Analisis model vessel monitoring system ( Vms ) dalam pengawasan kapal penangkap ikan di Indonesia

(1)

DALAM PENGAWASAN KAPAL PENANGKAP IKAN

DI INDONESIA

BAMBANG DWI HARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

i

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Model Vessel Monitoring System (VMS) dalam Pengawasan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2007

Bambang Dwi Hartono NRP 995239


(3)

BAMBANG DWI HARTONO, Analisis Model Vessel Monitoring System (VMS) Dalam Pengawasan Kapal Penangkap Ikan Di Indonesia. Dibimbing oleh:

DANIEL R. MONINTJA, JOHN HALUAN, dan VICTOR PH. NIKIJULUW

Sumber daya perikanan dinilai bersifat “mampu pulih” (renewable),

namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Agar sumber daya ikan tetap lestari maka upaya penangkapan harus dijaga melalui pengawasan. Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah VMS . Sebagai Negara anggota FAO yang memiliki sumberdaya ikan cukup besar maka selayaknya Indonesia bertanggung jawab melakukan pengawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kebijakan pemerintah dalam penerapan sistem pengawasan kapal ikan dengan menggunakan model VMS, merumuskan strategi penerapan model VMS yang cocok bagi pemerinah dan pengusaha ditinjau dari aspek manfaat dan biaya, dilakukan dengan metode analisis SWOT dan AHP (Analytical Hierarchy Process) serta

Game Theory kepada lima pakar dan praktisi kelautan - perikanan. Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS dapat disimpulkan bahwa Penerapan VMS di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif, terutama berkaitan dengan: (1) Kemampuan teknologi VMS belum optimal, (2) Infrastruktur penunjang dan SDM belum lengkap, (3) Adanya penolakan dari pengusaha. Masih terdapat perbedaan persepsi antara pengusaha dan Pemerintah ( DKP) terhadap kebijakan penerapan VMS. Target 1500 kapal yang ikut VMS tidak tercapai, dan dari 1323 yang ikut VMS hanya 39,9% atau sebanyak 528 kapal saja yang dapat di monitor. Prioritas terhadap kapal dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang juga belum optimal. Pengusaha berpendapat kebijakan penerapan VMS tidak bermanfaat dan justru merugikan. Setelah dilakukan analisis AHP, ternyata terdapat pilihan prioritas model strategi yang berbeda bagi pengusaha dan pemerintah. Prioritas model strategi yang paling sesuai bagi pengusaha dari segi manfaat dan biaya adalah model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS, dengan nilai skor paling tinggi dibanding dua strategi lainnya (3,9636), dan strategi yang paling sesuai bagi Pemerintah adalah model Strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan. (skor 0,5663). Hasil analisis ”Game Theory” menunjukkan bahwa Model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS memberikan hasil yang maksimal bagi pemerintah dan pengeluaran biaya yang minimal bagi pengusaha. Dibanding dengan negara Peru, maka pungutan biaya usaha perikanan di Indonesia termasuk mahal. Di Peru untuk seluruh biaya (Izin, Alat VMS, Airtime, dan pemeliharaan) adalah sebesar $200, karena itu pilihan model strategi sistem pembebanan Biaya VMS yang dapat meringankan pengusaha perlu dipertimbangankan.

Kata Kunci: Vessel Monitoring Systems (VMS), Manfaat dan Biaya VMS, Efektivitas dan Model Strategi Penerapan


(4)

BAMBANG DWI HARTONO. Analysis of Vessel Monitoring System (VMS) Model For Monitoring of Fishing Vessels in Indonesia. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, JOHN HALUAN, and VICTOR P.H NIKIJULUW.

Fishery resources are deemed renewable, however, they do not mean that their existing is unlimited. To maintain these fishery resources in order to be continuously sustainable, fishing must be tightly controlled through monitoring. System that can monitor all over the vessel and equipped with unlimited monitoring capability is VMS (Vessel Monitoring System). Being a member of FAO containing huge fishery resources, Indonesia should be responsible of conducting monitoring. The aim of this research are to analyse the effectiveness of government policy implementation on application of system that monitors vessels by using VMS model as well as to formulate strategy to apply VMS model which appropriates for both government and fishing catcher company in terms of benefit and cost. The analysis methods used are quantitative and qualitative descriptive, SWOT, AHP (Analytical Hierarchy Process) which involved five practitioners and experts in marine-fishery field, and Game theory analyses. Through some evaluation indicators used to evaluate and analyse the effectiveness of policy implementation on VMS application, it is indicated that the application of VMS in Indonesia was not successful or effective especially those are relating to: (1) VMS technology capability is not yet optimum, (2) Supporting infrastructure and human resources are not comprehensive, (3) there is refusal action from fishing catcher company. Some different perceptions remain exist between business owners and government (DKP) regarding to the policy implementation on VMS application. It was proved that target to involve 1500 vessels in VMS application could not be reached. From 1323 vessels that joined with VMS, it’s only 34,9% or 528 vessels that can be monitored. Effort to give priority for vessels equipped with fish and prawn fishery was not optimal as well. fishing catcher company were of the opinion that the implementation of policy on VMS application was not beneficial and precisely incurred loss. After carrying out AHP analyses, it was found that there were different choices of strategic model priority for both government and business owner. The most appropriate strategic model priority for fishing catcher company from the perspective of benefit and cost is strategic model of VMS cost-charged system, with the highest score compared to two other strategic models (3,9636) while for government is strategic model of law enforcement and monitoring capability (with the highest score 0,5663). Outcome from Game Theory analysis indicated that strategic model of VMS cost-charged system has brought about maximum result for the government and only took minimum expenses from fishing catcher company. Fishery tax in Indonesia is expensive compared to that in Peru that takes 200 USD for the entire fee including permit, VMS instrument, airtime and maintenance. Therefore the choice of strategic model of VMS cost-charged system that can lighten fishermen burden, is a need to be reckoned with.


(5)

ii

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(6)

iii

DALAM PENGAWASAN KAPAL PENANGKAP IKAN

DI INDONESIA

BAMBANG DWI HARTONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sugeng Hariwisudo, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Ali Supardan


(8)

(9)

v

Dilahirkan di Bangka pada tanggal 20 Mei 1962, sebagai anak kedua dari bapak Rasimun Purwoatmodjo dan ibu Suji. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fisip Universitas Diponegoro Semarang, lulus tahun 1986. Melanjutkan pendidikan Strata 2 pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan lulus tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan Program Doktor (Strata 3) pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pertama kali bekerja pada tahun 1987 sebagai dosen Fakultas Ilmu Administrasi/FIA (Jurusan Adm. Niaga) di Universitas Atmajaya Jakarta, dan pada tahun 1994–1998 menjabat sebagai Pembantu Dekan III FIA Unika Atmajaya. Pada tahun 1996—2001 memperoleh kesempatan bekerja sebagai Direktur Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan (PSWN) milik Prof. Mochtar Kusuma Atmadja yang berkecimpung di bidang jasa konsultansi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Selanjutnya pada tahun 2000–2005 menjadi Sekretaris Umum Forum Ekonomi Kelautan Indonesia (Forek Indonesia), lembaga ini berperan dalam menggalang potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dalam meningkatkan kontribusi sektor kelautan perikanan pada perekonomian Indonesia.

Setelah Kongres Forek Indonesia tahun 2005, saya diangkat menjadi Deputi Penelitian & Pengembangan dan Teknologi Informasi. Dengan berbagai pengalaman dan pendidikan yang saya miliki, terutama di bidang Kelautan dan Perikanan, maka sejak tahun 2000 sampai sekarang diberi kesempatan untuk bekerja sebagai konsultan pengembangan bisnis di SBU (Strategic Busines Unit) Kelautan Perikanan PT. Sucofindo (Persero). Tahun 2000, bersama Ir. Sarwono Kusuma Atmadja (pada waktu itu Menteri Kelautan Perikanan) saya berkunjung ke Perancis dan Inggris untuk studi banding manajemen pengawasan kapal penangkap ikan dengan teknologi VMS (Vessel Monitoring System).

Walaupun beberapa kegiatan di atas sangat memakan waktu dan pikiran, namun segalanya dijalankan dengan sangat menyenangkan, bahkan kegiatan untuk mengajar tidak pernah ditinggalkan. Sampai saat ini saya mengajar di Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta, dan menjadi dosen tetap di FISIP serta menjadi Pembantu Dekan di FISIP Universitas Muhammadiyah Prof.Dr. Hamka (UHAMKA) dari tahun 1998 sampai sekarang. Untuk menyalurkan naluri binis, maka pada tahun 2000 saya bersama Ir. Slamet Hariyanto M.Si. mendirikan PT. INDOPRO Mutiara Manajemen yang bergerak di bidang jasa Konsultan Manajemen.

Tahun 1989 saya menikah dengan Sri Lestari Sugiarti, yang baru saja tahun 2005 diwisuda sebagai Master Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, di karuniai dua anak (laki laki dan perempuan), yaitu Amalia Desy Witari yang lahir 12 Desember 1990 di Jakarta dan Faiz Dwi Hajrian yang lahir 16 Juli 1992 di Bekasi Jawa Barat.


(10)

vi

Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis ucapkan setiap saat atas seluruh nikmat dan karuniaNya termasuk terselesaikannya disertasi ini. Disertasi ini merupakan persyaratan guna menyelesaikan studi program Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Judul Analisis Model Vessel Monitoring System (VMS) Dalam Pengawasan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia (Kasus Implementasi VMS Tahap I Terhadap Kapal Perikanan Lokal dan Asing Berukuran 100 GT).

Dengan selesainya penyusunan disertasi ini, penulis patut menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja dan Anggota Komisi Pembimbing, Prof. Dr. John Haluan, MSc dan Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc., yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan bimbingan dan arahan mulai dari pembuatan proposal, proses pengumpulan data dan analisis hingga rampungnya penyusunan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada beberapa pihak, yaitu: (1) Rektor Institut Pertanian Bogor, yang telah menerima penulis untuk studi Program Doktor, (2) Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, dan Dr. Tommy Purwaka SH., LLM., atas rekomendasinya, (3) Dr. Ir. Sugeng Hariwisudo, MSc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing dalam ujian tertutup; (4) Dr. Tommy Purwaka SH., LLM dan Dr. Ir. Ali Supardan selaku dosen penguji luar komisi pembimbing dalam ujian terbuka; (5) Pimpinan dan Staf Sekretariat Pascasarjana atas bantuan proses administrasi selama kuliah serta seluruh staf pengajar Program Studi Teknologi Kelautan atas arahan, kuliah dan wawasannya dan rekan-rekan mahasiswa program Doktor dan Magister Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB atas diskusi dan tukar pikirannya.

Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada: (1) Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, Bapak Dr. Qomari Anwar (periode 2001—2006), yang telah memberikan izin penulis untuk studi program Doktor IPB, serta Bapak Drs. Suyatno, M.Pd selaku Rektor yang baru periode 2006—2011 yang telah memberikan dorongan dan motivasi; (2) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana BPPS; (2) Pimpinan Lembaga Pengelola VMS DKP (PMO-VMS-DKP), Bapak Ir. Takhwin Oesman, CES dan staf atas bantuan material dan moral yang tak ternilai harganya; (3) Ketua dan anggota Tim Teknis VMS DKP atas dukungan dan kemudahan mendapatkan akses data di beberapa lokasi pelabuhan perikanan di Indonesia; (4) Direktur PT. Sucofindo (Persero) atas pemberian kesempatan menjadi Senior Advisor pada Divisi Kelautan Perikanan sehingga mempermudah penulis mendapatkan akses dan mendalami bidang kelautan perikanan.

Beberapa pihak yang perlu saya sampaikan ucapan terima kasih atas bantuannya yang berupa fasilitas, tenaga, dan informasi selama penulis melaksanakan penelitian adalah :

1. Direktur PMO-VMS DKP dan seluruh staf 2. Ketua dan anggota TIM Teknis VMS DKP


(11)

vii

Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan DKP. 4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk lokasi Jakarta, Kendari,

Sorong, Denpasar, Medan dan Pekalongan. uk wilayah Jakarta, Kendari, Bitung, Sorong, Denpasar, Medan dan Pekalongan).

5. Prof. Dr. Martani Huseini, yang selalu mendorong penulis untuk menempuh program doktor.

6. Tim editing dan enumerator data, Ir. Agus Wahid, Agus Widodo, Drs. Adang, Ir. Adrianus Adi, Ir. Kurniawan, Ir. Lia, Reza dan Sofian.

7. Teman seperjuangan di Sekolah Pasca Sarjana IPB, Ir, Aisyah Farhum M.Si, Dr. Darmawan, Ir. Suharto M.Si, Dr. Hariyanto, Dr. Gatut Kuncoro, Ir. Imron M.Si, Dr. Fauziah, Dr. Eca,

8. Berbagai pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Sudah selayaknya pula penulis mempersembahkan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua, Bapak Rasimun Purwoadmojo dan Ibu Sujiyem yang telah membesarkan dan membimbing penulis dengan segenap tenaga, pikiran dan doa. Demikian pula kepada kedua mertua, Bapak Soegiono dan Ibu (alm) beserta segenap keluarga yang dengan ikhlas mendoakan tanpa henti. Tak terlupakan, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada mbah kakung Karto dan Mbah Putri, semua paman dan bulik, kakak dan para adik penulis yang telah memberikan dorongan moral.

Last but not least, dengan segenap suka cita dan perasaan yang dalam, penulis sampaikan terima kasih kepada isteriku, Dra. Sri Lestari Sugiharti, M.Pd. dan anak-anakku, Amalia Desy Witari dan Faiz Dwi Hajrian atas pengertian dan pengorbanannya selama penulis studi di IPB Bogor.

Sadar akan kurang sempurnanya disertasi ini, dengan tulus ikhlas penulis mohon kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan selanjutnya. Semoga disertasi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi dunia pendidikan dan perikanan.

Bogor, April 2007

Penulis


(12)

viii

Halaman

DAFTAR TABEL………...xii

DAFTAR GAMBAR………....xvi

DAFTAR LAMPIRAN………....xviii

1 PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang………..1

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah………....4

1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaan………..…8

1.4 Manfaat Penelitian………....9

1.5 Hipotesis………...9

1.6 Kerangka Pemikiran……….10

2 TINJAUAN PUSTAKA……….….13

2.1 Kebijakan Publik………...13

2.2 VMS Bagian Dari MCS………....16

2.3 Definisi VMS………...20

2.4 Dasar Hukum Penerapan VMS………...…23

2.5 VMS di Beberapa Negara...25

2.6 Analisis Kebijakan...28

2.7 Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)…………....32

2.8 Model Compliance (Model Kepatuhan)...35

2.9 Model SISWASMAS...36

2.10 Model Co-Management...37

3 METODOLOGI...38

3.1 Tempat/Obyek Studi dan Waktu...38

3.2 Metode Pengumpulan Data...39

3.2.1 Pengamatan Berperan Serta...40

3.2.2 Wawancara Mendalam………...40


(13)

ix

3.2.5 Kuesioner……….41

3.3 Pengolahan dan Analisis Data………...42

3.3.1 Analisis SWOT……….………...44

3.3.2 Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)……..……...45

3.3.3 Game Theory Analysis………...57

4 GAMBARAN UMUM SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN / VESSEL MONITORING SYSTEM (VMS) DI INDONESIA………....61

4.1 Kebijakan Sistem Pemantauan Kapal Ikan (VMS)………...61

4.2 Rencana dan Skenario Awal Pelaksanaan VMS...64

4.3 Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan VMS...65

4.4 Organisasi Pengelola Sistem VMS...72

4.5 Gambaran Industri Penangkapan Ikan Di Indonesia...77

4.6 Gambaran Jumlah Kapal Perikanan Lokal...80

4.6.1 Berukuran Berukuran 30 GT Sampai Di bawah 100GT...80

4.6.2 Kapal Berukuran 100 GT Ke Atas Berdasarkan Alat Tangkap……….…84

4.6.3 Kapal Pengangkut Lokal………...85

4.7 Gambaran Jumlah Kapal Asing………....86

4.7.1 Berdasarkan Alat Tangkap………....86

4.7.2 Berdasarkan Wilayah Pengelolaan………....88

4.8 Penerapan VMS di Indonesia...89

4.8.1 Mekanisme Kerja VMS dan Infrastruktur Sistem...89

4.8.2 Pentahapan Pelaksanaan Pemasangan Alat VMS...95

4.8.3 Prosedur Pemasangan Alat VMS...95

4.8.4 Bentuk Kerjasama dan Ruang Lingkup Pekerjaan………....98

4.8.5 Pendistribusian Alat VMS di Pelabuhan Perikanan...99

4.8.6 Pemasangan Alat VMS Kapal Asing Berdasarkan Bendera………...100

4.8.7 Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Alat Tangkap……... 101


(14)

x

4.8.10 Kemampuan Teknologi VMS saat ini………...105

4.8.11 Alasan Pemilik Kapal Terhadap Tidak Aktifnya Transmitter………....114

4.8.12 Hambatan atau Kesulitan Pemasangan……….115

4.8.13 Pelayanan Website VMS………...116

5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN………...…..118

5.1. Analisis Efektifitas Kebijakan Penerapan Model Vessel Monitoring System (VMS) bagi Kapal Penangkap Ikan………...118

5.1.1 Analisis Peraturan Perundang undangan di Bidang Perikanan Pendukung Kebijakan Penerapan VMS………....118

5.1.2 Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS…………....129

5.2 Perumusan Penentuan Prioritas Strategi Penerapan Vessel Monitoring System (VMS)………....136

5.2.1 Identifikasi Peluang dan Ancaman………....136

5.2.1.1 Aspek Hukum/Kebijakan Eksternal………....136

5.2.1.2 Aspek Ekonomi………...…137

5.2.1.3 Aspek Sosial Budaya………...140

5.2.1.4 Aspek Biologi………..141

5.2.2 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan………...142

5.2.2.1 Peraturan Hukum dan Kebijakan Internal………...142

5.2.2.2 Kelembagaan………...142

5.2.2.3 Aspek Teknologi VMS………....144

5.2.3 Analisis Strategi Penerapan VMS dengan Matriks SWOT..147

5.3 Analisis Pemilihan Strategi Penerapan VMS dengan AHP……...150

5.3.1 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat untuk Masing-Masing Aspek (Analisis Manfaat)…………....150

5.3.2 Pemilihan Strategi VMS Berdasarkan Biaya untuk Masing-Masing Aspek………...163

5.4. Pemilihan Model Strategi Penerapan VMS dengan Analisis ”Game Theory”...188


(15)

xi

6.1. Kesimpulan...211 6.2. Saran...212


(16)

xii

Halaman

1 Efektivitas Berbagai Jenis Sistem Monitoring Kapal... 17

2 Perbandingan Karakteristik Penelitian dan Analisis Kebijakan... 31

3 Kriteria Evaluasi Kebijakan... 32

4 Skala Perbandingan Berpasangan Dalam AHP... 54

5 Tempat dan Tanggal Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan VMS di Indonesia... 66

6 Pertumbuhan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia... 79

7 Jumlah Kapal Indonesia Per Alat Tangkap, Dengan Ukuran 30 GT ke atas sampai di bawah 100GT... 81

8 Jumlah Kapal Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan... 82

9 Jumlah Kapal Ikan Indonesia Per Alat Tangkap Dengan Ukuran 100 GT ke atas... 85

10 Jumlah Kapal Pengangkut Dengan Ukuran Antara 30 GT Sampai 100 GT... 85

11 Jumlah Kapal Pengangkut Indonesia Dengan Ukuran 100 GT ke Atas... 86

12 Jumlah Kapal Asing Per Alat Tangkap Dengan Ukuran 100 GT ke Atas... 87

13 Jumlah Kapal Asing Per Alat Tangkap Dengan Ukuran Antara 30 GT Sampai 100 GT... 87

14 Jumlah Realisasi Unit Kapal Asing Berdasarkan Wilayah Pengelolaan (s/d April 2004)... 88

15 Jumlah Realisasi GT Kapal Asing Berdasarkan Wilayah Pengelolaan dan Alat Tangkap (s/d April 2004)... 89

16 Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Pelabuhan Pangkalan... 99

