Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga

(1)

FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA

T E S I S

Oleh:

GUSNISARI LUBIS 117009027/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Saint Pada Program Studi Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

GUSNISARI LUBIS 117009027/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Tesis : FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA

Nama Mahsiswa : GUSNISARI LUBIS Nomor Induk Mahasisi : 117009027

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. T. Syarfina, M.Hum) (Dr. Gustianingsih, M.Hum)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Syarfina, M.Hum Anggota : 1. Dr. Gustianingsih, M.Hum

2. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling 3. Dr. Dwi Widayati, M.Hum


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

FONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada program studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan sebagian atau seluruh Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013 Penulis


(6)

ABSTRAK

Tesis ini bertujuan untuk menelaah bahasa Pesisir Sibolga dari sudut fonotaktiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga, metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini berfokus pada struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret konsonan, struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dan pola struktur fonotaktik fonem dalam kata bahasa Pesisir Sibolga.

Struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal bahasa Pesisir Sibolga ditemukan 11 (sebelas) jenis deret vokal, yaitu: / ai /, / aa /, / ae /, / ie /, / oa /, / ia /, / au /, / ou /, / ua /, / uo /, dan / iu /. Kesebelas jenis deret vokal tersebut terdapat pada tiga posisi, yaitu posisi awal, tengah, dan akhir kata. Struktur fonotaktik fonem di dalam deret konsonan BPS ditemukan ada sebelas jenis deret konsonan, yaitu: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, dan /n-d/.

Struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dibagi menjadi empat bagian, yaitu struktur fonotaktik fonem di dalam kata yang bersuku kata satu, bersuku kata dua, bersuku kata tiga, dan bersuku kata empat. Berdasarkan pada hasil penelitian tentang Fonotaktik Fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ditemukan beberapa pola fonotaktik fonem dalam BPS. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut: V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, dan KKKVK.

Keywords: fonotaktik, fonem, suku kata, dan Pesisir Sibolga.


(7)

ABSTRACT

The objective of the research was to analyze the dialect at BPS (Sibolga Coastal Area) from its phonotactic and to describe the phonotactic structure of phonemes in the syllable of the dialect at BPS. The study used descriptive qualitative method. The research was focused on phonotactic structure of phonemes in a series of vowel and consonants, phonotactic structure of phonemes in syllables, and phonotactic structure in words of BPS.

There are 11 types of vowel series in the phonotactic structure of phonemes in the dialect of BPS: /ai/, /aa/, /ae/, /ie/, /oa/, /ia/, /au/, /ou/, /ua/, /uo/, and /iu/. They are found in three word positions: initial position, middle position, and final position. There are 11 types of consonant series in the phonotactic structure of phonemes in BPS consonant series: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, and /n-d/.

Phonatactic structure of phonemes in syllables is divided into four parts: phonotactic structure of phonemes in words which has one syllable, phonotactic structure of phonemes which has two syllables, phonotactic structure of phonemes which has three syllables, and phonotactic structure of phonemes which has four syllables. Based on the result of the research on phonotactic phonemes in the dialect of BPS, it was found that there were some phonotactic patterns of phonemes in BPS. The patterns are V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, and KKKVK. Keywords: Phonotactic, Phonemes, Syllable, Sibolga Coastal Area.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kemurahan kepada penulis sehingga Tesis dengan judul Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga dapat diselesaikan.

Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister of Saint pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Selama melakukan penelitian dan penulisan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr, dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M,Sc,(CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. BAPPEDA Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa pendidikan S2 di Linguistik USU.

5. Walikota Sibolga, Drs. M. Syarfi Hutauruk, yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan S2 di Linguistik USU.

6. Kepala Dinas Pendidikan Kota Sibolga, Drs. Alpian Hutauruk, yang telah memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan S2 di Linguistik USU.

7. Prof. T. Silvana Sinar, MA.,Ph.D, selaku Ketua Prodi Linguistik USU sekaligus sebagai penguji, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan hingga selesai.

8. Dr.Nurlela, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Linguistik Pascasarjan Universitas Sumatera Utara.

9. Dr. T. Syarfina, M.Hum selaku pembimbing I yang telah memotivasi dan memberikan arahan dari awal sampai selesanya penulisan Tesis ini.

10. Dr. T. Gustianingsih, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memotivasi dan memberikan arahan dari awal sampai selesanya penulisan Tesis ini. 11. Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling dan Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku

penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun guna kesempurnaan Tesis ini.

12. Para dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

13. Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Sibolga, Drs. Liat Sinaga, yang telah memberikan dukungan dan kejasamanya selama penulis menempuh pendidikannya.


(9)

14. Rekan-rekan guru dan staf pegawai SMK Negeri 1 Sibolga yang telah memberikan dukungan da motivasi selama penulis menempuh pendidikannya.

15. Orangtua tercinta Maswira Panggabean dan Zainal Abidin Lubis (Alm) yang memberikan dukungan moral dan spiritual selama penulis dalam pendidikannya.

16. Suamiku, Adam Malik Simamora, ST dan anakku, Akhdan Latif Azizan Simamora, yang telah memberikan dukungan, motivasi dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

17. Saudara-saudaraku dan semua keluarga besarku yang telah memberikan dukungan, motivasi dan kerjasamanya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

18. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberikan dukungan, semangat, dan saran kepada penulis selama penyelesaian Tesis ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan Tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca.

Medan, Agustus 2013 Penulis,

Gusnisari Lubis


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Gusnisari Lubis

Tempat/Tanggal lahir : Sibuluan I, 14 Agustus 1982 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

Alamat : JL. Adonia Hutagalung No. 14 Sibuluan Raya Pandan-Kab. Tapanuli Tengah

Email : gusnisari@gmail.com

II. Pendidikan Formal

1. SD Negeri 152978 Pagaran 2. SMP Negeri 1 Sibolga

3. SMA Negeri 1 Matauli Pandan 4. S1 Universitas Bung Hatta Padang

III. Riwayat Pekerjaan

1. Staf Pengajar di SMA Negeri 1 Matauli Pandan (2005-2007) 2. Staf pengajar di SMP Swasta Al-Muslimin Pandan (2005-2009) 3. Staf Pengajar di MAN Sibolga (2005-2009)

4. Staf Pengajar di SMK Negeri 1 Sibolga (2009 - sekarang) 5. Dosen STAI Bahriyatul Ulum Pandan (2006 – sekarang)


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... .. i

ABSTRACT ……….. iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ……….. vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ………. x

LAMBANG DAN PENGGUNAANNYA ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 7 2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi ... 7

2.2 Landasan teori ... 10

2.2.1 Fonotaktik ... 10

2.2.2 Fonem ... 13

2.2.3 Penyukuan (Syllabification)………. 15

2.2.4 Deret Konsonan... ... 23

2.2.5 Gugus Konsonan ... ... 24

2.2.6 Deret Vokal ………. 24

2.3 Tinjauan Pustaka ... 25

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……… 35

3.1 Sejarah Singkat Kota Sibolga ... 35

3.2 Masyarakat Pesisir ... 39

3.3 Letak Geografis Kota Sibolga ... 41

3.4 Agama Masyarakat Sibolga ... 43

3.5 Bahasa Pesisir ... 44

3.6 Pendidikan ... 45

3.7 Kesehatan ... 45

3.8 Ketenagakerjaan ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 46

4.1 Metode Penelitian ... 47

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 47

4.2.1 Tempat Penelitian ... 47

4.2.2 Waktu Penelitian ... 47

4.3 Sumber Data Penelitian ... 47

4.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 48


(12)

BAB VFONOTAKTIK FONEM DALAM BAHASA PESISIR SIBOLGA 54 5.1 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Vokal dan Deret

Konsonan bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ... 54

5.1.1 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Vokal BPS . 54 5.1.2 Struktur Fonotaktik Fonem di dalam Deret Konsonan BPS 54 5.2 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata BPS ... 68

5.2.1 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Satu ... 69

5.2.2 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Dua ... 70

5.2.3 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Tiga ... 77

5.2.4 Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata yang Bersuku Kata Empat ... 81

5.3 Pola Struktur Fonotaktik Fonem dalam Suku Kata BPS ... 84

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 89

6.1 Simpulan ... 89

6.2 Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia 14 2. Tabel 2 Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia 15 3. Tabel 3 Afdeling di bawah Keresidenan Sibolga 37 4. Tabel 4 Wilayah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Sibolga 42 5. Tabel 5 Deret Vokal dalam bahasa Pesisir Sibolga 56 6. Tabel 6 Deret Konsonan dalam bahasa Pesisir Sibolga 59 7. Tabel 7 Pola dalam Kata bahasa Pesisir Sibolga 86


(14)

LAMBANG DAN PENGGUNAANNYA

1. Tanda hubung ( - ) digunakan untuk menandai batas suku pada penyukuan kata.

2. Tanda garis miring ( /…./ )digunakan untuk menandai transkripsi fonemik. 3. Tanda kurung siku ( [….] ) digunakan untuk menandai transkripsi fonetik. 4. Tanda kurung biasa ((…)) digunakan untuk menandai keterangan tambahan

opsional.


(15)

ABSTRAK

Tesis ini bertujuan untuk menelaah bahasa Pesisir Sibolga dari sudut fonotaktiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga, metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini berfokus pada struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret konsonan, struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dan pola struktur fonotaktik fonem dalam kata bahasa Pesisir Sibolga.

Struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal bahasa Pesisir Sibolga ditemukan 11 (sebelas) jenis deret vokal, yaitu: / ai /, / aa /, / ae /, / ie /, / oa /, / ia /, / au /, / ou /, / ua /, / uo /, dan / iu /. Kesebelas jenis deret vokal tersebut terdapat pada tiga posisi, yaitu posisi awal, tengah, dan akhir kata. Struktur fonotaktik fonem di dalam deret konsonan BPS ditemukan ada sebelas jenis deret konsonan, yaitu: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, dan /n-d/.

Struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata dibagi menjadi empat bagian, yaitu struktur fonotaktik fonem di dalam kata yang bersuku kata satu, bersuku kata dua, bersuku kata tiga, dan bersuku kata empat. Berdasarkan pada hasil penelitian tentang Fonotaktik Fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ditemukan beberapa pola fonotaktik fonem dalam BPS. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut: V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, dan KKKVK.

Keywords: fonotaktik, fonem, suku kata, dan Pesisir Sibolga.


(16)

ABSTRACT

The objective of the research was to analyze the dialect at BPS (Sibolga Coastal Area) from its phonotactic and to describe the phonotactic structure of phonemes in the syllable of the dialect at BPS. The study used descriptive qualitative method. The research was focused on phonotactic structure of phonemes in a series of vowel and consonants, phonotactic structure of phonemes in syllables, and phonotactic structure in words of BPS.

