fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan Negara itu sendiri. Dengan kata lain,  apakah  suatu  Negara  akan  memberikan  pengakuannya  atau  tidak,  hal  itu
sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif Negara yang bersangkutan.
65
Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran objektif  untuk  pemberian  pengakuan  itu  maka  secara  akademik  menjadi
pertanyaan  apakah  pengakuan  itu  merupakan  bagian  dari  atau  bidang  kajian hukum  internasional  ataukah  bidang  kajian  dari  politik  internasional.  Secara
keilmuwan,  pertanyaan  ini  sulit  dijawab  karena  praktiknya  pengakuan  itu  lebih sering  diberikan  berdasarkan  pertimbangan-pertimbangan  subjektif  yang  bersifat
politis  daripada  hukum.  Oleh  sebab  itulah,  banyak  pihak  yang  memandang pengakuan  itu  sebagai  bagian  dari  politik  internasional,  bukan  hukum
internasional.  Namun,  diarenakan  pengakuan  itu  membawa  implikasi  terhadap masalah-masalah  hukum  internasional,  hukum  nasional,  bahkan  juga  putusan-
putusan  badan  peradilan  internasional  maupun  nasional,  bagian  terbesar  ahli hukum  internasional  menjadikan  pengakuan  sebagai  bagian  dari  pembahasan
hukum  internasional,  khususnya  dalam  kaitannya  dengan  substansi  pembahasan tentang Negara sebagai subjek hukum internasional.
66
5.  Bentuk- bentuk Pengakuan
Yang  baru  saja  kita  bicarakan  adalah  pengakuan  terhadap  suatu  Negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan
65
Ibid , hal 16
66
Sefriani, Hukum Internasional suatu pengantar, Rajawali pers , Jakarta , 2014 , hal 13
Universitas Sumatera Utara
hanya  diberikan  terhadap  suatu  Negara.  Ada  berbagai  macam  bentuk  pemberian pengakuan, yakni termasuk pengakuan terhadap suatu Negara;
a. Pengakuan Negara baru.
Jelas  pengakuan  ini  diberikan  kepada  suatu  Negara  baik  berupa  pengakuan  de facto maupun de jure.
b. Pengakuan pemerintah baru.
Dalam    hal  ini  dipisahkan  antara  pengakuan  terhadap  Negara  dan pengakuan terhadap pemerintahnya yang berkuasa. Hal ini biasanya terjadi jika
corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangat kontras perbedaanya. c.
Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan  ini  diberikan  kepada  sekolompok  pemberontak  yang  sedang
melakukan  pemberontakan  terhadap  pemerintahnya  sendiri  di  suatu  Negara. Dengan  memberikan  pengakuan  ini,  bukan  berarti  Negara  yang  mengakui  itu
berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata- mata  adalah  pertimbangan  kemanusiaan.  Sebagaimana  diketahui,  pemberontak
lazimnya  melakukan  pemberontakan  karena  memperjuangkan  suatu  keyakinan politik  tertentu  yang  berbeda  dengan  keyakinan  politik  pemerintah  yang  sedang
berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud  pemberian  pengakuan  ini,  yaitu  agar  pemberontak  tidak  diperlakukan
sama  dengan  kriminal  biasa.  Namun,  pengakuan  ini  sama  sekali  tidak menghalangi  penguasa  pemerintah  yang  sah  untuk  menumpas  pemberontakan
itu.
67
67
Ibid , hal 29
Universitas Sumatera Utara
d. Pengakuan beligerensi
Pengakuan  ini  mirip  dengan  pengakuan  sebagai  pemberontak.  Namun, sifat  pengakuan  ini  lebih  kuat  daripada  pengakuan  sebagai  pemberontak.
Pengakuan  ini  diberikan  bilamana  pemberontak  itu  telah  demikian  kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan  yang  sedang bertarung.  Konsekuensi
dari  pemberian  pengakuan  ini,  antara  lain,  beligeren  dapat  memasuki  pelabuhan Negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.
e. Pengakuan sebagai bangsa
Pengakuan  ini  diberikan  kepada  suatu  bangsa  yang  sedang  berada  dalam tahap  membentuk  Negara.  Mereka  dapat  diakui  sebagai  subjek  hukum
internsional.  Konsekuensi  hukumnya  sama  dengan  konsekuensi  hukum pengakuan beligerensi.
f. Pengakuan  hak-hak  territorial  dan  situasi  internasional  baru
sesungguhnya  isinya  adalah  “tidak  mengakui  hak-hak  dan  situasi internasional baru”.
Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu  Manchuria, salah
satu provinsi Cina, dan mendirikan Negara boneka di sana Manchukuo.
68
Padahal  Jepang  adalah  salah  satu  Negara  penandatangan  Perjanjian Perdamaian Paris 1928 juga dikenal sebagai kellog-Briand  Pact atau Paris 1928
juga  dikenal  sebagai  Kellog-Briand  Pact  atau  Paris  Pact,  sebuah  perjanjian pengakhiran  perang.  Dalam  perjanjian  itu  terdapat  ketentuan  yang  menegaskan
68
Starke J.G , Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta , 2010 , hal 93
Universitas Sumatera Utara
bahwa Negara-negara penandatangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai  alat  untuk  mencapai  tujuan-tujuan  politik.  Dengan  demikian  maka
penyerbuan  Jepang  itu  jelas  bertentangan  dengan  perjanjian  yang  ikut ditandatanginya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes
keras  oleh  Amerika  Serikat  melalui  menteri  luar  negerinya,  Stimson,  yang menyatakan  bahwa  Amerika  Serikat  “  tidak  mengakui  hak-hak  territorial  dan
situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini ju
ga dikenal sebagai Stimson‟s Doctrine of Non-Recogniton.
B.  Prosedur  dan  Tata  Cara  Pengakuan  Internasional  terhadap  Cagar Budaya