Perlindungan Cagar Budaya Warisan Dunia (World Heritage), yang Dipersengketakan oleh Negara-negara Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus: Sengketa Angkor Wat)

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adolf, Huala, 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar

Grafika ; Jakarta

Ambarwati, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan

Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, (Jakarta, 2013)

Burhan Stani , 1990 , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta

Dinstein, Yoram, 1977, The Conduct of Hostilities under the Law of

Internasional Armed Conflict, Cambridge University Press : Cambridge

J.L Brierly, 1996 , Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum

Internasional, Brathara, Jakarta

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)

Kolb, Robert dan Richard Hycle , 2008,. An Introduction to the International Law

of Armed Conflicts ,Hart Publishing , Portland

McCoubrey, Hilaire ,1990 , International Humanitraian Law, The Regulation of

Armed Conflicts, Dartmouth Publishing , Aldershot.

Oppenheim, L 1935 , International Law. A Treatise , Ed. 5 , Longmans, Green &

Co , London

Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan,

1991

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 2000)

Rejeki,Sri. 2006. Modul Pendidikan Kewarganegaraan , PT. Patama Mitra

Aksara , Surakarta


(2)

Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1993)

Starke J.G , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta

Toman, Jiri 1996 , The Protection of Cultural Property in The Event of Armed

Conflict, Dartmouth Publishing Company , Aldershot B. Artikel

A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 (Manchaster: Manchaster University Press, 2004)

Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996

Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal (Fall 2004)

Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law (Paris: Henry Dunant Institute, 1987)

C. Undang-Undang

Diplomatic Conference of Geneva of 1949, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949

Institute of International Law, The Laws of War on Land 9 September 1880 Treaty on the Protection of Artistic and Scientific Institution and Historic Monuments (Roerich Pact) 15 April 1935

United Nations, Conference on International Organization Charter of the United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General Chapter I.I. 26 Juni 1945

United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 (1)

Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada Waktu Sengketa Bersenjata tahun 1977


(3)

Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Konvensi DenHaag 1954

Konstitusi Unesco D. Internet

http://www.antarabengkulu.com/berita/19359/lestarikan-warisan-budaya-agar-tak-disanksi-unesco

http://www.scribd.com/doc/89959718/Pengakuan-Dalam -Hukum-Internasional http://masniam.wordpress.com/2010/04/21/pengakuan-secara-kolektif/

www.Jatim.go.id/artikel/intrnasional/hukum

http://smakita.net/penyelesaian-sengketa-internasional

http://fitrohsyawali.wordpress.com/2010/05/10/makalah-penyelesaian-sengketa-international/

http://www.anneahira.com/sengketa internasional.htmlDjuned Hasani , Sengketa

Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja ,

http://antaranews.com/artikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja .

Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan

Thailand-Kamboja; http://id.wikipedia.org/wiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian-hubungan-Thailand-Kamboja

GunKarta, Angkor Wat ; http://id.m.wikipedia.org/wiki/angkor_Wat

Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja

;http://viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja.

James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its Aftermath,”http://www.ogick.org/indepth/protect-cult-herit.html


(4)

Makarim Wibisono ; Dinamika baru Sengketa Angkor Watt ; http://id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan

Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand-Kamboja

http://www.politik.lipi.go.id/index/php/en/columns/politik- internasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB

id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Pendidikan,_Keilmuan,_dan_Kebudayaan_PBB

Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ;

http://www.scribd.com/doc/konflik-thailand-Kamboja-doc

Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http://repository.unhas.ac.id/handle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB

Skripsi Sasha Izni Shadrina Perlindungan Terhadap Benda Budaya Pada Masa Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional: Penerapannya oleh Internasional Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia dalam Kasus-Kasus Dubrovnik, http://repository.ui.ac.id/

http://fsastra.gunadarma.ac.id/majalah/2015/11/12/bagaimana-caranya-menjadi-warisan-dunia/

https://id.wikipedia.org/wiki/Cagar_budaya

http://www.artikelsiana.com/2015/02/pengertian-kebudayaan-definisi-para-ahli.html

http://travel.kompas.com/read/2014/10/24/175400427/Memelihara.Warisan.Buda ya.Tak.Benda

https://pkntrisna.wordpress.com/2010/06/16/pengertian-sengketa-internasional/ http://adrianbobby.blogspot.co.id/2013/11/berdirinya-unesco.html


(5)

BAB III

PROSEDUR DAN TATACARA PENGAKUAN INTERNASIONAL TERHADAP CAGAR BUDAYA

A. Pengakuan Internasional

Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu :

1. Faktor Politik

Faktor politik ini menentukan entitas, dihubungkan dengan kepentingan nasional. Contoh : sampai dengan saat ini kepentingan Indonesia tidak menengahi

Indonesia untuk mengakui Israel sebagai Negara.54

Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan kehendak bebas (free act).

Negara bebas untuk bertindak, apakah akan memberikan pengakuan atau

tidak, itu merupakan kehendak bebas.55

Kedua hal ini yang menyebabkan pengakuan menjadi masalah yang rumit. Disini terdapat pencampuran atau gabungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.

Pengakuan :

1. Negara yang akui dan diakui sederajat

54

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta 2001, hal 63

55


(6)

2. Negara yang saling akui ada atau siap melakukan kerjasama atau hubungan bilateral (perjanjian internasional)

Akibat dari pengakuan, jika diakui maka akan terjadi negoisasi antar

Negara yang mengakui dan diakui, demikian sebaliknya.56

1. Teori-teori tentang Pengakuan

Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu Negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :

a. Teori Deklaratoir

b. Teori Konstitutif

c. Teori Pemisah atau Jalan Tengah

Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu Negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu Negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu

Negara dalam hubungan internasional.57

Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu Negara sebagai anggota masyarakat internasional.

56

Ibid , hal 77 57

Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 72


(7)

Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu Negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu Negara bukan belumlah merupakan subjek hukum

internasional.58

Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu Negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu Negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh Negara-negara lain.

2. Macam atau Jenis Pengakuan Ada dua macam atau jeni pengakuan ,yaitu :

a. Pengakuan de Facto; dan

b. Pengakuan de Jure

Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu Negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni Negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau

58


(8)

tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana Negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan

sendirinya.59

Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila Negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu Negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu Negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu Negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :

a) Penguasa di Negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal

maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaanya;

b) Rakyat di Negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa

(baru) itu;

c) Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui untuk menghormati hukum

internasional.

3. Cara Pemberian Pengakuan

a. Dilakukan dengan Expresset Recognition

Pengakuan dilakukan secara tegas Contoh :

59


(9)

1) Dengan pengiriman nota diplomatik resmi, yang menyebutkan bahwa suatu pemerintah atau Negara memberikan pengakuan baik terhadap pemerintah atau Negara.

2) Mengrimkan utusan untuk hadir dalam upacara pelantikan (diberikan

undangan, Negara tersebut merespon dengan mengirimkan wakil

diplomatik)60

b. Implied recognition

Pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung. Dari tindakannya terlihat Negara itu bisa disimpulkan memberikan pengakuan.

Contoh : pengikatan perjanjian bilateral

Australia dan Indonesia melakukan perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep (Celah Timor). Padahal pada saat itu, Timor Timur belum resmi menjadi provinsi Negara Indonesia. Australia juga belum secara tegas mengakui Indonesia. Namun jika tidak mengakui, tidak mungkin melakukan perjanjian. Sehingga perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung Australia terhadap

Indonesia.61

c. Pengakuan secara kolektif

Pengakuan secara kolektif ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum. Contoh : dalam konferensi ke Negara-negara, ada Negara yang tidak diakui. Misalnya dalam PBB , Israel hadir dalam konferensi tersebut. Dengan tidak

60

Ibid hal 24 61

J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Brathara, Jakarta, 1996 , hal 30


(10)

keberatannya Negara-negara Islam untuk hadir, dimana Israel hadir, hal ini disebut Negara tersebut telah memberikan pengakuan secara kolektif. Namun, ada

yang berpendapat bahwa pengakuan secara kolektif tidak ada.62

4. Penarikan Kembali Pengakuan

Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kuaifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality).

Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional (catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan

mengenai suksesi Negara).63

Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu Negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.

Terhadap persoalan diatas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan :

a. Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan

dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat

62

Ibid, hal 15 63


(11)

tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;

b. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun

pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang

telah diakui tersebut.64

Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu Negara akan memberikan pengakuan kepada Negara lain jika Negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.

Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan.

Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu Negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau

64

Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 12


(12)

fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan Negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu Negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu

sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif Negara yang bersangkutan.65

Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran objektif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuwan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, diarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan

tentang Negara sebagai subjek hukum internasional.66

5. Bentuk- bentuk Pengakuan

Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu Negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan

65

Ibid , hal 16 66


(13)

hanya diberikan terhadap suatu Negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu Negara);

a. Pengakuan Negara baru.

Jelas pengakuan ini diberikan kepada suatu Negara (baik berupa pengakuan de facto maupun de jure).

b. Pengakuan pemerintah baru.

Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap Negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangat kontras perbedaanya.

c. Pengakuan sebagai pemberontak.

Pengakuan ini diberikan kepada sekolompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu Negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti Negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.67

67


(14)

d. Pengakuan beligerensi

Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan Negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.

e. Pengakuan sebagai bangsa

Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk Negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internsional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.

f. Pengakuan hak-hak territorial dan situasi internasional baru

(sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”).

Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah

satu provinsi Cina, dan mendirikan Negara boneka di sana (Manchukuo).68

Padahal Jepang adalah salah satu Negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai kellog-Briand Pact atau Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellog-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan

68


(15)

bahwa Negara-negara penandatangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanginya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “ tidak mengakui hak-hak territorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya

pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson‟s Doctrine of Non-Recogniton.

B. Prosedur dan Tata Cara Pengakuan Internasional terhadap Cagar Budaya

Cagar Budaya merupakan hal yang paling dilindungi ketika terjadi peperangan maupun pada masa damai. Cagar Budaya yang ada didunia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1. Cagar Budaya yang telah menjadi situs warisan dunia UNESCO

2. Cagar Budaya yang belum menjadi situs warisan dunia UNESCO

Situs Warisan Dunia UNESCO (bahasa Inggris: UNESCO’s World

Heritage Sites) adalah sebuah tempat khusus (misalnya, Taman Nasional, Hutan, Pegunungan, Danau, Pulau, Gurun Pasir, Bangunan, Kompleks, Wilayah, Pedesaan, dan Kota) yang telah dinominasikan untuk program Warisan Dunia

internasional yang dikelola UNESCO World Heritage Committee, terdiri dari 21


(16)

dalam kontrak 4 tahun.69 Jadi pengertian dari sebuah Situs Warisan Dunia adalah suatu tempat Budaya dan Alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah Warisan bagi generasi berikutnya.

Program ini bertujuan untuk mengkatalog, menamakan, dan melestarikan tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan manusia dunia. Tempat-tempat yang didaftarkan dapat memperoleh dana dari Dana Warisan Dunia di

bawah syarat-syarat tertentu. 70 Program ini diciptakan melalui Pertemuani

Mengenai Pemeliharaan Warisan Kebudayaan dan Alamiah Dunia yang diikuti di

oleh Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972.71

Pada tahun 1954, pemerintah Mesir memutuskan untuk membuat

Bendungan Aswan (Aswan Dam) sebuah peristiwa yang akan menenggelamkan

sebuah pegunungan yang berisi harta benda dari zaman mesir kuno seperti kuil Abu Simbel. Kemudian UNESCO meluncurkan kampanye perlindungan secara besar-besaran diseluruh dunia. Kuil Abu Simbel dan Kuil Philae kemudian diambil alih, dipindahkan ke tempat yang lebih besar dan dibangun kembali satu demi satu bagian.

Biaya yang dikeluarkan dalam proyek ini sebesar US$ 80 juta, sekitar US$ 40 juta dikumpulkan dari 50 negara. Proyek tersebut dihargai kesuksesannya, dan dilanjutkan ke proyek penyelamatan lainnya, menyelamatan Venesia dan danaunya di Italia, Kuil Mohenjo-daro di Pakistan, dan Candi Borobudur di Indonesia. UNESCO lalu bergabung dengan dewan international bagian situs dan

69

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia_UNESCO#Daftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB

70

Ibid

71


(17)

monumental (International Council on Monuments and Sites) sebuah draft pertemuan untuk melindungi budaya-budaya kemanusiaan.

Amerika kemudian mengajukan pertemuan untuk menggabungkan

perlindungan alam dengan budaya. Sebuah pertemuan di White House pada tahun

1965 yang dijuluki World Heritage Trust (Pertanggung jawaban terhadap Warisan

Dunia) “untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia

untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga dunia”. Kemudian,

dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for Conservation

of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.

Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO pada tanggal 16 November 1972. Terhitung 2004, sejumlah 788 tempat telah dimasukkan ke dalam daftar Warisan Dunia (611 kebudayaan, 154 alamiah dan 23 campuran di 134 Negara Anggota).

Indonesia baru menerima konvensi tersebut pada tanggal 6 Juli 1989, dan 2 tahun kemudian berhasil mendaftarkan 4 warisan dunia yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai warisan budaya dan Taman Nasional Komodo dan

Taman Nasional Ujung Kulon sebagai warisan dunia.72 Warisan budaya bisa

berupa monumen, kumpulan bangunan, dan situs budaya, sedangkan warisan alam dapat berupa fitur alam, formasi geologis dan fisiografis, serta situs alam. Daftar warisan dunia yang pertama kali di rilis pada tahun 1978 terdiri dari 12 warisan

72

http://fsastra.gunadarma.ac.id/majalah/2015/11/12/bagaimana-caranya-menjadi-warisan-dunia/ Diakses pada tanggal 27 Mare 2016 pukul 16.20


(18)

dunia dan alam, satu diantaranya adalah kepulauan Galapagos yang masyur sebagai tempat penelitian Charles Darwin yang akhirnya menemukan teori seleksi

alam.73 Indonesia sendiri sampai tahun 2015 baru mempunyai 8 warisan dunia

yaitu Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Candi Prambanan, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Lorentz,

Hutan Tropis Sumatera, dan Sistem Subak.74 Sayangnya Hutan Hujan Tropis saat

ini berstatus dalam bahaya karena ancaman penebangan liar, ekspansi lahan pertanian, dan pembuatan jalan yang mengancam kelestarian warisan alam tersebut.

Setiap negara dapat mengajukan nominasi dunia ke Unesco yang akan diseleksi oleh komite khusus. Obyek yang dinomisasikan harus mempunyai nilai universal yang luar biasa dan memenuhi satu atau lebih dari 10 kriteria yang telah ditetapkan oleh Unesco, diantaranya representasi mahakarya dari kejeniusan kreatifitas manusia dan kumpulan atau lanskap bangunan, rancanga arsitektur, dan teknologi yang luar biasa yang menjadi tahapan signifikan pada sejarah

manusia.75

Proses cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat dalam Pasal 11 Konvensi tentang Bangunan Kebudayaan yang menjadi awarisan Dunia tahun 1972 ;

1. Dimasukkannya properti dalam Daftar Warisan Dunia memerlukan

persetujuan dari Negara yang bersangkutan. Dimasukkannya properti terletak di wilayah, kedaulatan atau yurisdiksi atas yang diklaim oleh

73

Ibid

74

Ibid

75


(19)

lebih dari satu Negara wajib tidak merugikan hak-hak dari para pihak yang bersengketa.

2. Komite harus menetapkan, tetap up to date dan mempublikasikan , setiap

kali situasi apapun mengharuskan demikian, di bawah judul "Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya", daftar properti muncul dalam Daftar Warisan Dunia untuk konservasi mana operasi utama diperlukan dan bantuan yang telah diminta berdasarkan Konvensi ini. Daftar ini memuat perkiraan biaya operasi tersebut. Daftar ini mungkin hanya mencakup kekayaan tersebut merupakan bagian dari warisan budaya dan alam sebagai terancam oleh bahaya yang serius dan spesifik, seperti ancaman penghilangan disebabkan oleh kerusakan dipercepat, proyek-proyek publik atau swasta berskala besar atau cepat perkotaan atau proyek pengembangan pariwisata; kerusakan yang disebabkan oleh perubahan dalam penggunaan atau kepemilikan tanah, perubahan besar karena penyebab yang tidak diketahui, ditinggalkan untuk alasan apapun; wabah atau ancaman konflik bersenjata, bencana dan bencana alam, kebakaran serius, gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi; perubahan muka air, banjir dan gelombang pasang. Komite dapat setiap saat, dalam hal kebutuhan mendesak, membuat entri baru dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya dan mempublikasikan entri tersebut dengan segera .

