Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS
130 VMS akan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria evaluasi kebijakan tersebut,
dan hasil analisis disajikan dalam Tabel 24.
Tabel 24 Analisis Efektivitas Kebijakan Penerapan VMS
No Kriteria
Ukuran Keberhasilan
1 Efektivitas
Apakah hasil yang diinginkan tercapai?
1. Target 1.500 kapal untuk dipasang transmitter
tidak tercapai, tercapai 1323 kapal
2. Dari 1.323 kapal yang berfungsi hanya 528 39,9
3. Target yang aktif ikut VMS tidak sesuai
rencana skenario
yang mengutamakan kapal pukat ikan dan
udang 2
Efisiensi Seberapa besar usaha
telah dilakukan? 1. Dari segi biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah melalui DKP sudah cukup besar baik dari APBN
maupun softloan 2. Dan dari segi waktu, kegiatan VMS
telah dimulai sejak tahun 2003. 3. Hasil yang dicapai belum sesuai
dengan yang diharapkan. 3
Kecukupan Seberapa jauh dapat
memecahkan masalah? 1. Teknologi VMS sudah mampu
memantau adanya
indikasi pelanggaran izin dan penangkapan
namun belum secara online , sehingga butuh waktu yang lama
melakukan analisis
2. Masalah pelanggaran terhadap izin, alat
tangkap dan
wilayah penangkapan tetap terjadi.
4 Perataan
Apakah Penerapan dan pemasangan alat VMS
merata? 1. Penerapan VMS belum merata
keseluruh kapal perikanan, karena keterbataan transmitter dan biaya
2. Pemasangan alat transmitter tidak memenuhi target prioritas jenis
kapal dan alat tangkap yang telah ditetapkan
5 Responsivitas
Apakah target sasaran menerima dan puas?
1. Sebagian besar pengusaha masih belum dapat menerima penerapan
VMS dengan berbagai alasan 2. Pengusaha takut dikenakan beban
biaya 3. Pengusaha tidak merasakan manfaat,
dan merasa dirugikan
bersambung…………….
131
sambungan………
No Kriteria
Ukuran Keberhasilan
6 Ketepatan
Apakah hasil yang diinginkan berguna?
1. Bagi pemerintah, kebijakan ini sangat berguna karena sangat
mendukung tugas pengawasan dan penegakkan hukum di bidang
perikanan, namun sampai saat ini kemampuan teknologi VMS yang
ada masih terbatas, perlu dukungan komponen lain dalam pengawasan
sumberdaya ikan seperti sistem perizinan, sistem log Book, LLO,
kapal patroli dan penegakka hukum.
2. Bagi pengusaha, ada yang merasakan berguna karena dapat
ikut memantau armada kapalnya, dan banyak yang merasa dirugikan
Sumber : Hasil Analisis
Melalui beberapa indikator evaluasi terhadap kebijakan penerapan VMS seperti pada Tabel 24 dapat disimpulkan bahwa dari seluruh indikator yang
digunakan untuk melakukan evaluasi dan menganalisis efektivitas kebijakan penerapan VMS, semuanya menunjukkan gambaran bahwa penerapan VMS di
Indonesia belum dapat dikatakan berhasil atau belum efektif. Hal ini terbukti dengan banyaknya rencana yang tidak tercapai, banyak persoalan-persoalan,
keterbatasan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga pengelola VMS dalam mengimplementasikan kebijakan VMS, yaitu antara lain :
1 Salah satu ukuran keberhasilan penerapan kebijakan teknologi VMS di Indonesia adalah terpenuhinya target sebanyak 1.500 kapal ikan yang ikut
program VMS pada tahun 2004. Ternyata hasilnya agak jauh dari harapan, karena pada akhir tahun 2004 baru terdapat 987 kapal ikan lokal dan asing
yang ikut program VMS, dan dari jumlah itu hanya sekitar 549 atau sekitar 55,6 yang aktif berfungsi dan dapat dipantau. Kemajuan di tahun 2005
juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dimana sampai sekarang per Juni 2005 seluruh kapal yang terlibat dalam program VMS baru berjumlah
1.289 kapal kapal lokal sebanyak 714 dan kapal asing 575 kapal. 714 kapal lokal tersebut yang berfungsi alat VMS-nya hanya 41,0 atau sekitar
293 kapal ikan, sedangkan untuk kapal asing yang berfungsi alat VMS-nya hanya sekitar 48,7 atau sekitar 280 kapal ikan asing.
132 2 Jika dilihat dari target atau sasaran program VMS yang mengutamakan jenis
kapal ikan dengan alat tangkap Pukat Ikan dan Pukat Udang, maka dari sekitar 465 kapal ikan yang terdaftar dan jenis alat tangkapnya pukat ikan
baru sekitar 68 kapal ikan saja yang ikut VMS dan dari sekitat 302 kapal Pukat Udang yang ikut program VMS hanya 109 kapal saja.
