakat secara lebih luas broader societal goals; dan
c perhatian masyarakat sekarang lebih pada “corporate citizenship”, ketimbang hanya pada “brand reputation” dan “financial factors”.
Di Indonesia sendiri, munculnya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menandai babak baru pengaturan CSR. Selain itu,
pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Walaupun sebenarnya pembahasan mengenai
CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang terjadi di Indonesia adalah pergeseran
paradigma dunia usaha yang tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial.
Adapun pengaturan CSR di dalam di dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, diatur sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Dengan adanya
peraturan mengenai penerapan Tanggung jawab sosial ini, perusahaan yang tadinya hanya secara sukarela melakukan kegiatan-kegiatan sosial dalam bentuk
apapun, menjadi kewajiban bahkan paksaan karena diatur secara hukum. Sedangkan pengaturan di dalam No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut:“Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Kemudian
di dalam Pasal 16 huruf d disebutkan sebagai berikut: “Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.” Namun demikian,
pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia tersebut
Universitas Sumatera Utara
masih menciptakan kontroversi dan kritikan. Di kalangan pebisnis CSR dipandang sebagai suatu kegiatan sukarela, sehingga tidak diperlukan pengaturannya apalagi
sanksi di dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian, CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-
undangan formal, sehingga jika diatur akan bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan memberikan beban baru kepada dunia usaha.
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang PT, pada Pasal 74 ayat 2secara garis besar mengatur mengenai perlakuan akuntansi atas biaya tanggung jawab
sosial, dimana biaya ini dibebankan sebagai biaya perusahaan. Secara lengkap ayat 2 menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini,
keterbukaan dan akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik. Peranan pengawasan publik dilakukan melalui LSM NGO, sebagai organisasi
nir-laba yang pendukungnya menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan bisnis di indonesia. Perusahaan harus
menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak dapat diabaikan. Isu
bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan mereka
tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah
Universitas Sumatera Utara
mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam melaksanakan CSR CSR leadership. Karena itu “faktor pendukung daya saing”
juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan. D.
Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility sebagai Gerakan Sosial Perusahaan
Salah satu di antaranya diungkap oleh Jennifer A Zerk yang melukiskan bahwa gerakan sosial terbesar dalam periode saat ini adalah gerakan CSR yang
memberikan tekanan terhadap multinasional, negara, dan bahkan hukum internasional yang dipandangnya terlalu banyak mengabaikan, jika tidak mau
dikatakan sangat miskin, dalam memerhatikan persoalan globalisasiIa berkata, penerimaan terhadap prinsip CSR pada dasarnya bukan terletak pada persoalan
hukum, tetapi lebih pada perlawanan ekonomi dan politik.
30
Tak mengherankan ketika RUU PT disetujui untuk disahkan, yang menjadi fokus hanya kegiatan usaha di bidang sumber daya alam, seolah kegiatan
usaha di luar itu tidak memberikan dampak sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Seolah kegiatan usaha yang mengambil bahan baku produksi dari alam, seperti
furnitur, kosmetik, dan rokok, tak berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan sosial budaya ketika begitu banyak perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja
dengan upah yang teramat murah. Yang mengherankan adalah ketika banyak negara sudah menganggap CSR sebagai bagian yang melekat dari dinamika
30
Multinationals and Corporate Social Responsibility, Limitations and Opportunities in International Law, Cambridge Studies in International Law, No 48, Cambridge University Press,
2007.
Universitas Sumatera Utara
korporasi, dunia usaha di Indonesia terus menjerit dan menganggap seolah CSR sebagai beban, bukan soal tanggung jawab.
Inti persoalan kemudian digeser dari masalah prinsip kehidupan manusia dan lingkungannya ke persoalan yang bersifat teknis perusahaan, yang berakhir
pada masalah perhitungan antara untung dan rugi. Padahal, CSR berkaitan juga dengan kelangsungan kehidupan setiap korporasi. Meskipun demikian, patut
dicatat, memahami persoalan dunia usaha di Indonesia memang membutuhkan pendekatan lebih khusus. Jangan berharap berbicara tentang CSR di belahan Bumi
yang lain akan sama nikmatnya jika berbicara soal yang sama dalam konteks Indonesia.