3. Komite harus menetapkan kriteria atas dasar yang properti milik budaya

atau alam dapat dimasukkan dalam salah satu daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini.


(20)

4. Sebelum menolak suatu permintaan untuk dimasukkan dalam salah satu dari dua daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini, Komite harus berkonsultasi dengan Negara Pihak yang di wilayahnya budaya atau alami properti tersebut berada.

5. Komite, dengan persetujuan dari Negara yang bersangkutan,

mengkoordinasikan dan mendorong studi dan penelitian yang diperlukan untuk menyusun dari daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan 4 pasal ini.

6. Setelah itu semua di dalam Pasal 13 Konvensi Bangunan Budaya

menjadi Warisan Dunia, Komite Warisan Dunia akan menerima dan mempelajari permintaan bantuan internasional dirumuskan oleh Negara Pihak pada Konvensi ini berkenaan dengan properti yang merupakan bagian dari warisan budaya atau alam, terletak di wilaya mereka, dan termasuk atau berpotensi cocok untuk dimasukkan dalam daftar disebutkan disebut dalam ayat 2 dan 4 Pasal 11. Tujuan dari permintaan tersebut mungkin untuk mengamankan perlindungan, pelestarian, presentasi atau rehabilitasi bangunan tersebut.

7. Permintaan bantuan internasional sesuai ayat 1 pasal ini juga mungkin

berkaitan dengan identifikasi kekayaan budaya atau alam yang didefinisikan dalam Pasal 1 dan 2, ketika penyelidikan awal telah menunjukkan bahwa penyelidikan lebih lanjut akan dibenarkan.

8. Komite akan memutuskan tindakan yang akan diambil sehubungan


(21)

bantuannya, dan mengotorisasi kesimpulan, atas namanya, dari pengaturan yang diperlukan dengan pemerintah yang bersangkutan.

9. Komite harus menentukan urutan prioritas untuk operasinya. Ini akan

dengan demikian diingat pentingnya masing-masing untuk dunia warisan budaya dan alam perlindungan properti yang membutuhkan, kebutuhan untuk memberikan bantuan internasional untuk properti yang paling mewakili lingkungan alami atau genius dan sejarah bangsa-bangsa dunia, urgensi dari pekerjaan yang harus dilakukan, sumber daya yang tersedia ke Amerika di wilayah mana properti terancam terletak dan khususnya sejauh mana mereka mampu menjaga kekayaan tersebut dengan cara mereka sendiri.

10. Komite akan menyusun, tetap up to date dan mempublikasikan daftar

properti yang bantuan internasional telah diberikan.

Tentang dana yang digunakan untuk menjadikan cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat di dalam Pasal 15 Konvensi mengenai Bangunan Kebudayaan yang menjadi Warisan Dunia tahun 1972.

Komite akan memutuskan penggunaan sumber daya Dana ditetapkan berdasarkan Pasal 15 dari Konvensi ini. Ini akan mencari cara untuk meningkatkan sumber daya dan harus mengambil semua langkah yang berguna untuk tujuan ini.

Komite akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah internasional dan nasional yang memiliki tujuan yang sama dengan Konvensi ini. Untuk pelaksanaan program dan proyek, Komite dapat memanggil


(22)

organisasi tersebut, khususnya Pusat Internasional untuk Studi Pelestarian dan

Pemulihan Properti budaya (Roma Centre), International Council of Monumen

dan Situs (ICOMOS) dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam (IUCN), serta pada badan-badan publik dan swasta dan perorangan.

Keputusan-keputusan Komite harus diambil oleh mayoritas dua pertiga anggotanya hadir dan memberikan suara. Mayoritas anggota Komite harus memenuhi kuorum.

Di dalam Pasal 15 perihal dana yang digunakan untuk menjadikan bangunan budaya menjadi warisan dunia lebih dijelaskan.

Dana untuk Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam Nilai Universal yang luar biasa, yang disebut "Dana Warisan Dunia", dengan ini dibentuk.

Dana harus merupakan dana perwalian, sesuai dengan ketentuan Peraturan Keuangan Perserikatan Bangsa, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan Amerika.

Sumber daya Dana terdiri dari: wajib dan sukarela kontribusi yang dibuat oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Kontribusi, pemberian atau hibah yang dapat dilakukan oleh: Negara-negara lain; PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Organisasi Budaya, organisasi lain dari sistem PBB, khususnya Program Pembangunan PBB atau organisasi antar pemerintah lainnya; badan atau individu publik atau swasta; setiap bunga yang jatuh tempo pada sumber daya IMF; dana yang dihimpun oleh koleksi dan penerimaan dari acara yang diselenggarakan untuk kepentingan dana, dan semua sumber daya lainnya yang diberikan oleh peraturan IMF, seperti yang dibuat oleh Komite Warisan Dunia.


(23)

Kontribusi kepada Dana dan bentuk bantuan lainnya dibuat tersedia bagi Komite hanya dapat digunakan untuk tujuan seperti Komite harus menentukan . Komite dapat menerima kontribusi yang akan digunakan hanya untuk suatu program atau proyek tertentu, asalkan Komite telah memutuskan pada pelaksanaan program atau proyek tersebut. Tidak ada kondisi politik dapat melekat pada kontribusi yang diberikan untuk Dana.

Namun, masing-masing Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau Pasal 32 Konvensi ini dapat menyatakan, pada saat penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan atau aksesi, bahwa hal itu tidak akan terikat oleh ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal ini.

Suatu Negara Pihak pada Konvensi yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik deklarasi mengatakan dengan memberitahukan kepada Direktur Jenderal PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Namun, penarikan deklarasi tidak akan berlaku dalam hal kontribusi wajib karena oleh negara sampai dengan tanggal Majelis Umum berikutnya Negara-negara Pihak pada Konvensi.

Agar Komite mungkin dapat merencanakan operasinya secara efektif, kontribusi Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini, harus dibayar secara teratur, setidaknya setiap dua tahun, dan tidak boleh kurang dari kontribusi yang mereka harus membayar jika mereka telah terikat oleh ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal ini.


(24)

Setiap Negara Pihak pada Konvensi yang menunggak dengan pembayaran iuran wajib atau sukarela untuk tahun berjalan dan tahun kalender segera sebelum itu tidak akan memenuhi syarat sebagai Anggota Komite Warisan Dunia , meskipun ketentuan ini tidak berlaku untuk pemilihan pertama .

Terdapat beberapa kriteria situs cagar budaya dalam kategori situs budaya

menurut UNESCO, antara lain:76

1. Melambangkan mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia serta nilai

-yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya.

2. Menunjukkan keutamaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah

selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap.

3. Mengandung kekhasan atau bukti bahwa pernah ada ritual peradaban di

masa lampau yang tersisa atau telah lenyap.

4. Wujud mengagumkan pada sebuah bangunan, arsitektur atau teknologi

yang memiliki penggambaran tentang tahapan penting dalam sejarah peradaban manusia.

5. Wujud mengagumkan pada sebuah tempat tinggal, tanah, atau perairan

yang dapat melambangkan budaya atau interaksi manusia dengan

lingkungan, khususnya yang masih terpelihara terhadap perubahan zaman yang signifikan.

6. Memiliki kaitan yang erat pada suatu peristiwa atau tradisi tertentu, dari

sisi pemikiran, kepercayaan, artistik dan sastra.

76

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia_UNESCO#Daftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB


(25)

Secara umum, kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian warisan budaya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pada sekitar tahun 60an masyarakat dunia semakin peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Pada awalnya UNESCO mendorong negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengajukan situsnya. Hingga saat ini telah terdaftar sebanyak 994 situs yang tersebar di

seluruh dunia.77

Indonesia sendiri memiliki 8 warisan dunia (4 warisan budaya dan 4 warisan alam), jumlah ini tentu relatif sedikit karena Indonesia telah 24 tahun meratifikai

konvensi, apalagi jika dibanding dengan negara-negara yang lain.78

Secara umum, situs yang dapat diajukan sebagai warisan dunia adalah yang

memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value).79 Nilai

universal luar biasa tersebut memerlukan penjelasan agar tidak bersifat relatif dan

subjektif.80 UNESCO menjabarkan mengenai Outstanding Universal Value(OUV)

tersebut dalam kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam Operational Guideline.81

Kriteria-kriteria yang digunakan sebanyak 10 kriteria yang terdiri dari 6 kriteria untuk budaya dan 4 kriteria untuk alam. Situs yang diajukan harus memenuhi minimal satu dari sepuluh kriteria tersebut. Selain kriteria OUV, pengajuan

warisan dunia juga harus menjabarkan otentitas dan integritas dari situs.82

77

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/blog/2013/10/18/persiapan-menuju-warisan-dunia-seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage/ di akses pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 11.40 WIB

78

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/blog/2013/10/18/persiapan-menuju-warisan-dunia-seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage/ di akses pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 11.40 WIB

79

Ibid

80

Ibid

81

Ibid

82


(26)

Ada 8 langkah dalam mengajukan suatu obyek untuk menjadi Warisan

Dunia83:

1. Memastikan bahwa objek yang diusulkan sebagai warisan budaya dunia

sudah terdaftar atau sudah masuk didalam tentative list UNESCO.

