Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1993
Starke J.G , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta Toman, Jiri 1996 , The Protection of Cultural Property in The Event of Armed
Conflict , Dartmouth Publishing Company , Aldershot
B. Artikel
A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 Manchaster: Manchaster University Press, 2004
Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996 Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National
Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property, “ Emory Law Journal Fall 2004
Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law
Paris: Henry Dunant Institute, 1987
C. Undang-Undang
Diplomatic Conference of Geneva of 1949, Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949
Institute of International Law, The Laws of War on Land 9 September 1880 Treaty on the Protection of Artistic and Scientific Institution and Historic
Monuments Roerich Pact 15 April 1935
United Nations, Conference on International Organization Charter of the United Nations, Multilateral Treaties Deposited with the Secretary-General Chapter I.I.
26 Juni 1945 United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2 1
Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada Waktu Sengketa Bersenjata tahun 1977
Konvensi mengenai Perlindungan Dunia Budaya dan Warisan Alam Tahun 1972
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Konvensi DenHaag 1954
Konstitusi Unesco D.
Internet
http:www.antarabengkulu.comberita19359lestarikan-warisan-budaya-agar-tak- disanksi-unesco
http:www.scribd.comdoc89959718Pengakuan-Dalam -Hukum-Internasional http:masniam.wordpress.com20100421pengakuan-secara-kolektif
www.Jatim.go.idartikelintrnasionalhukum http:smakita.netpenyelesaian-sengketa-internasional
http:fitrohsyawali.wordpress.com20100510makalah-penyelesaian-sengketa- international
http:www.anneahira.comsengketa internasional.htmlDjuned Hasani , Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja
, http:antaranews.comartikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan
Kamboja . Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan Thailand-
Kamboja
; http:id.wikipedia.orgwiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian-
hubungan-Thailand-Kamboja GunKarta, Angkor Wat ; http:id.m.wikipedia.orgwikiangkor_Wat
Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja ;http:viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja.
James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its Aftermath,”http:www.ogick.orgindepthprotect-cult-herit.html
Universitas Sumatera Utara
Makarim Wibisono
; Dinamika
baru Sengketa
Angkor Watt
; http:id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan
Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja
http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik- internasional451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-
thailand-kamboja Organisasi
Pendidikan, Keilmuan,
dan Kebudayaan
PBB id.wikipedia.orgwikiOrganisasi_Pendidikan,_Keilmuan,_dan_Kebudayaan_PBB
Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ; http:www.scribd.comdockonflik- thailand-Kamboja-doc
Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http:repository.unhas.ac.idhandle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul
11.00 WIB Skripsi Sasha Izni Shadrina Perlindungan Terhadap Benda Budaya Pada Masa
Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional: Penerapannya oleh Internasional Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia dalam Kasus-Kasus
Dubrovnik,
http:repository.ui.ac.id http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi-
warisan-dunia https:id.wikipedia.orgwikiCagar_budaya
http:www.artikelsiana.com201502pengertian-kebudayaan-definisi-para- ahli.html
http:travel.kompas.comread20141024175400427Memelihara.Warisan.Buda ya.Tak.Benda
https:pkntrisna.wordpress.com20100616pengertian-sengketa-internasional http:adrianbobby.blogspot.co.id201311berdirinya-unesco.html
http:sujudgandas.blogspot.co.id201304organisasi-unesco.html
Universitas Sumatera Utara
BAB III PROSEDUR DAN TATACARA PENGAKUAN INTERNASIONAL
TERHADAP CAGAR BUDAYA A. Pengakuan Internasional
Pengakuan merupakan masalah yang paling rumit di dalam hukum internasional. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu :
1. Faktor Politik
Faktor politik ini menentukan entitas, dihubungkan dengan kepentingan nasional. Contoh : sampai dengan saat ini kepentingan Indonesia tidak menengahi
Indonesia untuk mengakui Israel sebagai Negara.
54
Tidak ada ketentuan yang pasti atau tegas dalam hukum internasional yang mengatur tentang pengakuan. Sehingga masalah “pengakuan” merupakan
kehendak bebas free act. Negara bebas untuk bertindak, apakah akan memberikan pengakuan atau
tidak, itu merupakan kehendak bebas.
55
Kedua hal ini yang menyebabkan pengakuan menjadi masalah yang rumit. Disini terdapat pencampuran atau gabungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional. Pengakuan :
1. Negara yang akui dan diakui sederajat
54
Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta 2001, hal 63
55
Ibid , hal 52
Universitas Sumatera Utara
2. Negara yang saling akui ada atau siap melakukan kerjasama atau
hubungan bilateral perjanjian internasional Akibat dari pengakuan, jika diakui maka akan terjadi negoisasi antar
Negara yang mengakui dan diakui, demikian sebaliknya.
56
1. Teori-teori tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan recognition. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada
atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu Negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada
beberapa teori : a.
Teori Deklaratoir b.
Teori Konstitutif c.
Teori Pemisah atau Jalan Tengah Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah
pernyataan formal saja bahwa suatu Negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu
Negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu
Negara dalam hubungan internasional.
57
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan
penerimaan terhadap suatu Negara sebagai anggota masyarakat internasional.
56
Ibid , hal 77
57
Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 72
Universitas Sumatera Utara
Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional international legal personality suatu Negara. Dengan kata lain,
tanpa pengakuan, suatu Negara bukan belumlah merupakan subjek hukum internasional.
58
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori
Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu Negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk
menjadi sebuah pribadi hukum, suatu Negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam
hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh Negara-negara lain.
2. Macam atau Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jeni pengakuan ,yaitu : a.
Pengakuan de Facto; dan b.
Pengakuan de Jure Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan
terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu Negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini
tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu yakni Negara yang diberi pengakuan tadi bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini
bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau
58
Op. Cit , hal 23
Universitas Sumatera Utara
tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana Negara yang diakui atau fakta itu ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan
sendirinya.
59
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan
apabila Negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu Negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya
suatu Negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu
Negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :
a Penguasa di Negara baru itu benar-benar menguasai secara formal
maupun substansial wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaanya; b
Rakyat di Negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa baru itu;
c Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui untuk menghormati hukum
internasional.
3. Cara Pemberian Pengakuan
a. Dilakukan dengan Expresset Recognition
Pengakuan dilakukan secara tegas Contoh :
59
Ibid , hal 20
Universitas Sumatera Utara
1 Dengan pengiriman nota diplomatik resmi, yang menyebutkan bahwa
suatu pemerintah atau Negara memberikan pengakuan baik terhadap pemerintah atau Negara.
2 Mengrimkan utusan untuk hadir dalam upacara pelantikan diberikan
undangan, Negara tersebut merespon dengan mengirimkan wakil diplomatik
60
b. Implied recognition
Pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung. Dari tindakannya terlihat Negara itu bisa disimpulkan memberikan pengakuan.
Contoh : pengikatan perjanjian bilateral Australia dan Indonesia melakukan perjanjian bilateral untuk mengelola
Timor Gep Celah Timor. Padahal pada saat itu, Timor Timur belum resmi menjadi provinsi Negara Indonesia. Australia juga belum secara tegas mengakui
Indonesia. Namun jika tidak mengakui, tidak mungkin melakukan perjanjian. Sehingga perjanjian bilateral untuk mengelola Timor Gep dianggap sebagai
pengakuan secara diam-diam atau secara terselubung Australia terhadap Indonesia.
61
c. Pengakuan secara kolektif
Pengakuan secara kolektif ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum. Contoh : dalam konferensi ke Negara-negara, ada Negara yang tidak diakui.
Misalnya dalam PBB , Israel hadir dalam konferensi tersebut. Dengan tidak
60
Ibid hal 24
61
J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Brathara, Jakarta, 1996 , hal 30
Universitas Sumatera Utara
keberatannya Negara-negara Islam untuk hadir, dimana Israel hadir, hal ini disebut Negara tersebut telah memberikan pengakuan secara kolektif. Namun, ada
yang berpendapat bahwa pengakuan secara kolektif tidak ada.
62
4. Penarikan Kembali Pengakuan
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin
bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kuaifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum
internasional international legal personality. Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan
berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional
catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi Negara.
63
Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu Negara dapat
ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
Terhadap persoalan diatas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan :
a. Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan
dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat
62
Ibid, hal 15
63
Op. Cit hal 24
Universitas Sumatera Utara
tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
b. Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun
pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang
telah diakui tersebut.
64
Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi
kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu Negara akan memberikan pengakuan kepada Negara lain jika Negara yang disebut belakangan ini bersedia
menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.
Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena
pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi
pengakuan. Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam
memberikan pengakuan yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban
yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu Negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau
64
Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990, hal 12
Universitas Sumatera Utara
fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan Negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu Negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu
sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif Negara yang bersangkutan.
65
Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran objektif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi
pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara
keilmuwan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat
politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum
internasional. Namun, diarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-
putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan
hukum internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan tentang Negara sebagai subjek hukum internasional.
66
5. Bentuk- bentuk Pengakuan
Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu Negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan
65
Ibid , hal 16
66
Sefriani, Hukum Internasional suatu pengantar, Rajawali pers , Jakarta , 2014 , hal 13
Universitas Sumatera Utara
hanya diberikan terhadap suatu Negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni termasuk pengakuan terhadap suatu Negara;
a. Pengakuan Negara baru.
Jelas pengakuan ini diberikan kepada suatu Negara baik berupa pengakuan de facto maupun de jure.
b. Pengakuan pemerintah baru.
Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap Negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya yang berkuasa. Hal ini biasanya terjadi jika
corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangat kontras perbedaanya. c.
Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekolompok pemberontak yang sedang
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu Negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti Negara yang mengakui itu
berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata- mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak
lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang
berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan
sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa pemerintah yang sah untuk menumpas pemberontakan
itu.
67
67
Ibid , hal 29
Universitas Sumatera Utara
d. Pengakuan beligerensi
Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak.
Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi
dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan Negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.
e. Pengakuan sebagai bangsa
Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk Negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum
internsional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.
f. Pengakuan hak-hak territorial dan situasi internasional baru
sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”.
Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah
satu provinsi Cina, dan mendirikan Negara boneka di sana Manchukuo.
68
Padahal Jepang adalah salah satu Negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 juga dikenal sebagai kellog-Briand Pact atau Paris 1928
juga dikenal sebagai Kellog-Briand Pact atau Paris Pact, sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan
68
Starke J.G , Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika ; Jakarta , 2010 , hal 93
Universitas Sumatera Utara
bahwa Negara-negara penandatangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka
penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanginya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes
keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “ tidak mengakui hak-hak territorial dan
situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini ju
ga dikenal sebagai Stimson‟s Doctrine of Non-Recogniton.
B. Prosedur dan Tata Cara Pengakuan Internasional terhadap Cagar Budaya
Cagar Budaya merupakan hal yang paling dilindungi ketika terjadi peperangan maupun pada masa damai. Cagar Budaya yang ada didunia dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1.
Cagar Budaya yang telah menjadi situs warisan dunia UNESCO 2.
Cagar Budaya yang belum menjadi situs warisan dunia UNESCO Situs Warisan Dunia UNESCO bahasa Inggris:
UNESCO’s World Heritage Sites
adalah sebuah tempat khusus misalnya, Taman Nasional, Hutan, Pegunungan, Danau, Pulau, Gurun Pasir, Bangunan, Kompleks, Wilayah,
Pedesaan, dan Kota yang telah dinominasikan untuk program Warisan Dunia internasional yang dikelola UNESCO World Heritage Committee, terdiri dari 21
kelompok 21 state parties yang dipilih oleh Majelis Umum General Assembly
Universitas Sumatera Utara
dalam kontrak 4 tahun.
69
Jadi pengertian dari sebuah Situs Warisan Dunia adalah suatu tempat Budaya dan Alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan
menjadi sebuah Warisan bagi generasi berikutnya. Program ini bertujuan untuk mengkatalog, menamakan, dan melestarikan
tempat-tempat yang sangat penting agar menjadi warisan manusia dunia. Tempat- tempat yang didaftarkan dapat memperoleh dana dari Dana Warisan Dunia di
bawah syarat-syarat tertentu.
70
Program ini diciptakan melalui Pertemuani Mengenai Pemeliharaan Warisan Kebudayaan dan Alamiah Dunia yang diikuti di
oleh Konferensi Umum UNESCO pada 16 November 1972.
71
Pada tahun 1954, pemerintah Mesir memutuskan untuk membuat Bendungan Aswan Aswan Dam sebuah peristiwa yang akan menenggelamkan
sebuah pegunungan yang berisi harta benda dari zaman mesir kuno seperti kuil Abu Simbel. Kemudian UNESCO meluncurkan kampanye perlindungan secara
besar-besaran diseluruh dunia. Kuil Abu Simbel dan Kuil Philae kemudian diambil alih, dipindahkan ke tempat yang lebih besar dan dibangun kembali satu
demi satu bagian. Biaya yang dikeluarkan dalam proyek ini sebesar US 80 juta, sekitar US
40 juta dikumpulkan dari 50 negara. Proyek tersebut dihargai kesuksesannya, dan dilanjutkan ke proyek penyelamatan lainnya, menyelamatan Venesia dan
danaunya di Italia, Kuil Mohenjo-daro di Pakistan, dan Candi Borobudur di Indonesia. UNESCO lalu bergabung dengan dewan international bagian situs dan
69
https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB
70
Ibid
71
Ibid
Universitas Sumatera Utara
monumental International Council on Monuments and Sites sebuah draft pertemuan untuk melindungi budaya-budaya kemanusiaan.
Amerika kemudian mengajukan pertemuan untuk menggabungkan perlindungan alam dengan budaya. Sebuah pertemuan di White House pada tahun
1965 yang dijuluki World Heritage Trust Pertanggung jawaban terhadap Warisan Dunia
“untuk melindungi keagungan dan keindahan alam dan situs sejarah dunia untuk masa kini dan masa depan untuk seluruh warga dunia”. Kemudian,
dikembangkanlah suatu organisasi bernama International Union for Conservation of Nature
pada waktu yang sama pada tahun 1968, dan mereka diperkenalkan pada tahun 1972 saat konferensi Lingkungan Manusia PBB di Stockholm.
Sebuah perjanjian disetujui oleh semua anggota, dan Pertemuan Mengenai Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam dipakai dalam Konferensi Umum
oleh UNESCO pada tanggal 16 November 1972. Terhitung 2004, sejumlah 788 tempat telah dimasukkan ke dalam daftar Warisan Dunia 611 kebudayaan, 154
alamiah dan 23 campuran di 134 Negara Anggota. Indonesia baru menerima konvensi tersebut pada tanggal 6 Juli 1989, dan
2 tahun kemudian berhasil mendaftarkan 4 warisan dunia yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai warisan budaya dan Taman Nasional Komodo dan
Taman Nasional Ujung Kulon sebagai warisan dunia.
72
Warisan budaya bisa berupa monumen, kumpulan bangunan, dan situs budaya, sedangkan warisan alam
dapat berupa fitur alam, formasi geologis dan fisiografis, serta situs alam. Daftar warisan dunia yang pertama kali di rilis pada tahun 1978 terdiri dari 12 warisan
72
http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi- warisan-dunia Diakses pada tanggal 27 Mare 2016 pukul 16.20
Universitas Sumatera Utara
dunia dan alam, satu diantaranya adalah kepulauan Galapagos yang masyur sebagai tempat penelitian Charles Darwin yang akhirnya menemukan teori seleksi
alam.
73
Indonesia sendiri sampai tahun 2015 baru mempunyai 8 warisan dunia yaitu Candi Borobudur, Taman Nasional Komodo, Candi Prambanan, Taman
Nasional Ujung Kulon, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Lorentz, Hutan Tropis Sumatera, dan Sistem Subak.
74
Sayangnya Hutan Hujan Tropis saat ini berstatus dalam bahaya karena ancaman penebangan liar, ekspansi lahan
pertanian, dan pembuatan jalan yang mengancam kelestarian warisan alam tersebut.