3 Segi kelembagaan, lembaga pengelola VMS PMO VMS dinilai tidak dapat menjalankan fungsinya dengan optimal. Hal ini disebabkan karena lembaga
PMO VMS yang berada di bawah Dirjen PSDKP tidak mampu mengintegrasikan kepentingan masing-masing lembaga terkait, baik internal
DKP maupun eksternal dalam pelaksanaan VMS. Dari sisi organisasi Pusdal Pusat Pengendalian VMS, keterlibatan Dit. PSDI dalam analisis data VMS
juga belum ada. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter, dan pelanggaran wilayah.
4 Disamping itu personil yang menjabat dan duduk sebagai anggota PMO masih dibebani tugas fungsional sehari-hari dan pimpinan PMO VMS yang
berada di Eselon III mengalami kesulitan mengundang pejabat-pejabat Eselon II dan Eselon I dalam rapat koordinasi untuk pengambilan
keputusan. Kondisi ini mengakibatkan mekanisme kerjasama antar unit terkait tidak berfungsi, sehingga tindak lanjut informasi yang dihasilkan
oleh Pusdal sulit dilaksanakan. 5 Segi kemampuan monitoring, pusat pengendalian Pusdal VMS di DKP
sudah mampu mendeteksi secara otomatis kapal-kapal yang mematikan transmitter
Tx tetapi belum mampu secara online melarang kapal-kapal yang mematikan Tx untuk keluar dari pelabuhan. Terhadap kapal-kapal
yang melakukan pelanggaran jalur penangkapan DKP juga belum mampu secara langsung mengetahui nomor izin kapal yang bersangkutan untuk
dilakukan penindakan secara tegas. Pusdal VMS belum mampu mendeteksi secara langsung dan rinci identitas kapal ikan yang terindikasi melakukan
pelanggaran. Sehingga informasi yang dihasilkan Pusdal baru sebatas pelanggaran transmitter. Pusdal VMS DKP hanya mampu mengidentifikasi
kapal-kapal yang melanggar wilayah melalui gerak kapal atau jalur lintasan penangkapan ikan tracking dan ID transmitter-nya, untuk mengetahui data
133 kapal penting lainnya seperti nama jenis alat tangkap, asal perusahaan,
nomor izin dan wilayah tangkap, perlu dilakukan integrasi data dengan program lain, sehingga membutuhkan waktu yang agak lama.
6 Kemampuan analisis indikasi pelanggaran wilayah operasi penangkapan belum ada sehingga harus ditingkatkan dengan cara menyempurnakan
software sistem pemantauan yang memiliki peta zonasi di 9 daerah
penangkapan. Standarisasi wilayah perizinan dibuat dengan koordinat yang jelas. Sehingga jika terjadi pelanggaran wilayah penangkapan keluar dari
koordinat yang telah ditetapkan dalam izin oleh kapal penangkap ikan maka secara otomatis sistem mengeluarkan peringatan sebagai tanda adanya
pelanggaran wilayah penangkapan. Fungsi pengawasan yang dilakukan Puskodal dapat lebih efektif jika zonasi penangkapan diterapkan secara
konsisten dan terintegrasi anatara sistem perizinan dengan VMS. 7 Sisi penegakan hukum terhadap kapal-kapal ikan yang melakukan
pelanggaran masih dinilai belum dilakukan secara tegas, karena masih banyak kapal yang melanggar peraturan karena sengaja tidak memasang
transmitter tapi tetap tidak dikenakan sanksi.
Sebagai perbandingan, dapat dilihat efektivitas penerapan VMS di beberapa negara lain, khususnya di beberapa negara berkembang berikut ini
Smith, 1999. Penerapan VMS di Afrika telah menghasilkan keuntungan pendapatan yang diperoleh dari pemberian izin terhadap kapal asing, denda yang
diterapkan terhadap pelanggaran, sehingga dapat membiayai operasional VMS. Kegiatan VMS dipusatkan pada proyek yang disebut “MCS of Industrial Fishing”
dan lembaga donornya adalah Grand Duchy of Luxembourg dan lembaga atau
agen pelaksananya adalah FAO dan Lux-Development. Negara-negara lain yang
ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain: Cape Verde, The Gambia, Guinea, Guine-Bissau, Mauntania, Senegal and Sierra Leone. Negara-negara
tersebut tergabung dalam “Sub Regional Fisheries Commission CRSP”. Pelaksanaan VMS di Namibia diterapkan dengan cara yang sangat keras
berdasarkan monitoring terhadap semua pendaratan ikan, selain itu mereka menempatkan pengamat observers pada kapal-kapal utama dan menyebarkan
134 kapal-kapal patroli ikan serta pesawat bersayap dan helikopter untuk melakukan
pengamatan lapangan. Efektivitas kegiatan dapat dilihat dari adanya penangkapan kapal ikan yang melanggar dan tindakan hukum dilakukan oleh pengadilan
