1. 2 Metode Pemasangan Tali PEMBAHASAN 6. 1 Uji Coba Efektifitas Dua Metode

Pada uji coba kedua, kondisi terrarium telah diperbaiki yaitu dengan pemberian air dan jangkrik untuk makanan katak. Perlakuan diberikan pada katak jantan dan betina yang ditangkap pada malam hari, dan siang harinya langsung diberi perlakuan selang waktu antara penangkapan dan perlakuan yaitu 10 jam. Cat dapat bertahan selama 9 menit dan jejak yang ditinggalkan cukup bertahan sampai beberapa lompatan. Setelah itu, katak langsung dilepaskan kembali, sehingga tidak diketahui apakah katak pada uji coba kedua ini mati atau tidak. Namun, pengamatan menunjukan bahwa kondisi keaktifan katak setelah diberi perlakuan terlihat tidak berbeda dengan kondisi keaktifan sebelum diberi perlakuan. Pada uji coba metode pergerakan katak dengan menggunakan pewarna makanan, perlakuan diberikan pada sepasang katak jantan dan betina. Hasil yang diperoleh hampir serupa dengan penggunaan cat yaitu bahan pewarna tidak bertahan dan langsung luntur saat terkena air Gambar 7. Kedua metode ini tidak dapat digunakan karena tidak dapat digunakan di air. Walaupun P. leucomystax merupakan katak yang banyak beraktivitas di pohon namun dalam kegiatannya seringkali bergerak ke arah air.