There are 11 types of vowel series in the phonotactic structure of phonemes in the dialect of BPS: /ai/, /aa/, /ae/, /ie/, /oa/, /ia/, /au/, /ou/, /ua/, /uo/, and /iu/. They are found in three word positions: initial position, middle position, and final position. There are 11 types of consonant series in the phonotactic structure of phonemes in BPS consonant series: /ñ-j/, /ŋ-k/, /n-t/, /ŋ-g/, /c-c/, /m-m/, /k-k/, /m-p/, /m-b/, /ñ-c/, and /n-d/.

Phonatactic structure of phonemes in syllables is divided into four parts: phonotactic structure of phonemes in words which has one syllable, phonotactic structure of phonemes which has two syllables, phonotactic structure of phonemes which has three syllables, and phonotactic structure of phonemes which has four syllables. Based on the result of the research on phonotactic phonemes in the dialect of BPS, it was found that there were some phonotactic patterns of phonemes in BPS. The patterns are V, VK, KV, KVK, KKV, KKVK, and KKKVK. Keywords: Phonotactic, Phonemes, Syllable, Sibolga Coastal Area.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbahasa merupakan pengalaman universal yang dimiliki oleh manusia. Bahasa adalah sistem bunyi ujar. Bunyi bahasa yang tidak sesuai diucapkan oleh seorang pengguna bahasa akan mengakibatkan bunyi itu tidak sesuai dengan bunyi yang sebenarnya. Pengguna bahasa perlu mempelajari bahasa lebih terinci guna menciptakan penggunaan bahasa yang lebih baik dan lebih tepat. Kesalahan berbahasa tidak hanya terjadi pada lafal tetapi juga sistem penulisan. Kebanyakan sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia secara sempurna ketika berbicara. Sistem penulisan berfungsi sebagai pelestarian ujaran. Oleh karena itu, bunyi merupakan media bahasa yang terpenting dalam ujaran.

Dalam linguistik dikenal dua cara yang terpisah untuk mengkaji bunyi bahasa, yaitu fonetik dan fonologi. Fonetik adalah kajian dan analisis yang berhubungan dengan artikulasi, transmisi, dan persepsi bunyi-bunyi tertentu. Fonologi merupakan suatu kajian dan analisis tentang pemanfaatan pelbagai macam bunyi bahasa oleh bahasa-bahasa dan pemanfaatan sistem-sistem untuk mengontraskan ciri-ciri bunyi (sistem fonologis) yang terdapat dalam bahasa-bahasa tersebut.

Fonetik dan fonologi mempelajari pokok masalah atau aspek yang sama dalam bahasa, yaitu bunyi bahasa sebagai hasil artikulasi yang dapat didengar, tetapi keduanya mengadakan pendekatan dari sudut pandang yang berlainan.


(18)

Fonetik itu umum (yaitu mempelajari bunyi bahasa tanpa mengacu kepada fungsi bunyi bahasa itu dalam bahasa tertentu), deskriptif dan dapat diklasifikasikan. Fonologi senantiasa memfokuskan sebuah bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi dalam teori dan prosedur analisisnya.

Setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan kaidah kebahasaannya, termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak dinamakan fonotaktik. (Moeliono, 1993 : 52).

Fonotaktik adalah bidang fonologi atau fonemik yang mengatur tentang penjejeran fonem dalam kata. Contohnya, kata batanding memiliki 8 fonem. Jejeran fonem dari kata tersebut adalah /b/, /a/, /t/, /a/, /n/, /d/, /i/, /ŋ/. Maka dapat disimpulkan bahwa fonotaktik ialah cabang fonologi yang berkenaan dengan urutan fonem yang dibenarkan dalam sebuah bahasa.

Dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri atas rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Kaidah yang mengatur penjejeran fonem dalam satu kata dinamakan kaidah fonotaktik (Alwi, 2003: 28). Rangkaian fonem yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai pola-pola fonotaktik pada suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Bahasa Pesisir Sibolga merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia tepatnya di Kota Sibolga, Sumatera Utara. Jadi penelitian tentang fonotaktik bahasa ini pun perlu dilakukan untuk mengembangkan kemahiran berbahasa Pesisir Sibolga. Untuk mengetahui bagaimana aturan tata bunyi dalam bahasa tersebut dapat dituliskan melalui simbol-simbol bunyi. Selain itu,


(19)

kenyataannya di Sibolga bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakatnya adalah bahasa Pesisir Sibolga, tetapi dalam dunia pendidikan bahasa ini tidak diajarkan seperti halnya bahasa Batak Toba yang dijadikan sebagai salah satu bahasa yang diajarkan dalam pelajaran muatan lokal.

Mengingat hal itu maka perlu dilakukan penelitian tentang bahasa Pesisir Sibolga sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk dijadikannya bahasa ini menjadi sebuah pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang ada di kota Sibolga. Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) ini unik karena mempunyai kemiripan dengan bahasa Minang, Batak, dan bahasa Melayu. Tentu saja berbeda dari segi bunyi. Sebagai contoh dalam bahasa Minang mengatakan [apo]yang artinya ‘apa’ bahasa Pesisir Sibolga juga mengatakan [apo] untuk mengungkapkan kata ‘apa’. Kata yang diungkapkan sama tapi tentu saja dari segi bunyinya sangat berbeda. Perbedaan itu sangat jelas kedengaran ketika seseorang melafalkan kata [apo] tersebut.

Contoh yang lain adalah kata [mangapo] dalam bahasa Pesisir Sibolga,

sedangkan dalam bahasa Minang dilafalkan dengan kata [manga], dan dalam bahasa Batak dilafalkan dengan kata [mahua]. Jadi dari contoh kata tersebut timbul sebuah keinginan untuk mengetahui bagaimana aturan atau kaidah yang digunakan dalam kata bahasa Pesisir Sibolga dirangkai dengan beberapa fonem sehingga membentuk sebuah kata dan menghasilkan bunyi yang dapat dimengerti oleh orang yang mendengarnya. Penelitian ini juga akan mencari tahu fonotaktik bahasa Pesisir Sibolga. Oleh karena itu dalam hal ini perlu dilakukan penelitian terhadap BPS ini untuk memperkaya pengetahuan dan informasi tentang bahasa


(20)

daerah yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Utara pada khususnya.

Tesis ini berjudul Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga

dengan permasalahan pokok yang dianalisis adalah struktur fonem pada suku kata. Dalam Hasibuan (1996: 3-4) menyatakan bahwa fonotaktik sebagai ihwal distribusi fonem, Fudge (1990) memberikan penjelasan bahwa bahasa Inggris hanya membolehkan maksimal tiga fonem konsonan yang dapat berfungsi sebagai awal sukunya. Tidak semua kombinasi tiga fonem konsonan dapat diterima sebagai awal suku. Fonem konsonan yang dapat menjadi komponennya sudah tertentu dan dengan jumlah yang lebih terbatas. Sebagai contoh, kombinasi fonem konsonan /spl-, spr-, str-/, dan /skl-/ yang mungkin muncul sebagai awal suku. Dalam setiap contoh, posisi pertama pada urutan komponen fonemis awal suku berupa gugus konsonan berkomponen tiga fonem senantiasa ditempati oleh fonem /s/ saja. Posisi kedua ditempati oleh fonem hambat tansuara /p, t, k/, dan posisi ketiga oleh konsonan sonoran non-nasal /l, r, w, y/. Dari contoh awal suku berupa gugus konsonan berkomponen tiga fonem di atas, fonem tertentu yang dapat menempati posisi pertama pada urutan komponen fonemisnya hanya satu fonem. Jumlah ini merupakan bagian yang sangat terbatas dari seluruh fonem pada khazanah fonem bahasa Inggris. Begitu juga dengan jumlah konsonan yang dapat menjadi komponen kedua dan ketiganya, masing-masing hanya terdiri atas tiga dan empat fonem konsonan. Dan upaya menempatkan fonem yang benar di antara /s/ dan /l/ pada awal suku berupa gugus konsonan berkomponen tiga fonem di atas, misalnya, memerlukan pengetahuan tersendiri. Pengetahuan tentang kombinasi fonem, menurut Fudge, sangat membantu, mengerti kombinasi fonem


(21)

akan membatasi pilihan pada salah satu dari konsonan /p/ atau /k/. Studi tentang kemungkinan kombinasi fonem dalam suatu bahasa oleh Fudge disebut fonotaktik.

Penelitian fonotaktik bahasa-bahasa daerah cukup banyak dilakukan namun Fonotaktik Fonem dalam Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. Bahasa Pesisir Sibolga ini dianggap perlu diteliti karena jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia mempunyai perbedaan seperti yang terdapat dalam kata berikut ini, yaitu:

Bahasa Pesisir Sibolga Bahasa Indonesia

‘makkan’ ‘makan’

‘kakki’ ‘kaki’

‘dakke?’ ‘dekat’

Dari contoh kata di atas tampak jelas perbedaan susunan fonem dalam pembentukan kata. Dalam bahasa Pesisir Sibolga terdapat deret konsonan [k] di tengah kata, sedangkan bahasa Indonesia hanya memiliki konsonan tunggal [k] pada kata [makan]. Contoh tersebut mengindikasikan bahwa bahasa Pesisir Sibolga sangat unik dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini masih perlu dikaji lebih mendalam tentang bagaimana struktur fonotaktik fonem dalam BPS dan dalam penelitian ini akan meneliti kombinasi fonem konsonan dan vokal pada suku kata pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam kata dasar BPS seperti penjelasan di atas. Kombinasi fonem konsonan seperti /spl-, spr-, str-/, dan /skl-/ dapat muncul di awal suku kata bahasa Pesisir Sibolga yang berasal dari bahasa Inggris.


(22)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS). Masalah pokok penelitian adalah

1. Bagaimanakah struktur fonotaktik fonem di dalam deret vokal dan deret konsonan di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga?

2. Bagaimanakah struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga?

3. Bagaimanakah pola struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam deret dan deret konsonan bahasa Pesisir Sibolga.

2. Mendeskripsikan struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga.

3. Mendeskripsikan pola struktur fonotaktik fonem di dalam suku kata bahasa Pesisir Sibolga.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai fonotaktik bahasa daerah guna memperkaya khazanah penelitian tentang bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan penyusunan buku pelajaran Bahasa Pesisir Sibolga (BPS) pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan sebagai mata pelajaran muatan lokal dalam menentukan struktur fonotaktik fonem dalam BPS. Fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmiah kepada penulis lain yang berminat menganalisis fonotaktik bahasa tertentu yang ada di Nusantara dan tentunya juga sebagai sumbangan bagi khazanah perkembangan linguistik Indonesia.