Setiap negara dapat mengajukan nominasi dunia ke Unesco yang akan diseleksi oleh komite khusus. Obyek yang dinomisasikan harus mempunyai nilai
universal yang luar biasa dan memenuhi satu atau lebih dari 10 kriteria yang telah ditetapkan oleh Unesco, diantaranya representasi mahakarya dari kejeniusan
kreatifitas manusia dan kumpulan atau lanskap bangunan, rancanga arsitektur, dan teknologi yang luar biasa yang menjadi tahapan signifikan pada sejarah
manusia.
75
Proses cagar budaya menjadi warisan dunia terdapat dalam Pasal 11 Konvensi tentang Bangunan Kebudayaan yang menjadi awarisan Dunia tahun
1972 ; 1.
Dimasukkannya properti dalam Daftar Warisan Dunia memerlukan persetujuan dari Negara yang bersangkutan. Dimasukkannya properti
terletak di wilayah, kedaulatan atau yurisdiksi atas yang diklaim oleh
73
Ibid
74
Ibid
75
Ibid
Universitas Sumatera Utara
lebih dari satu Negara wajib tidak merugikan hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
2. Komite harus menetapkan, tetap up to date dan mempublikasikan , setiap
kali situasi apapun mengharuskan demikian, di bawah judul Daftar Warisan Dunia dalam Bahaya, daftar properti muncul dalam Daftar
Warisan Dunia untuk konservasi mana operasi utama diperlukan dan bantuan yang telah diminta berdasarkan Konvensi ini. Daftar ini memuat
perkiraan biaya operasi tersebut. Daftar ini mungkin hanya mencakup kekayaan tersebut merupakan bagian dari warisan budaya dan alam
sebagai terancam oleh bahaya yang serius dan spesifik, seperti ancaman penghilangan disebabkan oleh kerusakan dipercepat, proyek-proyek
publik atau swasta berskala besar atau cepat perkotaan atau proyek pengembangan pariwisata; kerusakan yang disebabkan oleh perubahan
dalam penggunaan atau kepemilikan tanah, perubahan besar karena penyebab yang tidak diketahui, ditinggalkan untuk alasan apapun; wabah
atau ancaman konflik bersenjata, bencana dan bencana alam, kebakaran serius, gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi; perubahan
muka air, banjir dan gelombang pasang. Komite dapat setiap saat, dalam hal kebutuhan mendesak, membuat entri baru dalam Daftar Warisan
Dunia dalam Bahaya dan mempublikasikan entri tersebut dengan segera . 3.
Komite harus menetapkan kriteria atas dasar yang properti milik budaya atau alam dapat dimasukkan dalam salah satu daftar yang disebutkan
dalam ayat 2 dan 4 pasal ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Sebelum menolak suatu permintaan untuk dimasukkan dalam salah satu
dari dua daftar yang disebutkan dalam ayat 2 dan 4 pasal ini, Komite harus berkonsultasi dengan Negara Pihak yang di wilayahnya budaya
atau alami properti tersebut berada. 5.
Komite, dengan persetujuan dari Negara yang bersangkutan, mengkoordinasikan dan mendorong studi dan penelitian yang diperlukan
untuk menyusun dari daftar sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan 4 pasal ini.
6. Setelah itu semua di dalam Pasal 13 Konvensi Bangunan Budaya
menjadi Warisan Dunia, Komite Warisan Dunia akan menerima dan mempelajari permintaan bantuan internasional dirumuskan oleh Negara
Pihak pada Konvensi ini berkenaan dengan properti yang merupakan bagian dari warisan budaya atau alam, terletak di wilaya mereka, dan
termasuk atau berpotensi cocok untuk dimasukkan dalam daftar disebutkan disebut dalam ayat 2 dan 4 Pasal 11. Tujuan dari permintaan
tersebut mungkin untuk mengamankan perlindungan, pelestarian, presentasi atau rehabilitasi bangunan tersebut.
7. Permintaan bantuan internasional sesuai ayat 1 pasal ini juga mungkin
berkaitan dengan identifikasi kekayaan budaya atau alam yang didefinisikan dalam Pasal 1 dan 2, ketika penyelidikan awal telah
menunjukkan bahwa penyelidikan lebih lanjut akan dibenarkan. 8.
Komite akan memutuskan tindakan yang akan diambil sehubungan dengan permintaan ini, menentukan mana yang tepat, sifat dan tingkat
Universitas Sumatera Utara
bantuannya, dan mengotorisasi kesimpulan, atas namanya, dari pengaturan yang diperlukan dengan pemerintah yang bersangkutan.
9. Komite harus menentukan urutan prioritas untuk operasinya. Ini akan
dengan demikian diingat pentingnya masing-masing untuk dunia warisan budaya dan alam perlindungan properti yang membutuhkan, kebutuhan
untuk memberikan bantuan internasional untuk properti yang paling mewakili lingkungan alami atau genius dan sejarah bangsa-bangsa dunia,
urgensi dari pekerjaan yang harus dilakukan, sumber daya yang tersedia ke Amerika di wilayah mana properti terancam terletak dan khususnya
sejauh mana mereka mampu menjaga kekayaan tersebut dengan cara mereka sendiri.
10. Komite akan menyusun, tetap up to date dan mempublikasikan daftar
properti yang bantuan internasional telah diberikan. Tentang dana yang digunakan untuk menjadikan cagar budaya menjadi
warisan dunia terdapat di dalam Pasal 15 Konvensi mengenai Bangunan Kebudayaan yang menjadi Warisan Dunia tahun 1972.
Komite akan memutuskan penggunaan sumber daya Dana ditetapkan berdasarkan Pasal 15 dari Konvensi ini. Ini akan mencari cara untuk
meningkatkan sumber daya dan harus mengambil semua langkah yang berguna untuk tujuan ini.
Komite akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan non- pemerintah internasional dan nasional yang memiliki tujuan yang sama dengan
Konvensi ini. Untuk pelaksanaan program dan proyek, Komite dapat memanggil
Universitas Sumatera Utara
organisasi tersebut, khususnya Pusat Internasional untuk Studi Pelestarian dan Pemulihan Properti budaya Roma Centre, International Council of Monumen
dan Situs ICOMOS dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber
Daya Alam IUCN, serta pada badan-badan publik dan swasta dan perorangan. Keputusan-keputusan Komite harus diambil oleh mayoritas dua pertiga
anggotanya hadir dan memberikan suara. Mayoritas anggota Komite harus memenuhi kuorum.
Di dalam Pasal 15 perihal dana yang digunakan untuk menjadikan bangunan budaya menjadi warisan dunia lebih dijelaskan.
Dana untuk Perlindungan Budaya Dunia dan Warisan Alam Nilai Universal yang luar biasa, yang disebut Dana Warisan Dunia, dengan ini dibentuk.
Dana harus merupakan dana perwalian, sesuai dengan ketentuan Peraturan Keuangan Perserikatan Bangsa, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan
Amerika. Sumber daya Dana terdiri dari: wajib dan sukarela kontribusi yang dibuat
oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, Kontribusi, pemberian atau hibah yang dapat dilakukan oleh: Negara-negara lain; PBB untuk Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Organisasi Budaya, organisasi lain dari sistem PBB, khususnya Program Pembangunan PBB atau organisasi antar pemerintah lainnya; badan atau
individu publik atau swasta; setiap bunga yang jatuh tempo pada sumber daya IMF; dana yang dihimpun oleh koleksi dan penerimaan dari acara yang
diselenggarakan untuk kepentingan dana, dan semua sumber daya lainnya yang diberikan oleh peraturan IMF, seperti yang dibuat oleh Komite Warisan Dunia.
Universitas Sumatera Utara
Kontribusi kepada Dana dan bentuk bantuan lainnya dibuat tersedia bagi Komite hanya dapat digunakan untuk tujuan seperti Komite harus menentukan .
Komite dapat menerima kontribusi yang akan digunakan hanya untuk suatu program atau proyek tertentu, asalkan Komite telah memutuskan pada
pelaksanaan program atau proyek tersebut. Tidak ada kondisi politik dapat melekat pada kontribusi yang diberikan untuk Dana.
Namun, masing-masing Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau Pasal 32 Konvensi ini dapat menyatakan, pada saat penyimpanan instrumen
ratifikasi, penerimaan atau aksesi, bahwa hal itu tidak akan terikat oleh ketentuan- ketentuan ayat 1 Pasal ini.
Suatu Negara Pihak pada Konvensi yang telah membuat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik deklarasi
mengatakan dengan memberitahukan kepada Direktur Jenderal PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan. Namun, penarikan deklarasi
tidak akan berlaku dalam hal kontribusi wajib karena oleh negara sampai dengan tanggal Majelis Umum berikutnya Negara-negara Pihak pada Konvensi.
Agar Komite mungkin dapat merencanakan operasinya secara efektif, kontribusi Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini, harus dibayar secara teratur, setidaknya setiap dua tahun, dan tidak boleh kurang dari kontribusi yang mereka
harus membayar jika mereka telah terikat oleh ketentuan-ketentuan ayat 1 Pasal ini.
Universitas Sumatera Utara
Setiap Negara Pihak pada Konvensi yang menunggak dengan pembayaran iuran wajib atau sukarela untuk tahun berjalan dan tahun kalender segera sebelum
itu tidak akan memenuhi syarat sebagai Anggota Komite Warisan Dunia , meskipun ketentuan ini tidak berlaku untuk pemilihan pertama .
Terdapat beberapa kriteria situs cagar budaya dalam kategori situs budaya menurut UNESCO, antara lain:
76
1. Melambangkan mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia serta nilai -
yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya. 2.
Menunjukkan keutamaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni
monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap. 3.
Mengandung kekhasan atau bukti bahwa pernah ada ritual peradaban di masa lampau yang tersisa atau telah lenyap.
4. Wujud mengagumkan pada sebuah bangunan, arsitektur atau teknologi
yang memiliki penggambaran tentang tahapan penting dalam sejarah peradaban manusia.
5. Wujud mengagumkan pada sebuah tempat tinggal, tanah, atau perairan
yang dapat melambangkan budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan, khususnya yang masih terpelihara terhadap perubahan zaman
yang signifikan. 6.
Memiliki kaitan yang erat pada suatu peristiwa atau tradisi tertentu, dari sisi pemikiran, kepercayaan, artistik dan sastra.
76
https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, kesadaran dunia tentang pentingnya pelestarian warisan budaya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Pada sekitar tahun 60an masyarakat
dunia semakin peduli terhadap pelestarian warisan budaya. Pada awalnya UNESCO mendorong negara-negara yang telah meratifikasi untuk mengajukan
situsnya. Hingga saat ini telah terdaftar sebanyak 994 situs yang tersebar di seluruh dunia.
77
Indonesia sendiri memiliki 8 warisan dunia 4 warisan budaya dan 4 warisan alam, jumlah ini tentu relatif sedikit karena Indonesia telah 24 tahun meratifikai
konvensi, apalagi jika dibanding dengan negara-negara yang lain.
78
Secara umum, situs yang dapat diajukan sebagai warisan dunia adalah yang memiliki nilai universal luar biasa Outstanding Universal Value.
79
Nilai universal luar biasa tersebut memerlukan penjelasan agar tidak bersifat relatif dan
subjektif.
80
UNESCO menjabarkan mengenai Outstanding Universal ValueOUV tersebut dalam kriteria-kriteria yang dijelaskan dalam Operational Guideline.
81
Kriteria-kriteria yang digunakan sebanyak 10 kriteria yang terdiri dari 6 kriteria untuk budaya dan 4 kriteria untuk alam. Situs yang diajukan harus memenuhi
minimal satu dari sepuluh kriteria tersebut. Selain kriteria OUV, pengajuan warisan dunia juga harus menjabarkan otentitas dan integritas dari situs.
82
77
http:kebudayaan.kemdikbud.go.idblog20131018persiapan-menuju-warisan-dunia- seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage di akses pada tanggal 7 Mei 2016
pukul 11.40 WIB
78
http:kebudayaan.kemdikbud.go.idblog20131018persiapan-menuju-warisan-dunia- seminar-internasional-sangkulirang-natural-cultural-heritage di akses pada tanggal 7 Mei 2016
pukul 11.40 WIB
79
Ibid
80
Ibid
81
Ibid
82
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ada 8 langkah dalam mengajukan suatu obyek untuk menjadi Warisan Dunia
83
: 1.
Memastikan bahwa objek yang diusulkan sebagai warisan budaya dunia sudah terdaftar atau sudah masuk didalam tentative list UNESCO.
2. Terdapat pengesahan dari pemerintah pusat mengenai pengajuan obyek
ini. 3.
Membentuk suatu tim khusus untuk meneliti obyek tersebut yang terdiri dari para arkeolog, para ahli bidang biologi dan kimia, ahli sejarah,
antropolog, perwakilan dari pemerintah pusat dan daerah dan yang terpenting yaitu media untuk dilibatkan dalam tim ini.
4. Mengumpulkan semua informasi yang penting yang terkait dengan obyek
apa yang kita usulkan. 5.
Mengidentifikasi lebih lanjut mengenai para Sumber Daya Manusia yang ahli dan mengarahkan dalam keuangan.
6. Membuat jadwal dan time line agar apa yang kita ingin ajukan ke
UNESCO tertata rapi. Jangan terburu-buru dan jangan lupa terlalu lambat waktu pelaksanaannya.
7. Meyakinkan para partisipan dari stakeholders dalam pengajuan obyek
menjadi warisan dunia. 8.
Menulis pengusulan tersebut dalam 200 kata untuk diajukan ke UNESCO agar obyek tersebut menjadi salah satu warisan dunia.
83
Ibid
Universitas Sumatera Utara
C. Perlindungan Cagar Budaya yang Telah Menjadi Warisan Dunia World Heritage menurut Hukum Internasional
Definisi Cagar Budaya yang telah menjadi warisan dunia terdapat di Pasal 1 konvensi tentang cagar budaya tahun budaya tahun 1972.
cagar budaya adalah monumen: karya arsitektur, karya patung monumental dan lukisan, elemen atau struktur yang bersifat arkeologis, prasasti,
gua tempat tinggal dan kombinasi fitur, yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu;
kelompok bangunan: kelompok bangunan yang terpisah atau terhubung yang, karena arsitektur mereka, homogenitas atau tempat mereka dalam lanskap,
adalah nilai universal yang luar biasa dari sudut pandang sejarah, seni atau ilmu; situs: karya pria atau karya gabungan alam dan manusia, dan daerah
termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal yang luar biasa dari sejarah, estetika, antropologi etnologis atau sudut pandang.
Istilah “bangunan budaya” terbukti sulit untuk didefinisikan. Hingga tahun 1946, tidak ada definisi hukum terhadap istilah “bangunan budaya”, dan dalam
perkembangannya, tidak ada satu pengertian tunggal mengenai apa yang dimaksud dengan bangunan budaya.
84
Karena criteria yang digunakan untuk mendefinisikan bangunan budaya dapat berbeda satu sama lain. Dalam
pandangan umum, penggunaan istilah bangunan budaya adalah untuk obyek- obyek tertentu dalam ruang lingkup terbatas, yang dapat dibedakan dari obyek
biasa karena siginifikansi budaya yang dimiliki bangunan tersebut dan atau karena
84
Elisa.S , “Protecting Cultural Property During A Time of War 1996 hal 165.
Universitas Sumatera Utara
kelangkaannya.
85
Oleh karena itu, kategorisasi terhadap benda budaya tidak terbatas, dan segala upaya untuk mendefinisikannya akan menunjukkan sifat
heterogen dari bangunan budaya. Contoh-contoh dari definisi bangunan budaya dapat ditemukan dalam
berbagai perjanjian internasional. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict
pada tahun 1954 memberikan definisi sebagai berikut :
“… the term “cultural property”shall over, irrespective of origin or ownership movable or immovable property of great importance to the cultural
heritage of every people …”
Dengan definisi ini, maka benda-benda seperti arkeologi, monument, dan karya seni seperti patung, candi, kuil, yang dianggap sebagai benda budaya. Di
sisi lain, dapat ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa bangunan budaya terbatas pada bangunan-bangunan bergerakbenda-benda bergerak, yang berarti
terbatas pada karya seni, barang antic, dan obyek-obyek etnografis. Akan tetapi, definisi bangunan budaya yang umum digunakan cukup luas.
