Artikel Sejarah dan Penyelesaian Sengketa Angkor Wat

Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1993 Starke J.G , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta Toman, Jiri 1996 , The Protection of Cultural Property in The Event of Armed Conflict , Dartmouth Publishing Company , Aldershot

B. Artikel

A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 Manchaster: Manchaster University Press, 2004 Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996 Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal Fall 2004 Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law Paris: Henry Dunant Institute, 1987

C. Undang-Undang

Diplomatic Conference of Geneva of 1949, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949 Institute of International Law, The Laws of War on Land 9 September 1880 Treaty on the Protection of Artistic and Scientific Institution and Historic Monuments Roerich Pact 15 April 1935 United Nations, Conference on International Organization Charter of the United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General Chapter I.I. 26 Juni 1945 United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 1 Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada Waktu Sengketa Bersenjata tahun 1977 Konvensi mengenai Perlindungan Dunia Budaya dan Warisan Alam Tahun 1972 Universitas Sumatera Utara Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Konvensi DenHaag 1954 Konstitusi Unesco D. Internet http:www.antarabengkulu.comberita19359lestarikan-warisan-budaya-agar-tak- disanksi-unesco http:www.scribd.comdoc89959718Pengakuan-Dalam -Hukum-Internasional http:masniam.wordpress.com20100421pengakuan-secara-kolektif www.Jatim.go.idartikelintrnasionalhukum http:smakita.netpenyelesaian-sengketa-internasional http:fitrohsyawali.wordpress.com20100510makalah-penyelesaian-sengketa- international http:www.anneahira.comsengketa internasional.htmlDjuned Hasani , Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:antaranews.comartikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja . Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan Thailand- Kamboja ; http:id.wikipedia.orgwiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian- hubungan-Thailand-Kamboja GunKarta, Angkor Wat ; http:id.m.wikipedia.orgwikiangkor_Wat Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja ;http:viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja. James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its Aftermath,”http:www.ogick.orgindepthprotect-cult-herit.html Universitas Sumatera Utara Makarim Wibisono ; Dinamika baru Sengketa Angkor Watt ; http:id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik- internasional451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik- thailand-kamboja Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB id.wikipedia.orgwikiOrganisasi_Pendidikan,_Keilmuan,_dan_Kebudayaan_PBB Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ; http:www.scribd.comdockonflik- thailand-Kamboja-doc Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http:repository.unhas.ac.idhandle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB Skripsi Sasha Izni Shadrina Perlindungan Terhadap Benda Budaya Pada Masa Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional: Penerapannya oleh Internasional Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia dalam Kasus-Kasus Dubrovnik, http:repository.ui.ac.id http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi- warisan-dunia https:id.wikipedia.orgwikiCagar_budaya http:www.artikelsiana.com201502pengertian-kebudayaan-definisi-para- ahli.html http:travel.kompas.comread20141024175400427Memelihara.Warisan.Buda ya.Tak.Benda https:pkntrisna.wordpress.com20100616pengertian-sengketa-internasional http:adrianbobby.blogspot.co.id201311berdirinya-unesco.html http:sujudgandas.blogspot.co.id201304organisasi-unesco.html Universitas Sumatera Utara

BAB III PROSEDUR DAN TATACARA PENGAKUAN INTERNASIONAL

TERHADAP CAGAR BUDAYA A. Pengakuan Internasional Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : 1. Faktor Politik Faktor politik ini menentukan entitas, dihubungkan dengan kepentingan nasional. Contoh : sampai dengan saat ini kepentingan Indonesia tidak menengahi Indonesia untuk mengakui Israel sebagai Negara. 54 Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan kehendak bebas free act. Negara bebas untuk bertindak, apakah akan memberikan pengakuan atau tidak, itu merupakan kehendak bebas. 55 Kedua hal ini yang menyebabkan pengakuan menjadi masalah yang rumit. Disini terdapat pencampuran atau gabungan antara hukum internasional dengan hukum nasional. Pengakuan : 1. Negara yang akui dan diakui sederajat 54 Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta 2001, hal 63 55 Ibid , hal 52 Universitas Sumatera Utara 2. Negara yang saling akui ada atau siap melakukan kerjasama atau hubungan bilateral perjanjian internasional Akibat dari pengakuan, jika diakui maka akan terjadi negoisasi antar Negara yang mengakui dan diakui, demikian sebaliknya. 56

1. Teori-teori tentang Pengakuan

Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan recognition. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu Negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori : a. Teori Deklaratoir b. Teori Konstitutif c. Teori Pemisah atau Jalan Tengah Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu Negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu Negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu Negara dalam hubungan internasional. 57 Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu Negara sebagai anggota masyarakat internasional. 56 Ibid , hal 77 57 Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 72 Universitas Sumatera Utara Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional international legal personality suatu Negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu Negara bukan belumlah merupakan subjek hukum internasional. 58 Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu Negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu Negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh Negara-negara lain.

2. Macam atau Jenis Pengakuan

Ada dua macam atau jeni pengakuan ,yaitu : a. Pengakuan de Facto; dan b. Pengakuan de Jure Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu Negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu yakni Negara yang diberi pengakuan tadi bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau 58 Op. Cit , hal 23 Universitas Sumatera Utara tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana Negara yang diakui atau fakta itu ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya. 59 Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila Negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu Negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu Negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu Negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila : a Penguasa di Negara baru itu benar-benar menguasai secara formal maupun substansial wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaanya; b Rakyat di Negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa baru itu; c Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui untuk menghormati hukum internasional.

3. Cara Pemberian Pengakuan

a. Dilakukan dengan Expresset Recognition Pengakuan dilakukan secara tegas Contoh : 59 Ibid , hal 20 Universitas Sumatera Utara 1 Dengan pengiriman nota diplomatik resmi, yang menyebutkan bahwa suatu pemerintah atau Negara memberikan pengakuan baik terhadap pemerintah atau Negara. 2 Mengrimkan utusan untuk hadir dalam upacara pelantikan diberikan undangan, Negara tersebut merespon dengan mengirimkan wakil diplomatik 60 b. Implied recognition Pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung. Dari tindakannya terlihat Negara itu bisa disimpulkan memberikan pengakuan. Contoh : pengikatan perjanjian bilateral Australia dan Indonesia melakukan perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep Celah Timor. Padahal pada saat itu, Timor Timur belum resmi menjadi provinsi Negara Indonesia. Australia juga belum secara tegas mengakui Indonesia. Namun jika tidak mengakui, tidak mungkin melakukan perjanjian. Sehingga perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung Australia terhadap Indonesia. 61 c. Pengakuan secara kolektif Pengakuan secara kolektif ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum. Contoh : dalam konferensi ke Negara-negara, ada Negara yang tidak diakui. Misalnya dalam PBB , Israel hadir dalam konferensi tersebut. Dengan tidak 60 Ibid hal 24 61 J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Brathara, Jakarta, 1996 , hal 30 Universitas Sumatera Utara keberatannya Negara-negara Islam untuk hadir, dimana Israel hadir, hal ini disebut Negara tersebut telah memberikan pengakuan secara kolektif. Namun, ada yang berpendapat bahwa pengakuan secara kolektif tidak ada. 62

4. Penarikan Kembali Pengakuan

Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kuaifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional international legal personality. Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi Negara. 63 Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu Negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan. Terhadap persoalan diatas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan : a. Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat 62 Ibid, hal 15 63 Op. Cit hal 24 Universitas Sumatera Utara tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu; b. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut. 64 Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu Negara akan memberikan pengakuan kepada Negara lain jika Negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan. Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan. Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu Negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau 64 Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 12 Universitas Sumatera Utara fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan Negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu Negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif Negara yang bersangkutan. 65 Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran objektif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuwan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, diarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan- putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan tentang Negara sebagai subjek hukum internasional. 66

5. Bentuk- bentuk Pengakuan

Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu Negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan 65 Ibid , hal 16 66 Sefriani, Hukum Internasional suatu pengantar, Rajawali pers , Jakarta , 2014 , hal 13 Universitas Sumatera Utara hanya diberikan terhadap suatu Negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni termasuk pengakuan terhadap suatu Negara; a. Pengakuan Negara baru. Jelas pengakuan ini diberikan kepada suatu Negara baik berupa pengakuan de facto maupun de jure. b. Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap Negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya yang berkuasa. Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangat kontras perbedaanya. c. Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekolompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu Negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti Negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata- mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa pemerintah yang sah untuk menumpas pemberontakan itu. 67 67 Ibid , hal 29 Universitas Sumatera Utara d. Pengakuan beligerensi Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan Negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll. e. Pengakuan sebagai bangsa Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk Negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internsional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi. f. Pengakuan hak-hak territorial dan situasi internasional baru sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”. Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan Negara boneka di sana Manchukuo. 68 Padahal Jepang adalah salah satu Negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 juga dikenal sebagai kellog-Briand Pact atau Paris 1928 juga dikenal sebagai Kellog-Briand Pact atau Paris Pact, sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan 68 Starke J.G , Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta , 2010 , hal 93 Universitas Sumatera Utara bahwa Negara-negara penandatangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanginya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “ tidak mengakui hak-hak territorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini ju ga dikenal sebagai Stimson‟s Doctrine of Non-Recogniton.

