kelurusan kurang dari 0,5 yang berarti bahwa pergerakan katak tidak jauh dari lokasi pertama kali ditemukan.
Berdasarkan hasil perhitungan Chi kuadrat terhadap total pergerakan katak dengan hasil Chi kuadrat hitung lebih besar dari Chi kuadrat tabel, terlihat bahwa
pergerakan antara katak jantan dan katak betina tidak sama selama 24 jam pengamatan, yaitu katak betina lebih jauh pergerakannya dibandingkan dengan
katak jantan. Berdasarkan perhitungan Chi kuadrat nilai alur kelurusan, terlihat bahwa baik katak jantan maupun katak betina pergerakannya tidak menjauhi
posisi awal pengamatan. Hal tersebut karena pada saat ditangkap katak sedang berada di dekat sumber air untuk melakukan perkawinan. Sehingga mungkin saja
katak betina tersebut mencoba untuk kembali ke posisi semula untuk melakukan perkawinan. Walaupun dari hasil penelitian ini mendapatkan data pergerakan
jangka pendek, namun diperlukan penelitian lebih lama lagi untuk dapat menduga luasan areal jelajah untuk memastikan bahwa katak pohon merupakan jenis
penetap atau jenis yang sering berpindah.
6. 3 Penggunaan Ruang P. leucomystax
di Kampus IPB Darmaga
Amfibi tinggal pada lingkungan dengan distribusi sumberdaya yang dapat diprediksikan. Kondisi tersebut menunjukkan perpindahan yang teratur antara
daerah mencari makanan, perkawinan dan hibernasi Schwarzkof dan Alford 2002. Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan mereka untuk
memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai Dole 1965. Kebanyakan
amfibi bersifat nokturnal aktif pada malam hari dan memiliki shelter tempat berlindung yang basah sepanjang hari dan mulai aktif hanya pada malam hari
Duellman dan Trueb 1986. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa sebagian besar P. leucomystax baik
jantan maupun betina di setiap lokasi memiliki aktivitas yang hampir sama. Pada siang hari biasanya katak tidur di tempat-tempat yang terlindung, seperti di bawah
serasah, sela-sela tumbuhan bawah, lubang akar pohon, dan di bawah tumpukan batu. Hal tersebut merupakan salah satu cara agar tubuhnya tidak mengalami
kekeringan. Di Fakultas Kehutanan, katak betina pada siang hari bersembunyi di
lubang tumpukan batu, di Fakultas Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Arboretum Lanskap katak betina bersembunyi di sela-sela tumbuhan bawah, yaitu
pada tanaman jarak pagar untuk betina di Fakultas Pertanian dan di rerumputan untuk betina di Arboretum Lanskap dan pada tanaman nanas kerang untuk betina
di Fakultas Teknologi Pertanian. Sedangkan betina di Gymnasium dan Taman Rektorat bersembunyi di bawah tumpukan serasah. Katak jantan di semua lokasi
bersembunyi di dekat sumber air, baik di tanaman bawah katak di Fakultas Pertanian, Gymnasium dan Taman Rektorat, tumpukan serasah katak di Fakultas
Kehutanan dan menempel di tembok katak di GWW dan Fakultas Teknologi Pertanian Gambar 14. Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Duellman dan
trueb 1986 bahwa amfibi terestrial mempunyai daya adaptasi untuk mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh dengan menjadi nokturnal dan berlindung di siang
hari Duellman dan Trueb 1986.
Katak tidak hanya bersembunyi di siang hari untuk melindungi dirinya dari kekeringan. Pada saat hujan pun terlihat katak akan mengubah posisinya lebih
masuk ke daerah terlindung dari air hujan, baik yang ada di sekitar tanaman
a
c b
Gambar 14. Tempat bersembunyi P. leucomystax saat siang hari. a di rerumputan di Fakultas Teknologi Pertanian; b di sela-sela tanaman soka di Gymnasium; dan c di
bawah serasah di Taman Rektorat.