Dengan definisi yang umum, benda budaya mencakup karya seni, artefak, barang antik, karya arsitektur yang siginifikan, lanskap buatan, benda-bendabangunan
dan situs bernilai agama, dan obyek orang asli dari suatu daerah. Ini merupakan segala benda berwujud nyata yang memiliki signifikasi seni, sejarah, keilmuwan,
agama atau sosial. Jadi, secara umum dan untuk kepentingan menelusuri
85
Ibid hal 12
Universitas Sumatera Utara
sejarahnya, bangunanbenda budaya tidak terbatas pada benda budaya yang bergerak saja namun juga pada benda budaya yang tidak bergerak.
86
1. Peranan UNESCO Tehadap Perlindungan Bangunan Kebudayaan di wilayah non-konflik
Pencapaian kemajuan kebudayaan suatu Bangsa tidak dapat dilepaskan dari peninggalan budaya dan sejarah bangsa sehingga mampu menjadi simbol identitas
keberadaban. pengalihan kewenangan pemeliharaan dan pelestarian kebudayaan pasca diberlakukannya otonomi daerah telah mengakibatkan beragamnya kualitas
pemeliharaan terhadap kekayaan budaya bangsa, seperti situs, candi, museum, tari-tarian, rumah adat, lagu daerah, taman budaya, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kekayaan budaya menjadi suatu keniscayaan sehingga simbol identitas keberadaban dapat dialih-
generasikan secara berkesinambungan. Terkait dengan hal tersebut, pemberdayaan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan kekayaan budaya menjadi
suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan dan mutlak untuk dilakukan.
87
Pada pertemuan The Fourth Meeting of The ASEM Culture Minister bertema Managing Heritage Cities for a Sustainable Future
di Daerah Istimewa Yogyakarta 16-20 September 2012 Wamendikbud RI bidang kebudayaan
Wiendu Nuryanti, berpendapat bahwa setiap kota di dunia adalah kota budaya. Oleh karena itu setiap kota wajib melestarikan roh kebudayaan. Wiendu
mengatakan latar belakang dari pertemuan tersebut karena tekanan terhadap
86
Ibid , hal 16
87
http:fsastra.gunadarma.ac.idmajalah20151112bagaimana-caranya-menjadi- warisan-dunia Diakses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 16.20
Universitas Sumatera Utara
warisan budaya yang dimiliki kota- kota di Asia dan Eropa. “Perlu dipikirkan
strategi perlindungan terhadap roh budaya yang dimiliki masing-masing kota.
88
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dikenal sebagai negara kaya akan sumber alam dan budaya. Baik peninggalan sejarah maupun pengetahuan
tradisional dengan potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai macam hasil karya dan tradisi dari seluruh wilayah di Indonesia dari sabang hingga
marauke, yang mana terdapat lebih 900 suku bangsa yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Kekayaan budaya yang di miliki Indonesia merupakan warisan dari
nenek moyang bangsa Indonesia. Budaya tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke
generasi. Kegiatan kehidupan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia memiliki nilai histori yang berbeda di setiap daerah. Hal ini menggambarkan bahwa
Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa besar yang dapat menjadi aset bangsa dan nilai jual untuk kepentingan diplomasi Indonesia di dunia
internasional.
89
Kebudayaan di Indonesia tersebar di hampir semua aspek kehidupan, mulai dari tari-tarian, alat musik tradisional, adat istiadat, pakaian adat hingga
bangunan arsitektural yang berupa rumah adat di tiap-tiap propinsi yang ada di Indonesia.
Contohnya seperti tari Pendet dari Bali, tari Remo dari Surabaya, dan tari Jaipong dari Jawa Barat. Alat musik tradisional seperti angklung, gamelan dan
kecapi. Adat istiadat seperti acara pemakaman Ngaben di Bali, Lompat Batu di
88
Ibid
89
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kepulauan Nias dan festival Grebeg Suro di Yogyakarta, serta masih ada ratusan dari aspek lainnya yang merupakan harta karun yang berharga milik bangsa
Indonesia. Kebudayaan merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dan
merupakan salah satu unsur dalam menjaga rasa nasionalisme dalam diri kita sebagai rakyat Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2
yang menegaskan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia serta penjelasannya
antara lain menyatakan usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa” Sesuai dengan UU No. 5
Tahun 1992 tentang benda cagar budaya : “Dilarang merusak, membawa, memindahkan, mengambil, mengubah
bentuk dan atau warna, memusnahkan benda cagar budaya tanpa izin pemerintah, pelanggaran ketentuan ini di ancam dengan pidana selama-lamanya 10 tahun
penjara denda setinggi- tingginya 100 juta rupiah.”
Beranjak dari amanat ini, pemerintah berkewajiban untuk mengambil segala langkah dan upaya dalam usaha memajukan memberikan perlindungan
terhadap kebudayaan bangsa dan negara agar tidak punah dan luntur karena merupakan unsur nasionalisme dalam memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan
negara kita.
Universitas Sumatera Utara
Namun Pada masa sekarang ini, kebudayaan sudah sering dilupakan dan diabaikan pelestariannya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
90
Karena kebudayaan yang ada di Indonesia umumnya telah banyak dilupakan dan tidak ada upaya untuk melindungi kebudayaan tersebut, maka dapat
menimbulkan akibat yang buruk bagi Negara Indonesia, yaitu adanya pengklaiman terhadap kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh Negara lain.
Pengklaiman ini tentu saja menimbulkaan dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi, pariwisata, sosial, dan kebudayaan. Apalagi di
era perdagangan bebas sekarang ini, banyak negara yang mulai mencari alternatif produk baru untuk diperdagangkan. Termasuk penggalian produk-produk yang
berbasis “pengetahuan tradisional”, tanpa ada kontribusi terhadap negara atau terhadap masyarakat pemiliknya. Komersialisasi “pengetahuan tradisional
menjadi masalah karena diperoleh tanpa izin. Maka dibutuhkan organisasi bertaraf Internasional dalam mengambil langkah penting untuk melindungi kebudayaan
sebagai kekayaan intelektual yang juga memberikan perlindungan bagi hak masyarakat lokal.
91
Perlindunagn tersebut sangat diperlukan untuk mencegah produk-produk milik masyarakat Indoensia, khususnya yang berbasis kebudayaan, agar
kepemilikannya tidak diakui tanpa izin oleh Negara lain. Oleh sebab itu produk- produk tersebut perlu memperoleh perlindungan hukum.
Apalagi diketahui jelas, bahwa semua kekayaan yang berbasis budaya tradisional mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Upaya tersebut tentunya
90
https:id.wikipedia.orgwikiSitus_Warisan_Dunia_UNESCODaftar_Situs_Warisan_ Dunia_UNESCO Diakses pada tangga 27 Maret 2016 pukul 16.00 WIB
91
Ibid
Universitas Sumatera Utara
akan mendorong peningkatan perekonomian Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, Sejak beberapa tahun yang lalu sampai saat
ini, masyarakat dunia telah memiliki suatu lembaga yang bersifat internasional dan universal untuk mengurus berbagai kepentingan antara negara dengan negara
serta hubungan antara negara dengan individu yang termasuk klasifikasi subyek hukum internasional sebagai salah satu pencerminan kerjasama antar negara.
92
Salah satu badan internasional yang bersifat universal adalah PBB Perserikatan Bangsa
–Bangsa yang tujuannya ingin menegakkan perdamaian dunia. Dalam mewujudkan tujuan itu PBB mempunyai badan khusus specialized
agencies , yang dibentuk dengan perjanjian antara pemerintah dan mempunyai
tanggung jawab internasional yang luas seperti terumus di dalam dokumen dasarnya, dalam bidang ekonomi, sosial, kulturil, pendidikan, kesehatan serta
bidang yang bertalian lainnya, yang akan diperhubungkan dengan PBB, dan perjanjian itu harus disetujui oleh Majelis Umum PBB dan lembaga itu sendiri.
Badan khusus PBB yang mengurus pendidikan, ilmu pengetahuan dan bidang kulturil diantaranya adalah UNESCO United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization , didirikan pada tanggal 4 November 1946,
yang dalam perencanaanya atau proyek utama digambarkan usaha-usaha UNESCO, serta mencari input dengan jalan mencari masalah
–masalah praktis di negara
–negara anggota These plans, as known as “Major Project” represent a concentration of UNESCO efforts and resources on practical problems of
concerns to member state .
92
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Budaya tidak hanya diekspresikan dengan cara masyarakat membentuk eksistensinya, tetapi juga dalam membuat struktur prioritasnya, yaitu tujuan-
tujuan yang ingin dicapai atau nilai-nilai yang dipromosikan atau dipertahankan. Kesadaran masyarakat dunia untuk melindungi Kekayaan budaya dunia makin
berkembang pesat, kekayaan budaya dunia pun dipromosikan dan dipertahankan oleh masyarakat dunia. Instrumen hukum internasional pun makin penting
peranannya dalam perlindungan kekayaan budaya dunia.
93
Pada saat ini, memang belum ada instrumen hukum internasional yang secara jelas dan tegas memberi sanksi penghukuman pada pelaku pengrusakan
benda budaya dunia, terutama pada masa bukan perang atau konflik bersenjata. Karena pada dasarnya, perlindungan dan kemampuan memberi sanksi pada
kejahatan terhadap suatu benda budaya adalah kapasitas kedaulatan suatu negara. Kekayaan budaya dunia masih belum begitu penting seperti genosidapemusnahan
masal suatu kelompok-biasanya etnis- tertentu, pemerkosaan, dan pemberontakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan pidana internasional.
94
UNESCO sebagai badan dunia dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang kebudayaan, kemudian memprakarsai beberapa pertemuan,
seminar, dan pembentukan perlindungan kekayaan budaya dunia dari segi hukum internasional.
Beragam Konvensi, rekomendasi, piagam, dan resolusi pun dihasilkan oleh UNESCO.Namun kekuatan instrumen hukum internasional yang telah ada
dan belum mampu menjamin penghukuman terhadap kejahatan terhadap
93
Ibid
94
Skripsi Muhammad Aksha Peranan Unesco terhadap Perlindungan Benda Budaya , http:repository.unhas.ac.idhandle. diakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
kekayaan budaya dunia. Salah satu penyebabnya adalah instrumen hukum internasional hanya mengikat negara anggota yang telah meratifikasi, sedangkan
tidak banyak negara yang mau meratifikasi suatu instrumen hukum internasional. Sekalipun instrumen hukum internasional tersebut berfungsi untuk menjadi
prinsip-prinsip dasar yang akan menjadi landasan pembentukan instrumen hukum secara lokal.
Instrumen hukum internasional di bidang Kekayaan Budaya yang dibahas di bawah ini adalah instrumen-instrumen hukum fundamental yang menunjukkan
suatu benang merah perkembangan hukum internasional dalam merumuskan sanksi kejahatan terhadap kekayaan budaya dunia. Tak terbatas pada masa damai,
maupun masa konflik bersenjata.
95
2. Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia
Perlindungan Protection
merupakan suatu
tindakan untuk
mempertahankan, menjaga dari serangan, invasi, kehilangan, hinaan, dan sebagainya.Konvensi-Konvensi UNESCO yang akan dibahas di bawah ini adalah
instrumen hukum fundamental UNESCO di bidang perlindungan kekayaan budaya dunia berupa benda. UNESCO bertanggungjawab atas perlindungan
hukum internasional kekayaan budaya International legal protection of cultural heritage
. Perlindungan hukum UNESCO tersebut adalah Konvensi Hague 1954 dan protokol-protokolnya; Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Import,
95
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Export, dan Transfer Kepemilikan Properti Budaya secara Ilegal 1970; Konvensi Perlindungan Kekayaan Dunia 1972 dengan sebelas rekomendasinya.
96
Konvensi-Konvensi ini tidak memberi penghukuman, tetapi memberi prinsip dasar perlindungan kekayaan budaya dunia. Jadi Konvensi-Konvensi ini
menunjukkan bagaimana usaha pencegahan hukum internasional terhadap kejahatan pada kekayaan budaya dunia berupa benda.
Perlindungan Benda Budaya merupakan suatu aksi total dan ketentuan, pencegahan, kuratif atau organisasional, yang dilakukan pemerintah dalam
kerjasama dengan institusi privat dan individual, yang memastikan adanya perservasi atas kekayaan budaya yang telah didaftarkan pada masa-masa yang
dianggap mengancam keberadaan kekayaan dunia.
97
Berikut Konvensi-konvensi UNESCO yang bersifat memberi perlindungan hukum pada kekayaan benda budaya dunia:
a. Konvensi Hague 1954 tentang perlindungan benda budaya saat konflik
bersenjata b.
Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia 1972 c.
Konvensi Pelarangan dan Pencegahan Impor dan Eksport dan Pemindahan Kepemilikan Benda Budaya Secara Tidak Sah 1970
3. Perlindungan Bangunan Kebudayaan yang Telah Menjadi Warisan Dunia di Wilayah Konflik menurut Hukum Internasional
a. Convention IV respecting the Lawas and customs of War on Land 1907
96
Musen Invicible , Warisan Dunia UNESCO , https:id.m.wikipedia..orgwikiwarisan- Dunia-UNESCO
97
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Hague Convention II off 1899 adalah sebuah instrument yang
mengkodifikasi ketentuan mengenai hukum terkait peperangan didarat secara umum, sekaligus merupakan upaya serius pertama ditingkat internasional untuk
melindungi benda budaya semua bangsa.
98
Mukadimah Hague Convention II of 1899
dan Hague Convention IV of 1907 yang menjadi pengganti Hague Convention II of 1899
sama-sama menyatakan bahwa kata-kata dalam kedua perjanjian internasional tersebut terinspirasi oleh keinginan komunitas
internasional untuk mengatur peperangan yang bersifat internasional. Secara khusus, mukadimah yang dimaksud menggarisbawahi bahwa ketentuan-ketentuan
dalam konvensi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghapuskan keburukan perang evils of war sejauh yang diizinkan oleh kepentingan militer yang
imperative. Keburukan perang dalam konteks ini termasuk penyitaan, penghancuran, dan perusakan yang disengaja terhadap benda budaya. Keinginan
tersebut dituangkan dalam beberapa pasal dalam Hague Convention II of 1899 dan Hague Convention IV of 1907.
99
Tinjauan terhadap ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention IV of 1907
berkenaan dengan perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata lebih tepatnya dalam lampiran Hague Convention IV of 1907 yaitu
Hague Regulations of 1907 dapat dibagi ke dalam dua bagian sesuai dengan
sistematika pembagian dari perjanjian internasonal tersebut. Ketentuan mengenai benda budaya pertama tampak dalam bagian II tentang permusuhan Hostilities
98
Sasha P Paroff, “ Another Victim of the War in Iraq; The Looting of the National Museum in Baghdad and the Inadequacies of international Protection of Cultural Property
, “ Emory Law Journal Fall 2004, hal 90
99
Ibid hal 94
Universitas Sumatera Utara
dari Hague Regulations of 1907, dan kemudian dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang Bermusuhan Military Authority
over the Territory of the Hostile State a.
Permusuhan Pasal-pasal yang relevan dalam Bagian II tentang Permusuhan dalam
Hague Regulations of 1907 adalah Pasal 23 dan Pasal 27 . pasal diatas
menetapkan larangan yang luas terhadap perusakan semua property musuh, dan juga menyatakan pendekatan kepentingan militer yang imperative yang dianut
dalam Haugue Regulatuons of 1907. Selain larangan umum dalam Pasal 23, Hague Regulations of 1907
menetapkan secara lebih spesifik perihl perlindungan terhdap benda budaya, khususnya dalam hal penyerangan dan bombardier, dalam
pasal 27 yang terdiri dari dua paragraph.
100
Pasal 27 dalam paragraph pertamanya menyatakan bahwa langkah-langkah harus ditempuh untuk menyelamatkan sejauh mungkin benda budaya pada saat
terjadinya penyerangan atau bombardier. Adanya kata- kata “sejauh mungkin”
dalam paragraph tersebut memberikan batasan dari perlindungan terhadap benda budaya dan menyiratkan bahwa alasan kepentingan militer yang imperative dapat
mengesampingkan ketentuan diatas dan menjustifikasi perusakan property musuh. Paragraph pertama Pasal 27 juga mensyaratkan bahwa agar suatu property itu
dapat perlindungan, property tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan
100
Manthew K. Steen III “Collateral Damage: The Destruction and Looting of Cultural Property in Armed Conflict, hal 10
Universitas Sumatera Utara
militer. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perlindungan menurut pasal 23 dianggap hilang.