17 Hasil Pemasangan Alat VMS Kapal Asing Berdasarkan Bendera Negara Asal... 100

18 Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Alat Tangkap... 101

19 Rekapitulasi Komposisi Hasil Pemasangan Alat VMS Berdasarkan Jenis Kapal... 102


(17)

xiii

21 Kapal Penangkap Ikan Yang Terpantau Masa Berlaku Izinnya Habis 107 22 Analisis Isi Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan

Yang Mendukung Penerapan Kebijakan VMS... 119

23 Peraturan Perundangan di Bidang Pengelolaan Perikanan Yang Berkaitan Langsung Dengan Penerapan Kebijakan VMS... 123

24 Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS... 130

25 Pertumbuhan Produksi Perikanan Tangkap di Dunia... 138

26 Kemampuan Armada Pengawas... 143

27 Matriks SWOT Strategi Penerapan VMS... 148

28 Tingkat Kepentingan Manfaat Penerapan VMS dari Masing-Masing Aspek... 151

29 Tingkat Kepentingan Manfaat Yang dirasakan Pemerintah dan Pengusaha dari Aspek Ekonomi... 153

30 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Ekonomi 153 31 Pembobotan Manfaat Sosial Penerapan VMS... 155

32 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Sosial... 156

33 Pembobotan Manfaat Biologi Penerapan VMS... 157

34 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Biologi... 157

35 Pembobotan Manfaat Teknologi Penerapan VMS... 159

36 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Teknologi 159 37 Pembobotan Manfaat Kelembagaan Penerapan VMS... 160

38 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Kelembagaan... 161

38 Pembobotan Manfaat Hukum Penerapan VMS... 162

40 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Manfaat Hukum... 163

41 Pembobotan Atas Biaya Penerapan VMS... 164

42 Pembobotan Biaya Ekonomi Penerapan VMS... 165

43 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Ekonomi... 166

44 Pembobotan Biaya Sosial Penerapan VMS... 167

45 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Sosial... 168


(18)

xiv

48 Pembobotan Biaya Teknologi Penerapan VMS... 171 49 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Teknologi.... 171 50 Pembobotan Biaya Kelembagaan Penerapan VMS... 173 51 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya

Kelembagaan... 173 52 Pembobotan Biaya Hukum Penerapan VMS... 175 53 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Biaya Hukum... 176 54 Analisis Prioritas Strategi Berdasarkan Biaya dan Manfaat Bagi

Pengusaha... 177 55 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Ekonomi... 178 56 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Sosial... 178 57 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Biologi... 179 58 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Teknologi... 180 59 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Kelembagaan... 180 60 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pengusaha Ditinjau pada Bidang

Hukum... 181 61 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya

dan Manfaat bagi Pengusaha... 182 62 Penilaian Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya dan

Manfaat bagi Pemerintah... 183 63 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada

Bidang Ekonomi... 183 64 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada

Bidang Sosial... 184 65 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada

Bidang Biologi... 185 66 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada


(19)

xv

68 Pemilihan Strategi yang Sesuai bagi Pemerintah Ditinjau pada

Bidang Hukum... 187

69 Pemilihan Strategi Penerapan VMS Berdasarkan Analisis Biaya dan Manfaat bagi Pemerintah... 188

70 Matrik Payoff Two Person Zero Sum Game……… 190

71 Estimasi/Valuasi Kualitatif Keuntungan & Biaya Penerapan Model Strategi B dan H Dalam Penerapan VMS... 192

72 Estimasi/Valuasi Kuantitatif Keuntungan & Biaya Penerapan Model Strategi B dan H Dalam Penerapan VMS... 200

73 Matrik Game Theory... 202

74 Pembebanan Biaya VMS Tahap I... 207

75 Pembebanan Biaya VMS Tahap II... 208

76 Estimasi Perhitungan Kerugian Negara Yang Dapat Diselamatkan Dengan Teknologi VMS... 210


(20)

xvi

Halaman

1 Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan... 2

2 Kerangka Pemikiran Analisis Model Sistem VMS di Indonesia... 12

3 Sistem Manajemen Perikanan... 19

4 Posisi MCS Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan... 19

5 Vessel Monitoring System... 22

6 Determinants of Compliance... 36

7 Diagram Analisis SWOT... 44

8 Analisis Hirarki Proses Strategi Penerapan VMS Ditinjau dari Aspek Manfaat... 47 9 Analisis Hirarki Proses Strategi Penerapan VMS Ditinjau dari Aspek Biaya... 51

10 Contoh Penerapan Game Theory Pada Kasus Dilema Orang Hukuman……….. 58

11 Grafik Reaksi Diterapkannya VMS... 71

12 Grafik Alasan Tidak Setuju Diterapkannya VMS... 71

13 Grafik Alasan Kemauan Mengikuti Diterapkannya VMS... 72

14 Struktur Organisasi Pengelola VMS – DKP... 75

15 Struktur Personil Organisasi Pengelola VMS... 76

16 Personil Tim Teknis Pengelola VMS... 76

17 Grafik Kapal Penangkap Ikan Indonesia Bersarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan... 83

18 Grafik Alat Tangkap Kapal Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan... 84

19 Grafik Jumlah Kapal Penangkap Ikan Berdasarkan Alat Penangkap Yang Digunakan... 87

20 Skema Operasionalisasi VMS di Indonesia... 90

21 Communication Server... 91

22 Data Base Server... 91


(21)

xvii

25 Piranti Lunak FMC GIS Software Safire... 94

26 Pusat Pengendalian (Pusdal) VMS di DKP Pusat... 95

27 Bentuk Transmitter dan Contoh Pemasangannya di Kapal... 96

28 Indikasi Pelanggaran Izin Oleh Kapal Penangkap Ikan... 106

29 Indikasi Pelanggaran Pemasangan Transmitter... 108

30 Indikasi Pelanggaran Alat Tangkap... 108

31 Indikasi Pelanggaran Wilayah Penangkapan... 109

32 Indikasi Pelanggaran Transhipment... 112

33 Indikasi Pelanggaran Kapal Tidak Pernah Ke Pelabuhan Pangkalan 113 34 Sistem Integrasi VMS Dengan Perizinan, Log Book Perikanan dan Surat Laik Operasional di Pelabuhan... 128


(22)

xviii

Halaman 1 Peta Wilayah Penangkapan Ikan di Indonesia... 219 2 Tabel Bata-Batas Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia... 220 3 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 29 Tahun 2003... 222 4 Daftar Kapal yang telah Terpasang Transmitter... 233 5 Penempatan Kapal Pengawas Direktorat Jenderal P2SDKP... 259 6 Estimasi Tingkat Pelanggaran Kapal Penangkap Ikan di Indonesia.... 260 7 Estimasi Perhitungan Kerugian Negara yang Dapat Diselamatkan


(23)

1.1 Latar Belakang

Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.508 buah yang dikelilingi oleh garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 81.000 km. Dikatakan oleh Rizal (Kompas, 2000) bahwa sumber daya kelautan Indonesia mengandung potensi pembangunan ekonomi yang amat besar, tetapi sejauh ini pemanfaatannya belum optimal.

Potensi lestari ikan sekitar 6,2 juta ton/tahun dengan rincian di perairan nusantara sebanyak 4,5 juta ton/tahun dan ZEE Indonesia sebanyak 2,1 juta ton. Sementara sampai saat ini baru dimanfaatkan sekitar 58,5%, maka masih terdapat 41,5% potensi yang belum termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton/tahun (Dahuri, 1999).

Agar pendayagunaan sumber daya kelautan dan perikanan mampu memberikan kontribusi yang lebih bermakna terhadap pembangunan ekonomi nasional, maka sosok bidang kelautan Indonesia harus bercirikan: (1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbangan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, dan indikator pertumbuhan ekonomi lainnya; (2) Memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan serta petani ikan tradisional; (3) Mampu memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga pembangunan ekonomi kelautan dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Untuk dapat mewujudkan misi pembangunan tersebut, maka diperlukan berbagai langkah strategis berikut: (a) optimalisasi dan efisiensi sumber daya; (b) penguatan kapasitas jaringan pemasaran dan prasarana serta sarana pendukung; (c) penerapan iptek dan manajemen profesional (d) dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif; (e) dukungan sistem dan mekanisme hukum serta kelembagaan yang memadai. Terselenggaranya kelima langkah strategis di atas


(24)

memerlukan dukungan pengembangan dan penguatan sistem informasi kelautan yang meliputi distribusi potensi (pembangunan) sumber daya kelautan serta potensi pasar dalam dan luar negeri (regional-global) secara spasial maupun temporal. Peranan sistem informasi sangat berarti dalam mendukung setiap langkah strategis yang dilaksanakan serta membentuk sinergi di antara langkah-langkah tersebut. Salah satu bentuk upaya pengembangan dan penguatan sistem informasi kelautan adalah dengan mengembangkan sistem informasi sumber daya hayati laut.

Selain dari itu, sumber daya perikanan dinilai bersifat “mampu pulih” (renewable), namun keberadaannya bukan tidak terbatas, oleh sebab itu sumber daya perikanan perlu dikelola guna mencegah penangkapan yang melewati ambang kemampuan regenerasinya (over fishing). Gambar 1.1 adalah modifikasi dari materi kuliah pendekatan sistem terhadap pemanfaatan sumber daya hayati laut yang menjelaskan dinamika populasi sumber daya ikan :

Sumber: Modifikasi dari materi kuliah pendekatan sistem terhadap pemanfaatan sumberdaya hayati laut, Program S3 - IPB, TKL, tahun 2000

Gambar 1 Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan.

Keterangan :

R : Lahirnya individu-individu ikan (lahir atau migrasi) G : Proses pertumbuhan ikan

M : Proses penurunan secara alami


(25)

Dinamika sumber daya ikan ditentukan oleh 4 (empat) faktor (R, G, M dan Y), dari ke-empat faktor tersebut yang dapat dikendalikan adalah hasil tangkapan (Y) yang dipengaruhi oleh besar kecilnya upaya penangkapan. Proses penurunan secara alami atau mortalitas mencerminkan laju kematian ikan (Sparre: 1998), yang disebabkan oleh penyakit, polusi, kerusakan lingkungan, pemangsaan dan umur.