(24)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi

Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang dimungkinkan dalam bahasa. Kata dimungkinkan, diinterpretasikan sebagai suatu keadaan yang menyebabkan urutan fonem itu dapat berterima di masyarakat. Masyarakat menggunakan seperangkat bunyi-bunyi bahasa termasuk fonem untuk membentuk sebuah kata, dari kata ke frasa, dari frasa ke klausa dan sampai pada kalimat yang memiliki arti dan dapat dipahami.

Secara garis besar, fonologi adalah suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik (Lass, 1988:1). Menurut Verhaar, fonologi adalah ilmu yang menyelidiki perbedaan minimal antar ujaran yang selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen (Verhaar, 1982: 36), contohnya adalah bue dan

pueɁ.(bue= ayun dan pueɁ= buat/membuat). Pasangan kata tersebut memiliki dua bunyi yang berbeda yaitu [b] dan [p]. Hal itu menunjukkan bahwa /b/ dan /p/ adalah dua fonem yang berbeda. Demikian juga dengan Yallop (1990: 126) yang menggunakan pasangan minimal untuk membuktikan bahwa sebuah bunyi adalah fonem. Jadi, pasangan minimal adalah dua ujaran yang berbeda maknanya tetapi memiliki minimal satu perbedaan bunyi.


(25)

Setiap bahasa diwujudkan oleh bunyi, dalam hal ini adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia karena secara tepat tidak ada bunyi yang sama benar diucapkan oleh seorang pembicara paling tidak, ada dua hal pokok yang mendasari perbedaan itu. Pertama secara ucapan dan kedua secara sistem. Perbedaan tersebut didasarkan pada pendapat Ferdinand de Saussure, yang mengganggap bahwa bunyi bahasa ada yang bersifat ujar (parole) dan ada yang bersifat sistem (langue). Baik parole maupun langue termasuk dalam kajian fonologi.

Sementara fonem adalah abstraksi dari bunyi-bunyi bahasa. Sama halnya dengan pengertian yang dikemukakan Alwi, bahwa fonem adalah satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan makna kata (Alwi dkk, 2003: 53). Fonem tidak sama dengan bunyi bahasa. Fonem diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya. Misalnya: konsonan bilabial, konsonan bersuara, konsonan geseran velar bersuara, dan vokal depan atas.

Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan dan konsonan (Alwi dkk, 2003:49) Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau penyempitan di atas glottis. Dengan kata lain, vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (Alwi dkk, 2003: 50). Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau penyempitan aliran udara (Kentjono, 1982:26-28). Pada pelafalan konsonan, ada tiga faktor


(26)

yang terlibat: keadaan pita suara, penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap, dan cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan (Alwi dkk, 2003:52).

Setiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, yakni dalam merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya suku kata. (Kentjono dan Sunarto, 1990:34). Menurut Sigurd (1968:450), deskripsi fonologis suatu bahasa secara umum terdiri atas deskripsi fonem-fonem pada bahasa dan deskripsi distribusi fonem, dan pernyataan itu sering disebut struktur fonotaktik dalam bahasa. Dengan demikian fonotaktik merupakan sebuah ilmu yang mengatur urutan fonem-fonem yang membentuk sebuah kata yang menghasilkan bunyi yang dapat berterima dalam sebuah bahasa. Aturan-aturan tersebut tidak sama pada semua bahasa, tetapi berbeda-beda. Istilah fonotaktik sering kali didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli bahasa. Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:

1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa 2. Deskripsi tentang urutan tersebut

3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik

Pengertian lain terdapat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI), fonotaktik adalah kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak. Kaidah itulah yang menyebabkan kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang kelihatan seperti kata Indonesia dan mana yang tidak, meskipun kita belum pernah melihatnya (Moeliono dkk:1988:52-53).


(27)

Dalam penelitian ini yang berlaku pada pelafalan sejumlah kata-kata dalam bahasa Pesisir Sibolga melalui kosakata Swadesh dan beberapa kosakata lainnya yang direkam pada saat penelitian dalam pengambilan data. Selain itu, pengertian tersebut sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk melihat urutan fonem yang membentuk suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Fonotaktik

Fonotaktik adalah suatu prosedur pertemuan dan penentuan tata urut dan tata hubung fonem-fonem dalam sebuah bahasa yang berpedoman pada distribusi (awal, tengah, dan akhir kata) sehingga yang dibicarakan dalam fonotaktik adalah pola urutan bunyi pada kata.

Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Dan kesatuan bunyi tersebut bertaut sehingga membentuk suku kata. Fonem merupakan komponen langsung dalam suku. Pulgram (1970) menyatakan bahwa:

The syllable is a linguistic unit of the figure type, a segment of the section, which contains one vowel nucleus and whose phonological boundaries, which may be but are not always necessarily signaled phonetically, are determined by a general set of phonological-phonotactic rules of syllabation that are applied to the specific phonotactics of a given language.

Dalam menentukan batasan suku, Pulgram terlihat banyak memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak dari pernyataan bahwa suku adalah satuan bahasa bertipe figura. Sebagai satuan bahasa, suku


(28)

merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas yang lainnya dalam jajaran satuan bahasa, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing dapat dipandang sebagai satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pengertian figura dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan dengan mempertentangkan satuan fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Satuan fonem dan suku menurut Pulgram masuk tipe figura. Figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak pula menyatakan makna (the figure does not by and of itself convey meaning). Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda (sign). Walau tergolong ke dalam tipe figura, antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh masing-masing satuan bahasa di atas. Fonem memiliki ciri khusus yang memungkinkan terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem itu sendiri. Ciri itu, yang sekaligus dapat dijadikan batasannya adalah bahwa di samping sebagai figura, fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh batasan. Ciri fonem yang dimaksud di atas, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diperkirakan. Suku tidak dapat dikatakan merupakan satuan minimum atau maksimum, dan tidak pula sebagai satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat diterangkan berdasarkan bentuk dan batas-batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak dapat disebut sebagai satuan fonotaktik minimum dengan sendirinya memperjelas bahwa suku menduduki posisi di atas fonem dalam hierarki satuan bahasa, dengan


(29)

pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem tertentu menurut kaidah fonotaktik yang berlaku. ( Hasibuan, (1996: 37-39)).

Fromkin dan Rodman (1993: 231) mengatakan bahwa pembatas-pembatas (constraints) deretan segmen disebut pembatas-pembatas fonotaktik bahasa itu. Jika kita memeriksa fonotaktik bahasa Inggris, kita menemukan bahwa fonotaktik sebuah kata sebenarnya pada dasarnya berdasarkan fonotaktik suku kata.

Hyman (1975: 10) mengatakan bahwa ada juga pembatas-pembatas segmental yang mencirikan tataran fonetis yang merujuk kepada pembatas-pembatas segmental fonetis, dimana batasan-batasan seperti ini disebut pembatas-pembatas segmental. Dan di samping pembatas-pembatas segmental, ada juga pembatas fonotaktik (sequential constraints) dan yang dapat menyinggung salah satu tataran fonetis atau tataran fonologis, atau kedua-duanya. Kalau dibicarakan masalah pembatas-pembatas fonotaktik fonologis dan pembatas-pembatas fonetis, hal ini berarti bahwa dalam kedua tataran itu, ada batasan bagaimana segmen (bunyi) dapat dikombinasikan secara berurutan (sequentially). Hal ini bisa berarti bahwa kata atau suku kata hanya dapat dimulai dengan segmen-segmen tertentu atau segmen-segmen tertentu tidak dapat terjadi sebelum atau sesudah segmen (bunyi) yang lain.

O’Grady, dkk (1997:77) mengatakan bahwa fonotaktik adalah seperangkat pembatas-pembatas tentang bagaimana pola deretan bunyi-bunyi (segmen) itu terbentuk, membentuk bagian dari kemampuan dan pengetahuan fonologis yang dimiliki oleh penutur bahasa itu. Pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, akhir) dalam kata atau frasa.


(30)

Alwi, dkk (1998:28) mengatakan bahwa dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri dari rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain yang mempunyai makna. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu yang dapat mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasarkan konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang mengatur deretan fonem dalam satu bahasa disebut kaidah fonotaktik.

Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:

1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa 2. Deskripsi tentang urutan tersebut

3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik

Hawkins (1984:61) mengatakan bahwa kajian tentang kombinasi deretan bunyi pada umumnya dikenal sebagai fonotaktik. Hal senada juga disampaikan oleh Wolfram dan Johnson (1982:75) mengatakan bahwa pola-pola tertentu dalam penggabungan bunyi-bunyi pada sebuah bahasa disebut fonotaktik bahasa itu. Burling (1992:134) mengatakan bahwa fonotaktik merupakan kajian tentang urutan dan susunan unit fonologis suatu bahasa yang dapat diizinkan tetapi terbatas.

Finegan dan Besnier (1989:78) mengatakan bahwa kaidah-kaidah yang memerikan struktur suku kata dalam suatu bahasa disebut pembatas fonotaktik. Hartmann dan Stork (1972:175) mengatakan bahwa fonotaktik adalah sistem dan kajian dalam mencirikan penyusunan deretan fonem. Kenstowics (1994:250)


(31)

mengatakan bahwa pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, dan akhir) dalam kata atau frasa.

Dengan demikian dari pendapat di atas bahwa pembatas-pembatas dalam memadukan beberapa bunyi bahasa dalam sebuah bahasa belum tentu merupakan kendala bagi bahasa lainnya, dan dalam hal ini peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat Wofram dan Johnson (1982:75), Pulgram (1970), Kridalaksana (!982:58), dan Burling, (1992:134) seperti yang dideskripsikan di atas.

2.2.2Fonem

Fonem sebagai figura oleh Pulgram (1970) disebut juga satuan fungsional terkecil bahasa. Lyons (1981), yang juga menganggap fonem sebagai satuan fungsional terkecil bahasa, memberikan batasan fonem dengan memperhatikan aspek distribusinya. Lyons mengartikan distribusi itu sebagai konteks terdapatnya suatu bunyi pada seluruh kalimat yang ada dalam sebuah bahasa. Dua buah bunyi dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda apabila di antara keduanya terdapat distribusi tumpang tindih yang membedakan bentuk yang satu dengan lainnya. Antara [m] dan [n] dalam bahasa Pesisir Sibolga, misalnya, dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda karena kedua bunyi tersebut berdistribusi tumpang tindih. Perbedaan fungsionalnya terlihat, misalnya, dalam membedakan bentuk [makkan] ‘makan’ dengan [nakkan] ‘keponakan’, ataupun antara [ayam] ‘ayam’ dengan [ayan] ‘sejenis ember tapi digunakan untuk memasak’. Hanya bunyi yang memiliki perbedaan fungsional saja yang dapat membedakan satu bentuk dengan bentuk lain. Dengan demikian, dari contoh di


(32)

atas diperoleh dua fonem yang berbeda. Keduanya adalah nasal bilabial /m/ dan

nasal alveolar /n/.