Gambar 15. Beberapa lokasi tempat bersarang P. leucomystax. a Taman Rektorat; b Telur di Taman Rektorat; c Fakultas Kehutanan; dan d Gymnasium
bawah, tumpukan serasah dan tembok dekat got atau kolam. Sementara katak yang berada di bawah tumpukan batu dan lubang akar tanaman tidak mengubah
posisinya yang terlindung dari hujan maupun panas matahari. Menurut Lemckert dan Brassil 2000 tempat berlindung katak biasanya terdapat pada daerah tertutup
seperti serasah atau dalam akar tanaman. Daerah tersebut menjadi daerah berlindung dari predator dan kekeringan dan dapat digunakan sebagai naungan.
Walaupun beberapa katak bersembunyi di bawah serasah, sebagian besar katak akan merubah posisinya ketika pelindung kepalanya terbuka.
Pada setiap lokasi penelitian dijumpai sumber air yang digunakan sebagai tempat untuk kawin dan peletakan telur Gambar 15. Konsentrasi katak di sekitar
air sangat erat hubungannnya dengan ketergantungan amfibi terhadap air terutama saat berkembang biak Duellman dan Trueb 1986. Kebanyakan amfibi ditemukan
berpindah ke air pada saat sudah siap untuk berpasangan Dole dan Durant 1974. Katak jantan biasanya lebih banyak melakukan aktivitasnya di sekitar sumber air
tersebut untuk menjaga teritori mereka saat kawin Wells 1977 dalam Shepard 2004. Oleh karena itu jantan P. leucomystax biasanya memang dijumpai di
sekitar sumber air, sedangkan katak betina akan mendekat ke sumber air apabila sudah siap untuk melakukan perkawinan. Katak betina yang ditemukan mendekat
a b
c d
Gambar 16. Beberapa jenis invertebrata yang ada di sekitar lokasi pengamatan.
ke sumber air yaitu di Taman Rektorat dan Gymnasium. Di Taman Rektorat, katak betina sedang berada di kolam pada saat ditangkap. Hal itu berarti bahwa
pada saat itu katak betina sudah siap untuk kawin dan pada saat pengamatan, katak betina tersebut juga berusaha untuk kembali lagi ke lokasi pertama kali
ditangkap. Akan tetapi terlihat bahwa betina tidak bergerak mendekat ke kolam lagi saat terdapat betina lain di kolam tersebut. Sebagai gantinya, betina pertama
menunggu di tanaman soka dekat kolam sambil memperhatikan kolam. Sedangkan katak betina di lokasi yang ditangkap cukup jauh dari sumber air
terlihat bergerak mendekat ke sumber air Pada semua lokasi pengamatan, terlihat beberapa jenis invertebrata yang
aktif pada malam hari. Jenis invertebrata tersebut antara lain belalang, nyamuk, semut, jangkrik, kumbang, dan laba-laba Gambar 16. Invertebrata tersebut
dijumpai di sekitar rerumputan, tumbuhan bawah, dan kolamgot. Pada saat pengamatan terlihat kebanyakan katak berdiam diri di lokasi yang banyak
serangganya. Hal itu merupakan salah satu strategi memakan katak, yaitu diam dan menunggu kemudian menangkap dan menelannya. Pada saat pengamatan,
katak jantan di Fakultas Teknologi Pertanian memakan belalang sedangkan untuk lokasi lainnya tidak terlihat dengan jelas serangga yang dimakan. Pada saat
pengamatan beberapa katak umumnya sudah makan pada saat ditangkap. Hal itu terasa dari perutnya yang penuh saat diraba.