Agar sumber daya ikan tetap lestari maka upaya penangkapan harus dijaga jangan melebihi kemampuan pulih kembali sumber daya ikan, sehingga aspek pengawasan menjadi sangat penting dikembangkan dan dilaksanakan. Intensitas penangkapan akan selalu meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk dan permintaan pasar lokal maupun internasional akan produk perikanan baik untuk keperluan pangan maupun pakan.

Dalam keadaan nir-kelola, usaha perikanan ikan di Indonesia akan mengarah pada perikanan akses terbuka (open access) yang dapat berakibat penangkapan berlebihan (over fishing), investasi berlebihan (over invesment), maupun tenaga yang berlebihan (over employment).

Diperlukan berbagai upaya pengelolaan dalam mencegah timbulnya in-efisiensi pemanfaatan sumber daya ikan dan agar dapat merumuskan sejumlah opsi alternatif kebijaksanaan pengelolaan maka diperlukan data dan informasi yang akurat, oleh karena itu perlu dilakukan suatu model pengembangan pengawasan usaha penangkapan ikan (kapal perikanan). Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah Vessel Monitoring System (VMS), dan FAO (Smith, 1999) juga merekomendasikan penggunaan VMS apabila jumlah kapal yang perlu dipantau cukup besar (50 kapal asing dan 200 kapal domestik). VMS merupakan salah satu elemen penting dalam mengimplementasikan aspek monitoring (pemantauan) pada lingkup MCS (Monitoring, Controlling and Surveillance) secara keseluruhan.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan


(26)

sistem pemantauan kapal Vessel Monitoring System (VMS). Demikian pula halnya dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Bab XI pasal 65 yang menetapkan bahwa setiap kapal perikanan wajib memasang transmitter untuk pemasangan sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System).

Sebagai realisasi dari Keputusan Menteri DKP tersebut di atas, pemerintah mengadakan kerjasama dengan pemerintah Perancis yang kemudian dilakukan perjanjian kerjasama antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Perancis tentang peminjaman kepada pemerintah Indonesia untuk membiayai pembelian Vessel Monitoring System atau Sistem Pemantauan Kapal yang ditandatangani tanggal 11 Pebruari 2002 (Implementation Agreement Between the Government of The RI and the Government Of the French Republic, 2002), kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan Kontrak Peralatan dan Jasa Nomor: PL.343/PSKP-PSP/SPPK/XII/2002, tanggal 30 Desember 2002, antara bagian proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengawasan Direktorat Jendral PSDKP Departemen Kelautan dan Perikanan RI dengan Collecte Localisation Satellites (CLS) Perancis. Disepakati CLS Argos menyediakan sebanyak 1500 transmitter untuk dipasang pada kapal perikanan, dan untuk tahap pertama tahun 2003 penerapan VMS di Indonesia diprioritaskan kepada 500 kapal perikanan dan tahun 2004 ditargetkan 1.000 kapal perikanan baik lokal maupun asing.

Berdasarkan beberapa penjelasan dan uraian di atas mendorong penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik “Analisis Model Vessel Monitoring System (VMS) Dalam Pengawasan Kapal Penangkap Ikan di Indonesia“ (Kasus Implementasi Tahap I terhadap Kapal Perikanan Lokal dan Asing Berukuran 100 GT ke atas).

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Sekalipun sumberdaya ikan tersedia di alam dalam jumlah yang berlimpah dan bersifat dapat diperbaharui, namun pengelolaannya tetap memiliki kendala-kendala yang signifikan, sehingga bila tidak dikelola dengan bijaksana akan mengalami degradasi kualitas dan kuantitasnya, yang pada akhirnya merugikan negara dan masyarakat pelaku usaha perikanan.


(27)

Permasalahan-permasalahan yang ada saat ini dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan antara lain adalah:

(1) Penetapan dan Pengelolaan Potensi

Pengelolaan sumber daya ikan melalui penetapan 9 (sembilan) wilayah pengelolaan, penetapan jumlah dan jenis alat tangkap, pengaturan perizinan pusat dan daerah, penetapan potensi serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan, belum menjawab kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab dan lestari. Hal ini disebabkan penetapan data potensi dan pemanfaatannya belum dapat ditentukan secara akurat, berkelanjutan dan dapat dipertanggungjawabkan. Permasalahan ini disebabkan lemahnya pemantauan terhadap potensi dan kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan. Penetapan 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dan batas-batasnya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

(2) Pelanggaran Perizinan

Salah satu kegiatan dalam rangka pelaksanaan MCS adalah pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan dalam bentuk pemberian Izin Usaha Perikanan (IUP) kepada pelaku usaha. Dalam implementasinya selama ini, dirasakan masih banyak permasalahan baik dalam proses perizinan maupun operasional perizinan tersebut di lapangan, baik yang menyangkut masalah peraturan perundangan, aplikasi pemberian izin yang melibatkan kewenangan beberapa instansi maupun permasalahan teknis di lapangan yang meliputi pemalsuan perizinan, pelanggaran daerah operasi penangkapan dan penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Permasalahan tersebut akan menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kerugian negara, seperti banyaknya pelanggaran pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, konflik kepentingan antara nelayan tradisional dengan pengusaha perikanan, banyaknya kapal perikanan berbendera asing yang mempunyai Surat Izin Penangkapan Ikan (SPI). Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan evaluasi sistem perizinan dan sedang melaksanakan penyempurnaannya.


(28)

(3) Transhipment dan Ekspor Ilegal

Kegiatan transhipment dan ekspor secara ilegal dinilai cukup tinggi, hal ini terlihat dari perbedaan data ekspor yang dikeluarkan oleh BPS, Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta data impor hasil perikanan di negara tujuan ekspor. Kegiatan tersebut terjadi karena lemahnya perangkat pemantauan dan pengamatan lapangan.

(4) Akurasi Data dan Informasi

Akurasi data yang antara lain data potensi, produksi dan ekspor belum dapat disajikan secara terus menerus. karena lemahnya sistem pendataan, monitoring dan pelaporan, baik yang dilakukan oleh pelaku usaha dan pemerintah. Diperlukan aplikasi sistem pendataan pendaratan ikan diseluruh pelabuhan perikanan secara ”online”.

(5) Kewenangan Instansi Pemerintah

Pengelolaan sumber daya ikan melibatkan beberapa instansi pemerintah dengan berbagai kewenangan yang dimiliki sesuai peraturan perundangan masing-masing instansi. Kondisi ini dapat menyulitkan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menerapkan suatu sistem pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan secara optimal, serta mengalami hambatan dalam pelayanan pemberian perizinan kepada masyarakat dan dunia usaha.

Permasalahan tersebut di atas mengakibatkan timbulnya beberapa kerugian dan kesulitan, antara lain :

(1) Over Fishing

Kurangnya pengawasan pengelolaan, pemanfaatan sumber daya ikan mengakibatkan di beberapa daerah mengalami tekanan over fishing yang melampaui daya dukung perairan. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan dan kesejahteraan nelayan yang berakibat terjadinya perubahan pola kehidupan dan tata nilai masyarakat nelayan. Kondisi seperti ini mendorong nelayan setempat melakukan penangkapan ikan yang bertentangan dengan peraturan perundangan (seperti pengeboman,


(29)

penggunaan potasium, pengambilan terumbu karang dan melanggar daerah penangkapan), pelanggaran kesepakatan masyarakat (hukum adat) serta melakukan penangkapan ikan di daerah lain (menjadi nelayan andon).

(2) Pemalsuan Dokumen Perizinan

Dokumen perizinan yang dikukuhkan oleh berbagai instansi sebagai kelengkapan untuk mengeluarkan perizinan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sulit dikoordinasikan sehingga diragukan keasliannya. Pemalsuan dokumen perizinan terjadi karena dokumen tersebut dikeluarkan oleh instansi lain yang pengawasannya tidak berada di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan. Permasalahan yang banyak dijumpai adalah dokumen kapal (gross akte, kelaikan kapal) dan pemalsuan atau penyalahgunaan izin usaha perikanan.

(3) Pelanggaran Penggunaan Alat Penangkap Ikan dan Wilayah Penangkapan

Sistem pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan yang selama ini diterapkan belum memperoleh hasil dan belum dapat mengurangi pelanggaran penggunaan alat penangkap ikan dan daerah penangkapan. Lemahnya sistem pengawasan antara lain disebabkan karena keterbatasan sarana, prasarana, biaya dan petugas pengawas sumber daya ikan (WASDI) dan penerapan MCS belum dilaksanakan secara terpadu.

(4) Tuduhan-Tuduhan Internasional

Dengan adanya pemanfaatan sumberdaya ikan oleh kapal perikanan asing dengan kapal asing berbendera Indonesia yang tidak terkontrol, maka banyak tuduhan internasional yang dampaknya terkena bagi pemerintah Indonesia. Indonesia seakan-akan tidak dapat mengelola pemanfaatan sumber daya ikan secara bertanggung jawab dengan mengeksploitasi sumber daya ikan secara berlebihan, sehingga harus menanggung protes internasional yang dapat mengakibatkan pengenaan sanksi antara lain harus membayar iuran internasional (fee) dan embargo perdagangan.


(30)

(5) Kerugian Negara

Pengendalian dan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum dilaksanakan secara optimal mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar dari sektor perikanan. Kerugian ini adalah tidak masuknya devisa negara akibat adanya kapal-kapal perikanan yang diduga izinnya palsu (illegal fishing) baik yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun kapal yang berbendera asing yang masuk dan menangkap ikan ke wilayah Indonesia serta adanya kegiatan eksploitasi secara ilegal (tanpa dokumen PEB). Kapal perikanan berbendera Indonesia yang izinnya diduga palsu adalah kapal-kapal ikan eks asing yang pengadaannya dilakukan melalui impor dan melalui penetapan pengadilan negeri. Kerugian negara akibat proses tersebut meliputi ekspor ikan yang ilegal (tidak tercatat) dan tidak terdaftarnya ABK asing sehingga tidak adanya iuran wajib penggunaan tenaga asing. Jumlah devisa negara yang hilang tersebut yang dapat dihitung diperkirakan sebesar US$ 2 miliar (Direktorat Jenderal PSDKP 2004).