101
Selanjutnya, paragraf kedua pasal tersebut mengharuskan pihak yang terancam penyerangan atau bombardier menempuh upaya untuk memberikan
indikasi dari adanya benda budaya yang harus dilindungi sebagaimana dimaksud dalam paragraph pertama Pasal 27 kepada musuh sebelum penyerangan atau
bombardier dilakukan. Praktik penandaan property yang dilindungi seperti yang dimaksudkan dalam kedua pasal 27 masih dilaksanakan hingga sekarang.
b. Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang
Dalam bagian III tentang Kewenangan Militer atas Wilayah Negara yang berperang dari Hague Regulations of 1907, pasal-pasal yang terkait dengan
perlindungan terhadap benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 46,pasal 47, dan pasal 56. Pasal-pasal tersebut terkait penyitaan, penjarahan, dan
perusakan terhadap benda budaya diwilayah Negara yang berperang.
102
Paragraph kedua pasal 46 menyatakan larangan terhadap penyitaan property yang bersifat privat, dan paragraph pertama pasal 56 menyatakan bahwa
benda budaya, meskipun merupakan milik Negara, dianggap sebagai property privat dan karenanya tidak dapat disita. Selanjutnya, pasal 47 secara langsung
melarang penjarahan dalam terhadap benda apapun, termasuk benda budaya. Berkenaan dengan perusakan terhadap benda budaya, larangan terhadapnya
terkandung dalam paragraph kedua pasal 56.
103
101
Ibid, hal 36
102
Patty Gerstenblith, “ From Bamiyan to Baghdad: Warfare and the Preservation of Cultural Heritage at the Beginning of the 21 Century , hal 70
103
Op. Cit hal 20
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan pasal 27 Hague Regulations of 1907 yang hanya melindungi benda budaya tidak bergerak saat terjadinya penyerangan atau
bombardier, pasal 56 melindungi benda budaya tidak bergerak serta benda buday bergerak berupa karya seni. Diberlakukan secara bersamaan, pasal 27 dan pasal 56
memberikan perlindungan yang lengkap terhadap bangunan-bangunan seperti museum dan bangunan serupa lainnya. Berbeda pula dengan pasal 27, kewajiban
untuk melindungi baik benda budaya bergerak maupun tidak bergerak adalah absolute tanpa adanya pengecualian kepentingan militer yang imperative.
b. Convention IV relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War
1949 Geneva Convention IV of 1949
secara umum mencakup hukum humaniter internasional terkait dengan perlindungan terhadap orang sipil selama konflik
bersenjata. Di dalamnya, hanya terdapat dua pasal yang relevan dengan perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata, yakni pasal 27 dan
pasal 53.
104
Pasal diatas tidak secara spesifik memberikan perlindungan kepada benda budaya pada masa konflik bersenjata, tetapi dianggap sebagai pasal yang dapat
digunakan untuk melindungi symbol budaya termasuk benda budaya sejauh merupakan ekspresi dari nilai keagamaan dan atau budaya. Pasal selanjutnya
dalam Geneva Convention IV of 1949 yang relevan dengan perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata adalah pasal 53. Ketentuan dalam pasal 53
sekedar menguatkan prinsip yang melarang dijadikannya sebagai target populasi
104
James A.F . Nafziger, “Protection of Cultural Heritage in Time of War and Its Aftermath,”http:www.ogick.orgindepthprotect-cult-herit.html, diakses pada 8 Mei 2016 Pukul
13.35 WIB
Universitas Sumatera Utara
sipil dan propertinya sebagaimana telah diatur dalam Hague Convention of 1899 dan Hague Convention of 1907, khususnya pasal 46 dan pasal 56 yang mengatur
penghormatan terhadap property sipil dan benda budaya.
105
c. Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed
Conflict 1954 Hague Convention of 1954
mengatur, secara garis besar, empat perihal kewajiban Negara terkait benda budaya. Kewajuban-kewajiban tersebut adalah
kewajiban Negara untuk akan penyelamatan benda budaya, kewajiban Negara akan penghormatan terhadap benda budaya, kewajiban Negara saat melakukan
pendudukan, dan kewajiban Negara terhadap angkatan bersenjatanya. Selain itu, Hague Convention
of 1954 juga memuat mekanisme pemindahan benda budaya bergerak untuk menghindarkannya dari dampak perang dan sanksi dari
pelanggaran terhadap konvensi.
106
1. Keberlakuan Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of
Armed Conflict Selain terhadap konflik bersenjata yang melibatkan dua Negara atau lebih,
Hague Convention of 1954 juga berlaku terhadap konflik bersenjata yang tidak
bersifat internasional. Paragraph pertama pasal 19 Hague Convention of 1954 mengharuskan Negara peserta memberlakukan paling tidak ketentuan-ketentuan
105
Ibid
106
United Nations, Constitution of the United of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, U.N . Treaty Series Vol 4152, 16 November 1945 , pasal 2
1 ©
Universitas Sumatera Utara
Hague Convention 1954 terkait penghormatan terhadap benda budaya pada saat
terjadinya konflik bersenjata yang bersifat non internasional.
107
2. Definisi “Benda Budaya”dan “Perlindungan terhadap Benda Budaya”
Definisi perlindungan berdasarkan Hague Convention of 1954 mencakup dua aspek pengamanan benda budaya dan penghormatan terhadap benda budaya.
Pengamanan benda budaya meliputi semua tindakan yang dirancang untuk memastikan perlindungan terhadap benda budaya dari akibat-akibat konflik
bersenjata. Di sisi lain, penghormatan terhadap benda budaya merupakan kewajiban Negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu yang
dilarang, seperti menyebabkan terancamnya benda budaya dalam suatu konflik bersenjata atau menyebabkan kerusakan terhadap benda budaya.
108
3. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya
Dasar perlindungan ini adalah pemikiran bahwa kekayaan budaya dan penyelematannya adalah persoalan dari masyarakat internasional, dan Negara
dimana kekayaan budaya tersebut terletak memiliki tanggung jawab atas pengamanannya kepada masyarakat internasional.
109
Pengamanan benda budaya yang dilakukan oleh suatu Negara bersifat internal karena tiap-tiap Negara diberikan kebebasan untuk menentukan langkah-
langkah apa saja yang dianggap pantas untuk ditempuh dan menyusun daftar prioritas tindakan dengan mempertimbangkan sumber daya keuangan , material,
dan teknisnya. Terkait tindakan penyelamatan tersebut, adalah penting untuk
107
Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 195-196
108
Ibid , hal 200
109
Jiri Toman, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hal 63
Universitas Sumatera Utara
menentukan badan pemerintahan yang akan bertanggung jawab terhadap tindakan penyelamatan terhadap benda budaya. Resolution II yang dihasilkan dalam Hague
Conference of 1954 menyarankan setiap Negara untuk membentuk sebuah komite
nasional dan menentukan komposisi serta fungsi utamanya. 4.
Kewajiban Negara akan Penghormatan terhadap Benda Budaya Penghormatan terhadap benda budaya diatur dalam pasal 4 Hague
Convention of 1954 yang berisikan empat bentuk penghormatan terhadap benda
budaya yang harus diindahkan oleh Negara peserta pada masa konflik bersenjata. Keempat bentuk penghormatan tersebut adalah keharusan untuk tidak
menggunakan benda budaya dan wilayah sekitarnya untuk tujuan yang mungkin memaparkan benda budaya kepada penghancuran atau kerusakan; keharusan
untuk tidak melakukan segala tindakan permusuhan terhadap benda budaya; kewajiban untu melarang, mencegah dan menghentikan pencurian, penjarahan,
misapropasi dari, dan vandalism terhadap benda budaya; dan tidak menjadikan benda budaya sebagai obyek dari tindakan pembalasan.
110
5. Kewajiban Negara akan Perlindungan terhadap Benda Budaya selama
Pendudukan Pasal 51 Hague Convention of 1954 melemahkan dan membatasi
bantuan yang diberikan oleh Negara yang melakukan pendudukan. Dalam situasi pendudukan militer dan ketidakseimbangan kekuatan militer, pihak yang
memutuskan tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam rangka pengamanan dan pelestarian benda budaya tentu merupakan Negara yang melakukan
110
Stanislaw Edward Nahlik, “Protection of Cultural Property”dalam Internasional Dimensions of Humanitarian Law
Paris: Henry Dunant Institute, 1987, hal 70
Universitas Sumatera Utara
pendudukan. Selain memiliki kewajiban berdasarkan pasal 5 1 Hague Convention of 1954
negara yang melakukan pendudukan juga wajib, sejauh mungkin, bekerja sama dengan otoritas Negara yang diduduki mengambil
tindakan dalam rangka pelestarian benda budaya yang rusak akibat operasi militer di saat otoritas Negara yang diduduki tidak mampu mengambil tindakan yang
diperlukan. Kewajiban lain yang berkenaan dengan pendudukan terkait dengan
gerakan perlawanan yang melakukan perlawanan terhadap pihak yang melakukan pendudukan.
111
Karenanya pasal 5 1 mewajibkan pemerintahan suatu Negara untuk memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajiban yang mereka miliki
terhadap benda budaya. Akan tetapi, apabila pemerintah tidak memberitahukan kepada gerakan perlawanan kewajibannya terkait penghormatan terhadap benda
budaya, bukan berarti gerakan perlawanan yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban yang melekat kepadanya berkenaan dengan benda budaya.
6. Pemindahan Benda Budaya
Hague Convention of 1954 mengatur pemindahan benda budaya untuk
menghindarkan benda budaya bergerak dari dampak konflik bersenjata. Berdasarkan Hague Convention of 1954, terdapat dua jenis pemindahan benda
budaya, yaitu pemindahan benda budaya yang diberikan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam pasal 12 dan pemindahan benda budaya dalam keadaan
darurat yang diatur dalam pasal 13. Pemindahan benda budaya ke wilayah Negara
111
A.P.V. Rogers, Law on the Battlefield ed 2 Manchaster: Manchaster University Press, 2004, hal 146
Universitas Sumatera Utara
yang sama atau Negara lain berdasarkan pasal 12 dapat dimohonkan oleh Negara peserta Hague Convention of 1954 yang diduduki, melakukan pendudukan atau
menjadi tempat untuk menampung benda budaya yang dipindahkan.
112
Permohonan tersebut diajukan kepada Komisaris Jenderal untuk Benda Budaya dan jika permohonan diterima, pemindahan benda budaya yang dilakukan
akan mendapatkan imunitas yang berlaku terhadap benda budaya di bawah perlindungan khusus berdasarkan pasal 9. Paragraph terakhir pasal 12 Hague
Convention of 1954 menyatakan bahwa Negara-negara peserta Hague
Convention wajib menahan diri dari melakukan tindakan permusuhan terhadap
pemindahan benda budaya yang berada dibawah perlindungan khusus.
113
Di sisi lain, prosedur pemindahan benda budaya dalam keadaan darurat sebagaimana diatur dalam pasal 13 bertindak sebagai prosedur yang lebih
fleksibel, praktis, dan realistis dibandingkan dengan prosedur dalam pasal 12. Ketentuan pasal 13 sendiri dirancang untuk memberikan jalan untuk
mengevakuasi benda budaya bergerak segera setelah pecahnya konflik bersenjata dan pada saat-saat di mana penerapan pasal 12 tidak memungkinkan .
7. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Convention for the Protection of
Cultural Property in the Event Armed Conflict. Perihal sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dari Hague Convention of
1954 diatur dalam pasal 28 konvensi tersebut. Berdasarkan pasal 28, tiap-tiap
Negara peserta mengambil langkah-langkahnya sendiri untuk menghukum dan memberikan sanksi pidana ataupun sanksi disiplin kepada orang-orang yang
112
A.P.V.Rogers, Ibid , hal 148
113
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 4 1
Universitas Sumatera Utara
melanggar atau memerintahkan untuk dilanggarnya ketentuan dalam Hague Convention of 1954
. Jadi, berdasarkan pasal 28, perihal sanksi pelanggaran ketentuan Hague Convention of 1954 diatur oleh hukum nasional.
d. Protocols Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 1977
Bahwa pasal 53 Additional Protocol of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977
hampir identik. Oleh karena itu, pembahasan terhadap keduanya akan dilakukan secara bersamaan dengan melihat empat aspek terkait
ketentuan-ketentuan tersebut. Keempat aspek tersebut adalah keberlakuan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949
dan referensi kepada Hague Convention of 1954, benda budaya yang diberikan perlindungan
berdasarkan kedua protocol: benda budaya yang menjadi obyek dari perlindungan yang diberikan berdasarkan kedua protocol; larangan dalam kedua protocol
mengenai penyerangan terhadap benda budaya, penggunaan benda budaya untuk mendukung upaya militer, dan penggunaan benda budaya sebagai obyek
pembalasan; dan pengecualian dari pelaksanaan ketentuan dalam protocol. 1.
Benda Budaya yang diberikan Perlindungan Mengenai obyek yang dilindungi sendiri, hanya terdapat satu aspek yang
berbeda antara ruang lingkup benda budaya yang dianut dalam Hague Convention of 1954
dan pasal 53 Additional Protocol I of 1977 serta pasal 16 Additional Protocol II of 1977
. Perlindungan yang diberikan oleh Hague Convention of 1954 mencakup, antara lain, obyek-obyek seperti monument bersejarah dan karya seni
yang merupakan begian dari warisan budaya. Pasal 53 Additional Protocol of 1977
dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977 juga memiliki cakupan tersebut,
Universitas Sumatera Utara
disertai dengan satu aspek tambahan. Kedua pasal dalam kedua protocol tersebut melindungi tempat-tempat beribadah tidak hanya sebagai bagian dari warisan
budaya, namun juga sebagai bagian dari warisan spritiual tanpa memperdulikan nilai budaya obyek tersebut. Perbedaan ini didasarkan oleh criteria yang berbeda
yang digunakan dalam kedua instrumen hukum di atas. Hague Convention of 1954
menggunakan criteria sifat dari obyek dan kepentingannya sebagai warisan manusia sebagai dasar perlindungan benda budaya, sedangkan Protocols
Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 menggunakan criteria
tujuan dan fungsi dari obyek yang dilindungi. Akan tetapi, karena kedua instrument hukum tersebut sama-sama merujuk pada obyek-obyek yang dianggap
penting sebagai warisan umat manusia, perbedaan terminology dalam Hague Convention of 1954
dan Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949
tidak berakibat pada konsekuensi yang materil.
114
2. Larangan atas Tindakan Permusuhan terhadap Benda Budaya, Penggunaan
Benda Budaya untuk Mendukung Upaya Militer, dan Penggunaan Benda Budaya sebagai Obyek Pembahasan
Upaya militer dalam pengertian disini adalah segala aktivitas militer untuk tujuan pelaksanaan perang. Alas an dari ketentuan ini adalah memungkinkan
hilangnya perlindungan terhadap benda budaya saat benda tersebut digunakan untuk tujuan militer. Lebih jauh, paragraph ketiga pasal 53 Additional Protocol I
of 1977 melarang digunakannya benda budaya sebagai obyek untuk melakukan
114
Ibid, hlm 87 Jiro Thomas, The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, hlm 79
Universitas Sumatera Utara
pembalasan terhadap musuh. Larangan pembalasan ini tidak ditemukan dalam pasal 16 Additional Protocol of 1977.
3. Pengecualian Ketentuan dalam Protocols AAdditional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949 Bagi para peserta Hague Conventions of 1954, kewajiban berdasarkan
pasal 53 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II 1977 memang boleh tidak dilaksanakan atas dasar kepentingan militer yang imperative.
Akan tetapi Negara-negara yang hanya merupakan peserta peserta Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949
tidak memiliki hak untuk menggunakan alasan kepentingan militer yang imperative dan harus
memberlakukan pasal 52 Additional Protocol I of 1977 dan pasal 16 Additional Protocol II of 1977
dalam segala keadaan .
115
e. Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the Protection of
Cultural Property in the Event of Armed Conflict 1999 Seperti diindikasikan oleh pasal 2 Second Protocol of 1999, Second
Protocol of 1999 merupakan tambahan dari Hague Convention of 1954.Hague
Convention of 1954 tetap menjadi teks pokok bagi Negara-negara peserta, dan
tidak ada Negara yang dapat menjadi peserta dari Second Protocol of 1999 tanpa menjadi peserta dari Hague Convention 1954.