Jadi komponen sesungguhnya dari sistem bahasa adalah fonemnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Fonem diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem vokal adalah bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan daerah artikulasi. Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang resonansi pada rongga mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir. Fonem vokal lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan fonem konsonan. hal tersebut dikarenakan terbatasnya pengaturan posisi lidah dan bibir ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini merupakan peta fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

Tabel 1

Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia

Depan Tengah Belakang

Tinggi / i / / u /

Sedang / e / /ə / / o /

Rendah / a /

Fonem konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan dan penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi konsonan ini lebih banyak jenisnya dari bunyi vokal, seiring dengan banyaknya jenis articulator yang terlibat


(33)

dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini merupakan peta fonem konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

Tabel 2

Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia Cara artikulas i Daerah artikulas i Bilabia l labiodenta l Denta l Alveola r Palato-alveola r Palata l Vela r Glota l

Plosif p b

f t

d

s z

h

Afrikatif ʃ

ʤ c j k kh g

Lateral l

Tril r

Flap

Nasal m n ñ ŋ

Semi-vokal

w y

Dalam pembicaraan fonotaktik bahasa Pesisir Sibolga, komponen yang diperhitungkan adalah fonemnya pada tataran suku kata.


(34)

2.2.3 Penyukuan (Syllabification)

Penyukuan adalah prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dan disilabis dalam sebuah bahasa seperti yang dikutip dari beberapa linguis di bawah ini:

Wolfram dan Johnson (1982:86) mengatakan bahwa prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dalam sebuah bahasa disebut penyukuan, yang terdiri atas suku kata yang terbuka dan tertutup.

Pulgram (1970) menyatakan bahwa kaidah atau aturan penyukuan didasari oleh prinsip fonemik yaitu sebagai berikut:

1. Menetapkan kata mana dari tuturan yang harus diuraikan atas sukunya. Batas-batas kata dengan sendirinya akan menjadi batas suku.

2. Membagi sementara setiap kata sedemikian rupa sehingga batas suku tetap berada sesudah setiap vokal. Dengan cara ini diperoleh suku-suku terbuka. 3. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena tidak

terdapatnya distribusi vokal pada posisi akhir kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang diperlukan dapat menutupi suku terbuka itu dengan akhir suku yang diperbolehkan. Vokal yang semula menduduki posisi akhir suku akhirnya berubah posisi karena adanya pemindahan konsonan dari awal suku sesudahnya kepada suku yang mendahuluinya.

4. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena sejumlah konsonan yang akan menjadi awal suku bagi suku sesudahnya tidak terdapat pada posisi awal kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang diperlukan dapat dipindahkan dari awal suku itu untuk menjadi akhir suku


(35)

bagi suku yang mendahuluinya. Suku pertama, yang sebelumnya terbuka, akhirnya menjadi tertutup.

5. Jika pemindahan konsonan dari posisi awal suku ke posisi akhir suku memunculkan sejumlah konsonan akhir suku yang tidak diperbolehkan, maka keunikan itu lebih dibebankan kepada akhir suku daripada ke awal suku yang mengikutinya.

Kaidah penyukuan yang diusulkan Pulgram pada dasarnya memberi pengutamaan pemerolehan suku terbuka serta pemaksimalan awal suku terbuka serta pemaksimalan awal suku. Prinsip senada yang menguatkan kaidah penyukuan Pulgram kemudian terlihat juga pada Clement and Keyser (1983). Problema penetapan konsonan antara kepada suku (syllable node) mana komponen K harus disertakan (yang di depan atau yang berikutnya) memberi latar pengusutan ‘Prinsip Mendahulukan Awal Suku’ (The Onset First Principle) mereka. Prinsip penyukuan mereka (1983) dalam Katamba (1989) adalah sebagai berikut:

a. Konsonan awal suku dimaksimalkan sesuai dengan konsonan struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-initial consonants are maximised to the extent consistent with the syllable structure conditions of the language in question).

b. Konsonan akhir suku, kemudian, dimaksimalkan sesuai dengan kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-final consonants with the syllable structure of the language in question) (Hasibuan, (1996: 48-50))


(36)

Dalam penerapannya prinsip (a) harus mendahului (b), yaitu pemaksimalan awal suku sebatas tercapainya kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan. Struktur kata VKV, sesuai prinsip mendahulukan awal suku, harus diurai atas V-KV. Kata bahasa Pesisir Sibolga <ijo>’ hijau’, misalnya, akan dapat diuraikan atas sukunya menjadi /i-jo/, bukan /ij-o/.

Uraian lanjut prinsip penyukuan Clement and Keyser (1983), dapat dibuat secara bertahap sebagai berikut:

a. Setiap V pada kata dihubungkan dengan simpul suku. Gambaran ini memberi arti tidak terdapatnya suku tanpa V sebagai inti.

b. Setiap K digabungkan dengan V terdekat di sebelah kanannya sehingga menghasilkan sejumlah konsonan yang tidak menyalahi kaidah bahasa yang bersangkutan. Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan awal suku. c. Setiap K yang tersisa disertakan kepada V terdekat di sebelah kirinya.

Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan akhir suku.

Dengan mengambil kata sadebo (sebagian) bahasa Pesisir Sibolga, gambaran tahapan kerja di atas terlihat seperti di bawah ini.

K V K V K V s a d e b o


(37)

Setiap V, sesuai ketentuan pada (b), dihubungkan dengan simpul suku.

K V K V K V s a d e b o

ketentuan (b) mengharuskan pengabungan setiap K kepada V disebelah kanan. Penerapan (b) menghasilkan awal suku / s- /, / d- /, / b-/ yaitu /sa-de-bo/.

Katamba, (1998:164) lebih cenderung mendeskripsikan peranan suku kata dalam fonologi daripada pengertian penyukuan seperti yang diberikan di bawah ini:

1. Suku kata sebagai unit dasar fonotaktik. Dalam hal ini, suku kata tersebut mengatur bagaimana konsonan dan vokal bisa dikombinasikan secara hirarki fonologis.

2. Suku kata sebagai ranah kaidah fonologis. Dalam hal ini pembatas struktur suku kata tidak dibatasi dari kata pinjaman dan interferensi bahasa ibu (mother tonge), sehingga struktur kata sering memainkan peranan yang penting dalam menentukan kaidah fonologis internal sebuah bahasa.

3. Suku kata sebagai struktur segmen yang kompleks. Dalam hal ini suku kata tidak hanya mengatur kombinasi bunyi (segment) tetapi juga mengontrol kombinasi ciri-ciri yang membentuk bunyi tersebut.

Spencer, (1996:72-73) mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa suku kata itu sangat penting dalam teori fonologis seperti yang diberikan di bawah ini:


(38)

1. Kalau kita perhatikan kumpulan bunyi dalam sebuah bahasa, kita akan menemukan adanya prinsip yang tertentu digunakan dalam pembentukannya.

2. Sangat banyak pembatas dalam bahasa tertentu cenderung diaplikasikan pada tataran struktur suku kata di samping tataran morfem maupun tataran kata.

3. Suku kata adalah hal yang paling baik dapat dipahami sebagai pembentukan konstituen dalam proses fonologis. Pendeknya pengertian tentang penyukuan sangat penting dalam pemahaman kita untuk menyusun sistem fonologis suatu bahasa.

Hyman (1975:188) juga berpendapat dan menyatakan bahwa suku kata terdiri dari dua bagian fonetis, yaitu:

1. Konsonan yang mendahului vokal disebut Onset (O)

2. Rima (R). Rima terdiri atas dua bagian yaitu: (a) inti (nucleus) atau ‘peak’, (b) konsonan yang mengikuti vokal disebut koda (coda).

Contoh:

� = suku kata

Onset (O) Rhyme (R)

Nucleus (R) Coda

(C)


(39)

O’Grady, dkk (1989:79-80) mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan penyukuan dalam dua suku kata atau lebih melalui empat langkah, yaitu sebagai berikut:

Langkah pertama, karena inti suku kata merupakan konstituen yang wajib pada sebuah suku kata, maka inti suku kata itu yang pertama sekali ditentukan pada tiap-tiap sukunya yang biasanya vokal, dan di atas masing-masing simbol nucleus (N) ditempatkan Rima (R), dan di atas masing-masing Rima (R) ditempatkan simbol sigma (�) untuk pembatas suku katanya.

Contoh:

� �

R R

N N

ԑ k s t r i m (Extreme)

Langkah kedua, deretan konsonan yang terpanjang ke sebelah kiri masing-masing inti (N) yang tidak melanggar pembatas-pembatas fonotaktik suatu bahasa disebut onset (O) dari suku katanya.

Contoh: � �

R R

N O N


(40)

Langkah ketiga, ini diartikan bahwa setiap konsonan yang sisa yang ada di sebelah kanan dan tiap-tiap (N) membentuk coda (C). Coda ini digabungkan dengan inti suku kata yang berakhir dengan coda (C) dalam hal ini disebut suku kata tertutup.

Contoh:

� �

R R

N C O N C

ԑ k s t r i m (Extreme)

Menurut Halim (1984:144), struktur suku kata (atau pola KV) terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu: ‘ancang-ancang’, ‘puncak (inti)’, dan ‘koda’. Ambercrombie, dalam Halim, menyebut ketiga bagian itu dengan istilah “konsonan pelesap” (K), “unsur silabik” (V), dan “konsonan penahan” (K) (Halim, 1984:144). Dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah konsonan (K) dan vokal (V).