Banyak data yang menampilkan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan pelanggaran atau faktor kelemahan yang dimiliki. Data FAO tahun 2001 menyebutkan bahwa total kerugian mencapai US$ 1.924.050.000. Ikan yang ditangkap secara ilegal mencapai 1,5 juta ton per tahun. Satu hal penting yang merupakan kerugian negara yang tidak dapat dihitung dengan rupiah adalah terancamnya kedaulatan bangsa serta menurunnya harga diri bangsa di mata dunia.

1.3 Tujuan Penelitian dan Kegunaan

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis model sistem “VMS” yang sekarang sedang dijalankan terhadap kapal penangkap ikan 100 GT serta mencari model penerapan VMS yang dapat meningkatkan dampak positif terhadap keberhasilan pengawasan dan pengelolaan sumberdaya ikan. Untuk mencapai tujuan utama ini terdapat tujuan yang menunjang antara lain :

(1) Mengevaluasi efektifitas kebijakan penerapan Model Vessel Monitoring System (VMS) bagi Kapal Penangkap Ikan 100 GT ke atas dalam


(31)

melakukan usaha penangkapan sumberdaya ikan di wilayah perairan laut Indonesia.

(2) Merumuskan model penerapan Vessel Monitoring System (VMS) yang ditinjau dari segi prioritas manfaat dan biaya bagi pihak pemerintah dan pengusaha.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : (1) Sebagai masukan kepada pihak yang berwenang sebagai lembaga pengelola

kegiatan pemantauan kapal penangkap ikan, terutama pemerintah pusat untuk dapat memperkecil kelemahan dan mengurangi ancaman-ancaman agar kebijakan VMS dapat diterapkan dan memberikan dampak positif baik bagi pemerintah maupun bagi pengusaha.

(2) Meningkatkan pemahanan terhadap para pengusaha penangkap ikan di Indonesia, bahwa penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan merupakan tuntutan internasional dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan, serta bermanfaat bagi para pengusaha atau pemilik kapal dalam memantau kapal miliknya dan memudahkan penyelamatan apabila terjadi kecelakaan di laut.

(3) Terwujudnya sistem pengawasan sumberdaya ikan yang sesuai dengan karakter dan kondisi perairan laut Indonesia serta memberikan sumbangan pada pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan.

1.5 Hipotesis

Dalam penerapan kebijakan pengawasan kapal penangkap ikan dengan model VMS (Vessel Monitoring System) tidak hanya semata-mata tergantung dari kecanggihan teknologi yang digunakan dalam melakukan pengawasan, akan tetapi banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai lembaga pengelola antara lain, hukum dan kelembagaan, aspek ekonomi bagi pengusaha, tingkat kepedulian dan kesadaran masyarakat nelayan (pengusaha), program sosialisasi, dan aspek koordinasi.


(32)

Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya dalam bentuk kalimat pertanyaan (Black and Champion, 1999). Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan, dan dalam penelitian ini dirumuskan beberapa hipotesa penelitian sebagai berikut : (1) Penerapan kebijakan pemantauan kapal ikan dengan model VMS saat ini

belum dapat berjalan secara optimal.

(2) Pemahaman antara pengusaha dan pemerintah terhadap strategi penerapan Model VMS dalam pemantauan kapal ikan belum sama.

(3) Penerapan model VMS yang sesuai dan dapat memenuhi harapan pemerintah dan pengusaha akan menghasilkan keuntungan dan manfaat yang lebih besar bagi pemerintah maupun pengusaha penangkapan ikan.

1.6 Kerangka Pemikiran

Dalam mengkaji dan melakukan analisis model Sistem Pemantauan Kapal Penangkap Ikan (VMS) di Indonesia, kerangka pemikiran yang dipergunakan adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Pertumbuhan jumlah kapal penangkap ikan asing dan lokal yang beroperasi di perairan Indonesia, munculnya berbagai persoalan pemanfaatan sumber daya ikan oleh para pengusaha penangkap ikan dan kewajiban sebagai negara anggota FAO dalam melakukan pengawasan sumber daya ikan telah mendorong pemerintah menetapkan kebijakan untuk melakukan pemantauan terhadap kapal-kapal penangkap ikan. Teknologi pemantauan kapal ikan yang paling cocok dan akurat saat ini adalah teknologi VMS. Kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan dengan model VMS bertujuan antara lain : (1) mengurangi Illegal Fishing atau pencurian ikan baik oleh kapal lokal maupun asing, (2) memperkecil adanya pelanggaran penangkapan ikan dan pemalsuan dokumen, (3) memudahkan pengawasan dan perencanaan pengelolaan sumber daya ikan, (4) memberikan rasa aman bagi masyarakat nelayan, dan (5) menjaga kelestarian sumber daya ikan.

Efektivitas suatu kebijakan perlu diketahui bagi pengambil kebijakan untuk mengevaluasi dan menyempurnakan sebuah kebijakan agar dapat


(33)

memberikan dan meningkatkan dampak positif kepada masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan efektivitas menduduki posisi penting dalam evaluasi kebijakan. Pertanyaan yang selalu muncul terhadap implementasi sebuah kebijakan adalah apakah suatu kebijakan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik?. Dalam menganalisis efektivitas kebijakan penerapan VMS digunakan beberapa alat analisis seperti SWOT, Evaluasi Kebijakan, Analisis Dokumen dan analisis mendalam. Seluruh komponen yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan VMS dievaluasi dan dianalisis.

Hasil evaluasi dan analisis penerapan kebijakan VMS digunakan untuk merumuskan model penerapan strategi VMS yang dapat memberikan peningkatan dampak positif baik bagi pemerintah maupun pengusaha. Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process) digunakan untuk membantu merumuskan penerapan VMS ditinjau dari segi prioritas manfaat dan biaya, baik bagi pihak pemerintah dan pengusaha. Diasumsikan bahwa antara pemerintah dan pengusaha terdapat perbedaan persepsi terhadap penerapan kebijakan pemantauan kapal penangkap ikan, sehingga terdapat adanya perselisihan diantara keduannya, maka dalam merumuskan model penerapan startegi VMS yang sesuai bagi pemerintah dan pengusaha digunakan alat analisis ”Game Theory”. Kunci konsep dalam game theory ini adalah strategi. Game theory menggunakan terminologi ‘minimax’ untuk menunjukkan strategi rasional. Selain itu, game theory mencakup ide yang sangat kompleks dan sederhana. Game theory lebih sering diajukan sebagai suatu alat analisis oleh para ilmu sosial daripada sebagai suatu petunjuk praktis untuk membuat keputusan oleh para pembuat keputusan.

Untuk kasus perbedaan persepsi antara pemerintah dengan pengusaha dalam penerapan kebijakan VMS, seperti yang diasumsikan dalam studi ini, penggunaan game theory dimaksudkan untuk mencari model strategi penerapan VMS apa yang memberikan perolehan hasil yang memungkinkan untuk diterapkan saat ini dan memberikan manfaat baik bagi pemerintah maupun pengusaha.


(34)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Analisis Model Sistem VMS di Indonesia. Kondisi Perikanan Tangkap Nasional Kebijakan Pemantauan Kapal Penangkap Ikan Dengan Model VMS

Tujuan & Sasaran

Analisis & Evaluasi

Analisis SWOT, Evaluasi

Kebijakan dan Content Analysis. Analisis AHP

Merumuskan Model Srategi Penerapan

VMS

Model Penerapan VMS Yang sesuai Menurut Pemerintah

dan Pengusaha

• Kelestarian Sumber Daya Ikan

• Pengawasan Secara Optimal

• Rendahnya Pelanggaran, kesadaran meningkat

• Berkurangnya Kerugian Negara

• Peningkatan PNBP Menganalisis Efektivitas

kebijakan penerapan VMS terhadap kapal penangkap

ikan 100 GT ke atas

Merumuskan model penerapan VMS ditinjau dari

segi prioritas manfaat dan biaya bagi pihak Pemerintah

dan Pengusaha

• Mengurangi Illegal Fishing atau pencurian ikan baik oleh kapal lokal maupun asing.

• Memperkecil adanya pelanggaran penangkapan ikan dan pemalsuan dokumen.

• Memudahkan pengawasan dan perencanaan pengelolaan sumber daya ikan.

• Memberikan rasa aman bagi masyarakat nelayan.

• Menjaga kelestarian sumber daya ikan.


(35)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan”. Definisi kebijakan publik sangat bervariasi, sebagai awal dari pengertian konsep kebijakan publik adalah merupakan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan terutama dalam bentuk peraturan-peraturan.

Menurut James E. Anderson (Islamy, 1984:17) kebijakan adalah : A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of cancern (Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu). Kemudian J.K Friend (Wahab, 1989:22) kebijakan pada hakekatnya adalah : Pollicy is essentially a stance which, once articulated, contributes to the contex within which a succession of future decision will be made (Kebijakan paksa hakekatnya adalah suatu posisi yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan yang akan dibuat di masa mendatang).

Kebijakan publik dibuat dalam rangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang diinginkan. Menurut Santoso (1998 : 5): Kebijakan publik meliputi serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu dan juga petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah.

Kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan dinamis yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Dari sudut manajemen, proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok kegiatan utama, yaitu formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kinerja kebijakan.


(36)

Menurut Samodra dkk. (1994 : 15) kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yakni tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen ketiga, yang biasa disebut sebagai implementasi, merupakan komponen yang berfungsi mewujudkan komponen kesatu dan kedua, yaitu tujuan dan sasaran khusus.

Definisi implementasi kebijakan ditawarkan oleh beberapa ilmuwan. Pressman dan Wildavsky (dalam Jones, 1991 : 295) mengkonsepsikan implementasi sebagai berikut: implementasi mungkin dapat dipandang sebagai sebuah proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu untuk mencapainya. Implementasi program dengan demikian telah menjadi suatu jaringan yang tak tampak. Implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dan tujuan-tujuan.

Bertitik tolak dari definisi-definisi para ilmuwan dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses interaksi antara tindakan dan tujuan suatu kebijakan. Tindakan tersebut merupakan pengoperasian program dan dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dalam seluruh proses kebijaksanaan karena kebijakan publik yang telah dibuat dan disyahkan akan bermanfaat apabila diimplementasikan. Udodji (1981 : 32) menegaskan bahwa pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijaksanaan. Tanpa adanya implementasi, kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkan akan sekadar berupa impian atau rencana yang tersimpan rapi dalam arsip.