B. Prosedur dan Tata Cara Pengakuan Internasional terhadap Cagar Budaya

Cagar Budaya merupakan hal yang paling dilindungi ketika terjadi peperangan maupun pada masa damai. Cagar Budaya yang ada didunia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Cagar Budaya yang telah menjadi situs warisan dunia UNESCO 2. Cagar Budaya yang belum menjadi situs warisan dunia UNESCO Situs Warisan Dunia UNESCO bahasa Inggris: UNESCO’s World Heritage Sites adalah sebuah tempat khusus misalnya, Taman Nasional, Hutan, Pegunungan, Danau, Pulau, Gurun Pasir, Bangunan, Kompleks, Wilayah, Pedesaan, dan Kota yang telah dinominasikan untuk program Warisan Dunia internasional yang dikelola UNESCO World Heritage Committee, terdiri dari 21 kelompok 21 state parties yang dipilih oleh Majelis Umum General Assembly Universitas Sumatera Utara dalam kontrak 4 tahun. 69 Jadi pengertian dari sebuah Situs Warisan Dunia adalah suatu tempat Budaya dan Alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah Warisan bagi generasi berikutnya. Program ini bertujuan untuk mengkatalog, menamakan, dan melestarikan tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan manusia dunia. Tempat- tempat yang didaftarkan dapat memperoleh dana dari Dana Warisan Dunia di bawah syarat-syarat tertentu. 70 Program ini diciptakan melalui Pertemuani Mengenai Pemeliharaan Warisan Kebudayaan dan Alamiah Dunia yang diikuti di oleh Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972. 71 Pada tahun 1954, pemerintah Mesir memutuskan untuk membuat Bendungan Aswan Aswan Dam sebuah peristiwa yang akan menenggelamkan sebuah pegunungan yang berisi harta benda dari zaman mesir kuno seperti kuil Abu Simbel. Kemudian UNESCO meluncurkan kampanye perlindungan secara besar-besaran diseluruh dunia. Kuil Abu Simbel dan Kuil Philae kemudian diambil alih, dipindahkan ke tempat yang lebih besar dan dibangun kembali satu demi satu bagian. Biaya yang dikeluarkan dalam proyek ini sebesar US 80 juta, sekitar US 40 juta dikumpulkan dari 50 negara. Proyek tersebut dihargai kesuksesannya, dan dilanjutkan ke proyek penyelamatan lainnya, menyelamatan Venesia dan danaunya di Italia, Kuil Mohenjo-daro di Pakistan, dan Candi Borobudur di Indonesia. UNESCO lalu bergabung dengan dewan international bagian situs dan 69 https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB 70 Ibid 71 Ibid Universitas Sumatera Utara monumental International Council on Monuments and Sites sebuah draft pertemuan untuk melindungi budaya-budaya kemanusiaan. Amerika kemudian mengajukan pertemuan untuk menggabungkan perlindungan alam dengan budaya. Sebuah pertemuan di White House pada tahun 1965 yang dijuluki World Heritage Trust Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia “untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga dunia”. Kemudian, dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for Conservation of Nature pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm. Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum oleh UNESCO pada tanggal 16 November 1972. Terhitung 2004, sejumlah 788 tempat telah dimasukkan ke dalam daftar Warisan Dunia 611 kebudayaan, 154 alamiah dan 23 campuran di 134 Negara Anggota. Indonesia baru menerima konvensi tersebut pada tanggal 6 Juli 1989, dan 2 tahun kemudian berhasil mendaftarkan 4 warisan dunia yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai warisan budaya dan Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai warisan dunia. 72 Warisan budaya bisa berupa monumen, kumpulan bangunan, dan situs budaya, sedangkan warisan alam dapat berupa fitur alam, formasi geologis dan fisiografis, serta situs alam. Daftar warisan dunia yang pertama kali di rilis pada tahun 1978 terdiri dari 12 warisan 72 http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi- warisan-dunia Diakses pada tanggal 27 Mare 2016 pukul 16.20 Universitas Sumatera Utara dunia dan alam, satu diantaranya adalah kepulauan Galapagos yang masyur sebagai tempat penelitian Charles Darwin yang akhirnya menemukan teori seleksi alam. 73 Indonesia sendiri sampai tahun 2015 baru mempunyai 8 warisan dunia yaitu Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Candi Prambanan, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Lorentz, Hutan Tropis Sumatera, dan Sistem Subak. 74 Sayangnya Hutan Hujan Tropis saat ini berstatus dalam bahaya karena ancaman penebangan liar, ekspansi lahan pertanian, dan pembuatan jalan yang mengancam kelestarian warisan alam tersebut. Setiap negara dapat mengajukan nominasi dunia ke Unesco yang akan diseleksi oleh komite khusus. Obyek yang dinomisasikan harus mempunyai nilai universal yang luar biasa dan memenuhi satu atau lebih dari 10 kriteria yang telah ditetapkan oleh Unesco, diantaranya representasi mahakarya dari kejeniusan kreatifitas manusia dan kumpulan atau lanskap bangunan, rancanga arsitektur, dan teknologi yang luar biasa yang menjadi tahapan signifikan pada sejarah manusia. 75 Proses cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat dalam Pasal 11 Konvensi tentang Bangunan Kebudayaan yang menjadi awarisan Dunia tahun 1972 ; 1. Dimasukkannya properti dalam Daftar Warisan Dunia memerlukan persetujuan dari Negara yang bersangkutan. Dimasukkannya properti terletak di wilayah, kedaulatan atau yurisdiksi atas yang diklaim oleh 73 Ibid 74 Ibid 75 Ibid Universitas Sumatera Utara lebih dari satu Negara wajib tidak merugikan hak-hak dari para pihak yang bersengketa. 2. Komite harus menetapkan, tetap up to date dan mempublikasikan , setiap kali situasi apapun mengharuskan demikian, di bawah judul Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya, daftar properti muncul dalam Daftar Warisan Dunia untuk konservasi mana operasi utama diperlukan dan bantuan yang telah diminta berdasarkan Konvensi ini. Daftar ini memuat perkiraan biaya operasi tersebut. Daftar ini mungkin hanya mencakup kekayaan tersebut merupakan bagian dari warisan budaya dan alam sebagai terancam oleh bahaya yang serius dan spesifik, seperti ancaman penghilangan disebabkan oleh kerusakan dipercepat, proyek-proyek publik atau swasta berskala besar atau cepat perkotaan atau proyek pengembangan pariwisata; kerusakan yang disebabkan oleh perubahan dalam penggunaan atau kepemilikan tanah, perubahan besar karena penyebab yang tidak diketahui, ditinggalkan untuk alasan apapun; wabah atau ancaman konflik bersenjata, bencana dan bencana alam, kebakaran serius, gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi; perubahan muka air, banjir dan gelombang pasang. Komite dapat setiap saat, dalam hal kebutuhan mendesak, membuat entri baru dalam Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya dan mempublikasikan entri tersebut dengan segera . 3. Komite harus menetapkan kriteria atas dasar yang properti milik budaya atau alam dapat dimasukkan dalam salah satu daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini. Universitas Sumatera Utara 4. Sebelum menolak suatu permintaan untuk dimasukkan dalam salah satu dari dua daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini, Komite harus berkonsultasi dengan Negara Pihak yang di wilayahnya budaya atau alami properti tersebut berada. 5. Komite, dengan persetujuan dari Negara yang bersangkutan, mengkoordinasikan dan mendorong studi dan penelitian yang diperlukan untuk menyusun dari daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan 4 pasal ini. 6. Setelah itu semua di dalam Pasal 13 Konvensi Bangunan Budaya menjadi Warisan Dunia, Komite Warisan Dunia akan menerima dan mempelajari permintaan bantuan internasional dirumuskan oleh Negara Pihak pada Konvensi ini berkenaan dengan properti yang merupakan bagian dari warisan budaya atau alam, terletak di wilaya mereka, dan termasuk atau berpotensi cocok untuk dimasukkan dalam daftar disebutkan disebut dalam ayat 2 dan 4 Pasal 11. Tujuan dari permintaan tersebut mungkin untuk mengamankan perlindungan, pelestarian, presentasi atau rehabilitasi bangunan tersebut. 7. Permintaan bantuan internasional sesuai ayat 1 pasal ini juga mungkin berkaitan dengan identifikasi kekayaan budaya atau alam yang didefinisikan dalam Pasal 1 dan 2, ketika penyelidikan awal telah menunjukkan bahwa penyelidikan lebih lanjut akan dibenarkan. 8. Komite akan memutuskan tindakan yang akan diambil sehubungan dengan permintaan ini, menentukan mana yang tepat, sifat dan tingkat Universitas Sumatera Utara bantuannya, dan mengotorisasi kesimpulan, atas namanya, dari pengaturan yang diperlukan dengan pemerintah yang bersangkutan. 9. Komite harus menentukan urutan prioritas untuk operasinya. Ini akan dengan demikian diingat pentingnya masing-masing untuk dunia warisan budaya dan alam perlindungan properti yang membutuhkan, kebutuhan untuk memberikan bantuan internasional untuk properti yang paling mewakili lingkungan alami atau genius dan sejarah bangsa-bangsa dunia, urgensi dari pekerjaan yang harus dilakukan, sumber daya yang tersedia ke Amerika di wilayah mana properti terancam terletak dan khususnya sejauh mana mereka mampu menjaga kekayaan tersebut dengan cara mereka sendiri. 10. Komite akan menyusun, tetap up to date dan mempublikasikan daftar properti yang bantuan internasional telah diberikan. Tentang dana yang digunakan untuk menjadikan cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat di dalam Pasal 15 Konvensi mengenai Bangunan Kebudayaan yang menjadi Warisan Dunia tahun 1972. Komite akan memutuskan penggunaan sumber daya Dana ditetapkan berdasarkan Pasal 15 dari Konvensi ini. Ini akan mencari cara untuk meningkatkan sumber daya dan harus mengambil semua langkah yang berguna untuk tujuan ini. Komite akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan non- pemerintah internasional dan nasional yang memiliki tujuan yang sama dengan Konvensi ini. Untuk pelaksanaan program dan proyek, Komite dapat memanggil Universitas Sumatera Utara organisasi tersebut, khususnya Pusat Internasional untuk Studi Pelestarian dan Pemulihan Properti budaya Roma Centre, International Council of Monumen dan Situs ICOMOS dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam IUCN, serta pada badan-badan publik dan swasta dan perorangan. Keputusan-keputusan Komite harus diambil oleh mayoritas dua pertiga anggotanya hadir dan memberikan suara. Mayoritas anggota Komite harus memenuhi kuorum. Di dalam Pasal 15 perihal dana yang digunakan untuk menjadikan bangunan budaya menjadi warisan dunia lebih dijelaskan. Dana untuk Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam Nilai Universal yang luar biasa, yang disebut Dana Warisan Dunia, dengan ini dibentuk. Dana harus merupakan dana perwalian, sesuai dengan ketentuan Peraturan Keuangan Perserikatan Bangsa, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan Amerika. Sumber daya Dana terdiri dari: wajib dan sukarela kontribusi yang dibuat oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Kontribusi, pemberian atau hibah yang dapat dilakukan oleh: Negara-negara lain; PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Organisasi Budaya, organisasi lain dari sistem PBB, khususnya Program Pembangunan PBB atau organisasi antar pemerintah lainnya; badan atau individu publik atau swasta; setiap bunga yang jatuh tempo pada sumber daya IMF; dana yang dihimpun oleh koleksi dan penerimaan dari acara yang diselenggarakan untuk kepentingan dana, dan semua sumber daya lainnya yang diberikan oleh peraturan IMF, seperti yang dibuat oleh Komite Warisan Dunia. Universitas Sumatera Utara Kontribusi kepada Dana dan bentuk bantuan lainnya dibuat tersedia bagi Komite hanya dapat digunakan untuk tujuan seperti Komite harus menentukan . Komite dapat menerima kontribusi yang akan digunakan hanya untuk suatu program atau proyek tertentu, asalkan Komite telah memutuskan pada pelaksanaan program atau proyek tersebut. Tidak ada kondisi politik dapat melekat pada kontribusi yang diberikan untuk Dana. Namun, masing-masing Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau Pasal 32 Konvensi ini dapat menyatakan, pada saat penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan atau aksesi, bahwa hal itu tidak akan terikat oleh ketentuan- ketentuan ayat 1 Pasal ini. Suatu Negara Pihak pada Konvensi yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik deklarasi mengatakan dengan memberitahukan kepada Direktur Jenderal PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Namun, penarikan deklarasi tidak akan berlaku dalam hal kontribusi wajib karena oleh negara sampai dengan tanggal Majelis Umum berikutnya Negara-negara Pihak pada Konvensi. Agar Komite mungkin dapat merencanakan operasinya secara efektif, kontribusi Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini, harus dibayar secara teratur, setidaknya setiap dua tahun, dan tidak boleh kurang dari kontribusi yang mereka harus membayar jika mereka telah terikat oleh ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal ini. Universitas Sumatera Utara Setiap Negara Pihak pada Konvensi yang menunggak dengan pembayaran iuran wajib atau sukarela untuk tahun berjalan dan tahun kalender segera sebelum itu tidak akan memenuhi syarat sebagai Anggota Komite Warisan Dunia , meskipun ketentuan ini tidak berlaku untuk pemilihan pertama . Terdapat beberapa kriteria situs cagar budaya dalam kategori situs budaya menurut UNESCO, antara lain: 76 1. Melambangkan mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia serta nilai - yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya. 2. Menunjukkan keutamaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap. 3. Mengandung kekhasan atau bukti bahwa pernah ada ritual peradaban di masa lampau yang tersisa atau telah lenyap. 4. Wujud mengagumkan pada sebuah bangunan, arsitektur atau teknologi yang memiliki penggambaran tentang tahapan penting dalam sejarah peradaban manusia. 5. Wujud mengagumkan pada sebuah tempat tinggal, tanah, atau perairan yang dapat melambangkan budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan, khususnya yang masih terpelihara terhadap perubahan zaman yang signifikan. 6. Memiliki kaitan yang erat pada suatu peristiwa atau tradisi tertentu, dari sisi pemikiran, kepercayaan, artistik dan sastra. 76 https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB Universitas Sumatera Utara Secara umum, kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian warisan budaya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pada sekitar tahun 60an masyarakat dunia semakin peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Pada awalnya UNESCO mendorong negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengajukan situsnya. Hingga saat ini telah terdaftar sebanyak 994 situs yang tersebar di seluruh dunia. 77 Indonesia sendiri memiliki 8 warisan dunia 4 warisan budaya dan 4 warisan alam, jumlah ini tentu relatif sedikit karena Indonesia telah 24 tahun meratifikai konvensi, apalagi jika dibanding dengan negara-negara yang lain. 78 Secara umum, situs yang dapat diajukan sebagai warisan dunia adalah yang memiliki nilai universal luar biasa Outstanding Universal Value. 79 Nilai universal luar biasa tersebut memerlukan penjelasan agar tidak bersifat relatif dan subjektif. 80 UNESCO menjabarkan mengenai Outstanding Universal ValueOUV tersebut dalam kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam Operational Guideline. 81 Kriteria-kriteria yang digunakan sebanyak 10 kriteria yang terdiri dari 6 kriteria untuk budaya dan 4 kriteria untuk alam. Situs yang diajukan harus memenuhi minimal satu dari sepuluh kriteria tersebut. Selain kriteria OUV, pengajuan warisan dunia juga harus menjabarkan otentitas dan integritas dari situs. 82 77 http:kebudayaan.kemdikbud.go.idblog20131018persiapan-menuju-warisan-dunia- seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage di akses pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 11.40 WIB 78 http:kebudayaan.kemdikbud.go.idblog20131018persiapan-menuju-warisan-dunia- seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage di akses pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 11.40 WIB 79 Ibid 80 Ibid 81 Ibid 82 Ibid Universitas Sumatera Utara Ada 8 langkah dalam mengajukan suatu obyek untuk menjadi Warisan Dunia 83 : 1. Memastikan bahwa objek yang diusulkan sebagai warisan budaya dunia sudah terdaftar atau sudah masuk didalam tentative list UNESCO. 2. Terdapat pengesahan dari pemerintah pusat mengenai pengajuan obyek ini. 3. Membentuk suatu tim khusus untuk meneliti obyek tersebut yang terdiri dari para arkeolog, para ahli bidang biologi dan kimia, ahli sejarah, antropolog, perwakilan dari pemerintah pusat dan daerah dan yang terpenting yaitu media untuk dilibatkan dalam tim ini. 4. Mengumpulkan semua informasi yang penting yang terkait dengan obyek apa yang kita usulkan. 5. Mengidentifikasi lebih lanjut mengenai para Sumber Daya Manusia yang ahli dan mengarahkan dalam keuangan. 6. Membuat jadwal dan time line agar apa yang kita ingin ajukan ke UNESCO tertata rapi. Jangan terburu-buru dan jangan lupa terlalu lambat waktu pelaksanaannya. 7. Meyakinkan para partisipan dari stakeholders dalam pengajuan obyek menjadi warisan dunia. 8. Menulis pengusulan tersebut dalam 200 kata untuk diajukan ke UNESCO agar obyek tersebut menjadi salah satu warisan dunia. 83 Ibid Universitas Sumatera Utara C. Perlindungan Cagar Budaya yang Telah Menjadi Warisan Dunia World Heritage menurut Hukum Internasional Definisi Cagar Budaya yang telah menjadi warisan dunia terdapat di Pasal 1 konvensi tentang cagar budaya tahun budaya tahun 1972. cagar budaya adalah monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang, karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap, adalah nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; situs: karya pria atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, antropologi etnologis atau sudut pandang. Istilah “bangunan budaya” terbukti sulit untuk didefinisikan. Hingga tahun 1946, tidak ada definisi hukum terhadap istilah “bangunan budaya”, dan dalam perkembangannya, tidak ada satu pengertian tunggal mengenai apa yang dimaksud dengan bangunan budaya. 84 Karena criteria yang digunakan untuk mendefinisikan bangunan budaya dapat berbeda satu sama lain. Dalam pandangan umum, penggunaan istilah bangunan budaya adalah untuk obyek- obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas, yang dapat dibedakan dari obyek biasa karena siginifikansi budaya yang dimiliki bangunan tersebut dan atau karena 84 Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996 hal 165. Universitas Sumatera Utara kelangkaannya. 85 Oleh karena itu, kategorisasi terhadap benda budaya tidak terbatas, dan segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat heterogen dari bangunan budaya. Contoh-contoh dari definisi bangunan budaya dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict pada tahun 1954 memberikan definisi sebagai berikut : “… the term “cultural property”shall over, irrespective of origin or ownership movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every people …” Dengan definisi ini, maka benda-benda seperti arkeologi, monument, dan karya seni seperti patung, candi, kuil, yang dianggap sebagai benda budaya. Di sisi lain, dapat ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa bangunan budaya terbatas pada bangunan-bangunan bergerakbenda-benda bergerak, yang berarti terbatas pada karya seni, barang antic, dan obyek-obyek etnografis. Akan tetapi, definisi bangunan budaya yang umum digunakan cukup luas. Dengan definisi yang umum, benda budaya mencakup karya seni, artefak, barang antik, karya arsitektur yang siginifikan, lanskap buatan, benda-bendabangunan dan situs bernilai agama, dan obyek orang asli dari suatu daerah. Ini merupakan segala benda berwujud nyata yang memiliki signifikasi seni, sejarah, keilmuwan, agama atau sosial. Jadi, secara umum dan untuk kepentingan menelusuri 85 Ibid hal 12 Universitas Sumatera Utara sejarahnya, bangunanbenda budaya tidak terbatas pada benda budaya yang bergerak saja namun juga pada benda budaya yang tidak bergerak. 86