2. Terdapat pengesahan dari pemerintah pusat mengenai pengajuan obyek

ini.

3. Membentuk suatu tim khusus untuk meneliti obyek tersebut yang terdiri

dari para arkeolog, para ahli bidang biologi dan kimia, ahli sejarah, antropolog, perwakilan dari pemerintah pusat dan daerah dan yang terpenting yaitu media untuk dilibatkan dalam tim ini.

4. Mengumpulkan semua informasi yang penting yang terkait dengan obyek

apa yang kita usulkan.

5. Mengidentifikasi lebih lanjut mengenai para Sumber Daya Manusia yang

ahli dan mengarahkan dalam keuangan.

6. Membuat jadwal dan time line agar apa yang kita ingin ajukan ke

UNESCO tertata rapi. Jangan terburu-buru dan jangan lupa terlalu lambat waktu pelaksanaannya.

7. Meyakinkan para partisipan dari stakeholders dalam pengajuan obyek

menjadi warisan dunia.

8. Menulis pengusulan tersebut dalam 200 kata untuk diajukan ke UNESCO

agar obyek tersebut menjadi salah satu warisan dunia.

83


(27)

C. Perlindungan Cagar Budaya yang Telah Menjadi Warisan Dunia (World Heritage) menurut Hukum Internasional

Definisi Cagar Budaya yang telah menjadi warisan dunia terdapat di Pasal 1 konvensi tentang cagar budaya tahun budaya tahun 1972.

"cagar budaya" adalah monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang, karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap, adalah nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;

situs: karya pria atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, antropologi etnologis atau sudut pandang.

Istilah “bangunan budaya” terbukti sulit untuk didefinisikan. Hingga tahun 1946, tidak ada definisi hukum terhadap istilah “bangunan budaya”, dan dalam perkembangannya, tidak ada satu pengertian tunggal mengenai apa yang

dimaksud dengan bangunan budaya.84 Karena criteria yang digunakan untuk

mendefinisikan bangunan budaya dapat berbeda satu sama lain. Dalam pandangan umum, penggunaan istilah bangunan budaya adalah untuk obyek-obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas, yang dapat dibedakan dari obyek-obyek biasa karena siginifikansi budaya yang dimiliki bangunan tersebut dan atau karena


(28)

kelangkaannya. 85Oleh karena itu, kategorisasi terhadap benda budaya tidak terbatas, dan segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat heterogen dari bangunan budaya.

Contoh-contoh dari definisi bangunan budaya dapat ditemukan dalam

berbagai perjanjian internasional. Convention for the Protection of Cultural

Property in the Event of Armed Conflict pada tahun 1954 memberikan definisi sebagai berikut :

“… the term “cultural property”shall over, irrespective of origin or

ownership movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every people…”

Dengan definisi ini, maka benda-benda seperti arkeologi, monument, dan karya seni seperti patung, candi, kuil, yang dianggap sebagai benda budaya. Di sisi lain, dapat ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa bangunan budaya terbatas pada bangunan-bangunan bergerak/benda-benda bergerak, yang berarti terbatas pada karya seni, barang antic, dan obyek-obyek etnografis.

Akan tetapi, definisi bangunan budaya yang umum digunakan cukup luas. Dengan definisi yang umum, benda budaya mencakup karya seni, artefak, barang antik, karya arsitektur yang siginifikan, lanskap buatan, benda-benda/bangunan dan situs bernilai agama, dan obyek orang asli dari suatu daerah. Ini merupakan segala benda berwujud nyata yang memiliki signifikasi seni, sejarah, keilmuwan, agama atau sosial. Jadi, secara umum dan untuk kepentingan menelusuri

85


(29)

sejarahnya, bangunan/benda budaya tidak terbatas pada benda budaya yang

bergerak saja namun juga pada benda budaya yang tidak bergerak.86

1. Peranan UNESCO Tehadap Perlindungan Bangunan Kebudayaan di wilayah non-konflik

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu Bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan terhadap kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum, tari-tarian, rumah adat, lagu daerah, taman budaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi

suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.87

Pada pertemuan The Fourth Meeting of The ASEM Culture Minister bertema Managing Heritage Cities for a Sustainable Future di Daerah Istimewa Yogyakarta (16-20 September 2012) Wamendikbud RI bidang kebudayaan Wiendu Nuryanti, berpendapat bahwa setiap kota di dunia adalah kota budaya. Oleh karena itu setiap kota wajib melestarikan roh kebudayaan. Wiendu mengatakan latar belakang dari pertemuan tersebut karena tekanan terhadap

86

Ibid, hal 16 87

http://fsastra.gunadarma.ac.id/majalah/2015/11/12/bagaimana-caranya-menjadi-warisan-dunia/ Diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 16.20


(30)

warisan budaya yang dimiliki kota-kota di Asia dan Eropa. “Perlu dipikirkan

strategi perlindungan terhadap roh budaya yang dimiliki masing-masing kota. 88

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dikenal sebagai negara kaya akan sumber alam dan budaya. Baik peninggalan sejarah maupun pengetahuan tradisional dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai macam hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah di Indonesia dari sabang hingga marauke, yang mana terdapat lebih 900 suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Kekayaan budaya yang di miliki Indonesia merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Budaya tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kegiatan kehidupan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia memiliki nilai histori yang berbeda di setiap daerah. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar yang dapat menjadi aset bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia di dunia

internasional.89

Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan, mulai dari tari-tarian, alat musik tradisional, adat istiadat, pakaian adat hingga bangunan arsitektural yang berupa rumah adat di tiap-tiap propinsi yang ada di Indonesia.

Contohnya seperti tari Pendet dari Bali, tari Remo dari Surabaya, dan tari Jaipong dari Jawa Barat. Alat musik tradisional seperti angklung, gamelan dan kecapi. Adat istiadat seperti acara pemakaman Ngaben di Bali, Lompat Batu di

88

Ibid

89


(31)

kepulauan Nias dan festival Grebeg Suro di Yogyakarta, serta masih ada ratusan dari aspek lainnya yang merupakan harta karun yang berharga milik bangsa Indonesia.

Kebudayaan merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dan merupakan salah satu unsur dalam menjaga rasa nasionalisme dalam diri kita sebagai rakyat Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa:

“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia serta penjelasannya antara lain menyatakan usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa” Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya :

“Dilarang merusak, membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan atau warna, memusnahkan benda cagar budaya tanpa izin pemerintah, pelanggaran ketentuan ini di ancam dengan pidana selama-lamanya 10 tahun

penjara / denda setinggi-tingginya 100 juta rupiah.”

Beranjak dari amanat ini, pemerintah berkewajiban untuk mengambil segala langkah dan upaya dalam usaha memajukan memberikan perlindungan terhadap kebudayaan bangsa dan negara agar tidak punah dan luntur karena merupakan unsur nasionalisme dalam memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan negara kita.


(32)

Namun Pada masa sekarang ini, kebudayaan sudah sering dilupakan dan

diabaikan pelestariannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.90

Karena kebudayaan yang ada di Indonesia umumnya telah banyak dilupakan dan tidak ada upaya untuk melindungi kebudayaan tersebut, maka dapat menimbulkan akibat yang buruk bagi Negara Indonesia, yaitu adanya pengklaiman terhadap kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Negara lain. Pengklaiman ini tentu saja menimbulkaan dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi, pariwisata, sosial, dan kebudayaan. Apalagi di era perdagangan bebas sekarang ini, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk baru untuk diperdagangkan. Termasuk penggalian produk-produk yang berbasis “pengetahuan tradisional”, tanpa ada kontribusi terhadap negara atau terhadap masyarakat pemiliknya. Komersialisasi “pengetahuan tradisional" menjadi masalah karena diperoleh tanpa izin. Maka dibutuhkan organisasi bertaraf Internasional dalam mengambil langkah penting untuk melindungi kebudayaan sebagai kekayaan intelektual yang juga memberikan perlindungan bagi hak

masyarakat lokal.91

Perlindunagn tersebut sangat diperlukan untuk mencegah produk-produk milik masyarakat Indoensia, khususnya yang berbasis kebudayaan, agar kepemilikannya tidak diakui tanpa izin oleh Negara lain. Oleh sebab itu produk-produk tersebut perlu memperoleh perlindungan hukum.

