simbolik yang dimaksud adalah bahasa, misalnya makna-makna yang dikejar adalah makna subjektif dan makna konsensus.
Makna subjektif adalah makna yang mengacu pada interpretasi individu, sedangkan makna konsensus adalah makna yang diinterpretasikan
secara kolektif. Sementara makna konsensus dikonstrusikan melalui proses- proses interaksi sosial.
Kedua makna tersebut pada hakekatnya merupakan makna-makna yang menunjukan realitas sosial. Asumsinya adalah bahwa realitas secara
sosial dikontruksikan melalui kata, simbol, dan perilaku diantara anggotanya. Kata, simbol dan perilaku ini akan melahirkan pemahaman akan rutinitas
sehari-hari dalam praktek-praktek kehidupan subjek penelitian Rejeki, 2004: 110-111.
2.2 Fenomenologi
Secara etimologis, fenomenologi sebenarnya berasal dari kata Yunani, yakni phainimeon yang berarti penampakan, dan logos yang berarti rasio atau
kata-kata, atau penalaran rasional. Fenomenologi Transendental
yang dikembangkan oleh Edmund Husserl 1859-1938 merupakan metoda untuk
menjelaskan fenomena dalam kemurnianya. Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik sebagai suatu
hasil rekaan, maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan.
Selajutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya. Untuk tujuan itu fenomenolog hedaknya memusatkan
perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya meniggalkan segenap teori, praanggapan serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali
kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam keadaan kesadaran . barang yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena. Husserl
dalam Basuki, 2006:71. Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai
pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus dapat menyisikan hal-
hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan institusi mengenai hakekat sesuatu
Husserl dalam Basuki, 2006:72. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah langsung terjangkau
sebagaimana adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya mengarah kepada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri.
Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya
dengan melakukan analisis mengenai intensional ini kesdaran itu dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus secara cermat “menempatkan
tanda kurung” kenyataan dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda
tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche Husserl dalam Basuki, 2006:75. Reduksi tersebut terdiri dari 2 dua macam, yaitu reduksi eidetic yang
memperlihatkan hakekat eidos dalam fenomena, dan reduksi transcendental
yang menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran
transedental, sedangkan kesadran terhadap pengalaman empirik sebetulnya hanya merupakan bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transedental.
Fenomenologi Transedental yang di formulasikan oleh Husserl pada permulaan abad 20 menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada
kita sebgai manuia. Tujuanya ialah kembali ke barang bendanya sendiri sebagimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung
apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada
waktu khusus, lebih dari pernyataan abstrak tentang kealamian dunia secara umum.
Fenomenologi menekankan fenomena yang tampi dalam kesadran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita. Fenomenologi
mengindetifikasikan strategi-strategi yang dapat memfokuskan diri dimana letak kemurnian fenomenolog dan merefreksikan apa yang kita bawa serta pada
alktivitas presepsi dengan merasa, berpikir, mengigat dan memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi.
2.4 Corporate Social Responsibility CSR