1. Peranan UNESCO Tehadap Perlindungan Bangunan Kebudayaan di wilayah non-konflik

Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu Bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas keberadaban. pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas pemeliharaan terhadap kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum, tari-tarian, rumah adat, lagu daerah, taman budaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih- generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan. 87 Pada pertemuan The Fourth Meeting of The ASEM Culture Minister bertema Managing Heritage Cities for a Sustainable Future di Daerah Istimewa Yogyakarta 16-20 September 2012 Wamendikbud RI bidang kebudayaan Wiendu Nuryanti, berpendapat bahwa setiap kota di dunia adalah kota budaya. Oleh karena itu setiap kota wajib melestarikan roh kebudayaan. Wiendu mengatakan latar belakang dari pertemuan tersebut karena tekanan terhadap 86 Ibid , hal 16 87 http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi- warisan-dunia Diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 16.20 Universitas Sumatera Utara warisan budaya yang dimiliki kota- kota di Asia dan Eropa. “Perlu dipikirkan strategi perlindungan terhadap roh budaya yang dimiliki masing-masing kota. 88 Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dikenal sebagai negara kaya akan sumber alam dan budaya. Baik peninggalan sejarah maupun pengetahuan tradisional dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai macam hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah di Indonesia dari sabang hingga marauke, yang mana terdapat lebih 900 suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Kekayaan budaya yang di miliki Indonesia merupakan warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Budaya tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kegiatan kehidupan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia memiliki nilai histori yang berbeda di setiap daerah. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar yang dapat menjadi aset bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia di dunia internasional. 89 Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan, mulai dari tari-tarian, alat musik tradisional, adat istiadat, pakaian adat hingga bangunan arsitektural yang berupa rumah adat di tiap-tiap propinsi yang ada di Indonesia. Contohnya seperti tari Pendet dari Bali, tari Remo dari Surabaya, dan tari Jaipong dari Jawa Barat. Alat musik tradisional seperti angklung, gamelan dan kecapi. Adat istiadat seperti acara pemakaman Ngaben di Bali, Lompat Batu di 88 Ibid 89 Ibid Universitas Sumatera Utara kepulauan Nias dan festival Grebeg Suro di Yogyakarta, serta masih ada ratusan dari aspek lainnya yang merupakan harta karun yang berharga milik bangsa Indonesia. Kebudayaan merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dan merupakan salah satu unsur dalam menjaga rasa nasionalisme dalam diri kita sebagai rakyat Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia serta penjelasannya antara lain menyatakan usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa” Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya : “Dilarang merusak, membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan atau warna, memusnahkan benda cagar budaya tanpa izin pemerintah, pelanggaran ketentuan ini di ancam dengan pidana selama-lamanya 10 tahun penjara denda setinggi- tingginya 100 juta rupiah.” Beranjak dari amanat ini, pemerintah berkewajiban untuk mengambil segala langkah dan upaya dalam usaha memajukan memberikan perlindungan terhadap kebudayaan bangsa dan negara agar tidak punah dan luntur karena merupakan unsur nasionalisme dalam memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan negara kita. Universitas Sumatera Utara Namun Pada masa sekarang ini, kebudayaan sudah sering dilupakan dan diabaikan pelestariannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 90 Karena kebudayaan yang ada di Indonesia umumnya telah banyak dilupakan dan tidak ada upaya untuk melindungi kebudayaan tersebut, maka dapat menimbulkan akibat yang buruk bagi Negara Indonesia, yaitu adanya pengklaiman terhadap kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Negara lain. Pengklaiman ini tentu saja menimbulkaan dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi, pariwisata, sosial, dan kebudayaan. Apalagi di era perdagangan bebas sekarang ini, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk baru untuk diperdagangkan. Termasuk penggalian produk-produk yang berbasis “pengetahuan tradisional”, tanpa ada kontribusi terhadap negara atau terhadap masyarakat pemiliknya. Komersialisasi “pengetahuan tradisional menjadi masalah karena diperoleh tanpa izin. Maka dibutuhkan organisasi bertaraf Internasional dalam mengambil langkah penting untuk melindungi kebudayaan sebagai kekayaan intelektual yang juga memberikan perlindungan bagi hak masyarakat lokal. 91 Perlindunagn tersebut sangat diperlukan untuk mencegah produk-produk milik masyarakat Indoensia, khususnya yang berbasis kebudayaan, agar kepemilikannya tidak diakui tanpa izin oleh Negara lain. Oleh sebab itu produk- produk tersebut perlu memperoleh perlindungan hukum. Apalagi diketahui jelas, bahwa semua kekayaan yang berbasis budaya tradisional mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Upaya tersebut tentunya 90 https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB 91 Ibid Universitas Sumatera Utara akan mendorong peningkatan perekonomian Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, Sejak beberapa tahun yang lalu sampai saat ini, masyarakat dunia telah memiliki suatu lembaga yang bersifat internasional dan universal untuk mengurus berbagai kepentingan antara negara dengan negara serta hubungan antara negara dengan individu yang termasuk klasifikasi subyek hukum internasional sebagai salah satu pencerminan kerjasama antar negara. 92 Salah satu badan internasional yang bersifat universal adalah PBB Perserikatan Bangsa –Bangsa yang tujuannya ingin menegakkan perdamaian dunia. Dalam mewujudkan tujuan itu PBB mempunyai badan khusus specialized agencies , yang dibentuk dengan perjanjian antara pemerintah dan mempunyai tanggung jawab internasional yang luas seperti terumus di dalam dokumen dasarnya, dalam bidang ekonomi, sosial, kulturil, pendidikan, kesehatan serta bidang yang bertalian lainnya, yang akan diperhubungkan dengan PBB, dan perjanjian itu harus disetujui oleh Majelis Umum PBB dan lembaga itu sendiri. Badan khusus PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan dan bidang kulturil diantaranya adalah UNESCO United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization , didirikan pada tanggal 4 November 1946, yang dalam perencanaanya atau proyek utama digambarkan usaha-usaha UNESCO, serta mencari input dengan jalan mencari masalah –masalah praktis di negara –negara anggota These plans, as known as “Major Project” represent a concentration of UNESCO efforts and resources on practical problems of concerns to member state . 92 Ibid Universitas Sumatera Utara Budaya tidak hanya diekspresikan dengan cara masyarakat membentuk eksistensinya, tetapi juga dalam membuat struktur prioritasnya, yaitu tujuan- tujuan yang ingin dicapai atau nilai-nilai yang dipromosikan atau dipertahankan. Kesadaran masyarakat dunia untuk melindungi Kekayaan budaya dunia makin berkembang pesat, kekayaan budaya dunia pun dipromosikan dan dipertahankan oleh masyarakat dunia. Instrumen hukum internasional pun makin penting peranannya dalam perlindungan kekayaan budaya dunia. 93 Pada saat ini, memang belum ada instrumen hukum internasional yang secara jelas dan tegas memberi sanksi penghukuman pada pelaku pengrusakan benda budaya dunia, terutama pada masa bukan perang atau konflik bersenjata. Karena pada dasarnya, perlindungan dan kemampuan memberi sanksi pada kejahatan terhadap suatu benda budaya adalah kapasitas kedaulatan suatu negara. Kekayaan budaya dunia masih belum begitu penting seperti genosidapemusnahan masal suatu kelompok-biasanya etnis- tertentu, pemerkosaan, dan pemberontakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan pidana internasional. 94 UNESCO sebagai badan dunia dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang kebudayaan, kemudian memprakarsai beberapa pertemuan, seminar, dan pembentukan perlindungan kekayaan budaya dunia dari segi hukum internasional. Beragam Konvensi, rekomendasi, piagam, dan resolusi pun dihasilkan oleh UNESCO.Namun kekuatan instrumen hukum internasional yang telah ada dan belum mampu menjamin penghukuman terhadap kejahatan terhadap 93 Ibid 94 Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http:repository.unhas.ac.idhandle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB Universitas Sumatera Utara kekayaan budaya dunia. Salah satu penyebabnya adalah instrumen hukum internasional hanya mengikat negara anggota yang telah meratifikasi, sedangkan tidak banyak negara yang mau meratifikasi suatu instrumen hukum internasional. Sekalipun instrumen hukum internasional tersebut berfungsi untuk menjadi prinsip-prinsip dasar yang akan menjadi landasan pembentukan instrumen hukum secara lokal. Instrumen hukum internasional di bidang Kekayaan Budaya yang dibahas di bawah ini adalah instrumen-instrumen hukum fundamental yang menunjukkan suatu benang merah perkembangan hukum internasional dalam merumuskan sanksi kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia. Tak terbatas pada masa damai, maupun masa konflik bersenjata. 95 2. Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia Perlindungan Protection merupakan suatu tindakan untuk mempertahankan, menjaga dari serangan, invasi, kehilangan, hinaan, dan sebagainya.Konvensi-Konvensi UNESCO yang akan dibahas di bawah ini adalah instrumen hukum fundamental UNESCO di bidang perlindungan kekayaan budaya dunia berupa benda. UNESCO bertanggungjawab atas perlindungan hukum internasional kekayaan budaya International legal protection of cultural heritage . Perlindungan hukum UNESCO tersebut adalah Konvensi Hague 1954 dan protokol-protokolnya; Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Import, 95 Ibid Universitas Sumatera Utara Export, dan Transfer Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal 1970; Konvensi Perlindungan Kekayaan Dunia 1972 dengan sebelas rekomendasinya. 96 Konvensi-Konvensi ini tidak memberi penghukuman, tetapi memberi prinsip dasar perlindungan kekayaan budaya dunia. Jadi Konvensi-Konvensi ini menunjukkan bagaimana usaha pencegahan hukum internasional terhadap kejahatan pada kekayaan budaya dunia berupa benda. Perlindungan Benda Budaya merupakan suatu aksi total dan ketentuan, pencegahan, kuratif atau organisasional, yang dilakukan pemerintah dalam kerjasama dengan institusi privat dan individual, yang memastikan adanya perservasi atas kekayaan budaya yang telah didaftarkan pada masa-masa yang dianggap mengancam keberadaan kekayaan dunia. 97 Berikut Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia: a. Konvensi Hague 1954 tentang perlindungan benda budaya saat konflik bersenjata b. Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia 1972 c. Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Impor dan Eksport dan Pemindahan Kepemilikan Benda Budaya Secara Tidak Sah 1970 3. Perlindungan Bangunan Kebudayaan yang Telah Menjadi Warisan Dunia di Wilayah Konflik menurut Hukum Internasional a. Convention IV respecting the Lawas and customs of War on Land 1907 96 Musen Invicible , Warisan Dunia UNESCO , https:id.m.wikipedia..orgwikiwarisan- Dunia-UNESCO 97 Ibid Universitas Sumatera Utara Hague Convention II off 1899 adalah sebuah instrument yang mengkodifikasi ketentuan mengenai hukum terkait peperangan didarat secara umum, sekaligus merupakan upaya serius pertama ditingkat internasional untuk melindungi benda budaya semua bangsa. 98 Mukadimah Hague Convention II of 1899 dan Hague Convention IV of 1907 yang menjadi pengganti Hague Convention II of 1899 sama-sama menyatakan bahwa kata-kata dalam kedua perjanjian internasional tersebut terinspirasi oleh keinginan komunitas internasional untuk mengatur peperangan yang bersifat internasional. Secara khusus, mukadimah yang dimaksud menggarisbawahi bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghapuskan keburukan perang evils of war sejauh yang diizinkan oleh kepentingan militer yang imperative. Keburukan perang dalam konteks ini termasuk penyitaan, penghancuran, dan perusakan yang disengaja terhadap benda budaya. Keinginan tersebut dituangkan dalam beberapa pasal dalam Hague Convention II of 1899 dan Hague Convention IV of 1907. 99 Tinjauan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention IV of 1907 berkenaan dengan perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata lebih tepatnya dalam lampiran Hague Convention IV of 1907 yaitu Hague Regulations of 1907 dapat dibagi ke dalam dua bagian sesuai dengan sistematika pembagian dari perjanjian internasonal tersebut. Ketentuan mengenai benda budaya pertama tampak dalam bagian II tentang permusuhan Hostilities 98 Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property , “ Emory Law Journal Fall 2004, hal 90 99 Ibid hal 94 Universitas Sumatera Utara dari Hague Regulations of 1907, dan kemudian dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang Bermusuhan Military Authority over the Territory of the Hostile State a. Permusuhan Pasal-pasal yang relevan dalam Bagian II tentang Permusuhan dalam Hague Regulations of 1907 adalah Pasal 23 dan Pasal 27 . pasal diatas menetapkan larangan yang luas terhadap perusakan semua property musuh, dan juga menyatakan pendekatan kepentingan militer yang imperative yang dianut dalam Haugue Regulatuons of 1907. Selain larangan umum dalam Pasal 23, Hague Regulations of 1907 menetapkan secara lebih spesifik perihl perlindungan terhdap benda budaya, khususnya dalam hal penyerangan dan bombardier, dalam pasal 27 yang terdiri dari dua paragraph. 