Menurut Halim (1984) ada 4 (empat) tipe utama struktur suku kata dalam bahasa Indonesia yaitu KV, KVK, VK, dan V. Kemudian Halim mengembangkan kombinasi yang mungkin terjadi dari keempat tipe tersebut. Kombinasi yang didapatkan Halim dalam 2 (dua) suku kata, adalah sebagai berikut:

1.KV – KV /lu-pa/

2.KV – KVK /ma-kan/


(41)

4.KVK – V /ma-u/

5.KVK – KV /tan-da/

6.KVK – KVK /lom-pat/

7.VK – KV /aη-ka/

8.VK – KVK /ar-wah/

9.V – KV /i-ni/

10. V – KVK /a-naɁ/

11. V - VK /a-ir/

12. V – V /i-a/

Moeliono dkk.(1988:66) memperluas keempat struktur suku kata utama menjadi 11 macam yaitu:

1.V /a-mal/

2.VK /ar-ti/

3.KV /pa-sar/

4.KVK /pak-sa/

5.KKV /slo-gan/

6.KKVK /trak-tor/ 7.KVKK /teks-til/ 8.KKKV /stra-te-gi/ 9.KKKVK /struk-tur/

10. KKVKK /kom-pleks/


(42)

Contoh-contoh pada struktur suku kata di atas yang mengandung gugus konsonan sebagian besar berasal dari bahasa Inggris. Lauder mengungkapkan bahwa sekitar 85% lema-lema yang terdapat dalam KBBI (1993) cenderung berkonstruksi KV (49,50%) dan KVK (35,42%). Dari hasil perhitungan itu terlihat bahwa suku yang mengandung gugus konsonan jumlahnya hanya mencapai 3,65%. Jumlah yang kecil menunjukkan bahwa suku kata dengan konstruksi demikian merupakan struktur baru dalam bahasa Indonesia.

Menurut Yusuf (1998:124) struktur suku kata yang paling alamiah adalah KV (Konsonan Vokal) yang selalu muncul dalam berbagai bahasa di dunia, dan dalam pemerolehan bahasa anak-anak. Struktur demikianlah yang pertama kali dikuasai anak-anak. Begitu pula dalam bahasa Indonesia, konstruksi KV ini merupakan salah satu dari 4 (empat) struktur suku kata utama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, disadari begitu banyaknya teori yang disampaikan para ahli mengenai fonotaktik. Dalam setiap teori tersebut mereka mempunyai ciri khas masing-masing. Namun dalam hal ini, teori yang dipakai dalam penelitian ini, penulis mengikuti teori Pulgram (1970).

Contoh: /-mb-/ dalam bahasa Pesisir Sibolga seperti pada kata: [rambuɁ] ‘rambut’ pemisahan sukunya adalah [ram-buɁ]. Kedua pasangan bunyi ini berdampingan (berderet) dan kedua pasangan ini terletak pada suku kata yang berbeda sehingga gabungan konsonan seperti itu dinamakan deret konsonan.


(43)

2.2.4 Deret Konsonan

Deret konsonan adalah gabungan dua konsonan yang terdapat pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan seperti pendapat Pulgram, (1970:79) mengatakan bahwa gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan disebut deret. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Alwi, dkk., (1998:79) mengatakan bahwa deret adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan. Lauder, (1996: 148) juga menyatakan deret konsonan adalah konsonan-konsonan yang berada dalam suku kata yang berbeda. Contoh deret konsonan di tengah dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS):

/-mb-/ pada [rambuɁ] ‘rambut’ /-ŋk-/ pada [baŋka?] ‘jangan’ /-nt-/ pada [hantam] ‘angkat’ /-kk-/ pada [dakke?] ‘dekat’

2.2.5 Gugus Konsonan

Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong ke dalam satu suku kata yang sama ketika dilafalkan baik pada posisi awal, tengah, dan akhir kata. Lauder, (1996:150) mengatakan bahwa gugus konsonan adalah dua atau tiga konsonan berdampingan yang terdapat dalam satu suku kata. Pulgram (1970) dalam Hasibuan (1996:55) mengusulkan bahwa gugus konsonan (cluster) untuk pengertian kombinasi fonem konsonan yang terdapat pada suku


(44)

yang sama. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gugus konsonan merupakan gabungan dua atau tiga konsonan yang berjejer dalam satu suku kata yang letaknya bisa di awal dan di akhir suku kata.

2.2.6 Deret Vokal

Deret vokal adalah vokal-vokal yang berderet dalam dua suku kata yang berbeda. Deretan vokal biasanya merupakan dua vokal yang masing-masing mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam suku kata yang berbeda. Dengan kata lain deret vokal adalah dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda ketika dilafalkan. Ada beberapa defenisi deret vokal yang dikutip dari beberapa pendapat linguis di bawah ini:

Aminoedin dkk.(1984:140) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan deret vokal ialah dua atau lebih vokal yang berjajaran, tetapi masing-masing merupakan puncak kenyaringan ucapan. Hal ini berarti bahwa masing-masing merupakan suku yang berlainan. Alwi dkk.(1998:52) juga mengatakan deret vokal adalah hembusan nafas yang sama atau hampir sama, kedua vokal itu termasuk dalam suku kata yang berbeda. Contoh: deret /ai/, dan /ao/ pada kata kain (kain) dan

maon (rasakan) adalah deret vokal karena masing-masing terdiri atas dua suku kata yaitu: ka-in dan ma-on.

Jadi dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa deret vokal merupakan gabungan dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda dan merupakan puncak kenyaringan ucapan.


(45)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga. Penelitian ini memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti-peneliti bahasa tentang fonotaktik yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini.

Hasibuan (2009) meneliti problematika fonotaktik bahasa Indonesia, menyatakan setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan kaidah kebahasaan termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak dinamakan fonotaktik. Bahasa Indonesia juga mempunyai kaidah semacam itu seperti deretan vokal, deretan konsonan, dan suku kata dalam bahasa Indonesia, seperti: deretan vokal: /-iu-/ pada kata tiup, nyiur.

Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan konsonan misalnya /-mp-/ pada kata empat dan /-nd-/ pada kata indak. Deretan konsonan di atas adalah deretan konsonan yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan vokal dan konsonan dalam suku kata:

a. V : a - mal

b. VK : ar - ti

c. KV : pa - sar

d. KVK : pak - sa


(46)

f. KKVK : trak - tor g. KVKK : teks - til h. KKKV : stra – te - gi i. KKKVK : struk - tur j. KKVKK : kom - pleks

k. KVKKK : korps

Hasibuan (1979) dalam bukunya Deskripsi Bahasa Batak Toba menguraikan inventarisasi fonem Bahasa Toba, sebagai berikut:

1. Vokal: /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dengan kata lain, vokal /e/ dan /o/ masing-masing mempunyai alofon, yaitu:

/E/ [sEhat] bahasa Indonesia e

/e/ [binje] ucapan suku Jawa

/ɵ/ [tɵlɵŋ] bahasa Indonesia o

/o/ [bodo] bahasa Jawa

2. Konsonan: /b/, /p/, /d/, /t/, /j/, /g/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /h/, /l/, /r/, /s/, /Ɂ/.

3. Fonem bahasa Indonesia yang tidak dijumpai pada bahasa Batak Toba yaitu:

e /∂/ [b∂nar] bahasa Indonesia

c /c/ [cacat] bahasa Indonesia ñ ñ /ñ/ [ñañi] bahasa Indonesia w /w/ [duwa] bunyi pelancar


(47)

y /y/ [bayion] bunyi pelancar dengan catatan:

fonem /w/ dan /y/ dalam bahasa Toba hanya dipakai sebagai bunyi pelancar saja.

4. Bahasa Batak Toba mempunyai klaster tidak produktif yaitu: /nd/ - /ndang/

artinya ‘tidak’, dan /ndada/ ‘tidak ada’.

5. Diftong tidak dijumpai dalam bahasa Batak Toba seperti: balai [balE], damai [damE], dan pulau [pulo].

Chaiyanara (2007) meneliti Fonotaktik Bahasa Melayu. Transfonologisasi Internal dan Eksternal, maksudnya satu penyesuaian dan pemunculan bentuk fonem yang baru serta kemajuan secara diakronik tentang sistem dan penyusunan fonem bahasa Melayu. Transfonologisasi dimaksudkan sebagai satu fenomena pembentukan sistem fonologi baru dalam suatu bahasa disebabkan oleh kebutuhan tertentu dalam pembentukan kata dan penentuan makna.

Mengingat bahasa Austronesia Purba pada asalnya memiliki 4 (empat) vokal yaitu [i, e, a, u], setelah berkembang menjadi bahasa Melayu induk, vokal i dan u diperoleh masing-masing memiliki variasi fonemik dan berkembang menjadi dua bunyi yang baru yaitu bunyi [i] menurunkan bunyi [i] dan [e] sedangkan bunyi [u] menurunkan bunyi [u] dan [o] kepada bahasa Melayu induk. Kemudian bunyi [a] memiliki variasi fonemik yaitu [a] dan [e] dalam perkembangan bahasa Melayu induk. Dengan perubahan tersebut maka sistem vokal dalam beberapa dialek bahasa Melayu induk terdiri dari sistem 6 vokal yaitu [i, e, u, o, a, ∂].


(48)

Perubahan hasil Transfonologisasi Austronesia Purba bunyi [e] memiliki variasi fonemik yaitu [e] dan [E], sedangkan bunyi [o] memiliki variasi fonemik yaitu [o] dan [ↄ]. Hasil transfonologisasi yang berlaku dalam bahasa Austronesia Purba dan bahasa Melayu induk terwujud dalam delapan vokal [i, e, a, ↄ, o, u, ∂]. Contoh: [ada], [ad∂], [adↄ], [ado], [gali], [biru], [bek]. Ahli berikut yang menyinggung fonotaktik bahasa Melayu/bahasa Indonesia adalah Spat (1900) dalam Chayanara (2007). Fonem-fonem homorgan yang dapat berkombinasi telah menjadi bagian dari perhatiannya. Antara lain adalah /ñ/ yang homorgan dengan /c/ dan /j/, dan tidak menemukan adanya penerimaan kehadiran gugus konsonan. Upaya Spat yang lain berkaitan dengan fonotaktik adalah penyukuan kata. Setidaknya Spat telah memberikan rumusan tentang penyukuan kata dasar (stamwoorden) dan kata berawalan. Untuk kata dasar Spat berpendapat bahwa suku pertama senantiasa terbuka, sedangkan yang terakhir boleh terbuka ataupun tertutup. Kata dasar seperti <tampar>, <jantan>, <angkat>, mengikuti rumusannya dalam penyukuan akan menjadi /ta-mpar/, /ja-ntan/, /aŋ-kat/. Hasil penyukuan kata dasar seperti yang dikemukakan oleh Spat terlihat lebih tepat disebut sebagai hasil penggalan kata dasar daripada penyukuan atas dasar fonemik yang tetap memperhatikan sistem fonem dan kenyataan berbahasa. Penyertaan dua konsonan antara sekaligus kepada suku kedua untuk memperoleh suku pertama terbuka, seperti dimaksudkan oleh Spat, tidak dapat diterima karen hal demikian menyebabkan pemunculan gugus konsonan yang tidak ditemukan sebagai awal kata dalam bahasa Indonesia. Penyukuan Spat dalam hal ini juga terlihat belum menunjukkan dasar yang jelas. Spat setidaknya telah memuat penyukuan yang


(49)

kontradiktif dengan ketentuan sebelumnya yang tidak membenarkan adanya gugus konsonan dalam bahasa Melayu/ bahasa Indonesia.