1. Keberlakuan Second Protocol to the Hague Convention of 1954 for the
Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict.
115
Ibid, pasal 8 1b
Universitas Sumatera Utara
Keberlakuan Second Protocol of 1999 diatur dalam pasal 3. Melihat isi dari pasal tersebut, tampak bahwa ruang lingkup keberlakuan Second Protocol of
1999 dan Hague Convention of 1954 tidak berbeda; terdapat ketentuan-ketentuan
yang berlaku pada masa damai dan masa konflik bersenjata baik yang melibatkan dua atau lebih Negara maupun konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional,serta pada saat terjadinya pendudukan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap wilayah Negara lain.
116
2. Kewajiban Negara akan Pengamanan Benda Budaya
Di mana Hague Convention of 1954 tidak memberikan penjelasan yang ekstensif mengenai langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka
mengamankan benda budaya pada masa damai, Second Protocol of 1999 memberikan beberapa contoh tindakan yang dapat dilakukan. Pasal 5 Second
Protocol of 1999 menyatakan bahwa pengamanan benda budaya dapat meliputi
inventarisasi benda budaya, perencanaan tindakan darurat untuk perlindungan dari api atau keruntuhan structural, persiapan pemindahan benda budaya bergerak atau
ketentuan yang memberikan perlindungan cukup terhadap benda budaya di tempatnya, dan penunjukan pihak yang berwenang untuk pengamanan benda
budaya.
117
3. Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan dari Second Protocol to the Hague
Convention of 1954 for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict
116
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 11 2
117
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 5 1
Universitas Sumatera Utara
Tinjauan yang dilakukan terhadap Hague Convention of 1954 mengungkapkan ketidakpuasan terhadap system pemberian sanksi yang diatur
dalam pasal 28, sebuah ketentuan yang dianggap terlalu lemah untuk membuat kontribusi kepada perlindungan benda budaya. Oleh karena itu, perihal pemberian
sanksi diperbaharui pengaturannya dalam Second Protocol of 1999. Berdasarkan Second Protocol of 1999
, para Negara peserta memiliki dua set kewajiban yang berbeda terkait pemberian sanksi. Yang pertama melibatkan dilakukannya
pelanggaran serius terhadap ketentuan dalam Second Protocol of 1999. Dan yang kedua adalah terkait pelanggaran-pelanggaran lain.
118
Terkait pelanggaran serius, para Negara peserta memiliki kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan untuk menjadikan sebagai
pelanggaran hukum berdasarkan hukum nasionalnya tindakan-tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran serius, dan untuk menjadikan pelaku pelanggaran
serius dapat dijatuhkan hukuman. Pelanggaran serius itu sendiri terdiri dari lima tindakan, dimana dua diantaranya terkait benda budaya yang berada dibawah
perlindungan ditingkatkan. Kedua pelanggaran serius itu adalah membuat benda budaya yang berada dibawah perlindungan ditingkatkan atau wilayah sekitarnya
untuk mendukung tindakan militer. Tiga pelanggaran serius lainnya adalah mengakibatkan penghancuran yang ekstensif atau melakukan apropriasi terhadap
benda budaya, menjadikan benda budaya yang dilindungi obyek penyerangan, dan
118
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 5 2
Universitas Sumatera Utara
melakukan pencurian, penjarahan, atau misapropriasi dari, atau vandalism terhadap benda budaya.
119
Untuk pelanggaran lain, Second Protocol of 1999 mengahruskan Negara- negara peserta untuk mengadopsi legislasi, instrument hukum, ataupun langkah-
langkah lain untuk menekan pelanggaran-pelanggaran selain kelima pelanggaran serius yang dilakukan dengan sengaja.
Pelanggaran lain yang dimaksud dalam konteks ini adalah segala penggunaan benda budaya yang menyalahi ketentuan Hague Convention of 1954
dan Second Protocol of 1999, serta segala ekspor gelap pemindahan, atau pengalihan kepemilikan benda budaya yang melanggar ketentuan Hague
Convention of 1954 dan Second Protocol of 1999.
Di mana terhadap pelanggaran serius para Negara peserta wajib menjadikan pelanggaran serius sebagai tindak pidana, terhadap pelanggaran lain
para Negara peserta diperbolehkan, tetapi tidak diharuskan, menjadikan pelanggaran lain sebagai tindak pidana.
120
Tentang Penghormatan Benda Budaya terdapat di dalam Pasal 4 Konvensi tentang Perlindungan Benda Budaya pada waktu Sengketa Bersenjata 1954 ayat 1
mengatakan : “Pihak-Pihak Peserta Agung bertanggung jawab untuk menghormati
benda budaya baik yang terdapatdalam teritorinya maupun dalam teritori Pihak Peserta Agung lainnya dengan cara mencegah penggunaan benda budaya dan
119
Regulations for the Execution of the Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, pasal 17 1
120
Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict , pasal 132
Universitas Sumatera Utara
lingkungan sekitarnya atau penggunaan alat-alat yang digunakan untuk perlindungan benda budaya yang dapat mengakibatkan kehancuran atau
kerusakannya pada waktu sengketa bersenjata; dan dengan cara mencegah setiap tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap benda budaya tersebut”
Sedangkan ayat 3 mengatakan “Pihak-Pihak Peserta Agung selanjutnya berusaha untuk melarang, mencegah dan, apabila perlu, menghentikan setiap
bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap benda budaya. Mereka seharusnya,
menghentikan pengambil alihan-benda budaya bergerak yang terletak dalam teritor
i Pihak Peserta Agung lainnya „Ayat 4 yang berbunyi “Mereka seharusnya mencegah setiap cara tindakan pembalasan yang diarahkan langsung terhadap
benda budaya” Ayat 5 yang berbunyi “Tidak ada Pihak Peserta Agung, dalam kaitannya dengan Pihak Pesera Agung lainnya, yang boleh mengelak dari
kewajibankewajiban yang ditetapkan dalam Pasal ini, dengan alasan fakta bahwa Pihak yang disebut terakhir belum menerapkan tindakantindakan pengamanan
yang di maksud dalam Pasal 3”.
Tentang serangan-serangan militer didalam konvensi perlindungan benda budaya pada waktu sengketa bersenjata terdapat didalam pasal 7 ayat 1 yang
berbunyi. “Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha pada waktu damai memperkenalkan
ke dalam perarutan-peraturan militer atau instruksi-instruksi mereka tentang ketentuan-ketentuan yang dapat menjamin ketaatan terhadap Konvensi ini, serta
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan semangat penghormatan terhadap budaya dan benda budaya semua orang di kalangan anggota-anggota angkatan bersenjata
” Dan a
yat 2 pasal ini yang berbunyi “Pihak-Pihak Peserta Agung berusaha untuk membuat rencana atau menetapkan pada waktu damai didalam angkatan
perangnya, pelayanan atau personil ahli yang dimaksudkan untuk menjamin penghormatan terhadap benda budaya serta untuk bekerjasama dengan otoritas
sipil yang bertanggung jawab untuk pengamanan benda budaya ”.
Disamping perlindugan secara umum pada waktu sengketa bersenjata juga terdapat perlindungan secara khusus yaitu seperti terdapat dalam Jaminan
Perlindungan Khusus pasal 8 konvensi ini, yaitu: Terhadap sejumlah terbatas tempat penampungan yang dimaksudkan untuk menyimpan benda budaya
bergerak pada saat sengketa bersenjata dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dan juga terhadap pusat-pusat yang berisi monument-monumen dan benda
budaya tak bergerak lainnya yang sangat penting, apabila mereka: terletak pada suatu jarak yang memadai dari setiap pusat industri besar atau dari setiap objek
militer penting yang merupakan suatu titik rawan, seperti, misalnya, suatu aerodrome, stasiun siaran, perusahaan yang berkaitan dengan kerja pertahanan
nasional, suatu pelabuhan atau stasiun kereta api yang relatif penting atau suatu jaringan utama komunikasi; tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer.
Suatu tempat penampungan untuk benda budaya bergerak juga dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus, dimanapun lokasinya, jika didirikan
sedemikian rupa sehingga, dalam semua kemungkinan, tidak bisa dirusak oleh bom.
Universitas Sumatera Utara
Suatu pusat yang berisi monumen-monumen harus dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan militer apabila ia digunakan untuk gerakan personil atau
bahan militer, walaupun dalam transit. Hal yang sama juga berlaku apabila kegiatan-kegiatan dihubungkan secara langsung dengan operasi-operasi militer,
penempatan personil militer, atau produksi bahan-bahan perang yang dilakukan dalam pusat tersebut.
Penjagaan benda budaya yang disebut dalam paragraf 1 diatas oleh petugas bersenjata yang ditugaskan untuk itu, atau kehadiran petugas polisi yang
sehari-harinya bertanggung jawab untuk pemeliharaan ketertiban umum disekitar disekitar benda budaya, seharusnya tidak dianggap digunakan untuk tujuan-tujuan
militer. Jika setiap benda budaya yang disebutkan dalam paragraf 1 dari Pasal ini
terletak berdekatan dengan suatu objek militer yang penting sebagaimana ditetapkan dalam paragraf tersebut, maka benda budaya tersebut bagaimanapun
dapat ditempatkan dibawah perlindungan khusus jika Pihak Peserta Agung yang meminta perlindungan tersebut itu berusaha, pada saat sengketa bersenjata, untuk
tidak menjadikannya sebagai sasaran, dan khususnya untuk suatu pelabuhan, stasiun kereta api atau aerodrome, untuk mengalihkan semua lalu-
lintasnyadaripadanya. Dalam hal yang demikian maka pengalihan tersebutharus dipersiapkan pada waktu damai.
Identifikasi dan Pengawasan pada waktu sengketa bersenjata terdapat di dalam Pasal 10 konvensi ini , Pada waktu sengketa bersenjata, benda budaya yang
berada dibawah perlindungan khusus harus ditandai dengan lambang khusus
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 16, dan harus terbuka untuk pengawasan internasional seperti diatur dalam PeraturanPeraturan untuk
pelaksanaan Konvensi ini. Ruang lingkup penerapan konvensi terdapat di dalam paaal 18 konvesi ini
adalah memcakup hal-hal mengenai 1 Terlepas dari ketentuan-ketentuan yang berlaku diwaktu damai, Konvesi ini
berlaku pada setiap perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata yang mungkin timbuldiantara dua atau lebih Pihak-Pihak Peserta Agung,
sekalipun jika keadaan perang tidak diakui oleh satu atau lebih dari mereka yang terlibat dalam peperangan.
2 Konvensi juga harus berlaku terhadapsemua kasus pendudukan baik terhadap sebagian atau seluruh wilayah dari suatu Pihak Peserta Agung, sekalipun jika
pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan bersenjata. 3 Jika salah satu dari pihak dalam sengketa bukan suatu pihak dari Konvensi ini,
maka mereka yang merupakan Pihak pada Konvensi bagaimanapun harus terikat dalam hubungan mereka. Mereka selanjutnya harus terikat dengan
Konvensi, dalam hubungan dengan mereka yang bukan merupakan pihak pada Konvensi jika mereka yang disebut terakhir tersebut telah menyatakan bahwa
ia menerimaketentuan-ketentuan Konvensi dan sepanjang ini berlaku terhadap mereka.
Jika sengketa bersenjata tidak bersifat internasional maka hal-hal yang harus dilakukan adalah terdapat di dalam pasal 19 konvensi ini . Pada saat
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang terjadi dalam teritori
Universitas Sumatera Utara
dari satu Pihak Peserta Agung, maka setiap pihak yang bersengketa terikat untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan dari Konvensi ini yang berhubungan dengan
pengormatan benda budaya sebagai ketentuan minimum. Pihak-Pihak yang bersengketa harus berusaha memberlakukan semua atau
sebagian ketentuan-ketentuan Konvensi ini, melalui kesepakatan-kesepakatan khusus. Badan Ekonomi, Sosial dan Science dari PBB UNESCO boleh
menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak yang bersengketa. Penerapan dari ketentuan-ketentuan terdahulu tidak akan mempengaruhi status hukum daripara
pihak yang bersengketa.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENYELESAIAN CAGAR BUDAYA YANG DIPERSENGKETAKAN
OLEH NEGARA-NEGARA A. Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa menurut Hukum Internasional
Sengketa international dapat berujung pada perang ataupun bukan perang. Suatu sengketa internasional dapat digolongkan menjadi perang atau bukan
perang didasarkan pada luas atau dalamnya sengketa itu sendiri, niat para pihak yang bersengketa, dan sikap serta reaksi pihak-pihak yang tidak bersengketa.
121
Apabila ada tindakan-tindakan kekuatan yang dilokalisir atau bersifat terbatas, maka hal tersebut mengindikasikan bukan perang. Jika hanya
menyangkut dua Negara yang bersengketa, dapat dianggap tidak bersifat perang karena tidak melibatkan Negara lain. Namun, apabila pihak yang bersengketa
menjadi makin meluas, dalam arti menyangkut hak dan kepentingan beberapa Negara yang diabaikan, maka dapat dianggap adanya perang.
1. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Timbulnya sengketa internasional memerlukan cara penyelesaian. Penyelesaian sengketa internasional dengan cara yang seadil-adilnya, bagi para
pihak merupakan dambaan masyarakat internasional.
122
Secara umum, ada dua cara penyelesaian sengketa internasonal, yakni penyelesaian secara damai dan penyelesaian secara paksa atau kekerasan apabila
penyelesaian secara damai gagal terlakana.
121
http:fitrohsyawali.wordpress.commakalah-penyelesaian-sengketa- internationaldiakses pada tanggal 7 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB
122
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan penyelesaian tanpa paksaan atau kekerasan. Cara-cara penyelesaian secara damai dan
penyelesaian secara paksa atau kekerasan apabila penyelesaian secara damai gagal terlaksana.
123
Penyelesaian sengketa internasional secara damai merupakan penyelesaian tanpa paksan atau kekerasan. Cara-cara penyelesaian secara damai meliputi
arbitrase; penyelesaian yudisial; negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, penyelidikan; dan penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB.
124
Pembedaan cara-cara tersebut tidak berarti bahwa proses penyelesaian sengketa internasional satu sama lain saling terpisah secara tegas, melainkan ada
kemungkinan antara cara yang satu dengan yang lain saling berhubungan. a.
Arbitrase Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Proses ini
dilakukan dengan cara menyerahkan penyelesaian sengketa kepada orang-orang tertentu, yaitu arbitrator. Mereka dipilih secara bebas oleh para pihak yang
bersengketa. Mereka itulah yang memutuskan penyelesaian sengketa, tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum.engadilan arbitrase semestinya
berkewajiban untuk menerapkan hukum internasional. Namun, pengalaman di lapangan hukum internasional menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda.
Beberapa sengketa yang menyangkut masalah hukum seringkali diputuskan berdasarkan kepatutan dan keadilan ex aequo et bono.
125
Dalam proses arbitrase ada prosedur tertentu yang harus ditempuh. Bila terjadi sengketa antara dua
123
Ibid
124
Ibid
125
Op. Cit
Universitas Sumatera Utara
Negara dan mereka menghendaki penyelesaian melalui Permanent Court of Arbitration, maka mereka harus mengikuti prosedur tertentu. Prosedur tersebut
harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasional. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:
a Masing-masing Negara yang bersengketa tersebut menunjuk dua
arbitrator. Salah seorang diantaranya boleh warga Negara mereka sendiri, atau dipilih dari orang-orang yang dinominasikan oleh Negara itu sebagai anggota
penel mahkamah arbitrasi . b
Para arbitrator tersebut kemudian memilih seorang wasit yyang bertindak sebagai ketua dari pengadilan arbitrasi tersebut.
c Putusan diberikan melalui suara terbanyak. Dengan demikian, arbitrase
pada hakikatnya merupakan suatu consensus atau kesepakatan bersama diantara para pihak yang bersengketa. Suatu Negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke
muka pengadilan arbitrase, kecuali jika mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.