100 Pasal 27 dalam paragraph pertamanya menyatakan bahwa langkah-langkah harus ditempuh untuk menyelamatkan sejauh mungkin benda budaya pada saat terjadinya penyerangan atau bombardier. Adanya kata- kata “sejauh mungkin” dalam paragraph tersebut memberikan batasan dari perlindungan terhadap benda budaya dan menyiratkan bahwa alasan kepentingan militer yang imperative dapat mengesampingkan ketentuan diatas dan menjustifikasi perusakan property musuh. Paragraph pertama Pasal 27 juga mensyaratkan bahwa agar suatu property itu dapat perlindungan, property tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan 100 Manthew K. Steen III “Collateral Damage: The Destruction and Looting of Cultural Property in Armed Conflict, hal 10 Universitas Sumatera Utara militer. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perlindungan menurut pasal 23 dianggap hilang. 101 Selanjutnya, paragraf kedua pasal tersebut mengharuskan pihak yang terancam penyerangan atau bombardier menempuh upaya untuk memberikan indikasi dari adanya benda budaya yang harus dilindungi sebagaimana dimaksud dalam paragraph pertama Pasal 27 kepada musuh sebelum penyerangan atau bombardier dilakukan. Praktik penandaan property yang dilindungi seperti yang dimaksudkan dalam kedua pasal 27 masih dilaksanakan hingga sekarang. b. Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang Dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang dari Hague Regulations of 1907, pasal-pasal yang terkait dengan perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 46,pasal 47, dan pasal 56. Pasal-pasal tersebut terkait penyitaan, penjarahan, dan perusakan terhadap benda budaya diwilayah Negara yang berperang. 102 Paragraph kedua pasal 46 menyatakan larangan terhadap penyitaan property yang bersifat privat, dan paragraph pertama pasal 56 menyatakan bahwa benda budaya, meskipun merupakan milik Negara, dianggap sebagai property privat dan karenanya tidak dapat disita. Selanjutnya, pasal 47 secara langsung melarang penjarahan dalam terhadap benda apapun, termasuk benda budaya. Berkenaan dengan perusakan terhadap benda budaya, larangan terhadapnya terkandung dalam paragraph kedua pasal 56. 103 101 Ibid, hal 36 102 Patty Gerstenblith, “ From Bamiyan to Baghdad: Warfare and the Preservation of Cultural Heritage at the Beginning of the 21 Century , hal 70 103 Op. Cit hal 20 Universitas Sumatera Utara Berbeda dengan pasal 27 Hague Regulations of 1907 yang hanya melindungi benda budaya tidak bergerak saat terjadinya penyerangan atau bombardier, pasal 56 melindungi benda budaya tidak bergerak serta benda buday bergerak berupa karya seni. Diberlakukan secara bersamaan, pasal 27 dan pasal 56 memberikan perlindungan yang lengkap terhadap bangunan-bangunan seperti museum dan bangunan serupa lainnya. Berbeda pula dengan pasal 27, kewajiban untuk melindungi baik benda budaya bergerak maupun tidak bergerak adalah absolute tanpa adanya pengecualian kepentingan militer yang imperative. b. Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War 1949 Geneva Convention IV of 1949 secara umum mencakup hukum humaniter internasional terkait dengan perlindungan terhadap orang sipil selama konflik bersenjata. Di dalamnya, hanya terdapat dua pasal yang relevan dengan perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata, yakni pasal 27 dan pasal 53. 104 Pasal diatas tidak secara spesifik memberikan perlindungan kepada benda budaya pada masa konflik bersenjata, tetapi dianggap sebagai pasal yang dapat digunakan untuk melindungi symbol budaya termasuk benda budaya sejauh merupakan ekspresi dari nilai keagamaan dan atau budaya. Pasal selanjutnya dalam Geneva Convention IV of 1949 yang relevan dengan perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 53. Ketentuan dalam pasal 53 sekedar menguatkan prinsip yang melarang dijadikannya sebagai target populasi 104 James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its Aftermath,”http:www.ogick.orgindepthprotect-cult-herit.html, diakses pada 8 Mei 2016 Pukul 13.35 WIB Universitas Sumatera Utara sipil dan propertinya sebagaimana telah diatur dalam Hague Convention of 1899 dan Hague Convention of 1907, khususnya pasal 46 dan pasal 56 yang mengatur penghormatan terhadap property sipil dan benda budaya. 105 c. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict 1954 Hague Convention of 1954 mengatur, secara garis besar, empat perihal kewajiban Negara terkait benda budaya. Kewajuban-kewajiban tersebut adalah kewajiban Negara untuk akan penyelamatan benda budaya, kewajiban Negara akan penghormatan terhadap benda budaya, kewajiban Negara saat melakukan pendudukan, dan kewajiban Negara terhadap angkatan bersenjatanya. Selain itu, Hague Convention of 1954 juga memuat mekanisme pemindahan benda budaya bergerak untuk menghindarkannya dari dampak perang dan sanksi dari pelanggaran terhadap konvensi. 106 1. Keberlakuan Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict Selain terhadap konflik bersenjata yang melibatkan dua Negara atau lebih, Hague Convention of 1954 juga berlaku terhadap konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional. Paragraph pertama pasal 19 Hague Convention of 1954 mengharuskan Negara peserta memberlakukan paling tidak ketentuan-ketentuan 105 Ibid 106 United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 1 © Universitas Sumatera Utara Hague Convention 1954 terkait penghormatan terhadap benda budaya pada saat terjadinya konflik bersenjata yang bersifat non internasional. 107 2. Definisi “Benda Budaya”dan “Perlindungan terhadap Benda Budaya” Definisi perlindungan berdasarkan Hague Convention of 1954 mencakup dua aspek pengamanan benda budaya dan penghormatan terhadap benda budaya. Pengamanan benda budaya meliputi semua tindakan yang dirancang untuk memastikan perlindungan terhadap benda budaya dari akibat-akibat konflik bersenjata. Di sisi lain, penghormatan terhadap benda budaya merupakan kewajiban Negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dilarang, seperti menyebabkan terancamnya benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau menyebabkan kerusakan terhadap benda budaya. 108 3. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya Dasar perlindungan ini adalah pemikiran bahwa kekayaan budaya dan penyelematannya adalah persoalan dari masyarakat internasional, dan Negara dimana kekayaan budaya tersebut terletak memiliki tanggung jawab atas pengamanannya kepada masyarakat internasional. 109 Pengamanan benda budaya yang dilakukan oleh suatu Negara bersifat internal karena tiap-tiap Negara diberikan kebebasan untuk menentukan langkah- langkah apa saja yang dianggap pantas untuk ditempuh dan menyusun daftar prioritas tindakan dengan mempertimbangkan sumber daya keuangan , material, dan teknisnya. Terkait tindakan penyelamatan tersebut, adalah penting untuk 107 Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 195-196 108 Ibid , hal 200 109 Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 63 Universitas Sumatera Utara menentukan badan pemerintahan yang akan bertanggung jawab terhadap tindakan penyelamatan terhadap benda budaya. Resolution II yang dihasilkan dalam Hague Conference of 1954 menyarankan setiap Negara untuk membentuk sebuah komite nasional dan menentukan komposisi serta fungsi utamanya. 4. Kewajiban Negara akan Penghormatan terhadap Benda Budaya Penghormatan terhadap benda budaya diatur dalam pasal 4 Hague Convention of 1954 yang berisikan empat bentuk penghormatan terhadap benda budaya yang harus diindahkan oleh Negara peserta pada masa konflik bersenjata. Keempat bentuk penghormatan tersebut adalah keharusan untuk tidak menggunakan benda budaya dan wilayah sekitarnya untuk tujuan yang mungkin memaparkan benda budaya kepada penghancuran atau kerusakan; keharusan untuk tidak melakukan segala tindakan permusuhan terhadap benda budaya; kewajiban untu melarang, mencegah dan menghentikan pencurian, penjarahan, misapropasi dari, dan vandalism terhadap benda budaya; dan tidak menjadikan benda budaya sebagai obyek dari tindakan pembalasan. 110 5. Kewajiban Negara akan Perlindungan terhadap Benda Budaya selama Pendudukan Pasal 51 Hague Convention of 1954 melemahkan dan membatasi bantuan yang diberikan oleh Negara yang melakukan pendudukan. Dalam situasi pendudukan militer dan ketidakseimbangan kekuatan militer, pihak yang memutuskan tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka pengamanan dan pelestarian benda budaya tentu merupakan Negara yang melakukan 110 Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law Paris: Henry Dunant Institute, 1987, hal 70 Universitas Sumatera Utara pendudukan. Selain memiliki kewajiban berdasarkan pasal 5 1 Hague Convention of 1954 negara yang melakukan pendudukan juga wajib, sejauh mungkin, bekerja sama dengan otoritas Negara yang diduduki mengambil tindakan dalam rangka pelestarian benda budaya yang rusak akibat operasi militer di saat otoritas Negara yang diduduki tidak mampu mengambil tindakan yang diperlukan. Kewajiban lain yang berkenaan dengan pendudukan terkait dengan gerakan perlawanan yang melakukan perlawanan terhadap pihak yang melakukan pendudukan. 111 Karenanya pasal 5 1 mewajibkan pemerintahan suatu Negara untuk memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajiban yang mereka miliki terhadap benda budaya. Akan tetapi, apabila pemerintah tidak memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajibannya terkait penghormatan terhadap benda budaya, bukan berarti gerakan perlawanan yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban yang melekat kepadanya berkenaan dengan benda budaya. 6. Pemindahan Benda Budaya Hague Convention of 1954 mengatur pemindahan benda budaya untuk menghindarkan benda budaya bergerak dari dampak konflik bersenjata. Berdasarkan Hague Convention of 1954, terdapat dua jenis pemindahan benda budaya, yaitu pemindahan benda budaya yang diberikan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam pasal 12 dan pemindahan benda budaya dalam keadaan darurat yang diatur dalam pasal 13. Pemindahan benda budaya ke wilayah Negara 111 A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 Manchaster: Manchaster University Press, 2004, hal 146 Universitas Sumatera Utara yang sama atau Negara lain berdasarkan pasal 12 dapat dimohonkan oleh Negara peserta Hague Convention of 1954 yang diduduki, melakukan pendudukan atau menjadi tempat untuk menampung benda budaya yang dipindahkan. 112 Permohonan tersebut diajukan kepada Komisaris Jenderal untuk Benda Budaya dan jika permohonan diterima, pemindahan benda budaya yang dilakukan akan mendapatkan imunitas yang berlaku terhadap benda budaya di bawah perlindungan khusus berdasarkan pasal 9. Paragraph terakhir pasal 12 Hague Convention of 1954 menyatakan bahwa Negara-negara peserta Hague Convention wajib menahan diri dari melakukan tindakan permusuhan terhadap pemindahan benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus. 113 Di sisi lain, prosedur pemindahan benda budaya dalam keadaan darurat sebagaimana diatur dalam pasal 13 bertindak sebagai prosedur yang lebih fleksibel, praktis, dan realistis dibandingkan dengan prosedur dalam pasal 12. Ketentuan pasal 13 sendiri dirancang untuk memberikan jalan untuk mengevakuasi benda budaya bergerak segera setelah pecahnya konflik bersenjata dan pada saat-saat di mana penerapan pasal 12 tidak memungkinkan . 7. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Convention for the Protection of Cultural Property in the Event Armed Conflict. Perihal sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dari Hague Convention of 1954 diatur dalam pasal 28 konvensi tersebut. Berdasarkan pasal 28, tiap-tiap Negara peserta mengambil langkah-langkahnya sendiri untuk menghukum dan memberikan sanksi pidana ataupun sanksi disiplin kepada orang-orang yang 112 A.P.V.Rogers, Ibid , hal 148 113 Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 4 1 Universitas Sumatera Utara melanggar atau memerintahkan untuk dilanggarnya ketentuan dalam Hague Convention of 1954 . Jadi, berdasarkan pasal 28, perihal sanksi pelanggaran ketentuan Hague Convention of 1954 diatur oleh hukum nasional. d. Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 1977 Bahwa pasal 53 Additional Protocol of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977 hampir identik. Oleh karena itu, pembahasan terhadap keduanya akan dilakukan secara bersamaan dengan melihat empat aspek terkait ketentuan-ketentuan tersebut. Keempat aspek tersebut adalah keberlakuan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 dan referensi kepada Hague Convention of 1954, benda budaya yang diberikan perlindungan berdasarkan kedua protocol: benda budaya yang menjadi obyek dari perlindungan yang diberikan berdasarkan kedua protocol; larangan dalam kedua protocol mengenai penyerangan terhadap benda budaya, penggunaan benda budaya untuk mendukung upaya militer, dan penggunaan benda budaya sebagai obyek pembalasan; dan pengecualian dari pelaksanaan ketentuan dalam protocol. 1. Benda Budaya yang diberikan Perlindungan Mengenai obyek yang dilindungi sendiri, hanya terdapat satu aspek yang berbeda antara ruang lingkup benda budaya yang dianut dalam Hague Convention of 1954 dan pasal 53 Additional Protocol I of 1977 serta pasal 16 Additional Protocol II of 1977 . Perlindungan yang diberikan oleh Hague Convention of 1954 mencakup, antara lain, obyek-obyek seperti monument bersejarah dan karya seni yang merupakan begian dari warisan budaya. Pasal 53 Additional Protocol of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977 juga memiliki cakupan tersebut, Universitas Sumatera Utara disertai dengan satu aspek tambahan. Kedua pasal dalam kedua protocol tersebut melindungi tempat-tempat beribadah tidak hanya sebagai bagian dari warisan budaya, namun juga sebagai bagian dari warisan spritiual tanpa memperdulikan nilai budaya obyek tersebut. Perbedaan ini didasarkan oleh criteria yang berbeda yang digunakan dalam kedua instrumen hukum di atas. Hague Convention of 1954 menggunakan criteria sifat dari obyek dan kepentingannya sebagai warisan manusia sebagai dasar perlindungan benda budaya, sedangkan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 menggunakan criteria tujuan dan fungsi dari obyek yang dilindungi. Akan tetapi, karena kedua instrument hukum tersebut sama-sama merujuk pada obyek-obyek yang dianggap penting sebagai warisan umat manusia, perbedaan terminology dalam Hague Convention of 1954 dan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 tidak berakibat pada konsekuensi yang materil. 