Apalagi diketahui jelas, bahwa semua kekayaan yang berbasis budaya tradisional mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Upaya tersebut tentunya

90

https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Warisan_Dunia_UNESCO#Daftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB

91


(33)

akan mendorong peningkatan perekonomian Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, Sejak beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, masyarakat dunia telah memiliki suatu lembaga yang bersifat internasional dan universal untuk mengurus berbagai kepentingan antara negara dengan negara serta hubungan antara negara dengan individu yang termasuk klasifikasi subyek

hukum internasional sebagai salah satu pencerminan kerjasama antar negara.92

Salah satu badan internasional yang bersifat universal adalah PBB

(Perserikatan Bangsa–Bangsa) yang tujuannya ingin menegakkan perdamaian

dunia. Dalam mewujudkan tujuan itu PBB mempunyai badan khusus (specialized

agencies), yang dibentuk dengan perjanjian antara pemerintah dan mempunyai tanggung jawab internasional yang luas seperti terumus di dalam dokumen dasarnya, dalam bidang ekonomi, sosial, kulturil, pendidikan, kesehatan serta bidang yang bertalian lainnya, yang akan diperhubungkan dengan PBB, dan perjanjian itu harus disetujui oleh Majelis Umum PBB dan lembaga itu sendiri.

Badan khusus PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan dan

bidang kulturil diantaranya adalah UNESCO (United Nations Educational,

Scientific, and Cultural Organization), didirikan pada tanggal 4 November 1946, yang dalam perencanaanya atau proyek utama digambarkan usaha-usaha

UNESCO, serta mencari input dengan jalan mencari masalah–masalah praktis di

negara–negara anggota (These plans, as known as “Major Project” represent a

concentration of UNESCO efforts and resources on practical problems of concerns to member state).

92


(34)

Budaya tidak hanya diekspresikan dengan cara masyarakat membentuk eksistensinya, tetapi juga dalam membuat struktur prioritasnya, yaitu tujuan-tujuan yang ingin dicapai atau nilai-nilai yang dipromosikan atau dipertahankan. Kesadaran masyarakat dunia untuk melindungi Kekayaan budaya dunia makin berkembang pesat, kekayaan budaya dunia pun dipromosikan dan dipertahankan oleh masyarakat dunia. Instrumen hukum internasional pun makin penting

peranannya dalam perlindungan kekayaan budaya dunia.93

Pada saat ini, memang belum ada instrumen hukum internasional yang secara jelas dan tegas memberi sanksi penghukuman pada pelaku pengrusakan benda budaya dunia, terutama pada masa bukan perang atau konflik bersenjata. Karena pada dasarnya, perlindungan dan kemampuan memberi sanksi pada kejahatan terhadap suatu benda budaya adalah kapasitas kedaulatan suatu negara. Kekayaan budaya dunia masih belum begitu penting seperti genosida/pemusnahan masal suatu kelompok-biasanya etnis- tertentu, pemerkosaan, dan pemberontakan

yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan pidana internasional.94

UNESCO sebagai badan dunia dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang kebudayaan, kemudian memprakarsai beberapa pertemuan, seminar, dan pembentukan perlindungan kekayaan budaya dunia dari segi hukum internasional.

Beragam Konvensi, rekomendasi, piagam, dan resolusi pun dihasilkan oleh UNESCO.Namun kekuatan instrumen hukum internasional yang telah ada dan belum mampu menjamin penghukuman terhadap kejahatan terhadap

93

Ibid

94

Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http://repository.unhas.ac.id/handle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB


(35)

kekayaan budaya dunia. Salah satu penyebabnya adalah instrumen hukum internasional hanya mengikat negara anggota yang telah meratifikasi, sedangkan tidak banyak negara yang mau meratifikasi suatu instrumen hukum internasional. Sekalipun instrumen hukum internasional tersebut berfungsi untuk menjadi prinsip-prinsip dasar yang akan menjadi landasan pembentukan instrumen hukum secara lokal.

Instrumen hukum internasional di bidang Kekayaan Budaya yang dibahas di bawah ini adalah instrumen-instrumen hukum fundamental yang menunjukkan suatu benang merah perkembangan hukum internasional dalam merumuskan sanksi kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia. Tak terbatas pada masa damai,

maupun masa konflik bersenjata. 95

2. Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia

Perlindungan (Protection) merupakan suatu tindakan untuk

mempertahankan, menjaga dari serangan, invasi, kehilangan, hinaan, dan sebagainya.Konvensi-Konvensi UNESCO yang akan dibahas di bawah ini adalah instrumen hukum fundamental UNESCO di bidang perlindungan kekayaan budaya dunia berupa benda. UNESCO bertanggungjawab atas perlindungan

hukum internasional kekayaan budaya (International legal protection of cultural

heritage). Perlindungan hukum UNESCO tersebut adalah Konvensi Hague 1954 (dan protokol-protokolnya); Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Import,

95


(36)

Export, dan Transfer Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal 1970; Konvensi

Perlindungan Kekayaan Dunia 1972 dengan sebelas rekomendasinya.96

Konvensi-Konvensi ini tidak memberi penghukuman, tetapi memberi prinsip dasar perlindungan kekayaan budaya dunia. Jadi Konvensi-Konvensi ini menunjukkan bagaimana usaha pencegahan hukum internasional terhadap kejahatan pada kekayaan budaya dunia berupa benda.

Perlindungan Benda Budaya merupakan suatu aksi total dan ketentuan, pencegahan, kuratif atau organisasional, yang dilakukan pemerintah dalam kerjasama dengan institusi privat dan individual, yang memastikan adanya perservasi atas kekayaan budaya yang telah didaftarkan pada masa-masa yang

dianggap mengancam keberadaan kekayaan dunia.97

Berikut Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia:

a. Konvensi Hague 1954 tentang perlindungan benda budaya saat konflik

bersenjata

b. Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia 1972

c. Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Impor dan Eksport dan Pemindahan

Kepemilikan Benda Budaya Secara Tidak Sah 1970

3. Perlindungan Bangunan Kebudayaan yang Telah Menjadi Warisan Dunia di Wilayah Konflik menurut Hukum Internasional

a. Convention IV respecting the Lawas and customs of War on Land (1907)

96

Musen Invicible , Warisan Dunia UNESCO , https://id.m.wikipedia..org/wiki/warisan-Dunia-UNESCO

97 Ibid


(37)

Hague Convention II off 1899 adalah sebuah instrument yang mengkodifikasi ketentuan mengenai hukum terkait peperangan didarat secara umum, sekaligus merupakan upaya serius pertama ditingkat internasional untuk

melindungi benda budaya semua bangsa. 98Mukadimah Hague Convention II of

1899 dan Hague Convention IV of 1907 yang menjadi pengganti Hague Convention II of 1899 sama-sama menyatakan bahwa kata-kata dalam kedua perjanjian internasional tersebut terinspirasi oleh keinginan komunitas internasional untuk mengatur peperangan yang bersifat internasional. Secara khusus, mukadimah yang dimaksud menggarisbawahi bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghapuskan keburukan

perang (evils of war) sejauh yang diizinkan oleh kepentingan militer yang

imperative. Keburukan perang dalam konteks ini termasuk penyitaan, penghancuran, dan perusakan yang disengaja terhadap benda budaya. Keinginan

tersebut dituangkan dalam beberapa pasal dalam Hague Convention II of 1899

dan Hague Convention IV of 1907.99

Tinjauan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention IV of

1907 berkenaan dengan perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik

bersenjata (lebih tepatnya dalam lampiran Hague Convention IV of 1907 yaitu

Hague Regulations of 1907) dapat dibagi ke dalam dua bagian sesuai dengan sistematika pembagian dari perjanjian internasonal tersebut. Ketentuan mengenai

benda budaya pertama tampak dalam bagian II tentang permusuhan (Hostilities)

98Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal (Fall 2004), hal 90

99


(38)

dari Hague Regulations of 1907, dan kemudian dalam bagian III tentang

Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang Bermusuhan (Military Authority

over the Territory of the Hostile State)

a. Permusuhan

Pasal-pasal yang relevan dalam Bagian II tentang Permusuhan dalam Hague Regulations of 1907 adalah Pasal 23 dan Pasal 27 . pasal diatas menetapkan larangan yang luas terhadap perusakan semua property musuh, dan juga menyatakan pendekatan kepentingan militer yang imperative yang dianut

dalam Haugue Regulatuons of 1907. Selain larangan umum dalam Pasal 23,

Hague Regulations of 1907 menetapkan secara lebih spesifik perihl perlindungan terhdap benda budaya, khususnya dalam hal penyerangan dan bombardier, dalam

pasal 27 yang terdiri dari dua paragraph.100

Pasal 27 dalam paragraph pertamanya menyatakan bahwa langkah-langkah harus ditempuh untuk menyelamatkan sejauh mungkin benda budaya pada saat

terjadinya penyerangan atau bombardier. Adanya kata-kata “sejauh mungkin”

dalam paragraph tersebut memberikan batasan dari perlindungan terhadap benda budaya dan menyiratkan bahwa alasan kepentingan militer yang imperative dapat mengesampingkan ketentuan diatas dan menjustifikasi perusakan property musuh. Paragraph pertama Pasal 27 juga mensyaratkan bahwa agar suatu property itu dapat perlindungan, property tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan

100Manthew K. Steen III “Collateral Damage: The Destruction and Looting of Cultural Property in Armed Conflict, hal 10


(39)

militer. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perlindungan menurut pasal

23 dianggap hilang.101

Selanjutnya, paragraf kedua pasal tersebut mengharuskan pihak yang terancam penyerangan atau bombardier menempuh upaya untuk memberikan indikasi dari adanya benda budaya yang harus dilindungi sebagaimana dimaksud dalam paragraph pertama Pasal 27 kepada musuh sebelum penyerangan atau bombardier dilakukan. Praktik penandaan property yang dilindungi seperti yang dimaksudkan dalam kedua pasal 27 masih dilaksanakan hingga sekarang.

b. Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang

Dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang

berperang dari Hague Regulations of 1907, pasal-pasal yang terkait dengan

perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 46,pasal 47, dan pasal 56. Pasal-pasal tersebut terkait penyitaan, penjarahan, dan

perusakan terhadap benda budaya diwilayah Negara yang berperang. 102

Paragraph kedua pasal 46 menyatakan larangan terhadap penyitaan property yang bersifat privat, dan paragraph pertama pasal 56 menyatakan bahwa benda budaya, meskipun merupakan milik Negara, dianggap sebagai property privat dan karenanya tidak dapat disita. Selanjutnya, pasal 47 secara langsung melarang penjarahan dalam terhadap benda apapun, termasuk benda budaya. Berkenaan dengan perusakan terhadap benda budaya, larangan terhadapnya

terkandung dalam paragraph kedua pasal 56. 103

101

Ibid, hal 36

102Patty Gerstenblith, “ From Bamiyan to Baghdad: Warfare and the Pres

ervation of Cultural Heritage at the Beginning of the 21 Century , hal 70

103


(40)

Berbeda dengan pasal 27 Hague Regulations of 1907 yang hanya melindungi benda budaya tidak bergerak saat terjadinya penyerangan atau bombardier, pasal 56 melindungi benda budaya tidak bergerak serta benda buday bergerak berupa karya seni. Diberlakukan secara bersamaan, pasal 27 dan pasal 56 memberikan perlindungan yang lengkap terhadap bangunan-bangunan seperti museum dan bangunan serupa lainnya. Berbeda pula dengan pasal 27, kewajiban untuk melindungi baik benda budaya bergerak maupun tidak bergerak adalah absolute tanpa adanya pengecualian kepentingan militer yang imperative.

b. Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (1949)

Geneva Convention IV of 1949 secara umum mencakup hukum humaniter internasional terkait dengan perlindungan terhadap orang sipil selama konflik bersenjata. Di dalamnya, hanya terdapat dua pasal yang relevan dengan perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata, yakni pasal 27 dan

pasal 53. 104

Pasal diatas tidak secara spesifik memberikan perlindungan kepada benda budaya pada masa konflik bersenjata, tetapi dianggap sebagai pasal yang dapat digunakan untuk melindungi symbol budaya (termasuk benda budaya) sejauh merupakan ekspresi dari nilai keagamaan dan atau budaya. Pasal selanjutnya

dalam Geneva Convention IV of 1949 yang relevan dengan perlindungan benda

budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 53. Ketentuan dalam pasal 53 sekedar menguatkan prinsip yang melarang dijadikannya sebagai target populasi

104James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its

Aftermath,”http://www.ogick.org/indepth/protect-cult-herit.html, diakses pada 8 Mei 2016 Pukul 13.35 WIB


(41)

sipil dan propertinya sebagaimana telah diatur dalam Hague Convention of 1899 dan Hague Convention of 1907, khususnya pasal 46 dan pasal 56 yang mengatur

penghormatan terhadap property sipil dan benda budaya. 105

c. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954)

Hague Convention of 1954 mengatur, secara garis besar, empat perihal kewajiban Negara terkait benda budaya. Kewajuban-kewajiban tersebut adalah kewajiban Negara untuk akan penyelamatan benda budaya, kewajiban Negara akan penghormatan terhadap benda budaya, kewajiban Negara saat melakukan pendudukan, dan kewajiban Negara terhadap angkatan bersenjatanya. Selain itu, Hague Convention of 1954 juga memuat mekanisme pemindahan benda budaya bergerak untuk menghindarkannya dari dampak perang dan sanksi dari

pelanggaran terhadap konvensi.106

1. Keberlakuan Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of

Armed Conflict

Selain terhadap konflik bersenjata yang melibatkan dua Negara atau lebih, Hague Convention of 1954 juga berlaku terhadap konflik bersenjata yang tidak

bersifat internasional. Paragraph pertama pasal 19 Hague Convention of 1954

mengharuskan Negara peserta memberlakukan paling tidak ketentuan-ketentuan

105

Ibid

106

United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 (1) ©


(42)

Hague Convention 1954 terkait penghormatan terhadap benda budaya pada saat

terjadinya konflik bersenjata yang bersifat non internasional.107

2. Definisi “Benda Budaya”dan “Perlindungan terhadap Benda Budaya”

Definisi perlindungan berdasarkan Hague Convention of 1954 mencakup

dua aspek pengamanan benda budaya dan penghormatan terhadap benda budaya. Pengamanan benda budaya meliputi semua tindakan yang dirancang untuk memastikan perlindungan terhadap benda budaya dari akibat-akibat konflik bersenjata. Di sisi lain, penghormatan terhadap benda budaya merupakan kewajiban Negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dilarang, seperti menyebabkan terancamnya benda budaya dalam suatu konflik

bersenjata atau menyebabkan kerusakan terhadap benda budaya.108

3. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya

Dasar perlindungan ini adalah pemikiran bahwa kekayaan budaya dan penyelematannya adalah persoalan dari masyarakat internasional, dan Negara dimana kekayaan budaya tersebut terletak memiliki tanggung jawab atas

pengamanannya kepada masyarakat internasional.109

Pengamanan benda budaya yang dilakukan oleh suatu Negara bersifat internal karena tiap-tiap Negara diberikan kebebasan untuk menentukan langkah-langkah apa saja yang dianggap pantas untuk ditempuh dan menyusun daftar prioritas tindakan dengan mempertimbangkan sumber daya keuangan , material, dan teknisnya. Terkait tindakan penyelamatan tersebut, adalah penting untuk

107

Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 195-196

108

Ibid , hal 200 109


(43)

menentukan badan pemerintahan yang akan bertanggung jawab terhadap tindakan

penyelamatan terhadap benda budaya. Resolution II yang dihasilkan dalam Hague

Conference of 1954 menyarankan setiap Negara untuk membentuk sebuah komite nasional dan menentukan komposisi serta fungsi utamanya.