Menurut Duellman dan Trueb 1986 wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas
hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung, tempat mencari makan dan pada beberapa kodok jantan digunakan sebagai tempat
melakukan panggilan terhadap betinanya calling site. Sebagai suatu tanggapan terhadap berkurangnya makanan, terbatasnya tempat perlindungan, atau
berkurangnya peluang kawin individu tersebut biasanya memperluas wilayah jelajahnya atau melakukan perputaran di dalam wilayah jelajahnya. Oleh karena
teritori adalah cara yang terbaik untuk menghadapi persaingan pada sumberdaya yang terbatas, maka teritori dapat diartikan sebagai wilayah yang dipertahankan
dari gangguan individu lainnya. Sesungguhnya tempat khusus yang dipertahankan ini akan memberikan keuntungan terhadap individu untuk mengakses sumberdaya
yang dibutuhkan untuk bertahan hidup ataupun melakukan perkembangbiakkan. Walaupun penelitian ini tidak dapat mengukur daya jelajah dan luasan
jelajah P. leucomystax, namun dalam pengamatan terlihat bahwa P. leucomystax jantan cenderung memiliki daerah teritori untuk masing-masing individu. Sebagai
contoh di Fakultas Pertanian, selama beberapa malam ditemukan satu ekor jantan yang sama di satu lokasi tertentu yaitu di paralon. Ketika tertangkap dan di lepas,
keesokkan harinya katak tersebut kembali ke lokasi yang sama. Sayangnya, katak jantan tersebut mati karena kegagalan alat. Ketika diperiksa keesokan harinya
terlihat bahwa posisi tempat katak tersebut biasa bertengger kosong dan tidak digantikan oleh katak jantan lainnya.
Untuk P. leucomystax betina wilayah teritori tidak terlihat dengan jelas. Paling tidak dari pengamatan terlihat perilaku mereka saat kawin dimana bila
terjadi perkawinan maka jika terdapat betina lain di lokasi berdekatan maka betina lain tidak mendekat dan mengganggu pasangan kawin tersebut. Perilaku berbeda
ditunjukkan oleh katak jantan. Bila pada saat satu pasangan kawin dan terdapat jantan lain di sekitar pasangan tersebut, maka untuk katak jantan yang tidak kawin
akan berusaha untuk mendapatkan kesempatan kawin dengan terus mengikuti dan berusaha naik ke punggung betina yang sudah ampleksus dengan jantan lain. Hal
tersebut sama seperti halnya yang terjadi pada Rhacophorus reinwardtii dimana
jantan yang lain yang tidak kawin berusaha untuk mendapatkan kesempatan kawin dengan betina yang sudah memilih pasangan kawinnya Yazid 2006.
Perilaku agresif sudah banyak dilaporkan pada banyak spesies anura dan pada beberapa keadaan yang terjadi diantara pejantan selama musim kawin.
Perilaku agresif pada anura ditunjukkan dengan panggilan, serangan, adu kepala, mendorong, mendorong lawan ke air, melompat ke depan, mendorong lawan ke
air dengan menggunakan kepala, menendang, atau bergulat. Perilaku demikian membutuhkan energi yang besar, kerusakan fisik dan kadang-kadang fatal Lutz
1960 dalam Shepard 2004. Pada banyak anura, perilaku menjaga daerah teritori terjadi pada saat adanya interaksi antar pejantan Martins et al. 1998 dalam
Abrunhosa dan Henrique 2004 yang umumnya dapat diselesaikan di kolam yaitu dengan bersuara menunjukkan keberadaan, kepemilikan teritori dan atau
panggilan pada saat berjumpa namun kalau tidak berhasil, diselesaikan dengan perkelahian fisik Halliday dan Tejedo 1995 dalam Abrunhosa dan Henrique
2004.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Metode pemakaian cat dan pewarna makanan tidak dapat digunakan untuk
menelaah pergerakan P. leucomystax katak pohon bergaris di kampus IPB Darmaga, karena jejak yang ditinggalkan hanya bertahan beberapa
lompatan dan langsung habis dan jika terkena air pewarna makanan langsung luntur.
2. Metode pemasangan tali dapat digunakan untuk melihat pergerakan P.
leucomystax dengan berat alat harus disesuaikan dengan berat tubuh katak,
jika terlalu berat bukan saja mengganggu aktivitas katak tapi juga mengakibatkan kematian.