114 2. Larangan atas Tindakan Permusuhan terhadap Benda Budaya, Penggunaan Benda Budaya untuk Mendukung Upaya Militer, dan Penggunaan Benda Budaya sebagai Obyek Pembahasan Upaya militer dalam pengertian disini adalah segala aktivitas militer untuk tujuan pelaksanaan perang. Alas an dari ketentuan ini adalah memungkinkan hilangnya perlindungan terhadap benda budaya saat benda tersebut digunakan untuk tujuan militer. Lebih jauh, paragraph ketiga pasal 53 Additional Protocol I of 1977 melarang digunakannya benda budaya sebagai obyek untuk melakukan 114 Ibid, hlm 87 Jiro Thomas, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hlm 79 Universitas Sumatera Utara pembalasan terhadap musuh. Larangan pembalasan ini tidak ditemukan dalam pasal 16 Additional Protocol of 1977. 3. Pengecualian Ketentuan dalam Protocols AAdditional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 Bagi para peserta Hague Conventions of 1954, kewajiban berdasarkan pasal 53 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II 1977 memang boleh tidak dilaksanakan atas dasar kepentingan militer yang imperative. Akan tetapi Negara-negara yang hanya merupakan peserta peserta Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 tidak memiliki hak untuk menggunakan alasan kepentingan militer yang imperative dan harus memberlakukan pasal 52 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977 dalam segala keadaan . 115 e. Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict 1999 Seperti diindikasikan oleh pasal 2 Second Protocol of 1999, Second Protocol of 1999 merupakan tambahan dari Hague Convention of 1954.Hague Convention of 1954 tetap menjadi teks pokok bagi Negara-negara peserta, dan tidak ada Negara yang dapat menjadi peserta dari Second Protocol of 1999 tanpa menjadi peserta dari Hague Convention 1954. 1. Keberlakuan Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict. 115 Ibid, pasal 8 1b Universitas Sumatera Utara Keberlakuan Second Protocol of 1999 diatur dalam pasal 3. Melihat isi dari pasal tersebut, tampak bahwa ruang lingkup keberlakuan Second Protocol of 1999 dan Hague Convention of 1954 tidak berbeda; terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masa damai dan masa konflik bersenjata baik yang melibatkan dua atau lebih Negara maupun konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional,serta pada saat terjadinya pendudukan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap wilayah Negara lain. 116 2. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya Di mana Hague Convention of 1954 tidak memberikan penjelasan yang ekstensif mengenai langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka mengamankan benda budaya pada masa damai, Second Protocol of 1999 memberikan beberapa contoh tindakan yang dapat dilakukan. Pasal 5 Second Protocol of 1999 menyatakan bahwa pengamanan benda budaya dapat meliputi inventarisasi benda budaya, perencanaan tindakan darurat untuk perlindungan dari api atau keruntuhan structural, persiapan pemindahan benda budaya bergerak atau ketentuan yang memberikan perlindungan cukup terhadap benda budaya di tempatnya, dan penunjukan pihak yang berwenang untuk pengamanan benda budaya. 117 3. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict 116 Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 11 2 117 Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 5 1 Universitas Sumatera Utara Tinjauan yang dilakukan terhadap Hague Convention of 1954 mengungkapkan ketidakpuasan terhadap system pemberian sanksi yang diatur dalam pasal 28, sebuah ketentuan yang dianggap terlalu lemah untuk membuat kontribusi kepada perlindungan benda budaya. Oleh karena itu, perihal pemberian sanksi diperbaharui pengaturannya dalam Second Protocol of 1999. Berdasarkan Second Protocol of 1999 , para Negara peserta memiliki dua set kewajiban yang berbeda terkait pemberian sanksi. Yang pertama melibatkan dilakukannya pelanggaran serius terhadap ketentuan dalam Second Protocol of 1999. Dan yang kedua adalah terkait pelanggaran-pelanggaran lain. 118 Terkait pelanggaran serius, para Negara peserta memiliki kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk menjadikan sebagai pelanggaran hukum berdasarkan hukum nasionalnya tindakan-tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran serius, dan untuk menjadikan pelaku pelanggaran serius dapat dijatuhkan hukuman. Pelanggaran serius itu sendiri terdiri dari lima tindakan, dimana dua diantaranya terkait benda budaya yang berada dibawah perlindungan ditingkatkan. Kedua pelanggaran serius itu adalah membuat benda budaya yang berada dibawah perlindungan ditingkatkan atau wilayah sekitarnya untuk mendukung tindakan militer. Tiga pelanggaran serius lainnya adalah mengakibatkan penghancuran yang ekstensif atau melakukan apropriasi terhadap benda budaya, menjadikan benda budaya yang dilindungi obyek penyerangan, dan 118 Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 5 2 Universitas Sumatera Utara melakukan pencurian, penjarahan, atau misapropriasi dari, atau vandalism terhadap benda budaya. 119 Untuk pelanggaran lain, Second Protocol of 1999 mengahruskan Negara- negara peserta untuk mengadopsi legislasi, instrument hukum, ataupun langkah- langkah lain untuk menekan pelanggaran-pelanggaran selain kelima pelanggaran serius yang dilakukan dengan sengaja. Pelanggaran lain yang dimaksud dalam konteks ini adalah segala penggunaan benda budaya yang menyalahi ketentuan Hague Convention of 1954 dan Second Protocol of 1999, serta segala ekspor gelap pemindahan, atau pengalihan kepemilikan benda budaya yang melanggar ketentuan Hague Convention of 1954 dan Second Protocol of 1999. Di mana terhadap pelanggaran serius para Negara peserta wajib menjadikan pelanggaran serius sebagai tindak pidana, terhadap pelanggaran lain para Negara peserta diperbolehkan, tetapi tidak diharuskan, menjadikan pelanggaran lain sebagai tindak pidana. 120 Tentang Penghormatan Benda Budaya terdapat di dalam Pasal 4 Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada waktu Sengketa Bersenjata 1954 ayat 1 mengatakan : “Pihak-Pihak Peserta Agung bertanggung jawab untuk menghormati benda budaya baik yang terdapatdalam teritorinya maupun dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya dengan cara mencegah penggunaan benda budaya dan 119 Regulations for the Execution of the Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 17 1 120 Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict , pasal 132 Universitas Sumatera Utara lingkungan sekitarnya atau penggunaan alat-alat yang digunakan untuk perlindungan benda budaya yang dapat mengakibatkan kehancuran atau kerusakannya pada waktu sengketa bersenjata; dan dengan cara mencegah setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap benda budaya tersebut” Sedangkan ayat 3 mengatakan “Pihak-Pihak Peserta Agung selanjutnya berusaha untuk melarang, mencegah dan, apabila perlu, menghentikan setiap bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap benda budaya. Mereka seharusnya, menghentikan pengambil alihan-benda budaya bergerak yang terletak dalam teritor i Pihak Peserta Agung lainnya „Ayat 4 yang berbunyi “Mereka seharusnya mencegah setiap cara tindakan pembalasan yang diarahkan langsung terhadap benda budaya” Ayat 5 yang berbunyi “Tidak ada Pihak Peserta Agung, dalam kaitannya dengan Pihak Pesera Agung lainnya, yang boleh mengelak dari kewajibankewajiban yang ditetapkan dalam Pasal ini, dengan alasan fakta bahwa Pihak yang disebut terakhir belum menerapkan tindakantindakan pengamanan yang di maksud dalam Pasal 3”. Tentang serangan-serangan militer didalam konvensi perlindungan benda budaya pada waktu sengketa bersenjata terdapat didalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi. “Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai memperkenalkan ke dalam perarutan-peraturan militer atau instruksi-instruksi mereka tentang ketentuan-ketentuan yang dapat menjamin ketaatan terhadap Konvensi ini, serta Universitas Sumatera Utara meningkatkan semangat penghormatan terhadap budaya dan benda budaya semua orang di kalangan anggota-anggota angkatan bersenjata ” Dan a yat 2 pasal ini yang berbunyi “Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk membuat rencana atau menetapkan pada waktu damai didalam angkatan perangnya, pelayanan atau personil ahli yang dimaksudkan untuk menjamin penghormatan terhadap benda budaya serta untuk bekerjasama dengan otoritas sipil yang bertanggung jawab untuk pengamanan benda budaya ”. Disamping perlindugan secara umum pada waktu sengketa bersenjata juga terdapat perlindungan secara khusus yaitu seperti terdapat dalam Jaminan Perlindungan Khusus pasal 8 konvensi ini, yaitu: Terhadap sejumlah terbatas tempat penampungan yang dimaksudkan untuk menyimpan benda budaya bergerak pada saat sengketa bersenjata dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dan juga terhadap pusat-pusat yang berisi monument-monumen dan benda budaya tak bergerak lainnya yang sangat penting, apabila mereka: terletak pada suatu jarak yang memadai dari setiap pusat industri besar atau dari setiap objek militer penting yang merupakan suatu titik rawan, seperti, misalnya, suatu aerodrome, stasiun siaran, perusahaan yang berkaitan dengan kerja pertahanan nasional, suatu pelabuhan atau stasiun kereta api yang relatif penting atau suatu jaringan utama komunikasi; tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Suatu tempat penampungan untuk benda budaya bergerak juga dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dimanapun lokasinya, jika didirikan sedemikian rupa sehingga, dalam semua kemungkinan, tidak bisa dirusak oleh bom. Universitas Sumatera Utara Suatu pusat yang berisi monumen-monumen harus dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer apabila ia digunakan untuk gerakan personil atau bahan militer, walaupun dalam transit. Hal yang sama juga berlaku apabila kegiatan-kegiatan dihubungkan secara langsung dengan operasi-operasi militer, penempatan personil militer, atau produksi bahan-bahan perang yang dilakukan dalam pusat tersebut. Penjagaan benda budaya yang disebut dalam paragraf 1 diatas oleh petugas bersenjata yang ditugaskan untuk itu, atau kehadiran petugas polisi yang sehari-harinya bertanggung jawab untuk pemeliharaan ketertiban umum disekitar disekitar benda budaya, seharusnya tidak dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer. Jika setiap benda budaya yang disebutkan dalam paragraf 1 dari Pasal ini terletak berdekatan dengan suatu objek militer yang penting sebagaimana ditetapkan dalam paragraf tersebut, maka benda budaya tersebut bagaimanapun dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus jika Pihak Peserta Agung yang meminta perlindungan tersebut itu berusaha, pada saat sengketa bersenjata, untuk tidak menjadikannya sebagai sasaran, dan khususnya untuk suatu pelabuhan, stasiun kereta api atau aerodrome, untuk mengalihkan semua lalu- lintasnyadaripadanya. Dalam hal yang demikian maka pengalihan tersebutharus dipersiapkan pada waktu damai. Identifikasi dan Pengawasan pada waktu sengketa bersenjata terdapat di dalam Pasal 10 konvensi ini , Pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus harus ditandai dengan lambang khusus Universitas Sumatera Utara sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 16, dan harus terbuka untuk pengawasan internasional seperti diatur dalam PeraturanPeraturan untuk pelaksanaan Konvensi ini. Ruang lingkup penerapan konvensi terdapat di dalam paaal 18 konvesi ini adalah memcakup hal-hal mengenai 1 Terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku diwaktu damai, Konvesi ini berlaku pada setiap perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata yang mungkin timbuldiantara dua atau lebih Pihak-Pihak Peserta Agung, sekalipun jika keadaan perang tidak diakui oleh satu atau lebih dari mereka yang terlibat dalam peperangan. 2 Konvensi juga harus berlaku terhadapsemua kasus pendudukan baik terhadap sebagian atau seluruh wilayah dari suatu Pihak Peserta Agung, sekalipun jika pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata. 3 Jika salah satu dari pihak dalam sengketa bukan suatu pihak dari Konvensi ini, maka mereka yang merupakan Pihak pada Konvensi bagaimanapun harus terikat dalam hubungan mereka. Mereka selanjutnya harus terikat dengan Konvensi, dalam hubungan dengan mereka yang bukan merupakan pihak pada Konvensi jika mereka yang disebut terakhir tersebut telah menyatakan bahwa ia menerimaketentuan-ketentuan Konvensi dan sepanjang ini berlaku terhadap mereka. Jika sengketa bersenjata tidak bersifat internasional maka hal-hal yang harus dilakukan adalah terdapat di dalam pasal 19 konvensi ini . Pada saat sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang terjadi dalam teritori Universitas Sumatera Utara dari satu Pihak Peserta Agung, maka setiap pihak yang bersengketa terikat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi ini yang berhubungan dengan pengormatan benda budaya sebagai ketentuan minimum. Pihak-Pihak yang bersengketa harus berusaha memberlakukan semua atau sebagian ketentuan-ketentuan Konvensi ini, melalui kesepakatan-kesepakatan khusus. Badan Ekonomi, Sosial dan Science dari PBB UNESCO boleh menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak yang bersengketa. Penerapan dari ketentuan-ketentuan terdahulu tidak akan mempengaruhi status hukum daripara pihak yang bersengketa. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENYELESAIAN CAGAR BUDAYA YANG DIPERSENGKETAKAN