Edward III sebagaimana dikutip oleh Joko W. (2001 : 193) menegaskan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan studi yang sangat “crucial” pada proses kebijakan publik. Bersifat crucial karena bagaimanapun baiknya suatu kebijakan publik, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan bisa diwujudkan. Sebaliknya, bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan, kalau suatu kebijakan publik tidak dirumuskan dengan baik, maka apa yang menjadi tujuan kebijakan juga tidak akan


(37)

bisa diwujudkan. Dengan demikian, kalau menghendaki apa yang menjadi tujuan kebijakan publik dapat dicapai dengan baik, maka bukan saja pada tahap implementasi yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan publik juga diantisipasi untuk dapat diimplementasikan. Membicarakan implementasi kebijakan publik terdapat beberapa bentuk kebijakan. Mustopadidjaya dan Bintoro Tjokroamidjojo (1988) mengemukakan bahwa dilihat dari implementasi ada tiga bentuk kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh

pemerintah sendiri;

(2) Kebijakan tidak langsung, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya tidak dilakukan oleh pemerintah, jadi pemerintah hanya mengatur saja;

(3) Kebijakan campuran, yaitu kebijakan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dan swasta.

Implementasi kebijakan banyak mengandung masalah, dimana keberhasilan atau kegagalan implementasi dipengaruhi oleh beberapa variabel. Faktor atau variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan saling berinteraksi satu sama lain. Setiap faktor mempengaruhi secara langsung. Selain itu, terdapat pengaruh tidak langsung di antara variabel tersebut, yaitu melalui pengaruh satu dengan yang lainnya. Edward III (Joko. 2001 :195) mengajukan empat faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan, yaitu: faktor atau variable communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure. Pada bagian lain, untuk melihat kriteria keberhasilan implementasi, menurut Edwards A. Suchman dalam Nakamura (1980) dapat dilihat dari:

(1) Effort (usaha, termasuk didalamnya adalah kualitas dan kuantitas dari berbagai macam aktivitas yang dilakukan).

(2) Performance (hasil yang dicapai dari usaha-usaha yang dilakukan)

(3) Adecuency (tingkat keseluruhan yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan).

(4) Efficiency (evaluasi atas berbagai alternatif yang ada baik itu dari segi waktu, biaya, metode dan sebagainya).


(38)

(5) Proces (bagaimana dan mengapa program-program itu berhasil atau gagal dilaksanakan).

Berkaitan dengan pencapaian mutu kinerja suatu kebijakan, salah satu aspek yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi. Secara umum, evaluasi kebijakan dapat terjadi pada tahap formulasi kebijakan, pada proses pelaksanaanya maupun untuk keperluan evaluasi hasil yang dicapai. Dengan mengambil definisi yang dirangkum oleh Umar (2000) tentang evaluasi dan definisi yang dikemukakan oleh Jenkins (1978) tentang kebijakan publik, maka pada dasarnya evaluasi kebijakan publik merupakan kegiatan menyediakan informasi tentang sejauh mana pelaksanaan telah dicapai dari suatu keputusan yang saling terkait yang diambil oleh aktor publik atau sekelompok aktor publik yang berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta tata cara untuk mencapainya dalam batas kewenangan kekuasaan aktor tersebut, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan bila dibandingkan dengan harapan yang ingin diperoleh.

2.2 VMS Bagian Dari MCS

Mengacu kepada ketentuan “Code of Conduct For Responsible Fisheries” (FAO,1995), maka negara bertanggung-jawab untuk menyusun dan mengimplementasikan sistem Monitoring, Control, and Surveillance (MCS) terhadap pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Juga dikuatkan oleh Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No.5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia dan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan perlu menyusun rumusan rencana induk pengembangan sistem pemantauan, pengendalian dan pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang efektif.

Pengertian Monitoring, Control, and Surveillance (MCS) didefinisikan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) sebagai berikut : Monitoring adalah kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk menilai tingkat pemanfaatan dan kelimpahan sumberdaya ikan, mencakup antara lain kapal penangkapan ikan, operasi, hasil tangkapan, upaya penangkapan, pengangkutan,


(39)

pengolahan dan pengepakan hasil. Control didefinisikan sebagai mekanisme pengaturan yang antara lain mencakup penyusunan/pemberlakuan peraturan perundang undangan, perizinan, pembatasan alat tangkap, zonasi penangkapan. Sementara itu, Surveillance didefinisikan sebagai kegiatan operasional dalam rangka menjamin ditaatinya peraturan yang telah ditetapkan dalam pengendalian.

Pengawasan penangkapan ikan merupakan salah satu kegiatan pokok dalam pengelolaan sumber daya ikan (SDI). Untuk menjamin pengawasan secara maksimal dan efektif terhadap sumber daya ikan diperlukan sistem pemantauan terhadap kapal-kapal ikan yang beroperasi.

Ada beberapa alternatif sistem pemantauan kapal yang dapat menunjang penerapan sistem MCS secara lebih luas. Smith (1999) meneliti tingkat efektivitas berbagai sistem pemantauan terhadap beberapa obyek pemantauan MCS.

Tabel 1 Efektivitas Berbagai Jenis Sistem Monitoring Kapal Effectiveness of Monitoring of

Type of MCS Description of Monitoring No of Vessels Inspected Posi-tion Fishing Gear Catch Quotas Days at Sea Amount of Time Observed Effectiveness of Detection of Unlicensed Vessels Coverage at Sea Cost (US$) Power of Arrest

By Vessel Identification by sight and boarding for Inspection

12/day High High Medium Low Low High 300 sq. miles per hr $500 - $140,000 per day Yes

By Air Limited to daylight and identification

60/day High Low None None Low High 3000 sq.

miles per hr $400 - $3000 per hr No Shore-Based Inspection of catch and fishing gear. Coastal Surveillance

15/day None High High High Medium Low None $150 per day Yes Observers on Vessels Continual observation of activities

1 High High High High High Medium High $200 per

day No Vessel Moni-toring System Periodic Monitoring of Vessels Position

All Vessels

Fitted

High None None High High None Complete

for Vessels Fitted $100,000 +$8,000 /vessel No

Sumber : Smith (1999)

Tabel 1 menggambarkan bahwa sistem yang bisa memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah Vessel Monitoring System.


(40)

Melihat luasnya wilayah laut, panjang pantai dan ribuan pulau yang tersebar di seluruh Indonesia, maka diperlukan sistem VMS sebagai suatu sistem pemantauan kegiatan kapal-kapal perikanan yang beroperasi di kawasan perairan di bawah kewenangan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa VMS merupakan salah satu elemen penting dalam mengimplementasikan aspek monitoring (pemantauan), pada lingkup MCS disamping sistem pemantauan lainnya seperti penggunaan kapal inspeksi, observasi langsung, dan lain lain. Dalam FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries (1988) dinyatakan bahwa VMS merupakan salah satu alat pemantauan dalam sistem MCS, yang dapat berperan lebih efektif dibanding sistem lain yang konvensional.

Posisi MCS dalam manajemen perikanan secara keseluruhan dapat dilihat dan dipahami melalui Gambar 3 tentang Sistem Manajemen Perikanan dimana Flewwelling (2003) secara rinci menguraikan sistem manajemen perikanan yang seharusnya dirumuskan dan dilakukan secara terpadu.

Kedudukan dan fungsi MCS dalam sistem tersebut sangat menentukan peran sub sistem lain dalam manajemen perikanan. Untuk mencegah timbulnya inefisiensi pemanfaatan sumber daya ikan misalnya diperlukan masukan data dan informasi yang akurat agar dapat dirumuskan sejumlah opsi alternatif kebijaksanaan pengelolaan perikanan. Sumber data dan informasi yang dibutuhkan tersebut berasal dari hasil kegiatan MCS (Monitoring, Control, and Surveillance).

Keberadaan MCS diharapkan menjadi pemecahan masalah-masalah managerial pengelolaan sumber daya kelautan bidang perikanan yang akan berdampak positif terhadap pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha.


(41)

Sumber : Flewwelling (2003)

Gambar 3 Sistem Manajemen Perikanan.

Secara ideal MCS merupakan alat pengawasan yang menghasilkan sumber data dan informasi bagi perumusan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Penulis

Gambar 4 Posisi MCS Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Melalui Gambar 4, diketahui bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan merupakan titik awal perlu dilakukannya kegiatan pengawasan dengan metode MCS, data dan informasi merupakan keluaran dari penerapan MCS, selanjutnya data dan informasi tersebut menjadi sumber bagi perumusan kebijakan dalam pemanfaatan sumber perikanan, sehingga sejumlah opsi alternatif kebijakan yang dibuat baik oleh pemerintah dapat bermanfaat baik bagi masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah sendiri.


(42)

2.3 Definisi VMS

Vessel Monitoring System adalah suatu sistem pemantauan kapal yang bertujuan untuk mempermudah inspeksi kapal-kapal laut dengan cara mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal, aktifitas kapal, jenis dan jumlah hasil tangkapan serta informasi lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan diwajibkannya pemasangan transmitter untuk setiap kapal yang memiliki izin penangkapan ikan. Monitoring dilakukan melalui jaringan komunikasi antara Pusat Pengendalian dan Daerah (Regional) yang didukung oleh sistem informasi.

Menurut FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries (Rome, 1988), VMS merupakan alat monitoring dengan kemampuan pengamatan lokasi yang akurat terhadap kapal-kapal perikanan yang ikut dalam VMS. VMS menginformasikan posisi kapal dan jarak tempuh kapal secara periodik. Informasi posisi dapat disajikan oleh VMS secara “real time” (kurang dari tiga puluh menit) dimanapun kapal berada di seluruh dunia.

Kumpulan dokumen yang diterbitkan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan RI dengan judul “Pengembangan Sistem Monitoring, Control dan Surveillance (MCS) Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan (2001)”, menunjukkan definis VMS sebagai salah satu piranti yang menggunakan jasa satelit untuk memantau (monitoring) pergerakan (tracking) sarana bergerak. Penggunaan VMS merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah beroperasinya kapal penangkap ikan yang tidak dilengkapi dengan izin (unlicensed fishing) atau penggunaan izin yang tidak sah (illegal fishing).

