Faktor Risiko Masalah Emosi dan Perilaku Anak dan Remaja

1.2. Epidemiologi

Prevalensi masalah emosi dan perilaku anak dan remaja sulit ditentukan dikarenakan luasnya tahap perkembangan dan keragaman perilaku anak dari bayi sampai remaja. Perilaku spesifik akan meningkat dan menurun berdasarkan usia. Sebagai contoh takut, khawatir, mimpi buruk, toilet problem, tantrum menurun saat usia sekolah sedangkan perilaku disruptif menurun saat usia pre sekolah dan meningkat saat menginjak remaja Schroeder CS Gordon BN, 2002. Namun demikian dalam sebuah review studi epidemiologi dari berbagai negeri oleh Bird 1996 didapatkan estimasi prevalensi masalah emosi dan perilaku anak sebesar 12,4 - 51,3. Ketika yang dimasukkan adalah gangguan psikiatri berat pada anak akan menurun 5,9 - 19,4. Prevalensi di Amerika Serikat berkisar 17,6 - 22 Davison et al., 2006. Sedangkan dari berbagai latar belakang budaya di dunia didapatkan perilaku eksternalisasi secara konsisten lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dan perilaku internalisasi lebih sering terjadi pada anak perempuan, terutama pada masa remaja Weisz et al., 1987 cit. Davison et al., 2006; Shoval et al., 2013. Sebuah studi deskriptif mengenai masalah emosi dan perilaku pada anak oleh Wiguna dkk., 2010 di RSCM Jakarta dari 161 subjek didapatkan 65,90 berusia kurang 12 tahun dan mempunyai pendidikan setara dengan sekolah dasar. Proporsi terbesar adalah masalah hubungan dengan teman sebaya 54,81 dan masalah emosional 42,2.