Namibia. Pelaksanaan VMS di Peru juga dapat dijadikan sebagai perbandingan, di
negara tersebut penyelenggaraan VMS telah dimulai pada tahun 1992 dan sebagai pilot project pertama adalah untuk kapal ikan asing. Tahun 1998 Peru memilih
Argos-CLS sebagai provider VMS untuk kapal perikanan nasional dan pada phase
pertama dipasang VMS terhadap 200 kapal, selanjutnya pada phase II, III, IV, dan ke V masing masing sebanyak 200, 200, 180 dan 160. Jumlah keseluruhan
kapal yang telah dipasang VMS sampai dengan Agustus 2004 sebanyak 940 kapal. Artinya Peru membutuhkan waktu selama 6 tahun untuk melaksanakan
kebijakan VMS, dimulai pada tahun 1992 dan baru tahun 1998 phase pertama kebijakan VMS benar benar diterapkan dan efektifitas pelaksanaan VMS di
negara tersebut baru bisa dirasakan setelah 6 tahun berjalan. Kapal ikan yang dipasang transmitter adalah kapal skala industri ukuran
15 m atau 20 GT keatas. Kegiatan kapal ikan hanya di atas 5 mil, dan perairan 5 mil dari pantai hanya diperuntukkan bagi kapal ikan tradisional artisanal
fisheries . Jenis dan junlah kapal ikan yang telah dipasang VMS adalah : 1 Purse
Seine sebanyak 1.000 kapal, terpasang 800 kapal, 2 Pukat Ikan sebanyak 70,
terpasang 70 kapal, 3 Long Line sebanyak 115 kapal, dan terpasang 50 kapal, dan terakhir 4 Multi Propose sebanyak 80 kapal, terpasang 20 kapal..
Kapal ikan nasional dikenakan pungutan sebesar 200 per bulan untuk keperluan biaya : lisensi, transmitter, air time dan biaya pemeliharaan. Bagi kapal
asing dikenakan beberapa pungutan, antara lain: biaya pelayanan sebesar 4,5 jutabulan, biaya pemasangan dan pelepasan transmitter sebesar 5,7 jutabulan dan
biaya garansi transmitter sebesar 36 juta, yang akan dikembalikan bila habis masa operasinya.
Terdapat beberapa perbedaan pengelolaan perikanan antara Peru dengan Indonesia, dimana perbedaan tersebut sangat mendukung kelancaran proses
pelaksanaan VMS di Negara Peru, perbedaan tersebut antara lain :
135 1 Garis pantai di Peru lebih pendek, yaitu 2.414 km, luas lautnya pun lebih
kecil 878.696 km
2
. 2 Jumlah kapal ikan di Peru berkisar hanya 1500 kapal.
3 Dalam surat izin penangkapan tidak ada pembagian wilayah tangkap. Yang ada hanya pelarangan menangkap ikan bagi kapal skala industri di perairan
5mil dari pantai. 4 Pola penangkapan mengunakan pola “one day fishing”, setiap hari kapal
ikan diwajibkan kembali ke pelabuhan. 5 Prosedur pemanfaatan pungutan biaya VMS dapat dilakukan langsung oleh
instansi terkait. 6 Pungutan iuranVMS melekat pada izin.
7 Kelebihan hasil tangkapan ikan dari yang diizinkan akan dikenakan sanksi pembayaran.
8 Ada observer on board di beberapa kapal dan di pelabuhan untuk sampling hasil tangkapan dalam membantu badan riset kelautan Peru IMARPE.
9 Pada waktu tertentu ada penutupan penangkapan ikan close season bila dinilai jumlah ikan mulai banyak tertangkap over fishing.
Salah satu aspek yang dapat dilihat sebagai hasil dari efektivitas pelaksanaan kebijakan VMS adalah adanya sejumlah kapal penangkap ikan yang
di beri sanksi berupa pencabutan izin operasi penangkapan karena melakukan pelangaran dalam melakukan kegiatan penangakapan ikan. Data yang diperoleh
pada bulan Agustus 2005 diketahui bahwa terdapat 39 kapal penangkap ikan atau terdiri dari 15 perusahaan yang direkomendasikan oleh lembaga pengelola VMS
untuk dilakukan tindakan pencabutan izin SIPISIKPI. Berdasarkan data tahun 2005 akhir diperoleh informasi bahwa pencabutan izin telah dilakukan terhadap
kapal penangkap ikan yang melanggar sejumlah 62 kapal. Berdasarkan berbagai kendala diatas, ada satu alternatif yang perlu
dipertimbangkan untuk menindaklanjuti program VMS di Indonesia, VMS hanya diperuntukkan terhadap kapal kapal yang tidak pernah ke pelabuhan pangkalan,
sedangkan kapal kapal yang disiplin dan terjadwal kepelabuhan belum diwajibkan program VMS, namun perlu dilakukan pengecekan di pelabuhan melalui System
136 Logger
untuk cek tracking dan LPB untuk cek hasil tangkapan. Informasi ini disampaikan ke Puskodal. Sistem Monitoring dan SDM yang melakukan
collecting dan analisa data dipersiapkan oleh setiap pelabuhan.