4. Kewajiban Negara akan Penghormatan terhadap Benda Budaya

Penghormatan terhadap benda budaya diatur dalam pasal 4 Hague

Convention of 1954 yang berisikan empat bentuk penghormatan terhadap benda budaya yang harus diindahkan oleh Negara peserta pada masa konflik bersenjata. Keempat bentuk penghormatan tersebut adalah keharusan untuk tidak menggunakan benda budaya dan wilayah sekitarnya untuk tujuan yang mungkin memaparkan benda budaya kepada penghancuran atau kerusakan; keharusan untuk tidak melakukan segala tindakan permusuhan terhadap benda budaya; kewajiban untu melarang, mencegah dan menghentikan pencurian, penjarahan, misapropasi dari, dan vandalism terhadap benda budaya; dan tidak menjadikan

benda budaya sebagai obyek dari tindakan pembalasan.110

5. Kewajiban Negara akan Perlindungan terhadap Benda Budaya selama

Pendudukan

Pasal 5(1) Hague Convention of 1954 melemahkan dan membatasi

bantuan yang diberikan oleh Negara yang melakukan pendudukan. Dalam situasi pendudukan militer dan ketidakseimbangan kekuatan militer, pihak yang memutuskan tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka pengamanan dan pelestarian benda budaya tentu merupakan Negara yang melakukan

110Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional


(44)

pendudukan. Selain memiliki kewajiban berdasarkan pasal 5 (1) Hague Convention of 1954 negara yang melakukan pendudukan juga wajib, sejauh mungkin, bekerja sama dengan otoritas Negara yang diduduki mengambil tindakan dalam rangka pelestarian benda budaya yang rusak akibat operasi militer di saat otoritas Negara yang diduduki tidak mampu mengambil tindakan yang diperlukan.

Kewajiban lain yang berkenaan dengan pendudukan terkait dengan gerakan perlawanan yang melakukan perlawanan terhadap pihak yang melakukan

pendudukan.111

Karenanya pasal 5 (1) mewajibkan pemerintahan suatu Negara untuk memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajiban yang mereka miliki terhadap benda budaya. Akan tetapi, apabila pemerintah tidak memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajibannya terkait penghormatan terhadap benda budaya, bukan berarti gerakan perlawanan yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban yang melekat kepadanya berkenaan dengan benda budaya.

6. Pemindahan Benda Budaya

Hague Convention of 1954 mengatur pemindahan benda budaya untuk menghindarkan benda budaya bergerak dari dampak konflik bersenjata.

Berdasarkan Hague Convention of 1954, terdapat dua jenis pemindahan benda

budaya, yaitu pemindahan benda budaya yang diberikan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam pasal 12 dan pemindahan benda budaya dalam keadaan darurat yang diatur dalam pasal 13. Pemindahan benda budaya ke wilayah Negara

111

A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 (Manchaster: Manchaster University Press, 2004), hal 146


(45)

yang sama atau Negara lain berdasarkan pasal 12 dapat dimohonkan oleh Negara

peserta Hague Convention of 1954 yang diduduki, melakukan pendudukan atau

menjadi tempat untuk menampung benda budaya yang dipindahkan. 112

Permohonan tersebut diajukan kepada Komisaris Jenderal untuk Benda Budaya dan jika permohonan diterima, pemindahan benda budaya yang dilakukan akan mendapatkan imunitas yang berlaku terhadap benda budaya di bawah

perlindungan khusus berdasarkan pasal 9. Paragraph terakhir pasal 12 Hague

Convention of 1954 menyatakan bahwa Negara-negara peserta Hague Conventionwajib menahan diri dari melakukan tindakan permusuhan terhadap

pemindahan benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus.113

Di sisi lain, prosedur pemindahan benda budaya dalam keadaan darurat sebagaimana diatur dalam pasal 13 bertindak sebagai prosedur yang lebih fleksibel, praktis, dan realistis dibandingkan dengan prosedur dalam pasal 12. Ketentuan pasal 13 sendiri dirancang untuk memberikan jalan untuk mengevakuasi benda budaya bergerak segera setelah pecahnya konflik bersenjata dan pada saat-saat di mana penerapan pasal 12 tidak memungkinkan .

7. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Convention for the Protection of

Cultural Property in the Event Armed Conflict.

Perihal sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dari Hague Convention of

1954 diatur dalam pasal 28 konvensi tersebut. Berdasarkan pasal 28, tiap-tiap

Negara peserta mengambil langkah-langkahnya sendiri untuk menghukum dan memberikan sanksi pidana ataupun sanksi disiplin kepada orang-orang yang

112

A.P.V.Rogers, Ibid , hal 148 113

Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 4 (1)


(46)

melanggar atau memerintahkan untuk dilanggarnya ketentuan dalam Hague Convention of 1954. Jadi, berdasarkan pasal 28, perihal sanksi pelanggaran

ketentuan Hague Convention of 1954 diatur oleh hukum nasional.

d. Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 (1977)

Bahwa pasal 53 Additional Protocol of 1977 dan pasal 16 Additional

Protocol II of 1977 hampir identik. Oleh karena itu, pembahasan terhadap keduanya akan dilakukan secara bersamaan dengan melihat empat aspek terkait ketentuan-ketentuan tersebut. Keempat aspek tersebut adalah keberlakuan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 dan referensi

kepada Hague Convention of 1954, benda budaya yang diberikan perlindungan

berdasarkan kedua protocol: benda budaya yang menjadi obyek dari perlindungan yang diberikan berdasarkan kedua protocol; larangan dalam kedua protocol mengenai penyerangan terhadap benda budaya, penggunaan benda budaya untuk mendukung upaya militer, dan penggunaan benda budaya sebagai obyek pembalasan; dan pengecualian dari pelaksanaan ketentuan dalam protocol.

1. Benda Budaya yang diberikan Perlindungan

Mengenai obyek yang dilindungi sendiri, hanya terdapat satu aspek yang

berbeda antara ruang lingkup benda budaya yang dianut dalam Hague Convention

of 1954 dan pasal 53 Additional Protocol I of 1977 serta pasal 16 Additional Protocol II of 1977. Perlindungan yang diberikan oleh Hague Convention of 1954 mencakup, antara lain, obyek-obyek seperti monument bersejarah dan karya seni

yang merupakan begian dari warisan budaya. Pasal 53 Additional Protocol of


(47)

disertai dengan satu aspek tambahan. Kedua pasal dalam kedua protocol tersebut melindungi tempat-tempat beribadah tidak hanya sebagai bagian dari warisan budaya, namun juga sebagai bagian dari warisan spritiual tanpa memperdulikan nilai budaya obyek tersebut. Perbedaan ini didasarkan oleh criteria yang berbeda

yang digunakan dalam kedua instrumen hukum di atas. Hague Convention of

1954 menggunakan criteria sifat dari obyek dan kepentingannya sebagai warisan

manusia sebagai dasar perlindungan benda budaya, sedangkan Protocols

Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 menggunakan criteria tujuan dan fungsi dari obyek yang dilindungi. Akan tetapi, karena kedua instrument hukum tersebut sama-sama merujuk pada obyek-obyek yang dianggap

penting sebagai warisan umat manusia, perbedaan terminology dalam Hague

Convention of 1954 dan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 tidak berakibat pada konsekuensi yang materil.114

2. Larangan atas Tindakan Permusuhan terhadap Benda Budaya, Penggunaan

Benda Budaya untuk Mendukung Upaya Militer, dan Penggunaan Benda Budaya sebagai Obyek Pembahasan

Upaya militer dalam pengertian disini adalah segala aktivitas militer untuk tujuan pelaksanaan perang. Alas an dari ketentuan ini adalah memungkinkan hilangnya perlindungan terhadap benda budaya saat benda tersebut digunakan

untuk tujuan militer. Lebih jauh, paragraph ketiga pasal 53 Additional Protocol I

of 1977 melarang digunakannya benda budaya sebagai obyek untuk melakukan

114

Ibid, hlm 87 Jiro Thomas, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hlm 79


(48)

pembalasan terhadap musuh. Larangan pembalasan ini tidak ditemukan dalam

pasal 16 Additional Protocol of 1977.

3. Pengecualian Ketentuan dalam Protocols AAdditional to the Geneva

Conventions of 12 August 1949

Bagi para peserta Hague Conventions of 1954, kewajiban berdasarkan

pasal 53 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II 1977

memang boleh tidak dilaksanakan atas dasar kepentingan militer yang imperative.