3. Berdasarkan hasil uji pengaruh penggunaan alat spool track terhadap
pergerakan katak, diketahui bahwa alat tidak memberikan pengaruh negatif yang menghambat pergerakan katak.
4. Sebagian besar katak jantan bergerak di sekitar sumber air dan tidak jauh
dari posisi pertama kali ditemukan. Sedangkan katak betina pergerakannya lebih luas dan akan mendekati sumber air apabila sudah siap untuk
melakukan perkawinan.
Saran
1. Metode tali lebih mudah digunakan untuk katak yang berukuran cukup
besar 10 gram. Selain itu, perlu dilihat efektivitas alat untuk jangka panjang 24 jam.
2. Desain alat pada metode tali perlu diperbaiki dengan menggunakan bahan
yang lebih ringan dan sesuai dengan bentuk tubuh katak. 3.
Mendesain penggulungan benang dengan cara tidak mengikatkan benang pada alat penggulungnya, agar pada saat katak berada di lokasi yang tidak
memungkinkan untuk melepaskan atau mengganti benang yang habis pada alat yang diikatkan pada punggung katak, benang akan terlepas dengan
sendirinya.
4. Sumber air yang merupakan tempat untuk perkembangbiakan P.
leucomystax perlu dipertahankan agar keberadaanya tetap terjaga.
5. Tanaman sekitar sumber air harus tetap dipelihara karena merupakan
habitat bagi P. leucomystax dan terdapat beberapa jenis satwa yang menjadi makanan P. leucomystax.
DAFTAR PUSTAKA
Abrunhosa, P. A and H. Wogel. 2004. Breeding Behavior of the Leaf Frog Phyllomedusa burmeiisteri anura: Hylidae. Amphibia-Reptilia 25: 125-135.
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Atkinson, R. P. D., C. J. Rhodes, D. W. Macdonald and R. M. Anderson. 2002. Scale-free Dynamics in The Movement Patterns of Jackals. Oikos 98: 134–
140. Berry, P. Y. 1975. The Amphibians Fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press.
Kuala Lumpur. Beshkov, V. A. and D. L. Jameson. 1980. Movement and Abundance of The
Yellow-Bellied Toad Bombina variegata. Herpetologica 364: 365-370. Birchfield, G. L. and J. E. Deters. 2005. Movement Paths of Displaced Northern
Green Frogs Rana clamitans melanota. Southeastern Naturalist 41: 63- 76.
Brandle, M. and R. Brandl. 2001. Distribution, Abundance and Niche Breadth of Birds: Scale matters. Global Ecology Biogeography 10: 173–177.
Claire, C. V. and A. H. P. Stumpel. 1995. Comparison of Habitat-Isolation Parameters in Relation to Fragmented Distribution Patterns in The Tree Frog
Hyla arborea. Landscape Ecology 11 4: 203-214. Daugherty, C. H. and A. L. Sheldon. 1982. Age-spesific Movement Patterns of
The Frog Ascaphus truei. Herpetologica 384: 468-474. Davidar, P., K. Yoganand and T. Ganesh. 2001. Distribution of Forest Birds in
The Andaman Islands: Importance of Key Habitats. Journal of Biogeography
28: 663-671. Davies, M. and K. R. McDonald. 1979. A Study of The Intraspecific Variation in
The Green Tree Frog Litoria chloris boulenger hylidae. Australian Zoologist
202: 347-359. Dole, J. W. 1965. Summer Movements of Adult Leopard Frogs, Rana pipiens
Schreber, in Northern Michigan. Ecology 46 3: 236-255.
Dole, J. W. and P. Durant. 1974. Movements and Seasonal Activity of Atelopus oxyrhynchus
Anura : Atelopididae in a Venezuelan Cloud Forest. Copeia 1: 230-235.
Duellman, W.E and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill, New York, USA.