Hasibuan (1996) meneliti Fonotaktik dalam Suku Kata Bahasa Indonesia. Ada dua upaya pokok yang dilakukan dalam telaah tersebut. Pertama adalah penyukuan terhadap kata, dan yang kedua merupakan uraian suku atas komponen fonemisnya. Kedua upaya tersebut bertujuan menemukan kaidah. Upaya pertama diharapkan dapat menghasilkan seperangkat kaidah penyukuan, dan upaya kedua dapat menemukan kaidah fonotaktis yang berlaku pada suku kata bahasa Indonesia. Telaah fonotaktik dalam suku bahasa Indonesia ternyata dapat mengungkapkan lebih banyak fonem yang dapat berdistribusi pada akhir suku daripada di akhir kata. Terdapatnya konsonan nasal palatal /ɲ/ sebagai akhir suku pada berbagai suku memperjelas bahwa konsonan tunggal yang dapat berdistribusi di akhir kata tidak dapat disamakan dengan yang dapat berdistribusi di akhir suku. Konsonan /ɲ/ pada kenyataannya dapat ditemukan sebagai akhir suku dalam banyak contoh seperti berikut ini.

gincu /giñ.cu/ incar /iñ.car/ renceng /reñ.ceɲ/ benjol /beñ.jol/ gencar /gɜñ.car/ senjata /sɜñ.ja.ta/ ancam /añ.cam/ ganjaran /gañ.ja.ran/ bonjol /boñ.jol/ konco /koñ.co/ kuncup /kuñ.cup/ tunjuk /tuñ.juk/

Konsonan /ñ/, sebagaimana terlihat di atas, terdapat sebagai akhir suku apabila fonem kedua konsonan antara sesudahnya terdiri dari hambat palatal. Dari segi distribusi terlihat juga bahwa /ñ/ dapat ditemukan sesudah vokal bahasa


(50)

Indonesia pada akhir suku. Kenyataan ini menguatkan sekaligus pendapat Pulgram (1970) yang menyatakan bahwa fonem atau gugus konsonan yang menjadi batas kata dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku, tetapi fonem dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku belum bisa dipastikan dapat menjadi batas kata. Melalui penyukuan kata, batas suku perolehan diupayakan sedemikian rupa sehingga susun taut fonemisnya memenuhi kaidah fonotaktik batas kata bahasa Indonesia. Dalam upaya penyukuan kata bahasa Indonesia yang dilakukan terdapat kombinasi konsonan antara (/jl-/) yang dalam telaah bahasa Indonesia, hingga sejauh ini, beliau belum melihat statusnya sebagai awal suku. Tidak diterimanya /jl-/ sebagai awal suku bahasa Indonesia, dari segi kaidah penyukuan, dengan mudah dapat dipahami. Alasannya, kombinasi konsonan antara tersebut tidak terlihat sebagai batas awal atau sebagai pendahulu kata. Awal atau akhir suku tidak dapat disamakan dengan batas kata, kombinasi

konsonan antara tersebut potensial untuk menjadi awal suku. Sebagai contohnya dapat dilihat pada suku perolehan penyukuan kata anjlok (/añ.jlok/).

Kontribusi penelitia Hasibuan ini dijadikan acuan oleh penulis dalam mendukung keberhasilan penelitian ini terutama dalam mencari kaidah yang berlaku dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam hal urutan fonem dalam pembentukan kata. Selain itu, penelitian tersebut juga berkontribusi dalam menemukan fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga karena materi dan teori yang digunakan adalah sama.

Siahaan (2009) meneliti Fonotaktik Bahasa Toba. Dari penelitannya tersebut menemukan 21 (dua puluh satu) deret vokal dalam bahasa Toba yaitu: /ai/, /au/, /ae/, /ao/, /ia/, /iu/. /io/, /ua/, /ui/, /ue/, /ea/, /eu/, /eo/, /oa/, /oi/, /ou/, /uo/, /aoa/,


(51)

uae/, /aio/, dan /auo/. Deret vokal yang berada di awal, tengah dan akhir yaitu: /ai/, /au/, /ae/, /ia/, /ua/, /ea/, /oi/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir yaitu /ao/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /io/, /aoa/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir yaitu: /oa/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /aoa/. Deret vokal yang hanya berada di akhir yaitu: /ou/, /uo/.

Keduapuluh satu deret vokal di atas mempunyai jenis kata verba, nomina, adjektiva, pronomina, dan adverbia. Deret konsonan dalam bahasa Toba ada 50 (lima puluh) yaitu: /-kp-/, /-kj-/, /-kd-/, /-kh-/, /-kt-/, /-kl-/, /-ks-/, /-lb-/, /-lg-/, /-lm-/, /-ld-/-lm-/, /-lh-/-lm-/, /-lt-/-lm-/, /-lp-/-lm-/, /-lŋ-/, /-ls-/, /-mb-/, /-mp-/, /-ml-/, /-nd-/, /-ŋj-/, ns-/, /-nt-/, /-ŋg-/, /-ŋt-/, /-ŋk-/, /-ŋs-/, /-ŋp-/, /-pr-/, /-pt-/, /-ph-/, /-ps-/, /-rb-/, /-rl-/, /-rt-/, /-rh-/, /-rs-/, /-rj-/, /-rp-/, /-rg-/, /-rn-/, /-sp-/, /-sb-/, /-sn-/, /-st-/, /-sd-/, /-tm-/, /-tŋ-/, /-ts-/.

Suku kata dalam bahasa Toba terdiri atas: vokal (V), vokal konsonan (VK), konsonan vokal (KV) dan konsonan vokal konsonan (KVK). Dalam bahasa Toba tidak ditemui gugus vokal, gugus konsonan, dan diftong. Dalam bahasa Toba hanya ditemui cluster seperti /nd/ ‘ndang’ yang artinya ‘tidak’ dikatakan tidak produktif.

Tarigan (2001) meneliti fonotaktik bahasa Karo. Dari penelitian tersebut ditemukan struktur fonotaktik bahasa Karo yang ditinjau dari deret vokal, diftong, gugus konsonan, deret konsonan dan suku kata. Deret vokal dalam bahasa Karo ada 13 (tiga belas) yaitu: /ia/, /io/, /ea/, /eo/, /ai/, /ao/, /au/, /ou/, /ua/, ue/, /ui/, /ie/, dan /iu/. Deret vokal /ia/, /io/, /ea/, /ai/, /au/, /ua/, /ui/, dan /iu/ berada pada posisi awal, tengah dan akhir kata dasar, deret vokal /ou/ berada pada posisi awal dan tengah kata dasar, sedangkan deret vokal /ue/ berada pada posisi awal dan akhir


(52)

kata dasar. Jenis yang memuat ketiga belas deret vokal di atas adalah verba, nomina, adjektiva, pronomina dan adverbia. Terdapat dua diftong yaitu /ou/ dan /ei/. Kedua diftong tersebut berada pada posisi akhir kata dasar. Jenis yanng memuat kedua diftong tersebut adalah nomina, adjektiva dan verba. Gugus konsona dalam bahasa Karo ada enam yaitu: /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/. Keenam gugus konsonan tersebut berada pada posisi awal dan tengah kata dasar. Dari data yang didapatkan diketahui bahwa gugus konsonan dalam bahasa Karo tidak dijumpai yang terdiri atas perpaduan tiga atau empat segmen seperti halnya bahasa Inggris dijumpai gugus konsonan yang terdiri dari perpaduan tiga atau empat segmen dalam satu suku kata yang sama yang terdapat pada posisi awal dan akhir kata. Pembatas-pembatas gugus konsonan berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa hanya dijumpai dalam bentuk nasal (m, n, ŋ) dan bunyi positif (b, p, t, d, k, dan g) sehingga terbentuklah gugus /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/ yang disebut nasal homorganik sehingga gugus konsonan dalam bahasa Karo hanya terbatas pada bunyi nasal + bunyi plosif dan gugus konsonan /bm-/, /pm-/, /dn-/, /tn-, /gŋ-/, dan /kŋ-/ seperti gugus konsonan ini tidak dijumpai dalam bahasa Karo. Deret konsonan juga ditemukan ada sepuluh jenis yaitu:

1. Deret konsonan yang dimulai dengan /p/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.

2. Deret konsonan yang dimulai dengan /m/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.

3. Deret konsonan yang dimulai dengan /t/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verb, adjektiva, dan adverba.


(53)

4. Deret konsonan yang dimulai dengan /n/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

5. Deret konsonan yang dimulai dengan /s/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

6. Deret konsonan yang dimulai dengan /l/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

7. Deret konsonan yang dimulai dengan /r/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

8. Deret konsonan yang dimulai dengan /k/ berada pada posisi tengah kata dasar. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

9. Deret konsonan yang dimulai dengan /ŋ/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

10. Deret konsonan yang dimulai dengan /h/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

Dan suku kata yang terdapat dalam bahasa Karo pada penelitian tersebut terbagi atas:

1. Suku kata deret vokal berbentuk V. KV-VK, KV-V, V-VK dan KKV-V. 2. Suku kata diftong berbentuk KVK-KV dan KV-KV.

3. Suku kata gugus konsonan berbentuk KKV dan KKVK.

4. Suku kata deret konsonan berbentuk KK yang dijumpai hanya pada satu posisi yaitu posisi tengah kata dasar.

Penelitian yang juga digunakan sebagai bahan pemikiran tesis ini adalah hasil penelitian Lauder (1996) pada artikelnya yang berjudul “Khazanah Fonem Bahasa Indonesia: Menilik Frekuensi dan Fonotaktiknya”. Penelitian itu


(54)

mengupas masalah fonotaktik bahasa Indonesia. Pengetahuan fonotaktik bahasa Indonesia diperlukan sebagai acuan dalam menelaah fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Lauder melakukan penilikan frekuensi dan fonotaktik fonem-fonem bahasa Indonesia dalam rangka mengenali konstruksi bunyi bahasa Indonesia. Ada dua prinsip konstruksi suku kata bahasa Indonesia yaitu ortografis dan gramatikal. Data yang digunakan Lauder adalah Kompas dan Suara Pembaharuan, kemudian diperoleh 255.704 kata, yang sudah diperiksa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lauder meneliti kata-kata yang diperoleh berdasarkan:

1. Frekuensi pemunculan vokal 2. Frekuensi pemunculan konsonan

3. Fonotaktik. Ada dua kecenderungan yaitu: (a) pola yang cenderung berderet konsonan nasal-non nasal homorganik, contohnya [nan-ti], (b) pola yang cenderung berkonsonan getar atau konsonan tak bersuara, contohnya [mus-ti]

4. Gugus konsonan pada awal dan tengah kata yang paling menonjol dalam kosakata bahasa Indonesia adalah konstruksi bunyi [kr-] dan [pr-]. Konstruksi yang cenderung digunakan adalah gugus konsonan di awal atau tengah kata yang konsonan keduanya berupa konsonan getar [r] atau konsonan sampingan [l]

5. Ada tujuh konstruksi diftong, gugus vokal, dan deret vokal yang ditemukan yaitu /ai/, /au/, /eu/, /oi/, /ae/, /ui/ dan /ei/.