1.3. Faktor Risiko

Dapat bersifat individual, konstektual pengaruh lingkungan, atau yang dihasilkan melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya. Faktor risiko yang disertai kerentanan psikososial dan resilience pada anak akan memicu terjadinya masalah emosi dan perilaku yang khas pada seorang anak McGue Iacono, 2005. commit to user Yang termasuk faktor risiko terdiri dari faktor biopsikososial, meliputi: 1 Faktor Biologis Faktor genetik. Berbagai masalah emosi dan perilaku mempunyai latar belakang genetik yang cukup nyata, seperti gangguan tingkah laku, ADHD, gangguan mood, dan gangguan psikologik lainnya. Sejumlah studi orang kembar berskala besar mengindikasikan adanya komponen genetik dalam ADHD dengan tingkat kesesuaian kembar monozigotik sebesar 70-80 Levy dkk., 1997; Serman dkk., 1997; Tannock, 1998 cit. Davison et al., 2006. Ibu yang mengalami depresi memicu terjadinya internalisasi terutama pada anak perempuan Lewis Darby, 2004; Watson et al., 2006 . Keparahan dari masalah emosi dan perilaku pada anak berkorelasi dengan psikopatologi ibu Alyanak et al., 2013. Faktor perinatal dan pranatal. Kelainan yang didapat waktu prenatal akibat ibu yang kecanduan obat terlarang, peminum alhohol, perokok berat. Berbagai studi pada hewan menunjukkan pemaparan kronis pada nikotin meningkatkan pelepasan dopamin dalam otak dan menyebabkan hiperaktifitas Fungs Lau 1989; Johns dkk., 1982 cit. Davison et al., 2006. Infeksi ensefalitis dan meningitis, trauma otak, intoksikasi, genetik, penyakit metabolik dan penyakit idiopatik yang menyerang otak bisa menjadi penyebabnya Soetjiningsih, 2010. Faktor hormon. Produksi hormon testosteron dan estrogen mempengaruhi fungsi otak, emosi, dorongan seksual dan perilaku remaja Damayanti, 2011. Bila dirinya berbeda secara jasmani dengan teman sebayanya maka hal ini memicu terjadinya perasaan malu atau rendah diri Erikson, 1972. Faktor makanan. Ada berbagai pendapat bahwa makanan dapat berpengaruh terhadap perilaku anak, antara lain perubahan kadar gula di darah dapat perpustakaan.uns.ac.id commit to user mengakibatkan hiperaktifitas, kekurangan zat besi dapat berpengaruh pada daya konsentrasi. Keracunan logam berat, bahan tambahan pada makanan food additives, alergi makanan dan minuman beralkohol dapat berpengaruh terhadap perilaku anak Soetjiningsih dan Sugandi, 2010. 2 Faktor Psikologis Setiap tahap perkembangan anak akan terdapat tantangan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan suatu keterampilan untuk mengatasinya, terutama menjelang masa remaja. Pada awal masa remaja terjadi transformasi kognitif yang besar menuju cara berpikir yang abstrak, konseptual dan berorientasi ke masa depan Phillips, 1969. Selain itu anak pada masa remaja dihadapkan pada 2 tugas utama, yaitu: 1 mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua; 2 membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi. Apabila remaja tidak bisa menyelesaikan krisis identitasnya dengan baik maka dia akan merasakan sense of role confusion atau identity diffusion, yaitu suatu istilah yang menunjukkan perasaan yang berhubungan dengan ketidakmampuan memperoleh peran dan menemukan diri Soetjiningsih, 2004. Berbeda dengan orang yang mengembangkan pemahaman identitas, orang dengan difusi peran tidak memahami siapa dirinya sesungguhnya, tak tahu apakah pikirannya tentang dirinya sendiri sesuai dengan apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya itu. Dan mereka juga tidak tahu bagaimana mereka bisa berkembang dengan cara ini atau ke mana arah perkembangan di masa depan sehingga akan merasa putus asa, hidup terlalu singkat, dan terlalu terlambat untuk memulai dari awal Pervin et al., 2010. Kurangnya kemampuan keterampilan sosial seperti, menghadapi rasa takut, rendah diri, dan rasa tertekan. Ketidakharmonisan antara orang tua, perceraian perpustakaan.uns.ac.id commit to user orang tua, orang tua dengan penyalahgunaan zat dan gangguan mental, anggota keluarga yang meninggal, trauma emosional. Pola asuh orang tua yang cenderung tidak empatik dan otoriter, disiplin keras dan tidak konsisten serta kurangnya pengawasan yang konsisten mendukung terjadinya masalah emosi dan perilaku anak dan remaja Adams Gullotta, 1983. Overindulgent mothers, dominasi yang posesif tidak mempersiapkan anak menuju latensi. Anak overindulgent relatif menjadi anak yang tidak disiplin, yang menggunakan bentuk infantil dengan mengototbersikeras dan agresif sampai terpenuhi keinginannya. Ketika masuk komunitas lebih luas, dia berharap mendapatkan dalam segala hal dengan caranya, apabila tidak terpenuhi, dia akan mencoba strategi bullying, berkelahi, temper tantrum dan menghalangi Cameron, 1963; Levy, 1972. 3 Faktor Sosial Sekolah . Kesulitan transisi sekolah, kurikulum yang padat, bullying dan hazing. Prevalensi bullying dan hazing diperkirakan sekitar 10-26. Anak yang mengalami bullying menjadi tidak percaya diri, takut datang ke sekolah, kesulitan berkonsentrai sehingga penurunan prestasi belajar. Bullying dan hazing yang terus menerus dapat memicu terjadinya depresi dan usaha bunuh diri Perren et al., 2010; Satgas Remaja IDAI, 2010. Masyarakat . Diskriminasi, isolasi, kemiskinan, tingkat pengangguran tinggi, kurangnya akses ke pelayanan sosial, kehidupan di kota besar, fasilitas pendidikan yang rendah Davison et al., 2006; Dulcan Lake, 2012.

1.4. Faktor Protektif