126
2. Penyelesaian yudisial
Penyelesaian yudisial adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui suatu pengadilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya,
dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Lembaga pengadilan internasional yang berfungsi sebagai organ penyelesaian yudisial dalam masyarakat iternasional
adalah International Court of Justice. 3.
Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan
126
http:smakita.netpenyelesaian-sengketa-internasional.com , diakses pada tanggal 7 Mei 2016 , Pukul 13.00 Wib
Universitas Sumatera Utara
Negoisasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelidikan adalah cara-cara penyelesaian yang kurang begitu formal dibandingkan dengan
penyelesaian yudisial ataupun arbitrase. a.
Negoisasi Cara negoisasi sering diadakan dalam kaitannya dengan jasa-jasa baik
good offices atau mediasi. Kecenderungan yang berkembang dewasa ini menunjukkan, sebelum dilaksanakan negoisasi, ada dua proses yang telah
dilakukan terlebih dahulu, yaitu konsultasi dan komunikasi. Tanpa kedua media tersebut seringkali dalam beberapa hal negoisasi tidak dapat berjalan.
b. Jasa-jasa baik dan mediasi
Jasa-jasa baik dan mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa internasional di mana Negara ketiga yang bersahabat dengan para pihak yang
bersengketa membantu penyelesaian sengketa secara damai. Pihak-pihak yang menawarkan jasa-jasa baik atau mediator bisa berupa individu atau juga
organisasi internasional. Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat.
Dalam penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan jaa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasajasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang
bersengketa. Selain itu, pihak tersebut mengusulkan dalam bentuk syarat umum dilakukannya penyelesaian. Tetapi, ia sendiri secara nyata tidak ikut dalam
pertemuan. Demikian pula, ia tidak melakukan suatu penyelidikan secara saksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut.
127
127
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, dalam
penyelesaian sengketa
internasional dengan
menggunakan mediasi, pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif. Ia ikut serta dalam negoisasi serta mengarahkan pihak-pihak yang
bersengketa sedemikian rupa sehingga penyelesaian dapat tercapai, meskipun usulan-usalan yang diajukannya tidak berlaku mengikat terhadap para pihak yang
bersengketa. Ruang lingkup jasa-jasa baik dan mediasi sebenarnya agak terbatas. Dalam kedua metode tersebut ada kekurangan prosedur untuk melakukan
penyelidikan atas fakta hukum secara mendalam. Oleh karena itu, di masa mendatang kemungkinan besar kedua metode tersebut akan menjadi semacam
langkah pendahuluan atau sebagai bantuan terhadap cara penyelesaian khusus, seperti konsiliasi, penyelidikan.
128
Dan penyelesaian melalui PBB. c.
Konsiliasi Istilah konsiliasi mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian
luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan Negara-negara lain atau badan-badan
penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui
sebuah komisi. Komisi tersebut membuat laporan beserta usul kepada para pihak yang bersengketa tentang penyelesaian sengketa. Usulan tersebut tidak memiliki
sifat mengikat.
129
Komisi konsiliasi diatur dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Damai Sengketa-sengketa internasional. Komisi tersebut dapat
128
Ibid
129
Burhan Stani , Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty ; Yogyakarta, 1990 , hal 43
Universitas Sumatera Utara
dibentuk melalui perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa. Tugas komisi tersebut adalah menyelidiki serta melaporkan fakta, dengan ketentuan
bahwa isi laporan itu bagaimanapun tidak mengikat para pihak dalam bersengketa.
d. Penyelidikan
Penyelidikan sebagai suatu cara menyelesaikan sengketa secara damai yang dilakukan dengan tujuan menetapkan suatu fakta yang dapat digunakan
untuk memperlancar suatu perundingan. Kasus yang sering diselesaikan dengan bantuan metode ini umumnya adalah kasus-kasus yang berkaitan dengan sengketa
batas wilayah suatu Negara. Untuk itu Komisi Penyelidik dibentuk untuk menyelidiki fakta sejarah dan geografis menyangkut wilayah
yang dipersengketakan.
130
4. Penyelesaian di bawah naungan organisasi PBB
Organisasi PBB yang dibentuk pada tahun 1945 didirikan sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Organisasi ini telah mengambil alih sebagian
besar tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional. Salah satu tujuan organisasi itu adalah menyelesaikan perselisihan antarnegara.
Melalui pasal 2 piagam PBB, anggota-anggota PBB harus berusaha menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui cara-cara damai dan
menghindarkan ancaman perang atau penggunaan kekerasan. Sehubungan dengan penyelesaian segketa internasional, tanggung jawab
penting beralih ke tangan Majelis Umum dan Dewan Keamanan, sesuai dengan
130
Ibid , hal 55
Universitas Sumatera Utara
weweang luas yang dipercayakan kepada keduanya. Majelis umum diberi wewenang merekomendasikan tindakan-tindakan untuk penyelesaian damai atas
suatu keadaan yang dapat mengganggu kesejahteraan umum atau hubungan- hubungan persahabatan diantara bangsa-bangsa.
131
5. Penyelesaian Sengketa Internasional secara Paksa atau Kekerasan
Adakalanya para pihak yang terlibat dalam sengketa internasional tidak dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara damai.
Apabila hal tersebut terjadi, maka cara penyelesaian yang mungkin adalah dengsn cara-cara kekerasan.
Cara-cara penyelesaian dengan kekerasan diantaranya adalah perang dan tindakan bersenjata nonperang;retorsi;tindakan-tindakan pembalasan;blockade
secara damai;intervensi. a.
Perang dan tindakan nonperang. Perang dan tindakan bersenjata nonperang bertujuan untuk menaklukkan
Negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian suatu sengketa internasional. Melalui cara tersebut, Negara yang ditaklukan itu tidak memiliki
alternative lain selain mematuhinya. b.
Retorsi. Retorsi adalalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan-
tindakan tidak pantas yang dilakukan oleh Negara lain. Balas dendam dilakukan dalam bentuk tundakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, yang dilakukan oleh
Negara yang kehormatannya dihina. Misalnya, dengan cara menurunkan status
131
Op. Cit , hal 32
Universitas Sumatera Utara
hubungan diplomatic, penvabutan privilege diplomatic, atau penarikan diri dari kesepakatan-kesepakatan fiscal dan bea masuk.
132
c. Tindakan-tindakan pembalasan.
Pembalasan adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan oleh suatu Negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari
Negara lain. Cara penyelesaian sengketa tersebut adalah dengan melakukan tindakan pemaksaan kepada suatu Negara untuk menyelesaikan sengketa yang
disebabkan oleh tindakan illegal atau tidak sah yang dilakukan oleh Negara tersebut.
d. Blockade secara damai
Blockade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang tindakan tersebut digolongkan sebagai suatu pembalasan.
Tindakan tersebut pada umumnya ditujukan untuk memaksa Negara yang pelabhannya diblokade untuk menaat permintaan ganti rugi atas kerugian yang
diderita oleh Negara yang memblokade.
133
e. Intervensi
Sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa internasional adalah tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik Negara tertentu secara sah dan tidak
melanggar hukum internasional. Ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam kategori intervensi sah adalah sebagai berikut:
a Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam PBB
b Intervensi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya
132
Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional , Sinar Grafika ; Jakarta, 2002 , hal1
133
Ibid , hal 15
Universitas Sumatera Utara
c Pertahanan diri
d Negara yang menjadi objek intervensi dipersalahkan melakukan
pelanggaran berat terhadap hukum internasional f.
Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Mahkamah Internasional Persengketakan yang terjadi di dunia internasional ada baiknya
diselesaikan secara yudisial, meskipun penyelesaian secara nonyudisial pun dapat dilakukan.
Adapun lembaga internasional yang bertugas menyelesaikan sengketa internasional secara yudisial diemban oleh Mahkamah Internasional
134
a. Dasar Hukum Proses Peradilan Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional memiliki lima aturan yang menjadi dasar dan rujukan dalam proses persidangan. Kelima aturan tersebut adalah:
a Piagam PBB tahun 1945
b Statute Mahkamah Internasional tahun 1945
c Aturan Mahkamah Rules of Court tahun 1970
d Panduan Praktik Practice Directions I
– IX, dan e
Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court
Di dalam Piagam PBB tahun 1945, dasar hukum yang berkenaan dengan Mahkamah Internasional terdapat dalam Bab XIV tentang Mahkamah
Internasional yang terdiri atas lima pasal, yaitu Pasal 92-96. Sedangkan dalam statute Mahkamah Internasional, ketentuan mengenai proses beracara tercantum
134
Ibid , hal 21
Universitas Sumatera Utara
dalam Bab III yang mengatur tentang prosedur yang terdiri dari 26 pasal Pasal 39-46. Selain itu juga terdapat dalam Bab IV yang memuat tentang advisory
opinion, terdiri atas empat pasal Pasal 65-68
135
Sementara itu, aturan Mahkamah Rules of the Court tahun 1970 terdiri atas 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa
kali amandemen. Adapun tentang Panduan Praktik Practice Directions I – IX,
ada Sembilan panduan praktik yang dijadikan dasar proses beracara Mahkamah Internasional. Panduan ini umumnya berkenaan dengan hal surat pembelaan
written pleadings dalam proses beracara di Mahkamah Internasional sedangkan
mengenai resolusi tentang praktik yudisial Internal Mahkamah Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court
, resolusi ini terdiri atas 10 ketentuan tentang proses beracara di Mahkamah Internasional.
136
b. Mekanisme persidangan Mahkamah Internasional
Secara umum, mekanisme persidangan Mahkamah Internasional dapat dibedakan menjadi dua yaitu mekanisme normal dan mekanisme khusus.
1 Mekanisme Normal
Secara ringkas, mekanisme normal persidangan Mahkamah Internasional dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut :
a Penyerahan perjanjian khusus notification of special agreement atau
aplikasi application Dalam hal ini, persidangan dimulai dengan penyerahan perjanjian khusus
antara kedua pihak yang bersengketa yang berisi penerimaan yurisdiksi
135
Op.cit , hal 74
136
J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Brathara, Jakarta , 1996 , hal 16
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Internasional. Dalam perjanjian tersebut termuat identitas para pihak yang bersengketa dan inti persengketaan. Namun, ada bentuk lain dalam proses
awal persidangan, yaitu dengan penyerahan aplikasi dari salah satu pihak yang bersengketa.
137
Dalam hal ini, aplikasi berisikan identitas pihak lawan dalam sengketa, dan pokok persoalan sengketa. Negara yang mengajukan aplikasi
tersebut disebut applicant, sedangkan pihak lawan disebut respondent. Adapun perjanjian khusus atau aplikasi tersebut pada umumnya ditandatangani oleh wakil
dan dilampiri surat menteri luar negeri atau duta besar Negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh register Mahkamah Internasional, perjanjian khusus atau
aplikasi tersebut segera dikirimkan kepada kedua belah pihak yang bersengketa dan kepada Negara-negara anggota Mahkamah Internasional. Selanjutnya
perjanjian khusus atau aplikasi tersebut dimasukkan dalam Daftar Umum Mahkamah Court‟s General Lists, dilanjutkan dengan siaran pers. Setelah
didaftar, versi bahasa inggris dan Perancis dikirimkan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Negara yang mengakui yurisdiksi MI, dan setiap orang yang memintanya.
Tanggal pertama kali perjanjian atau aplikasi diterima oleh register merupakan tanggal dimulainya proses beracara di Mahkamah Internasional.
b Pembelaan tertulis written pleadings
Dalam pembelaan ini, apabila tidak ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, maka pembelaan tertulis dapat berupa memori dan tanggapan
memori. Bilamana para pihak meminta diadakannya kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban.
137
Ibid , hal 90
Universitas Sumatera Utara
Memori umumnya berisi pernyataan fakta, hukum yang relevan, dan penundukan submissions yang diminta. Sedangkan tanggapan memori berisi argument
pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memori, tambahan fakta baru, jawaban atas pernyataan hukum memori, dan putusan yang
diminta umumnya disertakan pula dokumen pendukung. Apabila kedua pihak yang bersengketa tidak mengatur batasan mengenai lamanya waktu untuk
menyusun memori ataupun tanggapan memori, maka hal itu akan ditentukan secara sama oleh Mahkamah Internasional. Demikian juga, apabila kedua belah
pihak yang bersengketa tidak menentukan bahasa resmi yang akan digunakan, maka hal itu akan ditentukan oleh MI.
138
c Presentasi pembelaan oral pleadings
Setelah pembelaan tertulis diserahkan oleh para pihak yang bersengketa, dimulailah presentasi pembelaan oral pleadings. Tahap ini bersifat terbuka
untuk umum, kecuali bila para pihak menghendaki tertutup dan disetujui oleh Mahkamah Internasional. Ada dua kali kesempatan bagi para pihak yang
bersengketa untuk memberikan presentasi pembelaannya di hadapan Mahkamah Internasional. Proses ini umumnya berlangsung dua atau tiga minggu. Waktu
tersebut akan diperpanjang apabila Mahkamah Internasionl menghendakinya. d
Keputusan judgement
139
Ada tiga kemungkinan yang menjadikan sebuah kasus sengketa internasional dianggap selesai. Pertama, bilamana para pihak berhasil mencapai
kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, bilamana pihak applicant
138
Ibid , hal 19
139
Op. Cit , hal 60
Universitas Sumatera Utara
atau kedua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk menarik diri dari proses persidangan. Bilamana ini terjadi, maka secara otomatis kasus sengketa tersebut
dianggap selesai. Ketiga, bilamana Mahkamah Internasional telah memutus kasus tersebut berdasarkan pertimbangan dari keseluruhan proses persidangan yang
telah dilakukan. Diakhir persidangan sebuah kasus sengketa, ada tiga kemungkinan pendapat hakim Mahkamah Internasional, yaitu pendapat
menyetujui declarations, pendapat berisi persetujuan walaupun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu separate opinions, dan pendapat berisi penolakan
dissenting opinion .
2 Mekanisme khusus
Karena sebab-sebab tertentu, persidangan Mahkamah Internasional bisa berlangsung secara khusus. Dalam arti, ada penambahan tahap-tahap tertentu yang
agak berbeda dari mekanisme normal sebagaimana diuraikan diatas.
B. Sejarah dan Penyelesaian Sengketa Angkor Wat
1. Gambaran Umum Angkor Watt
Angkor Watadalah sebuah kuil atau candi yang terletak di kota Angkor, Kamboja. Kuil ini dibangun oleh Raja Suryawarman II pada pertengahan abad ke-
12. Pembangunan kuil Angkor Wat memakan waktu selama 30 tahun. Angkor Wat terletak di dataran Angkor yang juga dipenuhi bangunan kuil yang indah,
tetapi Angkor Wat merupakan kuil yang paling terkenal di dataran Angkor. Raja Suryawarman II memerintahkan pembangunan Angkor Wat menurut kepercayaan
Hindu yang meletakkan gunung Meru sebagai pusat dunia dan merupakan tempat
Universitas Sumatera Utara
tinggal dewa-dewi Hindu, dengan itu menara tengah Angkor Wat adalah menara tertinggi dan merupakan menara utama dalam kompleks bangunan Angkor
Wat.
140
Sebagaimana mitologi gunung Meru, kawasan kuil Angkor Wat dikelilingi oleh dinding dan terusan yang mewakili lautan dan gunung yang mengelilingi
dunia. Jalan masuk utama ke Angkor Wat yang sepanjang setengah kilometer dihiasi pagar susur pegangan tangan dan diapit oleh danau buatan manusia yang
disebut sebagai Baray. Jalan masuk ke kuil Angkor Wat melalui pintu gerbang, mewakili jambatan pelangi yang menghubungkan antara alam dunia dengan alam
dewa-dewa.
141
Angkor Wat berada dalam keadaan yang baik dibandingkan dengan kuil lain di dataran Angkor disebabkan karena Angkor Wat telah dialihfungsikan
menjadi kuil Buddha dan dipelihara serta digunakan secara terus menerus ketika agama Buddha menggantikan agama Hindu di Angkor pada abad ke-13. Kuil
Angkor pernah dijajah oleh Siam pada tahun 1431.Pada tahun 1992, Angkor Wat masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.Nama modern Angkor Wat,
berarti Kuil Kota; Angkor adalah bentuk perubahan dari kata នគរnokor yang
berasal dari kata नगरnagara dalam bahasa Sanskerta yang berarti ibu kota atau
negara. wat adalah istilah dalam bahasa Khmer untuk kuil atau candi. Sebelumnya nama asli candi ini adalah Preah Pisnulok atau Vishnuloka tempat dewa Wisnu
140
GunKarta, Angkor Wat ; http:id.m.wikipedia.orgwikiangkor_Wat diakses tanggal 3 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB
141
Ibid
Universitas Sumatera Utara
bersemayam, berdasarkan nama anumerta raja pembangunnya, Suryawarman II.