6. 1. 2 Metode Pemasangan Tali

Pada uji coba pemasangan tali, percobaan dilakukan untuk mencari alat yang paling sesuai untuk melihat pergerakan P. leucomystax tanpa mengganggu aktivitas katak saat membawa alat ini dipunggungnya. Kegagalan dalam uji coba disebabkan oleh berbagai faktor antara lain benang yang membuat katak tidak dapat bergerak lancar. Sebagai contoh pada uji coba pertama, alat yang dibuat diikatkan pada batang pohon dan benang diikatkan pada punggung katak. Pada saat dilepaskan, katak langsung melompat ke sela-sela tanaman. Meskipun pada beberapa lompatan pertama katak dapat bergerak dengan leluasa, namun saat benang tersangkut pada batang tanaman, pergerakan katak langsung terhenti. Pada saat itu katak tetap berusaha untuk melompat yang menyebabkan tubuh katak meregang. Oleh karena itu, pada uji coba ini katak dilepaskan karena khawatir mengakibatkan kematian. Pada uji coba selanjutnya, bahan-bahan yang digunakan menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar, salah satunya dikarenakan tempat untuk menggulung benangnya terbuat dari selongsong pulpen ataupun suntikan. Kedua bahan tersebut tidak memiliki penahan pada sisi atas dan bawah sehingga penutup dibuat tersendiri dan ditempel. Akibat perekatan lem yang tidak bersih, benang tersangkut pada bagian-bagian tertentu, dan tidak tergulung dengan benar, yang pada akhirnya menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar. Pada uji coba ini, 5 ekor katak jantan yang telah diberi perlakuan mati dan 2 ekor katak jantan dilepaskan. Kematian yang terjadi disebabkan benang yang tidak keluar dengan lancar sehingga menghentikan pergerakan katak, sementara katak tetap berusaha untuk melompat dan akhirnya mati tercekik Gambar 9. Gambar 9. Alat yang tidak lancar keluar benangnya menyebabkan kematian pada katak jantan. kiri P. leucomystax di Fakultas Pertanian; kanan P. leucomystax di Taman Rektorat. Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan alat adalah perbedaan ukuran katak jantan dan betina. P. leucomystax memiliki sexual dimorphism atau perbedaan ukuran tubuh antar kelamin yang sangat besar dimana ukuran betina jauh lebih besar daripada jantan. Oleh karena itu alat yang dibuat juga harus sesuai dengan ukuran tubuh katak agar pengaruh alat pada pergerakan katak akan semakin kecil. Dari studi pustaka diketahui bahwa berat alat seharusnya tidak boleh melebihi 10 dari bobot tubuh penerima Richards et al. 1994 dalam Heyer et al. 1994. Pada uji coba selanjutnya, penyempurnaan alat menghasilkan lancarnya pergerakan benang. Sayangnya, alat yang dibuat tidak dapat diterapkan karena berat alat tersebut mencapai setengah dari berat katak jantan yang ditemukan, yaitu sekitar 5-6 gram dengan berat rata-rata katak jantan sekitar 6-12 gram. Uji coba selanjutnya dilakukan dengan mengurangi berat alat dengan membuat alat dari palet dan wadah dari bagian bawah bekas botol sitrun dengan pengikat dari kawat tanpa pelindung. Berat alat 5 gram dan dapat digunakan pada katak betina, walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Akan tetapi, setelah 24 jam pengikat kawat tanpa pelindung berkarat dan menyebabkan luka pada bagian bawah tubuh P. leucomystax. Pada percobaan selanjutnya, kawat dilapisi karet dan alumunium. Karena kawat tidak terikat dengan baik pada awal pengikatan, yaitu tidak diikatkan dengan sangat ketat, alat ini terlepas dari tubuh katak. Pada uji coba ini, alat tidak menyebabkan kematian namun 3 ekor katak betina lepas, yaitu 2 ekor di Graha Widya Wisuda dan 1 ekor di Fakultas Pertanian. Penyempurnaan terakhir dibuat dengan mengganti tali pengikat dengan selotip paralon. Berat alat menjadi berkurang 1 gram yaitu menjadi 4 gram dan bisa digunakan untuk katak betina walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi alat untuk katak jantan, dimana bahan yang digunakan sama dengan katak betina, namun palet yang digunakan dipotong bagian luarnya dan diambil bagian tengahnya saja. Wadah penyimpan tali dibuat dari tutup parfum dengan tali pengikat berupa selotip paralon. Dengan demikian berat alat untuk katak jantan sebesar 1,5 gram Gambar 10. Gambar 10. kiri Alat untuk katak jantan dan betina; kanan pola pergerakan yang dihasilkan dari benang pada P. leucomystax di Arboretum Lanskap. Pada uji coba terakhir, alat yang dibuat sesuai untuk pergerakan P. leucomystax , baik jantan maupun betinanya dengan berat alat sekitar 12,8 dari tubuh katak betina dan 17,2 dari berat tubuh katak jantan. Akan tetapi, tali pengikat berupa selotip paralon akan meninggalkan bekas berupa perubahan warna pada kulit katak yaitu menjadi lebih pucat dibandingkan bagian kulit lainnya Gambar 11. Hal ini sama dengan bekas yang ditinggalkan setelah memakai cincin di jari tangan yang dalam beberapa saat sekitar 10-15 menit bekas tersebut akan memudar dan warna kulit akan sama dengan warna kulit lainnya yang tidak terikat. Berdasarkan hasil penelitian Dole 1965 terkadang tali pengikat membuat kulit katak teriritasi pada bagian paha dan dada. Dalam kasus ini, katak yang mengalami iritasi dilepaskan dan tidak akan diikat lagi sampai lukanya sembuh total. Gambar 11. Bekas tali pengikat. kiri P. leucomystax jantan di Gymnasium; kanan P. leucomystax betina di Fakultas Kehutanan . Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengikatan alat. Pada katak jantan yang lebih banyak berada dekat sumber air, alat harus diikatkan pada pangkal paha bukan di dada. Apabila alat diikat pada bagian dada akan menyebabkan katak kesulitan bernafas saat berenang dan efek terburuknya akan menyebabkan kematian. Menurut Dole 1965 alat spool track mempengaruhi kemampuan berenang katak dan mengacaukan pergerakannya Dalam penelitian ini, 3 katak jantan 2 ekor di Fakultas Teknologi Petanian dan 1 ekor di Fakultas Pertanian dilepaskan karena alat menghambat pergerakan pada saat berenang. Untuk katak betina, karena tidak sering berada dekat sumber air alat dapat diikatkan pada bagian dadanya. Baik diikatkan pada pangkal paha maupun dada katak, alat sering kali berputar ke bagian bawah atau bagian sisi tubuh katak. Berdasarkan hasil pengamatan, katak terlihat kesulitan pada saat akan masuk atau keluar got atau selokan yang ditutup dengan teralis. Pada saat katak masuk ke sela-sela tanaman, alat yang berputar ke bawah dapat tersangkut batang tanaman. Namun, secara keseluruhan katak dapat bergerak cukup normal walaupun alatnya berputar ke bawah atau ke sisi tubuh katak. Menurut Dole 1965 katak yang diberi perlakuan memiliki respon yang cepat ketika mendekati bahaya, seperti halnya katak yang tidak diikat dan masih dapat melakukan lompatan normal. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan katak yang diberi alat lebih rentan terhadap predator . Pada setiap uji coba peneliti harus berusaha untuk membuka alat yang digunakan setelah selesai pengamatan. Salah satu kematian katak yang terjadi saat percobaan ini adalah kegagalan mengganti alat akibat katak yang bergerak terlalu ke atas dengan ketinggian 2-2,5 m. Sulitnya peneliti menangkap katak tersebut saat di atas pohon menyebabkan katak menggantung pada untaian benang terakhir. Gambar 12. Posisi alat yang berubah, kiri P. leucomystax betina di Taman Rektorat; kanan P. leucomystax betina di Arboretum Lanskap. Secara umum, metode penggunaan benang katun lebih dapat digunakan untuk melihat pergerakan P. leucomystax dibandingkan dengan metoda catpewarna makanan. Katak yang diberi perlakuan terlihat dapat bergerak dengan bebas dengan jejak benang yang membuat pola pergerakan selama 24 jam dengan jelas.

6. 1. 3 Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P.

Dokumen yang terkait

Pola pergerakan harian dan penggunaan ruang katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga

0 6 77

Perilaku berbiak katak pohon hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl & van Hasselt, 1822) di kampus IPB Darmaga

0 21 65

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

1 14 52

Variasi Morfologi Katak Pohon Bergaris Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829 (Anura; Rhacophoridae) di Sumatera Barat | Addaha | Natural Science: Journal of Science and Technology 5140 16796 1 PB

0 0 7

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 0 13

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 0 2

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 0 3

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 3 5

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 0 3

Pola Pergerakan Harian dan Mikrohabitat Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Taman Wisata Alam Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara

0 1 12