31
Dalam situasi seperti itu, sangat masuk akal jika adopsi terhadap semua prinsip-prinsip yang berlaku di negara yang faktor kelembagaan ekonomi, sosial,
Di belahan Bumi yang lain, ketika korupsi dibabat habis dan seluruh mata rantai birokrasi dibereskan dengan memberikan tekanan kepada pemberesan
kelembagaan hukum, reformasi birokrasi, remunerasi, dan reformasi hukum berjalan, dunia usaha mulai bergerak pasti dan siap bicara soal CSR dalam
konotasi yang pahit sekalipun. Sementara itu, di wilayah Nusantara, pengusaha harus berhadapan dengan semua urusan yang berkonotasi uang, birokrasi yang
panjang dan melelahkan, kepastian hukum yang masih menjadi angan-angan, merosotnya daya saing, seretnya kredit dari perbankan, relatif tingginya pajak
badan yang dikenakan negara, dan serentetan masalah lainnya yang membuat dunia usaha bagaikan hidup segan mati tak hendak.
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
budaya, hukum, dan politiknya sudah tertata dengan baik menjadi tak dapat bekerja dengan baik ketika dicoba untuk diterapkan di Indonesia. Masalahnya
tidak terletak pada adanya UU PT yang baru, tetapi lebih terletak pada bagaimana pemerintah memberikan ruang yang luas pada kenyamanan berusaha dengan
memerhatikan faktor kelembagaan sebagai faktor yang dominan sebelum adopsi terhadap konsep apa pun hendak dijalankan. Bantahan terhadap kelemahan ini
dapat dilakukan, tetapi tetap saja akan sia-sia. E.
Kaitan Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility dengan bidang hukum lainnya.
Di Indonesia sendiri, munculnya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menandai babak baru pengaturan CSR. Selain itu,
pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Walaupun sebenarnya pembahasan mengenai
CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang terjadi di Indonesia adalah pergeseran
paradigma dunia usaha yang tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial.
Adapun pengaturan CSR di dalam di dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007, diatur sebagai berikut :
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang danatau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan pengaturan di dalam No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut:“Setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d disebutkan sebagai berikut:
“Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.”
Namun demikian, pengaturan CSR di dalam peraturan perundangan- undangan Indonesia tersebut masih menciptakan kontroversi dan kritikan. Di
kalangan pebisnis CSR dipandang sebagai suatu kegiatan sukarela, sehingga tidak diperlukan pengaturannya apalagi sanksi di dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian, CSR adalah kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, sehingga jika diatur akan
bertentangan dengan prinsip kerelaan dan akan memberikan beban baru kepada dunia usaha.
Dalam iklim reformasi dan demokrasi di Indonesia sekarang ini, keterbukaan dan akuntabilitas sangat dipentingkan dan diperhatikan oleh publik.
Peranan pengawasan publik dilakukan melalui LSM NGO, sebagai organisasi
Universitas Sumatera Utara
nir-laba yang pendukungnya menyuarakan berbagai “public issues”, yang punya dampak besar pada penyelenggaraan bisnis di indonesia. Perusahaan harus
menyadari bahwa suara LSM ini mempunyai pengaruh besar dan sangat diperhatikan oleh konsumen perusahaan dan karena itu tidak dapat diabaikan. Isu
bagaimana tenaga kerja mempersepsikan suatu perusahaan juga akan berpengaruh pada rekrutmen pegawai, memotivasi kerja mereka, dan mengusahakan mereka
tidak pindah ke perusahaan lain. Tenaga ahli yang cakap sekarang juga sudah mulai memilih perusahaan yang dinilai baik dari segi kepemimpinannya dalam
melaksanakan CSR CSR leadership. Karena itu “faktor pendukung daya saing” juga harus dilihat dari program CSR yang dijalankan oleh perusahaan.
Konsep CRS pada dasarnya erat kaitannya Global Compact yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB tahun 1999 dan dokumen PBB tentang
tanggung jawab perusahaan transnational terhadap HAM disahkan dalam tahun 2003. Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact GC, maka konsep
Corporate Social Responsibilities CSR sudah merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance GCG. Sekarang, masalah etika
bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-
perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan undang-undang baru yang akan memberikan
“higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”.
Universitas Sumatera Utara
GC terdiri dari sepuluh asas: dua di bidang HAM, empat di bidang standar tenaga kerja , tiga di bidang lingkungan hidup, dan satu di bidang anti-korupsi.
Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan
lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada HAM dan Konstitusi UUD 1945 kita yang mempunyai Bab XA tentang
HAM Pasal 28 A sd Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002. Sebagaimana diketahui, GC merupakan nilai-nilai yang mempedomani CSR. Dua dari sepuluh
asas dalam GC secara langsung merujuk pada penghormatan HAM sebagaimana diakui oleh dunia internasional. Dasar internasional tentang HAM adalah
Universal Declaration of Human Rights UDHR. Indonesia menghormati UDHR dan telah memasukkan sebagian asas-asas tersebut dalam konstitusi UUD 1945
yang telah diamandemen. Meskipun memang pada dasarnya negara yang bertanggung jawab tentang penegakan HAM ini, tetapi peranan perusahaan juga
tidak kecil dalam turut serta menghormati HAM. Karena GC merupakan pedoman bagi CSR dan GC merujuk pada penghormatan HAM, maka pelaksanaan CSR
oleh perusahaan berarti pula kewajiban perusahaan untuk menghormati perlindungan HAM di Indonesia. Ketidaktaatan perusahaan melindungi HAM di
Indonesia, terutama yang tertuang dalam konstitusi, akan merupakan pelanggaran serius dari perusahaan bersangkutan.
Namun, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk menentukan pelanggaran HAM. Belum ada indikasi yang standard mengenai apakah sebuah perusahaan
telah melakukan pelanggaran atau tidak. Indikasi pelanggaran hanya mungkin
Universitas Sumatera Utara
dilakukan cases by cases, itupun dengan kajian yang rumit dan makan waktu yang sangat panjang, seperti ketika perusahan mengeluarkan kebijakan yang tidak
berpihak pada buruh, misalnya masalah gaji yang masih dibawah UMR, belum memadainya jaminan kesehatan health insurance kepada para buruh, masalah
lembur, jam kerja, PHK dan sebagainya. Kemudian ketika satuan pengamanan perusahaan security yang tidak cooperative dalam menyikapi demonstrasi kaum
buruh, sepert melakukan tindakan-tindakan misalnya mulai dari “menggeledah badan buruh” sampai dengan “menghalau” demontrasi buruh.
Tindakan-tindakan seperti tersebut di atas pada dasarnya dapat diindikasikan sebagai pelanggaran HAM, yang dengan sendirinya akan menyebabkan
perusahaan harus bertanggung jawab baik secara gugatan sipil civil liability, maupun dakwaan kriminal criminal liability. Hal ini juga sesuai dengan asas
Global Compact yang meminta “that businesses should make sure that they are not complicit in human right abuses”, berarti bahwa suatu perusahaan harus
memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam melakukan pengeksploitasian dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kajian berikutnya mengenai indikasi pelanggaran HAM oleh perusahaan adalah apabila perusahaan tidak mengelola limbah dengan baik sehingga
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yang memenuhi indikasi ke arah itu. Sebut saja, Kasus PT.
Lapindo Brantas yang tidak saja membuat berhentinya denyut nadi kehidupan rakyat Sidoarjo, tapi juga telah meluluhlantakkan lingkungan di sekitarnya.
Kemudian kasus PT. Freefort yang telah melongsorkan sungai Wanagon yang
Universitas Sumatera Utara
tentunya mengorbankan rakyat dan lingkungan. Kasus-kasus ini adalah pelanggaran HAM dan perusahaan yag bersangkutan dapat dimintai
pertanggungjawaban berdasarkan prinsip corporate liability dan strict liability. Untuk kedua kasus ini perusahaan dapat dikategorikan telah melanggar apa yang
diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur, bahwa setiap orang berhak akan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kata-kata “setiap
orang”, ini adalah semua orang tanpa kecuali. Sedangkan kata-kata “berhak” ini merupakan hak dalam konotasi “subjektif” sebagaimana dalam wacana hak asasi.
Pelanggaran terhadap hak asasi tentu saja dapat diperjuangkan, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Akhirnya, CSR sangat bermanfaat untuk
meningkatkan tanggung jawab perusahaan, tidak hanya tanggung jawab secara internal, tetapi terlebih tanggung jawab secara eksternal terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Dengan adanya tanggung jawab ini, maka perusahaan tentunya akan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PRINSIP FIDUCIARY RESPONSIBILITY DI PERSEROAN TERBATAS
TERHADAP PARA PEMEGANG SAHAM
A. Tinjauan Umum mengenai Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang Saham RUPS