OLEH NEGARA-NEGARA A. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Internasional Sengketa international dapat berujung pada perang ataupun bukan perang. Suatu sengketa internasional dapat digolongkan menjadi perang atau bukan perang didasarkan pada luas atau dalamnya sengketa itu sendiri, niat para pihak yang bersengketa, dan sikap serta reaksi pihak-pihak yang tidak bersengketa. 121 Apabila ada tindakan-tindakan kekuatan yang dilokalisir atau bersifat terbatas, maka hal tersebut mengindikasikan bukan perang. Jika hanya menyangkut dua Negara yang bersengketa, dapat dianggap tidak bersifat perang karena tidak melibatkan Negara lain. Namun, apabila pihak yang bersengketa menjadi makin meluas, dalam arti menyangkut hak dan kepentingan beberapa Negara yang diabaikan, maka dapat dianggap adanya perang. 1. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai Timbulnya sengketa internasional memerlukan cara penyelesaian. Penyelesaian sengketa internasional dengan cara yang seadil-adilnya, bagi para pihak merupakan dambaan masyarakat internasional. 122 Secara umum, ada dua cara penyelesaian sengketa internasonal, yakni penyelesaian secara damai dan penyelesaian secara paksa atau kekerasan apabila penyelesaian secara damai gagal terlakana. 121 http:fitrohsyawali.wordpress.commakalah-penyelesaian-sengketa- internationaldiakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB 122 Ibid Universitas Sumatera Utara Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan penyelesaian tanpa paksaan atau kekerasan. Cara-cara penyelesaian secara damai dan penyelesaian secara paksa atau kekerasan apabila penyelesaian secara damai gagal terlaksana. 123 Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan penyelesaian tanpa paksan atau kekerasan. Cara-cara penyelesaian secara damai meliputi arbitrase; penyelesaian yudisial; negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan; dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB. 124 Pembedaan cara-cara tersebut tidak berarti bahwa proses penyelesaian sengketa internasional satu sama lain saling terpisah secara tegas, melainkan ada kemungkinan antara cara yang satu dengan yang lain saling berhubungan. a. Arbitrase Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Proses ini dilakukan dengan cara menyerahkan penyelesaian sengketa kepada orang-orang tertentu, yaitu arbitrator. Mereka dipilih secara bebas oleh para pihak yang bersengketa. Mereka itulah yang memutuskan penyelesaian sengketa, tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum.engadilan arbitrase semestinya berkewajiban untuk menerapkan hukum internasional. Namun, pengalaman di lapangan hukum internasional menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda. Beberapa sengketa yang menyangkut masalah hukum seringkali diputuskan berdasarkan kepatutan dan keadilan ex aequo et bono. 125 Dalam proses arbitrase ada prosedur tertentu yang harus ditempuh. Bila terjadi sengketa antara dua 123 Ibid 124 Ibid 125 Op. Cit Universitas Sumatera Utara Negara dan mereka menghendaki penyelesaian melalui Permanent Court of Arbitration, maka mereka harus mengikuti prosedur tertentu. Prosedur tersebut harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasional. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: a Masing-masing Negara yang bersengketa tersebut menunjuk dua arbitrator. Salah seorang diantaranya boleh warga Negara mereka sendiri, atau dipilih dari orang-orang yang dinominasikan oleh Negara itu sebagai anggota penel mahkamah arbitrasi . b Para arbitrator tersebut kemudian memilih seorang wasit yyang bertindak sebagai ketua dari pengadilan arbitrasi tersebut. c Putusan diberikan melalui suara terbanyak. Dengan demikian, arbitrase pada hakikatnya merupakan suatu consensus atau kesepakatan bersama diantara para pihak yang bersengketa. Suatu Negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka pengadilan arbitrase, kecuali jika mereka setuju untuk melakukan hal tersebut. 126 2. Penyelesaian yudisial Penyelesaian yudisial adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui suatu pengadilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Lembaga pengadilan internasional yang berfungsi sebagai organ penyelesaian yudisial dalam masyarakat iternasional adalah International Court of Justice. 3. Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan 126 http:smakita.netpenyelesaian-sengketa-internasional.com , diakses pada tanggal 7 Mei 2016 , Pukul 13.00 Wib Universitas Sumatera Utara Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan adalah cara-cara penyelesaian yang kurang begitu formal dibandingkan dengan penyelesaian yudisial ataupun arbitrase. a. Negoisasi Cara negoisasi sering diadakan dalam kaitannya dengan jasa-jasa baik good offices atau mediasi. Kecenderungan yang berkembang dewasa ini menunjukkan, sebelum dilaksanakan negoisasi, ada dua proses yang telah dilakukan terlebih dahulu, yaitu konsultasi dan komunikasi. Tanpa kedua media tersebut seringkali dalam beberapa hal negoisasi tidak dapat berjalan. b. Jasa-jasa baik dan mediasi Jasa-jasa baik dan mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa internasional di mana Negara ketiga yang bersahabat dengan para pihak yang bersengketa membantu penyelesaian sengketa secara damai. Pihak-pihak yang menawarkan jasa-jasa baik atau mediator bisa berupa individu atau juga organisasi internasional. Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Dalam penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan jaa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasajasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa. Selain itu, pihak tersebut mengusulkan dalam bentuk syarat umum dilakukannya penyelesaian. Tetapi, ia sendiri secara nyata tidak ikut dalam pertemuan. Demikian pula, ia tidak melakukan suatu penyelidikan secara saksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. 127 127 Ibid Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, dalam penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan mediasi, pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif. Ia ikut serta dalam negoisasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga penyelesaian dapat tercapai, meskipun usulan-usalan yang diajukannya tidak berlaku mengikat terhadap para pihak yang bersengketa. Ruang lingkup jasa-jasa baik dan mediasi sebenarnya agak terbatas. Dalam kedua metode tersebut ada kekurangan prosedur untuk melakukan penyelidikan atas fakta hukum secara mendalam. Oleh karena itu, di masa mendatang kemungkinan besar kedua metode tersebut akan menjadi semacam langkah pendahuluan atau sebagai bantuan terhadap cara penyelesaian khusus, seperti konsiliasi, penyelidikan. 128 Dan penyelesaian melalui PBB. c. Konsiliasi Istilah konsiliasi mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan Negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui sebuah komisi. Komisi tersebut membuat laporan beserta usul kepada para pihak yang bersengketa tentang penyelesaian sengketa. Usulan tersebut tidak memiliki sifat mengikat. 129 Komisi konsiliasi diatur dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Damai Sengketa-sengketa internasional. Komisi tersebut dapat 128 Ibid 129 Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990 , hal 43 Universitas Sumatera Utara dibentuk melalui perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa. Tugas komisi tersebut adalah menyelidiki serta melaporkan fakta, dengan ketentuan bahwa isi laporan itu bagaimanapun tidak mengikat para pihak dalam bersengketa. d. Penyelidikan Penyelidikan sebagai suatu cara menyelesaikan sengketa secara damai yang dilakukan dengan tujuan menetapkan suatu fakta yang dapat digunakan untuk memperlancar suatu perundingan. Kasus yang sering diselesaikan dengan bantuan metode ini umumnya adalah kasus-kasus yang berkaitan dengan sengketa batas wilayah suatu Negara. Untuk itu Komisi Penyelidik dibentuk untuk menyelidiki fakta sejarah dan geografis menyangkut wilayah yang dipersengketakan. 130 4. Penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB Organisasi PBB yang dibentuk pada tahun 1945 didirikan sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Organisasi ini telah mengambil alih sebagian besar tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Salah satu tujuan organisasi itu adalah menyelesaikan perselisihan antarnegara. Melalui pasal 2 piagam PBB, anggota-anggota PBB harus berusaha menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai dan menghindarkan ancaman perang atau penggunaan kekerasan. Sehubungan dengan penyelesaian segketa internasional, tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, sesuai dengan 130 Ibid , hal 55 Universitas Sumatera Utara weweang luas yang dipercayakan kepada keduanya. Majelis umum diberi wewenang merekomendasikan tindakan-tindakan untuk penyelesaian damai atas suatu keadaan yang dapat mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan- hubungan persahabatan diantara bangsa-bangsa. 131 5. Penyelesaian Sengketa Internasional secara Paksa atau Kekerasan Adakalanya para pihak yang terlibat dalam sengketa internasional tidak dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara damai. Apabila hal tersebut terjadi, maka cara penyelesaian yang mungkin adalah dengsn cara-cara kekerasan. Cara-cara penyelesaian dengan kekerasan diantaranya adalah perang dan tindakan bersenjata nonperang;retorsi;tindakan-tindakan pembalasan;blockade secara damai;intervensi. a. Perang dan tindakan nonperang. Perang dan tindakan bersenjata nonperang bertujuan untuk menaklukkan Negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian suatu sengketa internasional. Melalui cara tersebut, Negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternative lain selain mematuhinya. b. Retorsi. Retorsi adalalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan- tindakan tidak pantas yang dilakukan oleh Negara lain. Balas dendam dilakukan dalam bentuk tundakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, yang dilakukan oleh Negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, dengan cara menurunkan status 131 Op. Cit , hal 32 Universitas Sumatera Utara hubungan diplomatic, penvabutan privilege diplomatic, atau penarikan diri dari kesepakatan-kesepakatan fiscal dan bea masuk. 132 c. Tindakan-tindakan pembalasan. Pembalasan adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan oleh suatu Negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari Negara lain. Cara penyelesaian sengketa tersebut adalah dengan melakukan tindakan pemaksaan kepada suatu Negara untuk menyelesaikan sengketa yang disebabkan oleh tindakan illegal atau tidak sah yang dilakukan oleh Negara tersebut. d. Blockade secara damai Blockade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang tindakan tersebut digolongkan sebagai suatu pembalasan. Tindakan tersebut pada umumnya ditujukan untuk memaksa Negara yang pelabhannya diblokade untuk menaat permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh Negara yang memblokade. 133 e. Intervensi Sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa internasional adalah tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik Negara tertentu secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam kategori intervensi sah adalah sebagai berikut: a Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam PBB b Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya 132 Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta, 2002 , hal1 133 Ibid , hal 15 Universitas Sumatera Utara c Pertahanan diri d Negara yang menjadi objek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat terhadap hukum internasional f. Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Mahkamah Internasional Persengketakan yang terjadi di dunia internasional ada baiknya diselesaikan secara yudisial, meskipun penyelesaian secara nonyudisial pun dapat dilakukan. Adapun lembaga internasional yang bertugas menyelesaikan sengketa internasional secara yudisial diemban oleh Mahkamah Internasional 134 a. Dasar Hukum Proses Peradilan Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional memiliki lima aturan yang menjadi dasar dan rujukan dalam proses persidangan. Kelima aturan tersebut adalah: a Piagam PBB tahun 1945 b Statute Mahkamah Internasional tahun 1945 c Aturan Mahkamah Rules of Court tahun 1970 d Panduan Praktik Practice Directions I – IX, dan e Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court Di dalam Piagam PBB tahun 1945, dasar hukum yang berkenaan dengan Mahkamah Internasional terdapat dalam Bab XIV tentang Mahkamah Internasional yang terdiri atas lima pasal, yaitu Pasal 92-96. Sedangkan dalam statute Mahkamah Internasional, ketentuan mengenai proses beracara tercantum 134 Ibid , hal 21 Universitas Sumatera Utara dalam Bab III yang mengatur tentang prosedur yang terdiri dari 26 pasal Pasal 39-46. Selain itu juga terdapat dalam Bab IV yang memuat tentang advisory opinion, terdiri atas empat pasal Pasal 65-68 135 Sementara itu, aturan Mahkamah Rules of the Court tahun 1970 terdiri atas 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa kali amandemen. Adapun tentang Panduan Praktik Practice Directions I – IX, ada Sembilan panduan praktik yang dijadikan dasar proses beracara Mahkamah Internasional. Panduan ini umumnya berkenaan dengan hal surat pembelaan written pleadings dalam proses beracara di Mahkamah Internasional sedangkan mengenai resolusi tentang praktik yudisial Internal Mahkamah Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court , resolusi ini terdiri atas 10 ketentuan tentang proses beracara di Mahkamah Internasional. 136 b. Mekanisme persidangan Mahkamah Internasional Secara umum, mekanisme persidangan Mahkamah Internasional dapat dibedakan menjadi dua yaitu mekanisme normal dan mekanisme khusus. 1 Mekanisme Normal Secara ringkas, mekanisme normal persidangan Mahkamah Internasional dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut : a Penyerahan perjanjian khusus notification of special agreement atau aplikasi application Dalam hal ini, persidangan dimulai dengan penyerahan perjanjian khusus antara kedua pihak yang bersengketa yang berisi penerimaan yurisdiksi 135 Op.cit , hal 74 136 J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Brathara, Jakarta , 1996 , hal 16 Universitas Sumatera Utara Mahkamah Internasional. Dalam perjanjian tersebut termuat identitas para pihak yang bersengketa dan inti persengketaan. Namun, ada bentuk lain dalam proses awal persidangan, yaitu dengan penyerahan aplikasi dari salah satu pihak yang bersengketa. 137 Dalam hal ini, aplikasi berisikan identitas pihak lawan dalam sengketa, dan pokok persoalan sengketa. Negara yang mengajukan aplikasi tersebut disebut applicant, sedangkan pihak lawan disebut respondent. Adapun perjanjian khusus atau aplikasi tersebut pada umumnya ditandatangani oleh wakil dan dilampiri surat menteri luar negeri atau duta besar Negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh register Mahkamah Internasional, perjanjian khusus atau aplikasi tersebut segera dikirimkan kepada kedua belah pihak yang bersengketa dan kepada Negara-negara anggota Mahkamah Internasional. Selanjutnya perjanjian khusus atau aplikasi tersebut dimasukkan dalam Daftar Umum Mahkamah Court‟s General Lists, dilanjutkan dengan siaran pers. Setelah didaftar, versi bahasa inggris dan Perancis dikirimkan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Negara yang mengakui yurisdiksi MI, dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama kali perjanjian atau aplikasi diterima oleh register merupakan tanggal dimulainya proses beracara di Mahkamah Internasional. b Pembelaan tertulis written pleadings Dalam pembelaan ini, apabila tidak ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, maka pembelaan tertulis dapat berupa memori dan tanggapan memori. Bilamana para pihak meminta diadakannya kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban. 137 Ibid , hal 90 Universitas Sumatera Utara Memori umumnya berisi pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan penundukan submissions yang diminta. Sedangkan tanggapan memori berisi argument pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memori, tambahan fakta baru, jawaban atas pernyataan hukum memori, dan putusan yang diminta umumnya disertakan pula dokumen pendukung. Apabila kedua pihak yang bersengketa tidak mengatur batasan mengenai lamanya waktu untuk menyusun memori ataupun tanggapan memori, maka hal itu akan ditentukan secara sama oleh Mahkamah Internasional. Demikian juga, apabila kedua belah pihak yang bersengketa tidak menentukan bahasa resmi yang akan digunakan, maka hal itu akan ditentukan oleh MI. 138 c Presentasi pembelaan oral pleadings Setelah pembelaan tertulis diserahkan oleh para pihak yang bersengketa, dimulailah presentasi pembelaan oral pleadings. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum, kecuali bila para pihak menghendaki tertutup dan disetujui oleh Mahkamah Internasional. Ada dua kali kesempatan bagi para pihak yang bersengketa untuk memberikan presentasi pembelaannya di hadapan Mahkamah Internasional. Proses ini umumnya berlangsung dua atau tiga minggu. Waktu tersebut akan diperpanjang apabila Mahkamah Internasionl menghendakinya. d Keputusan judgement 139 Ada tiga kemungkinan yang menjadikan sebuah kasus sengketa internasional dianggap selesai. Pertama, bilamana para pihak berhasil mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, bilamana pihak applicant 138 Ibid , hal 19 139 Op. Cit , hal 60 Universitas Sumatera Utara atau kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menarik diri dari proses persidangan. Bilamana ini terjadi, maka secara otomatis kasus sengketa tersebut dianggap selesai. Ketiga, bilamana Mahkamah Internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dari keseluruhan proses persidangan yang telah dilakukan. Diakhir persidangan sebuah kasus sengketa, ada tiga kemungkinan pendapat hakim Mahkamah Internasional, yaitu pendapat menyetujui declarations, pendapat berisi persetujuan walaupun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu separate opinions, dan pendapat berisi penolakan dissenting opinion . 2 Mekanisme khusus Karena sebab-sebab tertentu, persidangan Mahkamah Internasional bisa berlangsung secara khusus. Dalam arti, ada penambahan tahap-tahap tertentu yang agak berbeda dari mekanisme normal sebagaimana diuraikan diatas.