VMS memberikan output berupa informasi, mengenai posisi kapal perikanan dalam waktu dan hari tertentu. VMS juga membantu pemilik kapal untuk mengetahui dimana kapal berada, karena mereka dapat mengakses laporan posisi setiap dibutuhkan, dan dapat juga diketahui kecepatan dari kapal tersebut (Verborgh, 2000).

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 menyebutkan, program pembangunan nasional di bidang ekonomi, program pengembangan kelautan (Program 7.1) salah satunya adalah bertujuan untuk meningkatkan


(43)

pengamanan dan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk sumberdaya perikanan. Secara khusus, program pembangunan nasional bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup, program penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup mengamanatkan pelaksanaan kegiatan pengembangan sistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut melalui metode monitoring, controlling, and surveillance (MCS) dengan salah satu komponennya adalah Sistem Pemantauan Kapal atau umum disebut Vessel Monitoring System (VMS).

Seiring berkembangnya sistem satelit, maka posisi kapal dapat dengan mudah dipantau. Posisi kapal dapat dipantau dengan menggunakan jasa satelit navigasi (Global Positioning System/GPS) ataupun satelit lain yang berfungsi untuk menentukan lokasi dengan menempatkan penerima sinyal di kapal. Data posisi kapal ini kemudian dikirim ke pelabuhan yang ditentukan ataupun ke pusat pengendali di darat.

Pengiriman data dapat dilakukan melalui gelombang radio ke lokasi di darat ataupun dengan penggunaan satelit komunikasi. Di antara satelit navigasi ini adalah satelit NAVSTAR-GPS (Navigation System with Time and Ranging) yang dioperasikan oleh DOD (US Department of Defense), khususnya Angkatan Udara Amerika, serta satelit Glonass yang dioperasikan oleh Rusia.

Penggunaan satelit komunikasi dibantu dengan peralatan ALC (Automatic Location Communicator) atau selanjutnya disebut transmitter, posisi kapal, arah, kecepatan kapal dapat dipantau dari pusat monitoring. Tidak hanya posisi, kecepatan dan arah, aktivitas kapal pun dapat diprediksi. Oleh sebab itu pemantauan kapal dengan menggunakan satelit adalah merupakan hal paling sempurna pada saat ini dibandingkan dengan sistem lain yang tersedia.


(44)

Gambar 5 Vessel Monitoring System.

Gambar 5 adalah contoh konfigurasi sistem pemantauan kapal perikanan dengan menggunakan satelit dimana pada kapal ikan ditempatkan peralatan transmitter yang terdiri dari komponen penerima sinyal dari satelit navigasi salah satu di antaranya adalah GPS dan komponen pengirim data ke satelit komunikasi.

Posisi kapal setiap saat diterima dari satelit GPS oleh transmitter dan dikirimkan secara otomatis ke satelit komunikasi. Selanjutnya, satelit komunikasi mengirimkan data ke stasiun bumi (Land Earth Station). Besarnya data yang dikirim tergantung dari kemampuan satelit komunikasi yang digunakan dan permintaan dari pemakai jasa. Data dikelola oleh stasiun pusat dan dikirim kepada pengguna melalui jaringan telekomunikasi di darat. Untuk daerah yang tidak memiliki jaringan telepon, data dapat juga diterima melalui satelit komunikasi langsung.

Berdasarkan berbagai definisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa VMS (Vessel Monitoring System) adalah suatu sistem pemantauan kegiatan usaha penangkapan ikan (kapal-kapal perikanan) dengan memanfaatkan teknologi Automatic Location Communicator (ALC) untuk memantau keberadaan kapal-kapal terkait setiap saat. Sehingga tujuan dari kegiatan VMS adalah untuk mempermudah inspeksi kapal perikanan dengan cara


(45)

mengidentifikasi kapal, memonitor posisi kapal, aktifitas kapal, jenis dan jumlah hasil tangkapan serta informasi lainnya.

2.4 Dasar Hukum Penerapan VMS

Mengacu pada ketentuan “Code of Conduct for Responsible Fisheries” (FAO, 1995), maka negara bertanggungjawab untuk menyusun dan mengimplementasikan sistem Monitoring, Control dan Surveillance (MCS) terhadap pengelolaan penangkapan ikan.

Dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 (United Nations Convention Law of the Sea) disebutkan juga bahwa pengelolaan sumberdaya ikan mempunyai tiga tujuan pokok:

1) Pemanfaatan sumberdaya ikan secara rasional. 2) Pelestarian sumberdaya ikan.

3) Keserasian usaha pemanfaatan.

Sehingga setiap negara diwajibkan melakukan pengelolaan sumberdaya ikan secara lestari dan bertanggungjawab. Apabila dilihat pada beberapa konvensi hukum laut internasional lainnya maka terdapat beberapa ketentuan yang juga mempengaruhi pengelolaan perikanan, salah satunya adalah Konvensi Hukum Laut Internasional yang diratifikasi pada tahun 1993 dan dipakai kembali mulai November 1994. Berdasarkan konvensi hukum laut tersebut telah disepakati adanya pengelolaan perikanan, perancangan dan implementasi strategi MCS.

Aplikasi MCS untuk pengawasan perikanan di wilayah laut Indonesia dengan hukum, dapat didasarkan pada tiga undang-undang, yaitu : UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, UU No. 5/1983 tentang ZEE Indonesia, dan UU No. 9/1995 tentang Perikanan. Undang-Undang No. 4/PRP/1960 telah mengubah status laut bebas yang terletak di antara pulau-pulau menjadi perairan nusantara dan menetapkan laut teritorial selebar 12 mil laut, yang diukur dari garis pangkal lurus kepulauan. Indonesia memiliki dan melaksanakan hak berdaulat atas kedua wilayah laut ini berikut sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya, termasuk sumberdaya ikan.


(46)

Disamping itu, menurut UU No.5/1983 tentang ZEEI, Indonesia memiliki dan melaksanakan hak berdaulat dengan tujuan untuk eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati (Pasal 4 ayat 1). Dalam melaksanakan kegiatan di ZEE Indonesia, pemerintah wajib mengambil langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut yang dapat merusak kelestarian sumber daya ikan (Pasal 8).

Dasar hukum yang paling berhubungan dengan pelaksanaan VMS di Indonesia, antara lain adalah :

(1) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.60/MEN/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia disebutkan bahwa kapal perikanan yang diperoleh dengan cara usaha patungan, beli angsur atau lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan system pemantauan kapal Vessel Monitoring System (VMS). (2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/MEN/2003

tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Bab XI pasal 65 yang menetapkan bahwa setiap kapal perikanan wajib memasang transmitter untuk pemasangan sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System). (3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No : 29/MEN/2003 tentang

penyelenggaraan Sistem Pementauan Kapal Perikanan, yang ditandatangani dan disahkan pada bulan Agustus 2003, merupakan peraturan yang paling berkaitan langsung dengan pelaksanaan VMS di Indonesia. Keberadaan Kepmen ini belum seutuhnya mampu mendorong pelaksanaan VMS di Indonesia.

(4) Dasar hukum yang sangat kuat mendukung pelaksanaan pengawasan perikanan adalah Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dimana pada Bab XII pasal 68 diamanatkan bahwa Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan, konsekuensi dari amanat undang undang ini adalah pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap seluruh aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Dan pemerintah harus segera merumuskan kebijakan kebijakan yang mendukung pelaksanaan pengawasan perikanan di Indonesia.


(1)

Lampiran 7. Estimasi Perhitungan Kerugian Negara yang dapat Diselamatkan dengan Teknologi VMS.

Pendahuluan

Kebijakan penerapan VMS bertujuan agar pelanggaran penangkapan ikan dapat dicegah dan kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga. Diasumsikan penerapan kebijakan VMS di Indonesia sudah berjalan efektif dan kemampuan teknologi VMS sudah berfungsi secara optimal dengan didukung : (1) Kemampuan kapal patroli yang memenuhi kebutuhan pengawasan sampai ke ZEE, (2) Kebutuhan tenaga pengawas telah terpenuhi, (3) Kelembagaan pengawasan telah tersedia di setiap pelabuhan pangkalan lengkap dengan sistem pengawasan (software) dan perangkat kerasnya yang dapat diintegrasikan ke Pusdal DKP, (4) Kelengkapan peralatan yang dibutuhkan aparat pengawasa telah tersedia, dan (5) Didukung sistem radar yang mampu mendeteksi kapal ilegal yang melakukan penangkapan ikan di wilayah penangkapan tertentu.yang maksimal.

Perhitungan Estimasi Kerugian Negara

Dengan asumsi seperti di atas, maka kebijakan penerapan VMS dapat menghasilkan penyelamatan uang negara akibat praktik pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan selama ini. Estimasi jumlah kerugian negara yang dapat diselamatkan dihitung melalui beberapa sumber sebagai berikut: 1. Sumber Kapal Penangkap Ikan Resmi (memiliki izin)

(1) Kapal Lokal

a. Kerugian dari Transhipment (data dari pelabuhan pangkalan dan VMS) Jumlah kapal lokal sampai dengan Pebruari 2006 adalah 6.141 kapal, diasumsikan 10% melakukan transhipment dan rata-rata ukuran GTnya adalah 150GT, dan hasil tangkapan rata-rata 2 ton per tahun, harga ikan ekspor rata-rata Rp. 40.000 per kg, maka kerugian Negara adalah:

10% x 6.141 kapal x 2.000 kg x Rp. 40.000 x 150 = Rp. 7,369 Trilyun b. Kerugian dari masa berlaku izin habis tapi tetap beroperasi, kerugian


(2)

264 10% x 6.141 kapal x 150 GT (rata-rata GT) x Rp. 200.000 (rata-rata tarif/GT/tahun) = Rp. 18,423 Milyar