Akan tetapi Negara-negara yang hanya merupakan peserta peserta Protocols

Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 tidak memiliki hak untuk menggunakan alasan kepentingan militer yang imperative dan harus

memberlakukan pasal 52 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional

Protocol II of 1977 dalam segala keadaan .115

e. Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1999)

Seperti diindikasikan oleh pasal 2 Second Protocol of 1999, Second

Protocol of 1999 merupakan tambahan dari Hague Convention of 1954.Hague Convention of 1954 tetap menjadi teks pokok bagi Negara-negara peserta, dan

tidak ada Negara yang dapat menjadi peserta dari Second Protocol of 1999 tanpa

menjadi peserta dari Hague Convention 1954.

1. Keberlakuan Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the

Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict.

115


(49)

Keberlakuan Second Protocol of 1999 diatur dalam pasal 3. Melihat isi

dari pasal tersebut, tampak bahwa ruang lingkup keberlakuan Second Protocol of

1999 dan Hague Convention of 1954 tidak berbeda; terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masa damai dan masa konflik bersenjata baik yang melibatkan dua atau lebih Negara maupun konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional,serta pada saat terjadinya pendudukan yang dilakukan oleh suatu

Negara terhadap wilayah Negara lain.116

2. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya

Di mana Hague Convention of 1954 tidak memberikan penjelasan yang

ekstensif mengenai langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka

mengamankan benda budaya pada masa damai, Second Protocol of 1999

memberikan beberapa contoh tindakan yang dapat dilakukan. Pasal 5 Second

Protocol of 1999 menyatakan bahwa pengamanan benda budaya dapat meliputi inventarisasi benda budaya, perencanaan tindakan darurat untuk perlindungan dari api atau keruntuhan structural, persiapan pemindahan benda budaya bergerak atau ketentuan yang memberikan perlindungan cukup terhadap benda budaya di tempatnya, dan penunjukan pihak yang berwenang untuk pengamanan benda

budaya.117

3. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Second Protocol to the Hague

Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict

116

Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 11 (2)

117

Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 5 (1)


(1)

12. Drg. Ifrad, Irma Nova Riza, Irwamansyah, Hamzah Ritonga yang membantu saya sejak memasuki dunia perkuliahan dan seluruh sanak keluarga yang senantiasa memperhatikan serta mendukung jalur pendidikan yang saya tempuh.

13. Putri Ramadhani, S.H. yang selalu mengingatkan dan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman – teman saya di Grup G FH USU ‟12 terkhusus kepada Anggie R. K, Rafikha Fazal, Dimas, Morando Simbolon, Michael Simbolon, Yusrin, Alvian, Putri Ramadhani, dan lain-lain.

15. Teman – teman saya di International Law Student Association (ILSA) ‟12 terkhusus kepada senioren kami Bang Saka, Bang Vito dan Bang Bakti yang senantiasa memberikan materi–materi serta arahan mengenai bagaimana menghadapi perkuliahan di Departemen Hukum Internasional.

16. Rekan – rekan seperjuangan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik anggota biasa, anggota muda, senioren dan alumni terkhusus kepada Pengurus HMI Komisariat FH USU periode 2013 – 2014; Kakanda Hary Azhar Ananda, Kakanda Izma Suci, Kakanda Nurul Atika, Kakanda Ihsan, Kakanda Yuanda Winaldi, Kakanda Tengku Azlansyah (Fito), Kakanda Ibnu Hidayah, Kakanda Hadyan Yunhas, Kakanda Pupimbiddi (MVP), Kakanda Sandhitya Sultan, Kakanda Putri Zulfita, Kakanda Rizky Chr (Kiki), Kakanda Tengku Devi, Kakanda Nida Syafwani Nst., Ray bachtian, Auzy Arifin Hutabarat, Faisal Anshari Dwana, Sabrina.


(2)

17. Rekan – Rekan di Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2015-2016; Heru Sinaga, Amalia Wiliani, Febri Ramadhan, Faisal Anshari Dwana, Herman Tangkas, Bang Patuan, Bang Agung, Bang Fahri, Bang Rifai, Adinda Ichsan, Alex, Amanda, Bill Clinton, yang senantiasa bahu–membahu dan mengingatkan saya dalam melaksanakan tanggungjawab selama 1 periode.

18. Rekan–rekan Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara periode 2013 – 2014 terkhusus kepada Abangda Muhammad Akbar Siregar selaku mantan Gubernur PEMA FH USU serta teman–teman di Bidang Kewirausahaan PEMA FH USU Periode 2013 - 2014.

19. Sahabat lama Anggie Rizky Kurniawan, Susilo Raharjo, Rafikha Fazal, Dandy Rizha Fona, Auzy Arifin, Faisal, Nazhifi, Ray, Rocky, yang bersedia memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi saya.

20. Sahabat saya di SMA Negeri 2 Binjai M. Fauzan, Hanggra, Arif, Popy, Lily, Devi, Bimo.

21. Teman-teman Big Brother ‟12 yang sama-sama berjuang untuk menyelesaikan perkuliahan

22. Seluruh Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terkhusus FH USU stambuk 2012.

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala


(3)

kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Juli 2016


(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

ABSTRAKSI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian... 11

G. Sistematika Penulisan... 13

BAB II A. Ruang Lingkup Cagar Budaya Menurut Hukum Internasional ... 16

B. Organisasi Internasional yang Melindungi Cagar Budaya... 18

C. Perlindungan Cagar Budaya Menurut Hukum Internasional ... 25

BAB III PROSEDUR DAN TATACARA PENGAKUAN INTERNASIONAL TERHADAP CAGAR BUDAYA A. Pengakuan Internasional... 32

B. Prosedur dan Tata Cara Pengakuan Internasional Terhadap Cagar Budaya ... 42

PERLINDUNGAN CAGAR BUDAYAYANG MENURUT HUKUM INTERNASIONAL


(5)

C. Perlindungan Cagar Budaya yang Telah Menjadi Warisan Dunia (Wolrd Heritage) Menurut Hukum Internasional... 54

BAB IV PENYELESAIAAN CAGAR BUDAYA YANG DIPERSENGKETAKAN OLEH NEGARA-NEGARA

A. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Internasional ... 84 B. Sejarah Dan Penyelesaian Sengketa Angkor Wat ... 96 C. Analisa Sengketa Angkor Wat ... 119

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 125 B. Saran ... 128


(6)

ABSTRAKSI Iqbal Fauzan*

Prof. Syamsul Arifin, S.H., MH ** Arif, S.H., M.Hum.***

Cagar Budaya saat ini merupakan salah satu perhatian khusus masyarakat internasional, hal ini terjadi karena sangat banyak cagar budaya yang mengalami kerusakan dan membutuhkan perhatian khusus dari semua pihak agar tetap terjaga dan dapat menjadi warisan bagi generasi selanjutnya baik untuk negara tersebut maupun negara lain. Pada dasarnya sudah ada peraturan hukum internasional terkait dengan perlindungan cagar budaya baik yang berada di wilayah konfli maupun tidak. Akan tetapi, dewasa ini terdapat sangat banyak cagar budaya yang berada dalam daftar cagar budaya yang mengalami kerusakan parah akibat kurangnya perawatan oleh para pihak terkait. Berdasarkan hal ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana perlindungan cagar budaya menurut hukum internasional? Bagaimanakah prosedur dan tata cara pengakuan Internasional terhadap cagar budaya? Bagaimanakah penyelesaiaan cagar budaya yang dipersengketakan oleh negara-negara?

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang dilakukan atas norma-norma hukum yang berlaku, baik norma hukum yang berasal dari hukum nasional maupun norma hukum yang berasal dari hukum internasional. Metode penelitian yuridis normatif merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dan sifat penelitian adalah deskriptif analitis, yakni menggambarkan dan menguraikan norma-norma hukum nasional dan norma-norma hukum internasional, terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja anak.

Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan perlindungan cagar budaya telah diatur dalam konvensi DenHaag 1954, Konvensi mengenai Bangunan Kebudayaan yang menjadi Warisan Dunia tahun 1972. Selanjutnya, kedudukan UNESCO sebagai organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayan internasional adalah sebagai pembuat kriteria cagar budaya yang dapat dikatakan warisan dunia juga sebagai organisasi yang melindungi cagar budaya tersebut. UNESCO juga sudah mengeluarkan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perlindungan cagar budaya. Adapun yang menjadi saran yaitu, hendaknya pemerintah suatu negara membentuk suatu undang-undang atau peraturan-peraturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan cagar budaya, karena sesungguhnya, perlindungan hukum terhadap cagar budaya, merupakan tanggung jawab pemerintah suatu negara.

Kata Kunci: Cagar Budaya, Perlindungan Hukum, UNESCO

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II