142
2. Sejarah Pembangunan Angkor Wat
Raja Suryawarman II, pembangun Angkor Wat.Angkor Wat terletak 55 kilometre 34 mil di utara kota modern Siem Reap, dan bergeser ke timur dari
bekas ibu kota sebelumnya yang berpusat di candi Baphuon. Candi ini berada di kawasan kelompok percandian terpenting di Kamboja, juga menjadi candi paling
selatan dari kelompok candi di kota Angkor.
143
Rintisan rancangan dan pembangunan candi dimulai pada paruh pertama abad ke-12 Masehi, pada masa pemerintahan raja Suryawarman II memerintah
pada 1113 – sekitar 1150. Dipersembahkan untuk memuliakan Wisnu, candi ini
dibangun sebagai candi agung negara milik raja sekaligus sebagai ibu kota. Karena prasasti yang menyebutkan pembangunannya belum ditemukan, maka
nama asli candi ini tidak diketahui. Ditafsirkan candi ini mungkin aslinya disebut sebagai Preah Pisnu-lok Bahasa Khmer Kuno, serapan dari bahasa Sanskerta:
Vara Vishnu-loka secara harfiah bermakna Kawasan Suci Wisnu,
berdasarkan dewa utama yang dimuliakan di candi ini. Proyek pembangunan sepertinya dihentikan segera setelah kematian raja, menyisakan beberapa relief
rendah yang belum rampung. Pada 1177, kira-kira 27 tahun setelah kematian Suryawarman II, Angkor diserang oleh bangsa Champa, musuh tradisional bangsa
Khmer. Kemudian kerajaan Khmer dipulihkan kembali oleh raja baru
142
Ibid
143
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Jayawarman VII, yang mendirikan ibu kota baru di Angkor Thom candi kerajaan baru di Bayon, yang terletak beberapa kilometer di utara Angkor Wat.
144
Pada akhir abad ke-13, Angkor Wat perlahan-lahan dialihfungsikan dari candi Hindu menjadi candi Buddha Theravada, hal ini berlangsung hingga kini.
Angkor Wat agak tidak biasa dibandingkan candi-candi lainnya di Angkor, meskipun ditelantarkan setelah abad ke-16, Angkor Wat tidak pernah benar-benar
ditinggalkan. Angkor tetap bertahan antara lain salah satunya karena parit yang mengelilinginya melindungi bangunan candi dari rongrongan pohon besar hutan
rimba.
145
Salah satu pengunjung Barat perintis yang mengunjungi candi ini antara lain António da Madalena, seorang biarawan Katolik Portugis yang mengunjunginya
pada tahun 1586 yang menyatakan sebuah bangunan yang luar biasa yang tak mungkin digambarkan dengan pena, karena tidak ada bangunan lain di dunia ini
yang menyerupainya. Bangunan ini memiliki menara dengan hiasan yang sangat halus dan indah yang hanya bisa diciptakan oleh manusia jenius. Pada
pertengahan abad ke-19, candi ini dikunjungi oleh ilmuwan dan penjelajah Perancis, Henri Mouhot, yang memperkenalkan situs ini ke dunia Barat melalui
catatan perjalanannya, ia menulis:
146
Candi ini menyaingi kemegahan Bait Salomo, dibangun oleh Michelangelo purba pantas menduduki tempat terhormat sebagai salah satu
bangunan terindah di dunia. Bangunan ini lebih besar dari segala peninggalan
144
Ibid
145
Ibid
146
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Yunani atau Romawi, dan menyajikan kontras yang sangat menyedihkan dengan kondisi kini yang jatuh terpuruk ke dalam kebiadaban.
147
Mouhot, seperti kebanyakan pengunjung Barat, sulit memercayai bahwa bangsa Khmer mampu membangun candi semegah ini, secara keliru
memperkirakan waktu pembangunannya sezaman dengan era Romawi Kuno. Sejarah sebenarnya dari Angkor Wat secara perlahan dirangkaikan kembali
melalui mempelajari gaya arsitektur serta bukti epigrafi tertulis pada prasasti, dilanjutkan dengan pembersihan di sekitar situs Angkor. Penggalian di sekitar
situs Angkor Wat tidak menemukan peninggalan permukiman seperti bekas rumah hunian atau bukti hunian lainnya seperti perabot memasak, senjata, atau
bekas pakaian yang biasa ditemukan di situs purbakala. Hanya monumen inilah yang ditemukan di kawasan ini.
148
Angkor Wat menjalani pemugaran yang berarti pada abad ke-20, kebanyakan di antaranya adalah membersihkan jeratan tumbuhan dan tumpukan tanah yang
menutupi bangunan. Proyek pemugaran terputus akibat perang saudara dan kendali rezim Khmer Merah atas Kamboja pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an,
akan tetapi kerusakan relatif minim pada periode ini yang kebanyakan adalah penjarahan dan pencurian serta perusakan pada arca setelah era Angkor.
149
Candi ini merupakan simbol yang kuat dan amat penting bagi negara Kamboja, sebagai sumber kebanggaan nasional dan menjadi faktor penting bagi
hubungan diplomatik luar negeri antara Kamboja dengan Perancis, Amerika
147
Djuned Hasani , Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:antaranews.comartikel Sengketa Wilayah Perbatasan Thailand dan Kamboja . Diakses Pada
Tanggal 3 Mei Pukul 12.00 WIB
148
Ibid
149
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Serikat, dan Thailand. Penggambaran Angkor Wat dalam bendera nasional Kamboja telah mulai ditampilkan sejak diperkenalkannya bendera perdana
Kamboja pada 1863. Akan tetapi, dari perspektif sejarah dan antarbudaya, Angkor Wat tidak pernah menjadi lambang kebanggaan nasional yang sesungguhnya sui
generis namun diterapkan dalam proses politik-budaya oleh Kolonial Perancis
yang menampilkan candi ini dalam pameran Kolonial Perancis dan pameran universal di Paris dan Marseille antara tahun 1889 dan 1937.
Warisan kesenian yang agung dari Angkor Wat dan monumen Khmer lainnya di kawasan Angkor telah mendorong Perancis untuk memasukkan Kamboja
sebagai protektorat Perancis pada 11 Agustus 1863 dan menyerang kerajaan Siam untuk merebut kendali atas kawasan reruntuhan candi ini. Hal ini mendorong
Kamboja untuk merebut kembali kawasan di sudut barat laut yang di bawah penjajahan Siam sejak tahun 1351 Manich Jumsai 2001, atau menurut sumber
lain, 1431. Kamboja meraih kemerdekaan dari Perancis pada 9 November 1953 dan sejak saat itu menguasai candi Angkor Wat.
150
3. Sejarah Sengketa Angkor Watt
Wilayah Angkor Watt yang terletak di selatan Kamboja dan utara Thailand telah lama menjadi sumber konflik perbatasan wilayah Kamboja-Thailand.
Masing-masing Negara mengklaim wilayah candi tersebut sebagai bagian dari teritori mereka.
151
Wilayah Angkor Watt juga kaya akan bahan tambang permata dan batu mulia. Terlihat jelas bahwa mengapa wilayah perbatasan ini
diperebutkan, karena disamping dapat dimanfaatkan secara ekonomi juga dapat
150
Ibid
151
Putri perwira, Konflik Thailand Kamboja ; http:www.scribd.comdockonflik- thailand-Kamboja-doc diakses pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 10.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
dimanfaatkan dari segi pariwisata. Menurut Perdana Menteri Thailand, Samak Sundrajev menunjuk kepada penangkapan tiga aktivis Thailand yang secara
illegal menyeberang masuk ke Kamboja. Menurut dia, penangkapan itulah yang memicu konflik. Para aktivis yang terdiri dari seorang lelaki, perempuan dan
biksu itu bermaksud memprotes kepemilikan Angkor Watt. Angkor Watt yang dibangun oleh suku asli kamboja, suku khmer . Namun menurut Arkeolog
Thailand, Srikarsa Valibhotama, “sebenarnya ini bukan tanah siapa-siapa. Tak ada yang memiliknya, wilayah ini bukan milik Kamboja dan bukan pula milik
Thailand. Perbatasan antara kedua Negara itu dibuat secara sembarangan pada zaman Kolonial Perancis. Memang candinya dibuat oleh seorang raja Kamboja,
tapi dalam sejarah ini merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat kawasan ini. Orang-orang yang datang dari mana-mana untuk beribadah dan menghormati
para dewa.” Klaim Kamboja didasarkan pada peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand menggunakan peta tahun 1904.
152
Ketika kasus tersebut dibawa ke International Court of Justice ICJ pada tahun 1962, pihak Kamboja dinyatakan berhak atas wilayah candi tersebut. Keputusan
ini ditolak keras oleh Thailand yang tetap mempertahankan klaimnya. Sejak saat itu sengketa perbatasan antara kedua Negara berlangsung hingga saat ini.
153
Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua Negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang baik dan jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin
dikarenakan kedua Negara tersebut memiliki banyak persamaan, seperti
152
Pratama , Yudha, konflik Thailand Kamboja di Mata Orang Thai ; http:www.antaranews.comberita257381konflik-thailand-kamboja-di-mata-orang-thai diakses
pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 10.00 WIB
153
Ibid
Universitas Sumatera Utara
persamaan agama dan system pemerintahan. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang pascakonflik Perang Indochina pada 1975.
Memburuknya hubungan Thailand dan Kamboja dikarenakan konflik terkait kepemilikan Angkor Watt, yang termasuk daftar warisan sejarah dunia oleh
UNESCO. Konflik perbatasan Thailand mulai pecah pada 2008 dan menjadi babak akhir dari perselisihan menahun antara Kamboja dan Thailand.
154
Masalah kepemilikan Angkor Watt sebenarnya sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yaitu bahwa kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja,
namun permasalahannya adalah wilayah seluas 4,6 Km di sekitar kuil tersebut tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional. Perdebatan ini
muncul karna Kamboja dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing-masing Negara. Hal ini berdampak pada terjadinya
salah tafsir mengenai besar wilayah masing-masing Negara. Hal ini berdampak pada terjadinya salah tafsir mengenai besar wilayah masing-masing, termasuk
wilayah disekitar Angkor Watt yang disalahtafsirkan. Jika klaim Kamboja atas wilayah ini dikabulkan Thailand, Thailand khawatir
Kamboja akan semakin merajalela dan mencaplok wilayah-wilayah lain yang juga disalahtafsirkan, vise versa. Selain itu, perebutan wilayah juga dipicu karena
kekayaan sumber daya mineral, yang berarti jaminan terpenuhinya kebutuhan energy Negara pemiliknya dan peningkatan pemasukan Negara dari penjualan
sumber energy.
155
154
Ibid
155
Op.cit
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan Juli 2008, kedua Negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan
di kawasan Angkor Watt. Kejadian ini membawa korban dengan tewasnya 2 orang tentara Kamboja dan melukai 5 orang tentara Thailand. Sebagaimana yang
disebutkan oleh pemerintah Kamboja, militer Tahiland sejak tanggal 15 Juli telah memasuki wilayah Kamboja di dekat Angkor Watt. Pada tanggal 21 Juli aktifitas
militer Thailand semakn banyak lagi dikerahkan dan memasuki area Preah Vihear Pagoda. Keadaan semakin memanas dengan terlukanya 2 orang anggota militer
Thailand aibat ranjau darat di daerah Angkor Watt pada tanggal 7 Oktober 2008. Langsung saja Thailand menganggap bahwa pemerintah Kamboja telah dengan
sengaja memasang ranjau di daerah perbatasan yang dipersengketakan. Hal ini segera dibantah oleh pemerintah Kamboja dan beralasan bahwa ranjau-ranjau
tersebut adalah sisa-sisa persenjataan dalam konflik tiga faksi di Kamboja. Pada akhirnya konflik bersenjata berdarah pun tidak dapat dielakkan lagi.
156
Kedua kepala Negara sebenarnya telah melakukan upaya-upaya penyelesaian damai. Hal ini nampak dari surat Perdana Menteri Hun Sen meminta kepada
Perdana Menteri Samak Sundravej untuk segera menarik mundur tentarany dari sekitar Angkor Watt agar mengurangi ketegangan di perbatasan. Dalam
balasannya Perdana Menteri Samak menyambut baik penyelesaian damai dan menjadwalkan pertemuan khusus dari Thailand-Kamboja General Border Comitte
GBC pada tanggal 21 Juli 2008. Namun Perdana Menteri Samak juga menekankan bahwa area di sekitar Angkor Watt adalah berada dalam kedaulatan
156
Op.cit
Universitas Sumatera Utara
territorial kerajaan Thailand dan justru Kamboja lah yang telah melakukan pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Thailand.
157
Selanjutnya Perdana Menteri Hun Sen kembali menjawab dalam surat lainnya dengan menyambut baik
pertemuan yang akan diadakan oleh GBC, namun juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan “Annex I map” yang dipergunakan oleh Mahkamah
Internasional pada tahun 1962 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan ini, diputuskan bahwa Angkor Watt berada pada jarak 700 meter di dalam wilayah
territorial Kamboja.
158
Dari korespondensi diatas nampak bahwa para pihak masih terdapat ketidaksepahaman atas keputusan Mahkamah Internasional. Dalam
keputusannya mayoritas hakim 9 dari 12 Menyatakan bahwa Angkor Watt berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus menarik personil
kepolisian dan militer dari kuil tersebut atau dari daerah sekitarnya dari wilayah Kamboja. Dalam kasus ini, Kamboja mendasarkan argumennya pada peta Annex
I Map yang dibuat oleh pejabat Perancis pada tahun 1907 yang beberapa diantaranya adalah anggota mixed commission yang dibentuk berdasarkan
boundary treaty antara france dan siam tanggal 13 Februari 1904. Pada peta ini, daerah Dangrek yaitu lokasi dimana Angkor Watt terletak berada dalam wilayah
Kamboja. Thailand di lain pihak berargumen bahwa peta tesebut tidaklah mengikat karena tidak dibuat oleh anggota mixed commission yang sah. Lebih
lanjut garis perbatasan yang digunakan dalam peta tersebut daah berdasarkan
157
Ita lismawati , Usai Sengketa, Areal Angkor Watt Jadi Milik Kamboja ; http:viva.co.id Areal-Angkor-Watt-Jadi-Milik-Kamboja. Diakses pada tanggal 5 Mei 2016 Pukul
10.15
158
Faaqih Irfan Djailani , Konflik Angkor Watt dan Sekian Hubungan Thailand-Kamboja ; http:id.wikipedia.orgwiki.Konflik-Angkor-watt-dan-sekian-hubungan-Thailand-Kamboja
diakses pada 5 Mei 2016 Pukul 10.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
watershed line yang salah dan bila menggunakan watershed line yang benar maka
Angkor Watt akan terletak di wilayah Thailand. Menarik bahwa dalam salah satu kesimpulannya mayoritas hakim berpendapat bahwa walaupun peta sebagaimana
dalam Annex I Map mempunyai kekuatan teknis topografi namun pada saat dibuatnya peta ini tidak memiliki karakter mengikat secara hukum. Lalu apa alas
an hakim sehingga menggunakan peta ini sebagai dasar keputusannya ? alasannya adalah karena saat peta ini diserahkan dan dikomunikasikan kepada pemerintah
Siam oleh pejabat Perancis, pemerintah Siam telah sama sekali tidak memberikan reaksi, menyatakan keberatan ataupun mempertanyakannya.
159
Ketiadaan reaksi tersebut menjadikan pemerintah Siam menerima dan kondisi dalam peta ini.