(2) Kapal Asing

a. Kerugian dari Transhipment (data dari pelabuhan pangkalan dan VMS) 10% x 774 Kapal x 2000 kg (rata-rata hasil tangkapan/tahun) x harga ekspor Rp.50.000 x 211(rata-rata GT) = Rp. 1,633 Trilyun

b. Kerugian dari masa berlaku izin habis tapi tetap beroperasi

10% x 774 kapal x 211GT (rata-rata GT) x US $ 200 (rata-rata tarif/GT kapal) = Rp. 31,029 Milyar

c. Kerugian dari pelanggaran wilayah penangkapan

Menurut data dari buku laporan tahunan P2SDKP, bahwa 19% dari jumlah kapal lokal dan asing melakukan pelanggaran wilayah tangkapan, dan kerugian dari 1 kapal yang melanggar per tahun dinilai sebesar $ 0,45 Juta atau Rp. 3,9 Milyar. Berarti kerugian negara dari pelanggaran wilayah diestimasi sebesar : Rp. 19% x 6.915 (jumlah kapal lokal dan asing) x Rp. 3,9 Milyar = Rp. 5,202 Trilyun

2. Sumber Kapal Ilegal (tidak memiliki izin)

(1) Kapal Lokal ilegal (data dari radar dan laporan operasi lapangan). Nilai kerugian yang dapat diselamatkan dapat dihitung dari beberapa komponen: a. Nilai hasil tangkapan

Dari informasi yang dikumpulkan diketahui bahwa antara 20 sampai 40% kapal (asing maupun lokal) yang diperiksa adalah ilegal. Diasumsikan jumlah kapal lokal yang diperiksa adalah 6000 kapal, berati 20% dari 6000 atau sekitar 1200 kapal lokal diindikasikan ilegal, maka kerugian dari hasil tangkapan adalah:

1200 x 2000 kg x 40.000 x 150 GT = Rp. 14,400 Trilyun b. PNBP (PHP dan PPP)

PPP : 1200 x 150 x Rp. 30.000 (rata-rata tarif/gt) = Rp. 5,4 Milyar PHP : 1200 x 150 (rata-rata GT) x 2000 (Produktivitas) x Rp. 7.500 (HPI) x 2,5% = Rp. 270 Milyar


(3)

c. Nilai tambat di pelabuhan d. Nilai kebutuhan es

Kebutuhan es per tahun untuk kapal rata-rata 150 GT adalah 150 ton, harga per tonnya adalah Rp. 300.000, jadi kerugiannya adalah : 1200 x 150 x 300.000 = Rp. 54 Milyar

e. Kebutuhan air tawar : Kebutuhan air tawar untuk kapal rata-rata 150 GT adalah 50 Ton, harga per ton adalah Rp. 10.000, jadi kerugian adalah : 1200 x Rp. 50 x 10.000 =Rp. 600 Juta

f. Harga kapal sitaan

Harga kapal rata-rata 150 GT adalah Rp. 3 Milyar, sehingga kerugian dari 1200 kapal adalah : 1200 x Rp. 3 Milyar = Rp. 3,6 Trilyun

(2) Kapal Asing ilegal

Dari sumber Kompas 28 Mei 2005, diketahui bahwa di Laut Arafura terdapat sekitar 500 kapal dengan rata-rata GT antara 70 sampai 100GT dan di Laut China Selatan terdapat 250 – 350 kapal. Tapi data asumsi tetap menggunakan data PSDKP, dimana 20 sampai 40 % a kapal asing adalah ilegal.

Nilai kerugian yang dapat diselamatkan dapat dihitung dari beberapa komponen :

a. Nilai hasil tangkapan

20% dari 774 (jumlah kapal) x 2000 kg (rata-rata produktivitas) x 211 (rata-rata GT) x Rp. 40.000 (harga ekspor) = Rp. 2,613 Trilyun

b. Nilai pajak (tarif pungutan)

20% x 774 x 211 x $ 200 (rata-rata tarif) = Rp. 62,069 Milyar c. Nilai tambat di pelabuhan

d. Nilai kebutuhan air tawar dan es di pelabuhan ( Rp 20 Milyar ) e. Nilai iuran ABK

Jumlah rata-rata ABK kapal ukuran 211 GT adalah 30 orang, dan tarif per orang adalah Rp.9.300.000/tahun, sehingga kerugian negara adalah = 20% x 774 x 30 x Rp.9.300.000 = Rp. 43,189 Milyar


(4)

266 f. Harga kapal sitaan

Harga kapal sitaan ukuran rata rata 211 GT adalah Rp. 5 Milyar, berarti kerugian sebanyak : 20% x 774 x Rp. 5 Milyar = Rp. 774 Milyar

Total kerugian Negara yang dapat diselamatkan dari adanya kebijakan dan penerapan VMS adalah : Rp.

36,101,911,180,000.00

(tiga puluh enam trilyun seratus satu milyar sembilan ratus sebelas juta seratus delapan puluh ribu rupiah).


(5)

BAMBANG DWI HARTONO, Analisis Model Vessel Monitoring System

(VMS) Dalam Pengawasan Kapal Penangkap Ikan Di Indonesia. Dibimbing oleh:

DANIEL R. MONINTJA, JOHN HALUAN, dan VICTOR PH. NIKIJULUW

Sumber daya perikanan dinilai bersifat “mampu pulih” (renewable), namun keberadaannya bukan tidak terbatas. Agar sumber daya ikan tetap lestari maka upaya penangkapan harus dijaga melalui pengawasan. Sistem yang dapat memantau seluruh kapal sekaligus dengan kemampuan wilayah pemantauan tidak terbatas adalah VMS . Sebagai Negara anggota FAO yang memiliki sumberdaya ikan cukup besar maka selayaknya Indonesia bertanggung jawab melakukan pengawasan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kebijakan pemerintah dalam penerapan sistem pengawasan kapal ikan dengan menggunakan model VMS, merumuskan strategi penerapan model VMS yang cocok bagi pemerinah dan pengusaha ditinjau dari aspek manfaat dan biaya, dilakukan dengan metode analisis SWOT dan AHP (Analytical Hierarchy Process) serta Game Theory kepada lima pakar dan praktisi kelautan - perikanan. Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS dapat disimpulkan bahwa Penerapan VMS di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif, terutama berkaitan dengan: (1) Kemampuan teknologi VMS belum optimal, (2) Infrastruktur penunjang dan SDM belum lengkap, (3) Adanya penolakan dari pengusaha. Masih terdapat perbedaan persepsi antara pengusaha dan Pemerintah ( DKP) terhadap kebijakan penerapan VMS. Target 1500 kapal yang ikut VMS tidak tercapai, dan dari 1323 yang ikut VMS hanya 39,9% atau sebanyak 528 kapal saja yang dapat di monitor. Prioritas terhadap kapal dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang juga belum optimal. Pengusaha berpendapat kebijakan penerapan VMS tidak bermanfaat dan justru merugikan. Setelah dilakukan analisis AHP, ternyata terdapat pilihan prioritas model strategi yang berbeda bagi pengusaha dan pemerintah. Prioritas model strategi yang paling sesuai bagi pengusaha dari segi manfaat dan biaya adalah model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS, dengan nilai skor paling tinggi dibanding dua strategi lainnya (3,9636), dan strategi yang paling sesuai bagi Pemerintah adalah model Strategi Penegakan Hukum dan Kemampuan Pengawasan. (skor 0,5663). Hasil analisis ”Game Theory” menunjukkan bahwa Model Strategi Sistem Pembebanan Biaya VMS memberikan hasil yang maksimal bagi pemerintah dan pengeluaran biaya yang minimal bagi pengusaha. Dibanding dengan negara Peru, maka pungutan biaya usaha perikanan di Indonesia termasuk mahal. Di Peru untuk seluruh biaya (Izin, Alat VMS, Airtime, dan pemeliharaan) adalah sebesar $200, karena itu pilihan model strategi sistem pembebanan Biaya VMS yang dapat meringankan pengusaha perlu dipertimbangankan.

Kata Kunci: Vessel Monitoring Systems (VMS), Manfaat dan Biaya VMS, Efektivitas dan Model Strategi Penerapan


(6)

ABSTRACT

BAMBANG DWI HARTONO. Analysis of Vessel Monitoring System (VMS) Model For Monitoring of Fishing Vessels in Indonesia. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, JOHN HALUAN, and VICTOR P.H NIKIJULUW.

Fishery resources are deemed renewable, however, they do not mean that their existing is unlimited. To maintain these fishery resources in order to be continuously sustainable, fishing must be tightly controlled through monitoring. System that can monitor all over the vessel and equipped with unlimited monitoring capability is VMS (Vessel Monitoring System). Being a member of FAO containing huge fishery resources, Indonesia should be responsible of conducting monitoring. The aim of this research are to analyse the effectiveness of government policy implementation on application of system that monitors vessels by using VMS model as well as to formulate strategy to apply VMS model which appropriates for both government and fishing catcher company in terms of benefit and cost. The analysis methods used are quantitative and qualitative descriptive, SWOT, AHP (Analytical Hierarchy Process) which involved five practitioners and experts in marine-fishery field, and Game theory analyses. Through some evaluation indicators used to evaluate and analyse the effectiveness of policy implementation on VMS application, it is indicated that the application of VMS in Indonesia was not successful or effective especially those are relating to: (1) VMS technology capability is not yet optimum, (2) Supporting infrastructure and human resources are not comprehensive, (3) there is refusal action from fishing catcher company. Some different perceptions remain exist between business owners and government (DKP) regarding to the policy implementation on VMS application. It was proved that target to involve 1500 vessels in VMS application could not be reached. From 1323 vessels that joined with VMS, it’s only 34,9% or 528 vessels that can be monitored. Effort to give priority for vessels equipped with fish and prawn fishery was not optimal as well. fishing catcher company were of the opinion that the implementation of policy on VMS application was not beneficial and precisely incurred loss. After carrying out AHP analyses, it was found that there were different choices of strategic model priority for both government and business owner. The most appropriate strategic model priority for fishing catcher company from the perspective of benefit and cost is strategic model of VMS cost-charged system, with the highest score compared to two other strategic models (3,9636) while for government is strategic model of law enforcement and monitoring capability (with the highest score 0,5663). Outcome from Game Theory analysis indicated that strategic model of VMS cost-charged system has brought about maximum result for the government and only took minimum expenses from fishing catcher company. Fishery tax in Indonesia is expensive compared to that in Peru that takes 200 USD for the entire fee including permit, VMS instrument, airtime and maintenance. Therefore the choice of strategic model of VMS cost-charged system that can lighten fishermen burden, is a need to be reckoned with.