Eggert, C., P. H. Peyret and R. Guyétant. 1999. Two Complementary Methods for Studying Amphibian Terrestrial Movements.In: C. Miaud and R. Guyétant
eds Current studies in herpetology, Chambéry: 95-97 pp. Goin, C. J., O. B. Goin and G. R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. W.H
Freeman and Company. San Fransisco. Hafni, E. 2001. Inventarisasi dan Analisis Potensi Sumberdaya Wisata Pendidikan
Tinggi Pertanian DI Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Hernowo, J., B, R. Soekmadi dan Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestarian Satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heyer, W. R., M. A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L. C. Hayek and M. S. Foster.
1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington.
Hodgkison, S and J. M Hero. 2001. Daily Behavior and Microhabitat Use of The Waterfall Frogs, Litoria nannotis in Tully Gorge, Eastern Australia. Journal
of Herpetology 35 1: 116-120.
Hofrichter, R. 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Weltbild Verlag GmbH. Augsburg. 264.
Inger, R. F and R. B. Stuebing. 1997. A Field Guide to The Frogs of Borneo. Natural History Publications. Sabah.
Iskandar, D. T. and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 3: 1-133.
Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang-LIPI. Bogor.
Johnson, C. N. 1998. Rarity in The Tropics: Latitudinal Gradients in Distribution and Abundance in Australian Mammals. Journal of Animal Ecology 675:
689-698. Kurnia, I. 2003. Studi Keanekaragaman Jenis Burung untuk Pengembangan
Wisata Birdwatching di Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Lamoureux, V. S., J. C. Maerz and D. M. Madison. 2002. Premigratory Autumn Foraging Forays in The Green Frog, Rana clamitans. Journal of
Herpetology 36 2: 245-254.
Lemckert, F. 1999. An Assessment of The Impacts of Selective Logging Operations on Amphibian Diversity in a Forested Area of Northern New
South Wales. Biological Conservation 89: 321-328. Lemckert, F. and T. Brassil . 2000. Movements and Habitat Use of The
Endangered Giant Barred River Frog Mixophyes iteratus and The Implications for Its Conservation in Timber Production Forests. Biological
Conservation 96: 177-184.
Martof, B. 1953. Home Range and Movements of The Green Frog, Rana clamitans.
Ecology 34 3: 529-543. Pope, L. K and K. R. Matthews. 2001. Movement Ecology and Seasonal
Distribution of Mountain Yellow-Legged Frogs, Rana mucosa, in a High_Elevation Sierra Nevada Basin. Copeia 3: 787-793.
Richards, S. J., U. Sinsch and R. A. Alford. 1994. Radio Tracking. In : Heyer, W. R. ; M. A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L. C. Hayek and M. S. Foster. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Pp 155-158.
Roy, D. 1997. Communication Signals and Sexual Selection in Amphibians. Current Science
72 12: 923-927. Schwarzkopf, L. and R. A. Alford. 2002. Nomadic Movement in Tropical Toads.
Oikos 96: 492-506.
Seebacher, F. and R. A. Alford. 1999. Movement and Microhabitat Use of a Terrestrial Amphibian bufo marinus on a Tropical Island: Seasonal
Variation and Environmental Correlates. Journal of Herpetology 332: 208- 214.
Shepard, D. B. 2004. Seasonal Differences in Aggregation and Site Tenacity in Male Green Frogs, Rana clamitans. Copeia 1: 159-164.
Stebbins, R. C and N. W. Cohen. 1995. A Natural History of Amphibians. Princeton University Press. New Jersey. 316 hal.
Williams, S. E., H. Marsh and J. Winter. 2002. Spatial Scale, Species Diversity, and Habitat Structure: Small Mammals in Australian Tropical Rain Forest.
Ecology 835: 1317-1329.
Yazid, M. 2006. Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau Rhacophorus reinwardtii Kuhl dan van Hasselt, 1822 di Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Yuliana, S. 2000. Keragaman Jenis Amfibi Ordo Anura di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Pergerakan Katak Pohon Bergaris Polypedates leucomystax Di Kampus IPB Darmaga
1. Gymnasium