Dari penelitian itu, Lauder menyimpulkan bahwa penilikan frekuensi fonem menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri tersendiri, yaitu


(55)

kecenderungan lebih pada pemakaian bunyi letup dan bunyi sengau. Lauder juga menyebutkan bahwa sistem ejaan bahasa Indonesia cenderung fonemis.

Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah sama dan dengan adanya perbedaan kajian termasuk di dalamnya penggunaan teori dan pendekatan yang berbeda maka diharapkan dapat membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu untuk mencari tahu tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga yang terfokus pada deret vokal, deret konsonan, suku kata, dan pola struktur fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.


(56)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Sejarah Singkat Kota Sibolga

Awal berdirinya Sibolga dibuka oleh Ompu Datu Hurinjom yang berasal dari daerah Silindung (Tapanuli Utara) di Simaninggir yang pada saat ini Simaninggir merupakan wilayah yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah. Letak Simaninggir tersebut berada di gunung dekat dengan teluk Tapian Nauli. Simaninggir/Tinggir yang dalam bahasa Batak Toba mempunyai arti tajam pendengaran / pemantauan. Oleh para parlanja daerah ini sering dijadikan sebagai tempat istirahatnya ketika hendak menuju daerah pesisir pantai atau pun sesudah kembali dari daerah pesisir pantai sebelum kembali ke daerahnya.

Kawasan teluk Tapian Nauli diwarnai dengan perdagangan paksa antara penduduk dengan pihak Inggris sejak Ompu Datu Hurinjom bermukim di Simaninggir, yang akhirnya menjadi perang. Walaupun demikian, Ompu Datu Hurinjom, yang memiliki postur tubuh tinggi besar, tidak gentar menghadapi keadaan, bahkan memindahkan pemukiman mendekati teluk, yaitu di Simare-mare (salah satu daerah di Kecamatan Sibolga Kota) di bawah kaki Dolok Simarbarimbing dan terus melakukan perlawanan terhadap pihak Inggris yang memonopoli perdagangan di teluk Tapian Nauli.


(57)

Sekitar tahun 1700 M cucu Datu Horinjom bernama Raja Luka Hutagalung yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian lebih dikenal sebagai Tuanku Dorong, membuka perkampungan baru di sekitar aliran sungai Aek Doras (sungai di wilayah Kecamatan Sibolga Kota). Ompu Datu Horinjom sebagai pemuka kampung pertama di Simaninggir merupakan seorang yang dihormati oleh masyarakatnya. Di samping memiliki postur tubuh tinggi besar ompu tersebut juga memiliki kesaktian/tenaga. Hal ini juga turun kepada anak dan cucunya yang juga memiliki tubuh tinggi, sehingga yang ingin bertemu dengannya sering disampaikan dengan sebutan : beta tu huta ni Sibalga’i, yang artinya ayo ke tempat/kampung orang yang tinggi besar itu, kata tersebut merupakan awal kata dimana kemudian dalam perjalanan sejarah berikutnya berkembang menjadi Sibolga (Hutagalung, 1998:111).

Periode 1815 pihak Inggris mengadakan perjanjian yang disebut dengan perjanjian Tigo Badusanak dengan Raja Siboga serta Datuk-datuk yang berada di pulau-pulau kecil di sekitar teluk Tapian Nauli yaitu pulau Poncan Ketek (kecil) dan Poncan Gadang (besar) yang saat itu tunduk di bawah kekuasaan Inggris, pihak Inggris menyebut Poncan dengan Fort Tapanooly dikarenakan di sanalah Inggris mendirikan benteng dan pada tahun 1801 ditetapkan Jhon Prince sebagai residennya.

Dari hasil catatan riset seorang pembesar Belanda EB. Kielstra, dalam periode 1833-1838 di Sibolga penduduknya berasal dari segala bangsa terutama orang Batak yang berasal dari wilayah Angkola yang mengungsi, dan setelah pusat pemerintahan asisten residensi Tapanuli bertempat di sekitar Aek Doras, Sibolga menjadi ramai, meskipun dikelilingi oleh sawah dan rawa-rawa,


(58)

penduduk asal Batak yang sudah beragama Islam sudah menjadi “Pesisir” dengan adat sendiri yang spesifik. Berikut ini adalah silsilah raja-raja/kepala kuria di Sibolga, yaitu:

1. Raja Luka Hutagalung gelar Tuanku Dorong pembuka kampung pertama di sekitar sungai Aek Doras yang kemudian berkembang menjadi kuria Sibolga.

2. Sutan Manukar 3. Raja Ombun 4. Sipalenta

5. Sultan Parhimpunan

6. Muhammad Sahib (merupakan kepala kuria terakhir, karena setelah zaman kemerdekaan istilah raja/kepala kuria sudah tidak ada lagi).

Periode selanjutnya antara tahun 1838-1842 setelah Belanda membuka jalan dari Sibolga sampai portibi (Tapanuli Selatan), pada saat itu Sumatera Barat sudah meningkat menjadi “Gouvernement”(provinsi) dan Tapanuli menjadi salah satu “Resident”nya, dimana dengan Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 7 Desember 1842 Sibolga ditetapkan menjadi Ibukota Residen Tapanuli yang dipimpin oleh seorang Afdelinghoof (kepala daerah).


(59)

Tabel 3

Afdeling di bawah Keresidenan Sibolga

Wilayah yang termasuk distrik afdeling Sibolga ialah: Sibolga, Tapian Nauli, Badiri, Sarudik, Kolang, Tukka, Sai Ni Huta, dan pulau-pulau kecil di depan teluk Tapian Nauli, yang mana setiap distrik dikepalai oleh seorang

Districhoof (Demang). Selanjutnya di tahun 1871 Belanda menghapuskan sistem pemerintahan Raja-Raja/Kepala Kuria dan diganti oleh Demang tetapi sebagian masyarakat masih menganggap Raja/Kepala Kuria sebagai pemangku adat yang sah, pada tahun 1898 hampir semua daerah di Sibolga ditelan amukan api akibat dari perlawanan masyarakat terhadap Belanda, dan pada tahun 1906 ibukota residen Tapanuli dipindahkan ke Padang Sidempuan. Pada masa pemerintahan militer Jepang, Sibolga dipimpin oleh seorang Sityotyo (baca: sico) yang

NO NAMA

1 Afdeling Singkil

2 Afdeling Barus

3 Afdeling Mandailing

4 Afdeling Natal

5 Afdeling Angkola

6 Afdeling Nias


(60)

memegang pimpinan kota, sebagai kelanjutan dari kepala distrik yang masih dijabat oleh bekas Districhoof (Demang) pada masa pendudukan Belanda yaitu : Z.A. Sutan Kumala Pontas.

Periode berikutnya tahun 1947 , A.M Djalaluddin diangkat menjadi kepala daerah di Sibolga di waktu jabatan beliau inilah Sibolga dibentuk menjadi daerah otonom tingkat B sesuai dengan surat keputusan residen Tapanuli N.R.I (Negara Republik Indonesia) tanggal 29 November1946 nomor 999 dan selaku realisasi dari surat keputusan Gubernur Sumatera Utara N.R.I tangagal 17 Mei 1946 no.103, dan kota otonom Sibolga itu dipimpin oleh seorang Walikota yang dirangkapkan kepada Bupati Tapanuli Tengah (Lubis,1998 :16).

Terhitung tanggal 24 Nopember 1956, sejak berlakunya undang-undang darurat nomor 8 tahun 1956, yang mengatur pembentukan daerah otonom kota-kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Utara, dimana dalam pasal 1 UUD darurat nomor 8 tahun 1956 itu ditetapkan pembentukan empat kota besar yaitu : Medan, Pematang Siantar, Sibolga dan Kuta Raja, menurut UUD darurat ini Sibolga menjadi Kota besar, dengan batas wilayah sesuai dengan keputusan Residen Tapanuli tanggal 29 Nopember 1946 nomor 999.

Setelah keluar Surat Keputusan Menteri dalam Negeri tanggal 14 Desember 1957 No. U. PL 5/2/1 diangkatlah D.E. Sutan Raja Bungaran menjadi walikota Sibolga, dan sejak 1 Januari 1958 berakhir pula perangkapan jabatan Walikota Sibolga oleh Bupati Tapanuli Tengah dan secara administratif menjadi daerah Kota Madya di luar Kabupaten Tapanuli Tengah.


(61)

3.2 Masyarakat Pesisir

Menurut Moeliono (1995:633) masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat adalah kelompok orang yang membentuk sebuah sistem seni tertutup (seni terbuka) dimana sebagian besar interaksi kelompok tertentu (Wikipedia.org/wiki/masyarakat). Masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan itu terdiri dari bagian-bagian yang membentuk satu kesatuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sejumlah orang yang menempati suatu wilayah yang merasa mempunyai kebudayaan yang sama untuk membentuk satu kesatuan.

Masyarakat pesisir Sibolga yang mempunyai semboyan “Negeri Berbilang Kaum”, memang begitulah adanya. Di Sibolga memang banyak kaum/etnis yang mempunyai kebudayaan tersendiri dengan menggunakan bahasa pesisir sebagai bahasa pengantarnya. Sampai saat ini masyarakat pesisir Sibolga terdapat etnis Batak, etnis Minangkabau, etnis Aceh, etnis Nias, etnis Jawa, etnis Bugis, etnis Mandailing, dan lain-lain.

Menurut catatan biro statistik Kota Sibolga, jumlah penduduk Kota Sibolga yang dikeluarkan oleh kantor BPS Sibolga untuk laporan 2010. Terlihat jumlah penduduk Sibolga sebesar 96.341 jiwa, luas wilayah daerah Kota Sibolga sekitar 10,77 km2 dan pertumbuhan penduduk pertahun sekitar 1,99% (http/sumut.bps.go.id/sibolga).