Demikian juga pada pada banyak kesempatan lainnya, pemerintah Thailand telah tidak mengajukan keberatan apapun terhadap letak Angkor Watt. Pendapat
mayoritas hakim Mahkamah Internasional ini nampaknya didasarkan pada prinsip estoppels, dimana kegagalan Thailand menyatakan keberatannya saat kesempatan
tersebut ada membuat Thailand kehilangan hak untuk menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat pada peta dalam Annex I Map. Lebih menarik lagi,
mayoritas hakim berkesimpulan bahwa adalah tidak penting lagi untuk memutuskan apakah watershed line yang dipergunakan dalam peta sebagaimana
Annex I Map telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Nampaknya kesimpulan terakhir inilah yang yang masih belum dapat diterima yang tetap
berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan watershed line dalam pembuatan peta
159
ibid
Universitas Sumatera Utara
namun tidak diperiksa oleh mayoritas hakim Mahkamah Internasional karena dianggap tidak penting lagi.
Insiden tembak menembak pada tanggal 15 Oktober yang lalu sebenarnya bisa dikatakan sebagai akibat dari keengganan Mahkamah Internasional untuk
memeriksa kembali apakah watershed line yang dipergunakan dalam pembuatan peta telah sesuai atau tidak dengan keadaan yang sebenarnya sehingga masalah ini
menjadi isu yang selalu terbuka untuk diperdebatkan oleh pihak yang bersengketa. Namun nasi sudah menjadi bubur, nyawa manusia telah hilang. Berdasarkan Pasal
94 Piagam PBB, masuknya militer Thailand kedalam wilayah kamboja sebagaimana tertuang dalam Annex I Map dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan
terhadap putusan Mahkamah Internasional. Selanjutnya Kamboja bisa saja membawa permasalahan ini kepada Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan
penyelesaian. Penempatan tentara dari Negara lainnya di wilayah tersebut merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Sengketa wilayah ini
kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata.
160
Dari versi Kamboja konflik itu bermula ketika 50 prajurit Thailand bergerak memasuki wilayah Pagoda Keo
Sikha Svara Kamboja, sekitar 300 meter dari Angkor Watt. Memasuki Agustus 2008, konflik itu meluas ke wilayah kompleks kuil abad XIII, Ta Moan, yang
terletak 153 Km di wilayah barat Angkor watt, dimana Kamboja menuduh pasukan Thailand menduduki wilayah Kamboja yang segera dibantah oleh
Thailand. Pasukan Kamboja dan Thailand untuk pertama kalinya terlibat kontak senjata. Pada 24 Oktober 2008, Perdana Menteri kedua Negara tersebut bertemu
160
Makarim Wibisono ; Dinamika baru Sengketa Angkor Watt ; http:id.Kompas.com.Dinamika-Baru-Sengketa-Perbatasan diakses pada tanggal 5 Mei Pukul
10.20 WIB
Universitas Sumatera Utara
di Beijing dan setuju menghindari bentrok bersenjata dimasa depan. Namun peredaran ketegangan ini kemudian berhenti seiring pernyataan Kamboja bahwa
serdadu Thailand terlihat menyebrangi perbatasan dekat kuil kuno, yang lantas dibantah oleh Thailand.
161
Berkat upaya sejumlah pihak, ketegangan akhirnya bisa diredakan setelah Thailand, mengakui bahwa Angkor Watt itu memang masuk dalam bagian
wilayah Kamboja. Ketenangan dalam Hubungan kedua Negara bertetangga di Asia Tenggara ini tak berlangsung lama. Beberapa hari terakhir, kedua Negara
kembali terlibat ketegangan setelah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen melantik mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Sinarwata sebagai penasehat seniornya
dibidang ekonomi. Bangkok merasa berhak mempersoalkan keputusan itu mengingat Thaksin dianggap buron yang lari dari jeratan hukum. Di Phnom Penh,
Hun Sen justru didukung karena terlepas dari siapa Thaksin dan vonis pengadilan Thailand terhadapnya, secara prinsip memanfaatkan kebolehan dan keahlian dari
seorang bukan tindakan yang patut dipersalahkan. Keputusan pemerintah Kamboja ini terkesan mengada-
ngada dan “mengompori” Thailand karena Thaksin adalah buronan yang harus menjalani hukuman di Thailand.
162
Kesulitan terciptanya perdamaian di antara kedua Negara lebih dikarenakan sikap Thailand yang masih tidak konsisten terkait dilemma internalnya. Indonesia
oleh karenanya harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam cabinet Thailand,
terutama harus bisa mendekati militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam
161
ibid
162
Op. Cit
Universitas Sumatera Utara
peta politi Thailand. Perdana Menteri Thailand pun harus melakukan koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand
sebagai satu kesatuan sehingga usaha untuk menegoisasikan kepentingan masing- masing Negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah
diwujudkan.
163
4. Penyelesaian Sengketa Angkor Watt
a. Teori Konflik
Konflik secara konseptual yaitu dengan konflik dimaksudkan perwujudan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua
orang, atau bahkan golongan besar seperti Negara. Kadang-kadang konflik digunakan untuk menyebut pertentangan antara pandangan dan perasaan
seseorang BN.Marbun,1996:34. Soerjono Soekanto menyebutkan sebab-sebab terjadinya konflik dapat dibedakan
sebagai berikut : a
Perbedaan antara individu-individu b
Perbedaan Kebudayaan c
Perbedaan Kepentingan d
Perubahan Sosial Soerjono Soekanto,1990:107-108 1.
Konsep Strategi Penyelesaian Konflik Menurut Wirjono, untuk mengatasi konflik individukelompok diperlukan tiga
strategi yaitu : Strategi Kalah-Kalah Lose-Lose Strategy
163
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah
berkompromi atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam
strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu, maka pihak ketiga diundang
untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri, ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga
yaitu : a.
Arbitrasi Arbitration Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua
belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang
mengikat.
164
b. Mediasi Mediation
Mediasi dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh arbitrator, karena seorang mediator tidak
mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
165
Pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, pemerintah Thailand dan pemerintah Kamboja sebenarnya sudah sepakat untuk melibatkan
pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN dalam penyelesaian konflik perebutan
164
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, Jakarta Hal 26
165
Ibid
Universitas Sumatera Utara
wilayah perbatasan tersebut, dan yang menjadi penghambatnya adalah adanya perbedaan antara pemerintah Thailand dan pihak militernya. Di Thailand, pihak
militer bereran sangat penting dalam pemerintahan dan dalam kebijakan luar negeri Thailand. Dalam pemerintahan Thailand, terjadi perbedaan pendapat antara
Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri mengenai cara penyelesaian konflik perbatasan dengan Kamboja ini. Departemen Pertahanan menolak peran
pihak ketiga sebagai penengah untuk menengahi konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Pihak militer Thailand ingin menyelesaikan konflik ini
secara bilateral dengan Kamboja. Sedangkan Departemen Luar Negeri Thailand mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN dalam menyelesaikan
konflik perbatasan dengan Kamboja.
166
Kamboja beranggapan jika konflik perebutan wilayah seluas 4,6 Km di perbatasan kedua Negara tersebut hanya diselesaikan melalui mekanisme bilateral
maka konflik tersebut akan semakin berlanjut dan tidak akan menemukan kesepakatan damai antara keduanya. Hal inilah yang mendasari Kamboja meminta
adanya peran pihak ketiga dalam kasus tersebut.
167
a. Keterlibatan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN tahun 2011
Pada tanggal 7-8 April 2011 lalu Indonesia memfasilitaso dan mempertemukan kedua Negara pada pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri
oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri Sekretaris Menlu Thailand Chayanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut
166
Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:id.shvoong.comlaw-and-
politicsinternational-law2014090-konflik perbatasan-thailand-dan-kamboja diakses pada tanggal 6 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB
167
Op . Cit
Universitas Sumatera Utara
tidak menghasilkan kesepakatan yang siginifikan untuk mecapai perdamaian kedua Negara.
168
Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua Negara
merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya untuk perundingan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan
peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan.
169
Perundingan antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara lain mengenai :
Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen
Thailand mengenai isi dari kesepakatan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand menolak tawaran tersebut. Thailand bersikeras menginginkan agar
parlemen negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan.
170
Kedua pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa
menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dahulu.
168
Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja
http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik-internasional451-menanti- diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja, diakses pada tanggal 7 Mei
2016 Pukul 15.00 WIB
169
Ibid
170
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai ketua ASEAN untuk melangsungkan pertemuan General Border Committee GBC. Pihak Kamboja
mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena Indonesia sudah mendapatkan mandate DK PBB untuk ikut dalam negoisasi
Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga satu-satunya hal yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya “check point” antara kedua
Negara. Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua
ASEAN dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali memfasilitasi dan mempertemukan kedua Negara. Pertemuan ini merupakan
upaya terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun
2011.
171
Dalam pertemuan tersebut, Mary Natalegawa menjelaskan Thailand akhirny menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua
Negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang
disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon permintaan ini.
Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak
Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu.
171
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja
terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim peninjau yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan Kamboja-Thailand.
Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga rekomendasi yang dihasilkan pada pertemuan kedua Negara yang difasilitasi
Indonesia. Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, mengaktifkan
pertemuan GBC, Rekomendasi kedua, kedua Negara melihat kembali nota kesepahaman MOU yang telah disepakati pada tahun 2000 lalu. Adapun
rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual rust, kehadiran observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah disepakati tahun 2000
meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain dari kawasan sengketa, MOU 2000 itu menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari
pasukan atau rakyat sipil dikawasan yang dipersengketakan.
172
Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak
Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua Negara
untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan militer kedua Negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara
172
Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand- Kamboja
http:www.politik.lipi.go.idindexphpencolumnspolitik-internasional451-menanti- diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-dalam-konflik-thailand-kamboja, diakses pada tanggal 7 Mei
2016 Pukul 15.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua Negara tersebut dan rekomendasi yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya kedaerah perbatasan yang
disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau gencatan senjata antara pasukan militer Thailand dan
Kamboja. b.
Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB Pada tahun 2011 lalu, pasca bentrokan bersenjata antara kedua Negara yang
terjadi pada awal bulan Februari tersebut Kamboja meminta ke Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan tahun 1962 itu dan menjelaskan
tentang kepemilikan tanah seluas 4,6 Km disekitar Kuil Angkor Watt. Langkah Kamboja yang mengadukan permasalahannya kepada Dewan Kemanan PBB dan
meminta PBB untuk mengirim pasukan perdamaian ke daerah sekitar Kuil Angkor Watt langsung ditanggapi dengan cepat oleh pihak Dewan Kemanan
PBB. Sehingga pasca bentrokan bersenjata kedua Negara pada bulan Februari 2011 lalu, Pihak PBB mengundang Indonesia sebagai pemimpin ASEAN melalui
Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan dihadiri oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB Republik Rakyat Cina, Rusia, Perancis, Britania Raya,
Amerika Serikat, BosniaHerzegovina, Brazil, Kolombia, Gabon Jerman, India, Lebanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan Menteri Luar Negeri Kamboja
Hor Namhong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Pironya. Hal tersebut guna mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik antara kedua Negara.
173
Dalam siding tersebut, Marty Natalegawa menegaskan Indonesia selaku Ketua ASEAN
173
Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja , http:id.shvoong.comlaw-and-
politicsinternational-law2014090-konflik perbatasan-thailand-dan-kamboja diakses pada tanggal 6 Mei 2016 Pukul 13.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
berkomitmen tidak akan ada lagi baku tembak antara pasukan Thailand dan Kamboja di kawasan perbatasan kedua Negara.
Pasca bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua Negara di daerah perbatasan pada 28 April 2011 lalu. Kamboja mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan pada tahun 1962 atas Kuil Angkor Watt beserta wilayah seluas 4,6 km disekitar kuil tersebut. Hal ini disertai
dengan satu permintaan Kamboja yang meminta Thailand segera dan tanpa syarat apapun untuk menarik pasukan dari daerah sekitar Kuil Angkor Watt diperbatasan
kedua Negara. Dilain pihak, pihak militer Thailand menentang tindakan Kamboja yang
mengadukan masalah sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional Thailand menganggap bahwa untuk menyelesaikan konflik kedua Negara tersebut tidak
perlu adanya intervensi dari pihak pihak luar. Sebaliknya, walaupun pihak militer Thailand menentang tindakan tersebut, baik pemerintah Thailand maupun
Kamboja sepakat untuk mengupayakan agar konflik tersebut dapat segera diselesaikan.
174
Selama menunggu penafsiran keputusan Mahamah Internasional tahun 1962 tersebut, Mahkamah Internasional memerintahkan Kamboja dan Thailand pada 18
Juli 2011 untuk segera menarik pasukan militer kedua Negara dari kawasan sengketa dan menetapkan daerah seluas 17,3 Km di sekitar Kuil Angkor Watt
sebagai zona Demilterisasi dan memungkinkan pengamat ASEAN untuk memasuki ke PDZ untuk memantau gencatan senjata.Keputusan Mahkamah
174
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Internasional ini pada awalnya belum ditanggapi oleh kedua Negara, pasukan militer kedua Negara masih berjaga-jaga di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan
para aktivis nasionalis Thailand menolak perintah dari Mahkamah Internasional untuk menarik pasukan dari kawasan sengketa kedua Negara dan meminta
pengadilan internasional tersebut untuk memerintahkan pemerintah Thailand menarik diri dari kasus yang diajukan oleh Kamboja ke Mahkamah Internasional
dan menolak pengikatan hukum suatu putusan pengadilan. Walaupun adanya penolakan dari pihak aktifis Thailand, dilain pihak Para
Menteri Pertahanan dan Pemimpin Angkatan Darat dari kedua Negara yang bersengketa itu setuju untuk menarik pasukan dari daerah kuil Angkor Watt.
Ketegangan kedua Negara menurun sejak bulan Agustus 2011 setelah perdana menteri Thailand yang baru Yingluck Shinarwata, mulai berkuasa. Perdana
Menteri Thailand yang baru tersebut merupakan teman dan mantan penasihat ekonomi Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Pada akhirnya kedua Negara pada
saat yang bersamaan setuju untuk membentuk satuan kerja untuk memindahkan personel militer secara menyeluruh dan bersama-sama dari posisi-posisi sekarang
di zona demeliterisasi sementara ini. Dan meminta Indonesia untuk mengamati penarikan pasukan militer kedua Negara dari kawasan yang disengketakan secara
bersama-sama.
175
Penarikan mundur pasukan militer kedua Negara ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional ICJ untuk meredakan konflik selama beberapa tahun
belakangan dan mencegah terjadinya bentrokan antara kedua pasukan militer
175
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kedua Negara kembali terjadi di kawasan sengketa tersebut. Pada bulan Juli tahun 2011 lalu, Mahkamah Internasional ICJ memutuskan agar militer kedua belah
pihak ditarik secara menyeluruh dan bersamaan dari kawasan seluas 17,3 Km di sekeliling Kuil Angkor Watt, yang ditetapkan sebagai kawasan demilitarisasi.
Sebagai gantinya, polisi kedua Negara yang dikerahkan di kedua wilayah perbatasan.
Tepat setahun setelah perintah Mahkamah Internasional tahun 2011 lalu, akhirnya pada Juli 2012 lalu, kedua Negara sepakat menarik seluruh pasukan
militernya dari kawasan yang disengketakan. Pemerintah Kamboja menarik sekitar 500 personel militernya dari kawasan Kuil Angkor Watt dan menempatkan
sekitar 250 polisi dan petugas keamanan dikawasan tersebut. Keputusan kedua Negara ini untuk menarik pasukan militernya dari wilayah kuil Angkor Watt yang
diperebutkan merupakan keuputusan yang ditunggu selama ini oleh berbagai pihak. Hal ini dikarenakan jika masih ada pasukan militer yang ditempatkan oleh
kedua di daerah yang disengketakan tersebut, maka sudah pasti akan terjadi kembali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer tersebut. Langkah
kedua Negara ini merupakan titik terang untuk menuju perdamaian antara kedua belah pihak di masa depan.
176
Didalam kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, peran pihak ketiga memang sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut karena
dengan adanya pihak ketiga sebagai penengah di dalam penyelesaian konflik antara kedua Negara maka solusi dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik
176
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kedua Negara sudah pasti akan ditemukan dengan mudah dan kesepakatan damai antara keduanya pasti akan tercapai.
C. Analisa Sengketa Angkor Wat