B. Sejarah dan Penyelesaian Sengketa Angkor Wat

1. Gambaran Umum Angkor Watt Angkor Watadalah sebuah kuil atau candi yang terletak di kota Angkor, Kamboja. Kuil ini dibangun oleh Raja Suryawarman II pada pertengahan abad ke- 12. Pembangunan kuil Angkor Wat memakan waktu selama 30 tahun. Angkor Wat terletak di dataran Angkor yang juga dipenuhi bangunan kuil yang indah, tetapi Angkor Wat merupakan kuil yang paling terkenal di dataran Angkor. Raja Suryawarman II memerintahkan pembangunan Angkor Wat menurut kepercayaan Hindu yang meletakkan gunung Meru sebagai pusat dunia dan merupakan tempat Universitas Sumatera Utara tinggal dewa-dewi Hindu, dengan itu menara tengah Angkor Wat adalah menara tertinggi dan merupakan menara utama dalam kompleks bangunan Angkor Wat. 140 Sebagaimana mitologi gunung Meru, kawasan kuil Angkor Wat dikelilingi oleh dinding dan terusan yang mewakili lautan dan gunung yang mengelilingi dunia. Jalan masuk utama ke Angkor Wat yang sepanjang setengah kilometer dihiasi pagar susur pegangan tangan dan diapit oleh danau buatan manusia yang disebut sebagai Baray. Jalan masuk ke kuil Angkor Wat melalui pintu gerbang, mewakili jambatan pelangi yang menghubungkan antara alam dunia dengan alam dewa-dewa. 141 Angkor Wat berada dalam keadaan yang baik dibandingkan dengan kuil lain di dataran Angkor disebabkan karena Angkor Wat telah dialihfungsikan menjadi kuil Buddha dan dipelihara serta digunakan secara terus menerus ketika agama Buddha menggantikan agama Hindu di Angkor pada abad ke-13. Kuil Angkor pernah dijajah oleh Siam pada tahun 1431.Pada tahun 1992, Angkor Wat masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.Nama modern Angkor Wat, berarti Kuil Kota; Angkor adalah bentuk perubahan dari kata នគរnokor yang berasal dari kata नगरnagara dalam bahasa Sanskerta yang berarti ibu kota atau negara. wat adalah istilah dalam bahasa Khmer untuk kuil atau candi. Sebelumnya nama asli candi ini adalah Preah Pisnulok atau Vishnuloka tempat dewa Wisnu 140 GunKarta, Angkor Wat ; http:id.m.wikipedia.orgwikiangkor_Wat diakses tanggal 3 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB 141 Ibid Universitas Sumatera Utara bersemayam, berdasarkan nama anumerta raja pembangunnya, Suryawarman II. 142 2. Sejarah Pembangunan Angkor Wat Raja Suryawarman II, pembangun Angkor Wat.Angkor Wat terletak 55 kilometre 34 mil di utara kota modern Siem Reap, dan bergeser ke timur dari bekas ibu kota sebelumnya yang berpusat di candi Baphuon. Candi ini berada di kawasan kelompok percandian terpenting di Kamboja, juga menjadi candi paling selatan dari kelompok candi di kota Angkor. 143 Rintisan rancangan dan pembangunan candi dimulai pada paruh pertama abad ke-12 Masehi, pada masa pemerintahan raja Suryawarman II memerintah pada 1113 – sekitar 1150. Dipersembahkan untuk memuliakan Wisnu, candi ini dibangun sebagai candi agung negara milik raja sekaligus sebagai ibu kota. Karena prasasti yang menyebutkan pembangunannya belum ditemukan, maka nama asli candi ini tidak diketahui. Ditafsirkan candi ini mungkin aslinya disebut sebagai Preah Pisnu-lok Bahasa Khmer Kuno, serapan dari bahasa Sanskerta: Vara Vishnu-loka secara harfiah bermakna Kawasan Suci Wisnu, berdasarkan dewa utama yang dimuliakan di candi ini. Proyek pembangunan sepertinya dihentikan segera setelah kematian raja, menyisakan beberapa relief rendah yang belum rampung. Pada 1177, kira-kira 27 tahun setelah kematian Suryawarman II, Angkor diserang oleh bangsa Champa, musuh tradisional bangsa Khmer. Kemudian kerajaan Khmer dipulihkan kembali oleh raja baru 142 Ibid 143 Ibid Universitas Sumatera Utara Jayawarman VII, yang mendirikan ibu kota baru di Angkor Thom candi kerajaan baru di Bayon, yang terletak beberapa kilometer di utara Angkor Wat. 144 Pada akhir abad ke-13, Angkor Wat perlahan-lahan dialihfungsikan dari candi Hindu menjadi candi Buddha Theravada, hal ini berlangsung hingga kini. Angkor Wat agak tidak biasa dibandingkan candi-candi lainnya di Angkor, meskipun ditelantarkan setelah abad ke-16, Angkor Wat tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Angkor tetap bertahan antara lain salah satunya karena parit yang mengelilinginya melindungi bangunan candi dari rongrongan pohon besar hutan rimba. 145 Salah satu pengunjung Barat perintis yang mengunjungi candi ini antara lain António da Madalena, seorang biarawan Katolik Portugis yang mengunjunginya pada tahun 1586 yang menyatakan sebuah bangunan yang luar biasa yang tak mungkin digambarkan dengan pena, karena tidak ada bangunan lain di dunia ini yang menyerupainya. Bangunan ini memiliki menara dengan hiasan yang sangat halus dan indah yang hanya bisa diciptakan oleh manusia jenius. Pada pertengahan abad ke-19, candi ini dikunjungi oleh ilmuwan dan penjelajah Perancis, Henri Mouhot, yang memperkenalkan situs ini ke dunia Barat melalui catatan perjalanannya, ia menulis: 146 Candi ini menyaingi kemegahan Bait Salomo, dibangun oleh Michelangelo purba pantas menduduki tempat terhormat sebagai salah satu bangunan terindah di dunia. Bangunan ini lebih besar dari segala peninggalan 144 Ibid 145 Ibid 146 Ibid Universitas Sumatera Utara Yunani atau Romawi, dan menyajikan kontras yang sangat menyedihkan dengan kondisi kini yang jatuh terpuruk ke dalam kebiadaban. 147 Mouhot, seperti kebanyakan pengunjung Barat, sulit memercayai bahwa bangsa Khmer mampu membangun candi semegah ini, secara keliru memperkirakan waktu pembangunannya sezaman dengan era Romawi Kuno. Sejarah sebenarnya dari Angkor Wat secara perlahan dirangkaikan kembali melalui mempelajari gaya arsitektur serta bukti epigrafi tertulis pada prasasti, dilanjutkan dengan pembersihan di sekitar situs Angkor. Penggalian di sekitar situs Angkor Wat tidak menemukan peninggalan permukiman seperti bekas rumah hunian atau bukti hunian lainnya seperti perabot memasak, senjata, atau bekas pakaian yang biasa ditemukan di situs purbakala. Hanya monumen inilah yang ditemukan di kawasan ini. 148 Angkor Wat menjalani pemugaran yang berarti pada abad ke-20, kebanyakan di antaranya adalah membersihkan jeratan tumbuhan dan tumpukan tanah yang menutupi bangunan. Proyek pemugaran terputus akibat perang saudara dan kendali rezim Khmer Merah atas Kamboja pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, akan tetapi kerusakan relatif minim pada periode ini yang kebanyakan adalah penjarahan dan pencurian serta perusakan pada arca setelah era Angkor. 149 Candi ini merupakan simbol yang kuat dan amat penting bagi negara Kamboja, sebagai sumber kebanggaan nasional dan menjadi faktor penting bagi hubungan diplomatik luar negeri antara Kamboja dengan Perancis, Amerika 147 Djuned Hasani , Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:antaranews.comartikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja . Diakses Pada Tanggal 3 Mei Pukul 12.00 WIB 148 Ibid 149 Ibid Universitas Sumatera Utara Serikat, dan Thailand. Penggambaran Angkor Wat dalam bendera nasional Kamboja telah mulai ditampilkan sejak diperkenalkannya bendera perdana Kamboja pada 1863. Akan tetapi, dari perspektif sejarah dan antarbudaya, Angkor Wat tidak pernah menjadi lambang kebanggaan nasional yang sesungguhnya sui generis namun diterapkan dalam proses politik-budaya oleh Kolonial Perancis yang menampilkan candi ini dalam pameran Kolonial Perancis dan pameran universal di Paris dan Marseille antara tahun 1889 dan 1937. Warisan kesenian yang agung dari Angkor Wat dan monumen Khmer lainnya di kawasan Angkor telah mendorong Perancis untuk memasukkan Kamboja sebagai protektorat Perancis pada 11 Agustus 1863 dan menyerang kerajaan Siam untuk merebut kendali atas kawasan reruntuhan candi ini. Hal ini mendorong Kamboja untuk merebut kembali kawasan di sudut barat laut yang di bawah penjajahan Siam sejak tahun 1351 Manich Jumsai 2001, atau menurut sumber lain, 1431. Kamboja meraih kemerdekaan dari Perancis pada 9 November 1953 dan sejak saat itu menguasai candi Angkor Wat. 150 3. Sejarah Sengketa Angkor Watt Wilayah Angkor Watt yang terletak di selatan Kamboja dan utara Thailand telah lama menjadi sumber konflik perbatasan wilayah Kamboja-Thailand. Masing-masing Negara mengklaim wilayah candi tersebut sebagai bagian dari teritori mereka. 151 Wilayah Angkor Watt juga kaya akan bahan tambang permata dan batu mulia. Terlihat jelas bahwa mengapa wilayah perbatasan ini diperebutkan, karena disamping dapat dimanfaatkan secara ekonomi juga dapat 150 Ibid 151 Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ; http:www.scribd.comdockonflik- thailand-Kamboja-doc diakses pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 10.00 WIB Universitas Sumatera Utara dimanfaatkan dari segi pariwisata. Menurut Perdana Menteri Thailand, Samak Sundrajev menunjuk kepada penangkapan tiga aktivis Thailand yang secara illegal menyeberang masuk ke Kamboja. Menurut dia, penangkapan itulah yang memicu konflik. Para aktivis yang terdiri dari seorang lelaki, perempuan dan biksu itu bermaksud memprotes kepemilikan Angkor Watt. Angkor Watt yang dibangun oleh suku asli kamboja, suku khmer . Namun menurut Arkeolog Thailand, Srikarsa Valibhotama, “sebenarnya ini bukan tanah siapa-siapa. Tak ada yang memiliknya, wilayah ini bukan milik Kamboja dan bukan pula milik Thailand. Perbatasan antara kedua Negara itu dibuat secara sembarangan pada zaman Kolonial Perancis. Memang candinya dibuat oleh seorang raja Kamboja, tapi dalam sejarah ini merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat kawasan ini. Orang-orang yang datang dari mana-mana untuk beribadah dan menghormati para dewa.” Klaim Kamboja didasarkan pada peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand menggunakan peta tahun 1904. 152 Ketika kasus tersebut dibawa ke International Court of Justice ICJ pada tahun 1962, pihak Kamboja dinyatakan berhak atas wilayah candi tersebut. Keputusan ini ditolak keras oleh Thailand yang tetap mempertahankan klaimnya. Sejak saat itu sengketa perbatasan antara kedua Negara berlangsung hingga saat ini. 153 Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua Negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang baik dan jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua Negara tersebut memiliki banyak persamaan, seperti 152 Pratama , Yudha, konflik Thailand Kamboja di Mata Orang Thai ; http:www.antaranews.comberita257381konflik-thailand-kamboja-di-mata-orang-thai diakses pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 10.00 WIB 153 Ibid Universitas Sumatera Utara persamaan agama dan system pemerintahan. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang pascakonflik Perang Indochina pada 1975. Memburuknya hubungan Thailand dan Kamboja dikarenakan konflik terkait kepemilikan Angkor Watt, yang termasuk daftar warisan sejarah dunia oleh UNESCO. Konflik perbatasan Thailand mulai pecah pada 2008 dan menjadi babak akhir dari perselisihan menahun antara Kamboja dan Thailand. 154 Masalah kepemilikan Angkor Watt sebenarnya sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yaitu bahwa kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja, namun permasalahannya adalah wilayah seluas 4,6 Km di sekitar kuil tersebut tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional. Perdebatan ini muncul karna Kamboja dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing-masing Negara. Hal ini berdampak pada terjadinya salah tafsir mengenai besar wilayah masing-masing Negara. Hal ini berdampak pada terjadinya salah tafsir mengenai besar wilayah masing-masing, termasuk wilayah disekitar Angkor Watt yang disalahtafsirkan. Jika klaim Kamboja atas wilayah ini dikabulkan Thailand, Thailand khawatir Kamboja akan semakin merajalela dan mencaplok wilayah-wilayah lain yang juga disalahtafsirkan, vise versa. Selain itu, perebutan wilayah juga dipicu karena kekayaan sumber daya mineral, yang berarti jaminan terpenuhinya kebutuhan energy Negara pemiliknya dan peningkatan pemasukan Negara dari penjualan sumber energy. 155 154 Ibid 155 Op.cit Universitas Sumatera Utara Pada bulan Juli 2008, kedua Negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Angkor Watt. Kejadian ini membawa korban dengan tewasnya 2 orang tentara Kamboja dan melukai 5 orang tentara Thailand. Sebagaimana yang disebutkan oleh pemerintah Kamboja, militer Tahiland sejak tanggal 15 Juli telah memasuki wilayah Kamboja di dekat Angkor Watt. Pada tanggal 21 Juli aktifitas militer Thailand semakn banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Preah Vihear Pagoda. Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang anggota militer Thailand aibat ranjau darat di daerah Angkor Watt pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa pemerintah Kamboja telah dengan sengaja memasang ranjau di daerah perbatasan yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh pemerintah Kamboja dan beralasan bahwa ranjau-ranjau tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam konflik tiga faksi di Kamboja. Pada akhirnya konflik bersenjata berdarah pun tidak dapat dielakkan lagi. 156 Kedua kepala Negara sebenarnya telah melakukan upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun Sen meminta kepada Perdana Menteri Samak Sundravej untuk segera menarik mundur tentarany dari sekitar Angkor Watt agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam balasannya Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari Thailand-Kamboja General Border Comitte GBC pada tanggal 21 Juli 2008. Namun Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area di sekitar Angkor Watt adalah berada dalam kedaulatan 156 Op.cit Universitas Sumatera Utara territorial kerajaan Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand. 157 Selanjutnya Perdana Menteri Hun Sen kembali menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik pertemuan yang akan diadakan oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I map” yang dipergunakan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Angkor Watt berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah territorial Kamboja. 158 Dari korespondensi diatas nampak bahwa para pihak masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional. Dalam keputusannya mayoritas hakim 9 dari 12 Menyatakan bahwa Angkor Watt berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dari wilayah Kamboja. Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta Annex I Map yang dibuat oleh pejabat Perancis pada tahun 1907 yang beberapa diantaranya adalah anggota mixed commission yang dibentuk berdasarkan boundary treaty antara france dan siam tanggal 13 Februari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Angkor Watt terletak berada dalam wilayah Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tesebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota mixed commission yang sah. Lebih lanjut garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut daah berdasarkan 157 Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja ; http:viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016 Pukul 10.15 158 Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan Thailand-Kamboja ; http:id.wikipedia.orgwiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian-hubungan-Thailand-Kamboja diakses pada 5 Mei 2016 Pukul 10.00 WIB Universitas Sumatera Utara watershed line yang salah dan bila menggunakan watershed line yang benar maka Angkor Watt akan terletak di wilayah Thailand. Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alas an hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya ? alasannya adalah karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada pemerintah Siam oleh pejabat Perancis, pemerintah Siam telah sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya. 159 Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan pemerintah Siam menerima dan kondisi dalam peta ini. Demikian juga pada pada banyak kesempatan lainnya, pemerintah Thailand telah tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Angkor Watt. Pendapat mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip estoppels, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberatannya saat kesempatan tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi, mayoritas hakim berkesimpulan bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta sebagaimana Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang yang masih belum dapat diterima yang tetap berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta 159 ibid Universitas Sumatera Utara namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi. Insiden tembak menembak pada tanggal 15 Oktober yang lalu sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keengganan Mahkamah Internasional untuk memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya sehingga masalah ini menjadi isu yang selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal 94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand kedalam wilayah kamboja sebagaimana tertuang dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan penyelesaian. Penempatan tentara dari Negara lainnya di wilayah tersebut merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Sengketa wilayah ini kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata. 160 Dari versi Kamboja konflik itu bermula ketika 50 prajurit Thailand bergerak memasuki wilayah Pagoda Keo Sikha Svara Kamboja, sekitar 300 meter dari Angkor Watt. Memasuki Agustus 2008, konflik itu meluas ke wilayah kompleks kuil abad XIII, Ta Moan, yang terletak 153 Km di wilayah barat Angkor watt, dimana Kamboja menuduh pasukan Thailand menduduki wilayah Kamboja yang segera dibantah oleh Thailand. Pasukan Kamboja dan Thailand untuk pertama kalinya terlibat kontak senjata. Pada 24 Oktober 2008, Perdana Menteri kedua Negara tersebut bertemu 160 Makarim Wibisono ; Dinamika baru Sengketa Angkor Watt ; http:id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan diakses pada tanggal 5 Mei Pukul 10.20 WIB Universitas Sumatera Utara di Beijing dan setuju menghindari bentrok bersenjata dimasa depan. Namun peredaran ketegangan ini kemudian berhenti seiring pernyataan Kamboja bahwa serdadu Thailand terlihat menyebrangi perbatasan dekat kuil kuno, yang lantas dibantah oleh Thailand. 161 Berkat upaya sejumlah pihak, ketegangan akhirnya bisa diredakan setelah Thailand, mengakui bahwa Angkor Watt itu memang masuk dalam bagian wilayah Kamboja. Ketenangan dalam Hubungan kedua Negara bertetangga di Asia Tenggara ini tak berlangsung lama. Beberapa hari terakhir, kedua Negara kembali terlibat ketegangan setelah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen melantik mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Sinarwata sebagai penasehat seniornya dibidang ekonomi. Bangkok merasa berhak mempersoalkan keputusan itu mengingat Thaksin dianggap buron yang lari dari jeratan hukum. Di Phnom Penh, Hun Sen justru didukung karena terlepas dari siapa Thaksin dan vonis pengadilan Thailand terhadapnya, secara prinsip memanfaatkan kebolehan dan keahlian dari seorang bukan tindakan yang patut dipersalahkan. Keputusan pemerintah Kamboja ini terkesan mengada- ngada dan “mengompori” Thailand karena Thaksin adalah buronan yang harus menjalani hukuman di Thailand. 162 Kesulitan terciptanya perdamaian di antara kedua Negara lebih dikarenakan sikap Thailand yang masih tidak konsisten terkait dilemma internalnya. Indonesia oleh karenanya harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam cabinet Thailand, terutama harus bisa mendekati militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam 161 ibid 162 Op. Cit Universitas Sumatera Utara peta politi Thailand. Perdana Menteri Thailand pun harus melakukan koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand sebagai satu kesatuan sehingga usaha untuk menegoisasikan kepentingan masing- masing Negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah diwujudkan. 163 4. Penyelesaian Sengketa Angkor Watt a. Teori Konflik Konflik secara konseptual yaitu dengan konflik dimaksudkan perwujudan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua orang, atau bahkan golongan besar seperti Negara. Kadang-kadang konflik digunakan untuk menyebut pertentangan antara pandangan dan perasaan seseorang BN.Marbun,1996:34. Soerjono Soekanto menyebutkan sebab-sebab terjadinya konflik dapat dibedakan sebagai berikut : a Perbedaan antara individu-individu b Perbedaan Kebudayaan c Perbedaan Kepentingan d Perubahan Sosial Soerjono Soekanto,1990:107-108 1. Konsep Strategi Penyelesaian Konflik Menurut Wirjono, untuk mengatasi konflik individukelompok diperlukan tiga strategi yaitu : Strategi Kalah-Kalah Lose-Lose Strategy 163 Ibid Universitas Sumatera Utara Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah berkompromi atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu, maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri, ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu : a. Arbitrasi Arbitration Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. 164 b. Mediasi Mediation Mediasi dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh arbitrator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. 165 Pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, pemerintah Thailand dan pemerintah Kamboja sebenarnya sudah sepakat untuk melibatkan pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN dalam penyelesaian konflik perebutan 164 Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, Jakarta Hal 26 165 Ibid Universitas Sumatera Utara wilayah perbatasan tersebut, dan yang menjadi penghambatnya adalah adanya perbedaan antara pemerintah Thailand dan pihak militernya. Di Thailand, pihak militer bereran sangat penting dalam pemerintahan dan dalam kebijakan luar negeri Thailand. Dalam pemerintahan Thailand, terjadi perbedaan pendapat antara Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri mengenai cara penyelesaian konflik perbatasan dengan Kamboja ini. Departemen Pertahanan menolak peran pihak ketiga sebagai penengah untuk menengahi konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Pihak militer Thailand ingin menyelesaikan konflik ini secara bilateral dengan Kamboja. Sedangkan Departemen Luar Negeri Thailand mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN dalam menyelesaikan konflik perbatasan dengan Kamboja. 166 Kamboja beranggapan jika konflik perebutan wilayah seluas 4,6 Km di perbatasan kedua Negara tersebut hanya diselesaikan melalui mekanisme bilateral maka konflik tersebut akan semakin berlanjut dan tidak akan menemukan kesepakatan damai antara keduanya. Hal inilah yang mendasari Kamboja meminta adanya peran pihak ketiga dalam kasus tersebut. 167 a. Keterlibatan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN tahun 2011 Pada tanggal 7-8 April 2011 lalu Indonesia memfasilitaso dan mempertemukan kedua Negara pada pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri Sekretaris Menlu Thailand Chayanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut 166 Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:id.shvoong.comlaw-and- politicsinternational-law2014090-konflik perbatasan-thailand-dan-kamboja diakses pada tanggal 6 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB 167 Op . Cit Universitas Sumatera Utara tidak menghasilkan kesepakatan yang siginifikan untuk mecapai perdamaian kedua Negara. 168 Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua Negara merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya untuk perundingan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan. 169 Perundingan antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara lain mengenai : Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand mengenai isi dari kesepakatan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand menolak tawaran tersebut. Thailand bersikeras menginginkan agar parlemen negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan. 170 Kedua pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dahulu. 168 Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik-internasional451-menanti- diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja, diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 15.00 WIB 169 Ibid 170 Ibid Universitas Sumatera Utara Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai ketua ASEAN untuk melangsungkan pertemuan General Border Committee GBC. Pihak Kamboja mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena Indonesia sudah mendapatkan mandate DK PBB untuk ikut dalam negoisasi Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga satu-satunya hal yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya “check point” antara kedua Negara. Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua ASEAN dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali memfasilitasi dan mempertemukan kedua Negara. Pertemuan ini merupakan upaya terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun 2011. 171 Dalam pertemuan tersebut, Mary Natalegawa menjelaskan Thailand akhirny menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua Negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon permintaan ini. Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu. 171 Ibid Universitas Sumatera Utara Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim peninjau yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan Kamboja-Thailand. Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga rekomendasi yang dihasilkan pada pertemuan kedua Negara yang difasilitasi Indonesia. Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, mengaktifkan pertemuan GBC, Rekomendasi kedua, kedua Negara melihat kembali nota kesepahaman MOU yang telah disepakati pada tahun 2000 lalu. Adapun rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual rust, kehadiran observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah disepakati tahun 2000 meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain dari kawasan sengketa, MOU 2000 itu menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari pasukan atau rakyat sipil dikawasan yang dipersengketakan. 172 Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua Negara untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan militer kedua Negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara 172 Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik-internasional451-menanti- diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja, diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 15.00 WIB Universitas Sumatera Utara teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua Negara tersebut dan rekomendasi yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya kedaerah perbatasan yang disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau gencatan senjata antara pasukan militer Thailand dan Kamboja. b. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Pada tahun 2011 lalu, pasca bentrokan bersenjata antara kedua Negara yang terjadi pada awal bulan Februari tersebut Kamboja meminta ke Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan tahun 1962 itu dan menjelaskan tentang kepemilikan tanah seluas 4,6 Km disekitar Kuil Angkor Watt. Langkah Kamboja yang mengadukan permasalahannya kepada Dewan Kemanan PBB dan meminta PBB untuk mengirim pasukan perdamaian ke daerah sekitar Kuil Angkor Watt langsung ditanggapi dengan cepat oleh pihak Dewan Kemanan PBB. Sehingga pasca bentrokan bersenjata kedua Negara pada bulan Februari 2011 lalu, Pihak PBB mengundang Indonesia sebagai pemimpin ASEAN melalui Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan dihadiri oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB Republik Rakyat Cina, Rusia, Perancis, Britania Raya, Amerika Serikat, BosniaHerzegovina, Brazil, Kolombia, Gabon Jerman, India, Lebanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Pironya. Hal tersebut guna mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik antara kedua Negara. 173 Dalam siding tersebut, Marty Natalegawa menegaskan Indonesia selaku Ketua ASEAN 173 Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:id.shvoong.comlaw-and- politicsinternational-law2014090-konflik perbatasan-thailand-dan-kamboja diakses pada tanggal 6 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB Universitas Sumatera Utara berkomitmen tidak akan ada lagi baku tembak antara pasukan Thailand dan Kamboja di kawasan perbatasan kedua Negara. Pasca bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua Negara di daerah perbatasan pada 28 April 2011 lalu. Kamboja mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan pada tahun 1962 atas Kuil Angkor Watt beserta wilayah seluas 4,6 km disekitar kuil tersebut. Hal ini disertai dengan satu permintaan Kamboja yang meminta Thailand segera dan tanpa syarat apapun untuk menarik pasukan dari daerah sekitar Kuil Angkor Watt diperbatasan kedua Negara. Dilain pihak, pihak militer Thailand menentang tindakan Kamboja yang mengadukan masalah sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional Thailand menganggap bahwa untuk menyelesaikan konflik kedua Negara tersebut tidak perlu adanya intervensi dari pihak pihak luar. Sebaliknya, walaupun pihak militer Thailand menentang tindakan tersebut, baik pemerintah Thailand maupun Kamboja sepakat untuk mengupayakan agar konflik tersebut dapat segera diselesaikan. 174 Selama menunggu penafsiran keputusan Mahamah Internasional tahun 1962 tersebut, Mahkamah Internasional memerintahkan Kamboja dan Thailand pada 18 Juli 2011 untuk segera menarik pasukan militer kedua Negara dari kawasan sengketa dan menetapkan daerah seluas 17,3 Km di sekitar Kuil Angkor Watt sebagai zona Demilterisasi dan memungkinkan pengamat ASEAN untuk memasuki ke PDZ untuk memantau gencatan senjata.Keputusan Mahkamah 174 Ibid Universitas Sumatera Utara Internasional ini pada awalnya belum ditanggapi oleh kedua Negara, pasukan militer kedua Negara masih berjaga-jaga di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan para aktivis nasionalis Thailand menolak perintah dari Mahkamah Internasional untuk menarik pasukan dari kawasan sengketa kedua Negara dan meminta pengadilan internasional tersebut untuk memerintahkan pemerintah Thailand menarik diri dari kasus yang diajukan oleh Kamboja ke Mahkamah Internasional dan menolak pengikatan hukum suatu putusan pengadilan. Walaupun adanya penolakan dari pihak aktifis Thailand, dilain pihak Para Menteri Pertahanan dan Pemimpin Angkatan Darat dari kedua Negara yang bersengketa itu setuju untuk menarik pasukan dari daerah kuil Angkor Watt. Ketegangan kedua Negara menurun sejak bulan Agustus 2011 setelah perdana menteri Thailand yang baru Yingluck Shinarwata, mulai berkuasa. Perdana Menteri Thailand yang baru tersebut merupakan teman dan mantan penasihat ekonomi Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Pada akhirnya kedua Negara pada saat yang bersamaan setuju untuk membentuk satuan kerja untuk memindahkan personel militer secara menyeluruh dan bersama-sama dari posisi-posisi sekarang di zona demeliterisasi sementara ini. Dan meminta Indonesia untuk mengamati penarikan pasukan militer kedua Negara dari kawasan yang disengketakan secara bersama-sama. 175 Penarikan mundur pasukan militer kedua Negara ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional ICJ untuk meredakan konflik selama beberapa tahun belakangan dan mencegah terjadinya bentrokan antara kedua pasukan militer 175 Ibid Universitas Sumatera Utara kedua Negara kembali terjadi di kawasan sengketa tersebut. Pada bulan Juli tahun 2011 lalu, Mahkamah Internasional ICJ memutuskan agar militer kedua belah pihak ditarik secara menyeluruh dan bersamaan dari kawasan seluas 17,3 Km di sekeliling Kuil Angkor Watt, yang ditetapkan sebagai kawasan demilitarisasi. Sebagai gantinya, polisi kedua Negara yang dikerahkan di kedua wilayah perbatasan. Tepat setahun setelah perintah Mahkamah Internasional tahun 2011 lalu, akhirnya pada Juli 2012 lalu, kedua Negara sepakat menarik seluruh pasukan militernya dari kawasan yang disengketakan. Pemerintah Kamboja menarik sekitar 500 personel militernya dari kawasan Kuil Angkor Watt dan menempatkan sekitar 250 polisi dan petugas keamanan dikawasan tersebut. Keputusan kedua Negara ini untuk menarik pasukan militernya dari wilayah kuil Angkor Watt yang diperebutkan merupakan keuputusan yang ditunggu selama ini oleh berbagai pihak. Hal ini dikarenakan jika masih ada pasukan militer yang ditempatkan oleh kedua di daerah yang disengketakan tersebut, maka sudah pasti akan terjadi kembali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer tersebut. Langkah kedua Negara ini merupakan titik terang untuk menuju perdamaian antara kedua belah pihak di masa depan. 176 Didalam kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, peran pihak ketiga memang sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut karena dengan adanya pihak ketiga sebagai penengah di dalam penyelesaian konflik antara kedua Negara maka solusi dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik 176 Ibid Universitas Sumatera Utara kedua Negara sudah pasti akan ditemukan dengan mudah dan kesepakatan damai antara keduanya pasti akan tercapai.

C. Analisa Sengketa Angkor Wat