(62)

Lebih jauh Nainggolan (2005 : 21 ) masyarakat pesisir Sibolga mempunyai cirri khas tersendiri yang dapat dibedakan dengan etnis lainnya yang ada di Sumatera Utara yaitu :

1. Etnis Pesisir mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas pesisir yang terdapat dan berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kotamadya Sibolga.

2. Etnis Batak Toba mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas Batak Toba yang berasal dari Tapanuli Tengah.

3. Etnis Simalungun mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas Simalungun yang berasal dari Kabupaten Simalungun dan Pematang Siantar.

4. Etnis Karo mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas berasal dari Kabupaten Karo.

5. Etnis Pakpak Dairi mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas Pakpak berasal dari Kabupaten Dairi.

6. Etnis Mandaling/Angkola/Sipirok mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas yang berasal dari Tapanuli Tengah.

7. Etnis Nias mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa dan makanan khas Nias yang berasal dari kabupaten Nias.

8. Etnis Melayu mempunyai adat istiadat, kesenian, bahasa, dan makanan yang khas Melayu yang berasal dari Medan, Binjai, Tebing Tinggi,Tanjung Balai, Labuhan Batu, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.


(63)

Nainggolan (2005:29) menyatakan bahwa masyarakat pesisir Sibolga mempunyai kebudayaan sendiri yang disebut “SUMANDO PESISIR” yang terdiri dari kebudayaan pesisir, adat istiadat pesisir, bahasa pesisir, kesenian pesisir yaitu;

a. Kebudayaan Pesisir adalah hasil dari kegiatan pemikiran dan perasaan serta kemampuan suku pesisir dalam menata kehidupannya sehari-hari dalam kumpulannya sebagai masyarakat

b. Sumando Pesisir adalah suatu pertambahan dan percampuran antara satu keluarga dengan keluarga lain diikat dengan pernikahan menurut agama Islam dan dikukuhkan dengan adat pesisir.

c. Adat Pesisir adalah tingkah laku dan perbuatan suku pesisir sehari-hari sebagai suatu kesatuan dalam masyarakat menurut kebiasaan yang telah diatur oleh norma-norma agama Islam dalam kesatuan sebagai tabiat.

d. Kesenian Pesisir adalah ungkapan gejolak perasaan jiwa yang disalurkan melalui kegiatan karya seni yang berwujud keindahan, kesenangan dan kepuasaan pada dirinya dan orang yang menyaksikannya.

e. Bahasa Pesisir adalah perwujudan yang penuh keakraban dalam penyampaian pesan dan kesan melalui ucapan yang indah mengandung petatah-petitih sehingga menyentuh perasaan.

f. Makanan Pesisir adalah suatu kemampuan dan keahlian suku pesisir yang disalurkan melalui kerajinan tangan mewujudkan piñata masakan yang meliputi makanan pokok dan makanan tradisi.


(64)

3.3 Letak Geografis Kota Sibolga

Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan sosial budaya, Kotamadya Sibolga merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada dalam wilayah daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara, mempunyai wilayah luas 1077,00 Ha yang terdiri dari 889,16 Ha (82,5%) daratan, 187,84 Ha (17,44%) daratan kepulauan dan 2.171,6 mil luas lautan. Beberapa pulau yang tersebar di sekitar teluk Tapian Nauli yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kota Sibolga adalah pulau Poncan Gadang, pulau Poncan Ketek, pulau Sarudik, dan pulau Panjang (Statistik Sibolga dalam Angka, Tahun 2011).

Peta Kota Sibolga

Secara geografis Kota Sibolga terletak antara 10 44’ LU (Lintang Utara) 0


(65)

Selatan dan Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, dan sebelah Barat dengan Teluk Tapian Nauli. Wilayah administratif Kota Sibolga terdiri dari 4 Kecamatan dan 17 Kelurahan, data tersebut dapat dilihat dari table berikut ini:

Tabel 4

Wilayah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Sibolga (Sumber : Statistik Sibolga dalam angka tahun 2010)

No Kecamatan Kelurahan Banyak

Lingkungan

1 Sibolga Utara Sibolga Ilir 4

Angin Nauli 5

Huta Tonga-tonga 4

Huta Barangan 3

Simare-mare 4

2 Sibolga Kota Kota Baringin 4

Pasar Baru 4

Pasar Belakang 4

Pancuran Gerobak 4

3 Sibolga Selatan Aek Habil 4

Aek Manis 4

Aek Parombunan 4

Aek Muara Pinang 4


(66)

3.4 Agama Masyarakat Sibolga

Masyarakat Pesisir Sibolga yang sudah multi etnik yang sudah di uraikan di atas tentu juga mempunyai agama sebagai pegangan hidupnya. Agama yang dianut masyarakat pesisir Sibolga bermacam-macam. Berdasarkan laporan biro pusat statistik Kota Sibolga yang beragama Islam mencapai 47.763 jiwa dari total penduduk Sibolga. Agama Kristen Protestan sekitar 26,436 jiwa atau sekitar 32,36%, Agama Kristen Katolik sekitar 4.259 jiwa sekitar 5,21%, Agama Budha 1,5 jiwa dan penganut kepercayaan sekitar 0,1% (http/sumut.bps.go.id.Sibolga).

3.5 Bahasa Pesisir

Bahasa adalah alat komonikasi untuk menyampaikan keinginan dan maksud seseorang kepada orang lain dengan berbagai cara dan lambang antara lain dengan ucapan, lisan, tulisan, isyarat dan gerakan yang dapat dimengerti orang lain. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Pesisir. Bahasa pesisir adalah bahasa yang digunakan masyarakat Tapanuli Tengah dan Kotamadya Sibolga sehari-hari sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun di luar rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Peranan bahasa

Pancuran Bambu 4

Pancuran Pinang 4


(67)

Pesisir menunjukkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, di sekolah, upacara adat-istiadat dan upacara agama. Bahasa Pesisir telah menjadi bahasa pengantar yang tidak akan dilupakan masyarakat Sibolga, baik dikampung halaman maupun di perantauan.

3.6 Pendidikan

Pendidikan di Kota Sibolga mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguran tinggi. Persentase penduduk yang seharusnya pernah sekolah, tetapi pada kenyataannya tidak/belum pernah sekolah di Kota Sibolga sebesar 0,79 %. Persentase penduduk 10 tahun ke atas yang masih sekolah sebesar 22,36 % yang terdiri dari 8,05 % sekolah dasar, 7,15% SMP, 5,36% SMA dan 0,99% perguruan tinggi.

Sementara tahun 2010, Sibolga memiliki 61 sekolah pendidikan tingkat dasar yang terdiri dari 56 SDN dan 5 MIN/MIS dengan jumlah guru keseluruhan 811 guru dengan 16.494 murid, sekolah lanjutan tingkat pertama ada 17 sekolah yang terdiri dari 13 SLTP Negeri dan Swasta, dan 4 MTS.N/Swasta dan jumlah guru sebanyak 443 guru dan murid sebanyak 7.236 murid (Sibolga dalam angka, 2010).


(1)

154 peras rame

[rame]

155 perempuan padusi

[padusi]

156 perut paru?

[Paru?]

157 pikir pikki

[pikki]

158 pohon bataŋ

[bataŋ]

159 potong kuduŋ

[kuduŋ]

160 punggung puŋguŋ

[puŋguŋ]

161 pusar puse?

[puse?]

162 putih puti

[puti]

163 rambut rambu?

[Rambu?]

164 rumput rumpu?

[rumpu?]

165 satu sabuwa

[sabuwa]

166 saya ambo

[ambo]

167 sayap kapa?

[kapa?]

168 sedikit sakete?

[sakete?]

169 sempit sampi?

[sampi?]

170 semua sadoɲo

[sadoɲo]

171 siang siaŋ

[siaŋ]

172 siapa siyapo

[siyapo]

173 suami lakki

[lakki]

174 sungai bataŋai

[Bataŋai]

175 tahu tau

[tau]

176 tahun taun


(2)

177 tajam tajam

[tajam]

178 takut takku?

[takku?]

179 tali tali

[tali]

180 tanah tana

[tana]

181 tangan taŋan

[taŋan]

182 tarik tari?

[tari?]

183 tebal taba

[taba]

184 telinga taliŋo

[taliŋo]

185 telur talu

[talu]

186 terbang tabaŋ

[tabaŋ]

187 tertawa gala?

[gala?]

188 tetek meme?

[meme?]

189 tidak inda?

[inda?]

190 tidur tidu

[tidu]

191 tiga tigo

[tigo]

192 tikam (me) tikkam

[tikkam]

193 tipis tipis

[tipis]

194 tiup tiyup

[tiyup]

195 tongkat tuŋke?

[Tuŋke?]

196 tua gae?

[gae?]

197 tulang mama?

[mama?]

198 tumpul maja

[maja]

199 ular ula


(3)

200 usus usus

[usus]

Kosakata adaptasi dari bahasa Indonesia

NO Glos Bahasa Pesisir Sibolga Fonetik

1 Kreatif kreatif

[kreati:f]

2 Preman preman

[preman]

3 Prematur prematur

[prematur]

4 Proses

proses [proses]

5 Struktur

struktur [struktur]

6

tradisi

tradisi [tradisi]

7

broker


(4)

LAMPIRAN II DATA INFORMAN

1. Nama : Nopriyanti

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : pedagang Alamat : Aek Habil

2. Nama : Ama Lubis

Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Aek Habil

3. Nama : Khairani Umur : 55 tahun Pekerjaan : Pedagang Alamat : Aek Habil

4. Nama : Lia Fauziah, (seorang PNS berumur 36 tahun) Umur : 36 tahun

Pekerjaan : PNS Alamat : Aek Habil

5. Nama : Fajriani Umur : 39 tahun Pekerjaan : PNS Alamat : Aek Habil

6. Nama : Edi Tanjung Umur : 51 tahun Pekerjaan : wiraswasta


(5)

Alamat : Aek Habil

7. Nama : Mukhlis

Umur : 53 tahun Pekerjaan : Pedagang Alamat : Aek Habil

8. Nama : Riad Dumajis

Umur : 38 tahun

Pekerjaan : Pegawai Swasta Alamat : Aek Habil

9. Nama : Sonang

Umur : 39 tahun Pekerjaan : PNS Alamat : Aek Habil

10. Nama : Saifan Umur : 38 tahun Pekerjaan : PNS Alamat : Aek Habil


(6)