Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai mekanisme untuk mengembangkan relasi dan bekerja sama dengan orang lain Buss Kenrick, 1998; Reis, Collins, Berscheid dalam Campbell Loving, 2012. Mekanisme ini didorong oleh salah satu kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Maslow, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan cinta Schultz, 1991. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan mengembangkan relasi yang dekat dengan orang lain. Relasi yang dekat mulai dikembangkan individu saat memasuki masa remaja. Selanjutnya, kuantitas dan kualitas relasi yang dekat semakin meningkat selama masa dewasa awal. Menurut Erikson, mengembangkan relasi yang lebih intim menjadi tugas perkembangan yang penting pada masa dewasa awal Santrock, 1995. Individu mulai mengembangkan relasi dekat romantis yang terwujud dalam perilaku berpacaran. Berpacaran bagi remaja merupakan konteks dimana individu meningkatkan harapan terkait dengan peran gender. Bagi dewasa awal, perilaku berpacaran memberikan kontribusi yang penting pada pembentukan peran mereka dalam berdinamika di masyarakat Skipper Nass dalam Steuber, 2005. Perilaku berpacaran pada masa dewasa awal melibatkan unsur cinta romantis yang menjadi hal penting, termasuk ketika mereka menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Santrock, 1995. Oleh karena itu, topik mengenai relasi romantis pada mahasiswa menjadi penting untuk dibahas lebih lanjut. Mahasiswa perguruan tinggi memiliki dinamika yang penuh dengan tekanan. Permasalahan mengenai relasi romantis menjadi salah satu pemicu yang membuat mahasiswa merasa tertekan Berscheid Fei dalam Santrock 1995. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti terhadap 75 subjek yang berpacaran, permasalahan dalam relasi romantis menjadi penyebab terbesar kedua munculnya permasalahan akademis. Relasi romantis dengan kualitas yang baik salah satunya disebabkan karena adanya kepuasan dalam relasi tersebut Clark Grote, 2003. Kepuasan dalam relasi akan mempengaruhi kondisi mood dan emotional well-being pada diri individu Chung et al. dalam Steuber, 2005. Kepuasan berelasi merupakan suatu evaluasi positif individu terhadap suatu hubungan dengan merujuk pada kondisi dirinya sendiri Rusbult Buunk dalam Miller Tedder, 2011. Dengan kata lain, kepuasan berelasi lebih melibatkan fungsi karakteristik sifat individu sendiri, bukan karakteristik pasangan Smith, Heaven, Ciarrochi, 2008. Kepuasan dalam berelasi, khususnya relasi berpacaran, bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Berbagai variabel menjadi faktor penyebab terhambatnya seseorang mengalami kepuasan dalam hubungannya dengan pasangan. Apabila hambatan yang ada tidak dapat diatasi oleh pasangan, mereka dapat mengalami ketidakpuasan dalam hubungan tersebut. Munculnya rasa tidak puas dalam berelasi dapat menimbulkan berbagai persoalan terkait dengan dinamika kehidupan mahasiswa. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pasangan dalam hubungan romantis memiliki kemungkinan memunculkan depresi yang lebih tinggi dibandingkan teman biasa Berscheid Fei dalam Santrock, 1995. Selain itu, ketidakpuasan yang dialami dalam hubungan romantis menimbulkan dampak negatif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis Hawkins Booth, 2005. Ketidakpuasan juga menimbulkan emosi negatif yang mempengaruhi respon individu terhadap stres, kekerasan, dan permasalahan akademis Creasey, Kershaw, Boston; Creasey Hesson-McInnus dalam Steuber, 2005. Sebuah survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran menduduki peringkat kedua setelah kekerasan dalam rumah tanggaKompas.com. Di samping itu, salah satu wujud ketidakpuasan berelasi adalah munculnya konflik karena masalah komunikasi komunikasi kurang efektif. Penyelesaian konflik pun dapat terhambat, salah satunya karena dibatasi oleh lokasi yang berjauhan dan kontak fisik yang intensitasnya relatif sedikit Gulledge, Gulledge, Stahmann, 2003. Intensitas kontak fisik yang sedikit salah satunya disebabkan oleh perpisahan jarak. Transisi dari masa SMA ke masa kuliah dapat mendorong mobilitas pendidikan yang memunculkan kebutuhan untuk berpisah secara geografis di antara pasangan yang berpacaran Johnston Packer dalam Arditti Kauffman, 2004 atau biasa dikenal dengan hubungan pacaran jarak jauh Long-Distance Dating Relationship. Hubungan pacaran jarak jauh Long-Distance Dating Relationship menjadi fenomena pada masa sekarang ini. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian The Center for the Study of Long Distance Relationship di Amerika pada tahun 2005, menunjukkan bahwa ada sekitar 4,4 juta pasangan mahasiswa belum menikah di Amerika 20-40 dari total keseluruhan mahasiswa yang sedang menjalani hubungan jarak jauh. Berkaitan pula dengan pembahasan sebelumnya, perkembangan mobilisasi yang memungkinkan semakin terbukanya kesempatan peluang pendidikan, memberikan pengaruh tingkat hubungan pacaran jarak jauh yang semakin meningkat pula. Kondisi ini pun terlihat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 167 orang mahasiswa di Yogyakarta yang sedang berpacaran, sekitar 30 dari mereka menjalin hubungan berpacaran jarak jauh. Hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap 31 mahasiswi yang menjalin hubungan jarak jauh menunjukkan bahwa 32 mengaku tidak puas dalam menjalani hubungan yang mereka jalani saat ini. Danastri, Permatasari, Prawitasari, Viasti, Nugrahaeni, 2013. Oleh karena itu, hubungan berpacaran jarak jauh menjadi salah satu konteks yang menarik dalam membahas topik mengenai kepuasan berelasi. Pada kenyataannya, beberapa hubungan dapat tetap bertahan meskipun hubungan berjalan dengan tidak memuaskan Rusbult, Martz, Agnew, 1998. Selain itu, Schwebel dkk dalam Skinner, 2005 menemukan bahwa dibandingkan laki-laki, perempuan menunjukkan usaha yang lebih dalam mempertahankan hubungan jarak jauhnya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan hubungan meskipun mereka merasa tidak puas. Persoalan-persoalan dalam menjalin relasi dapat dihindari dan dapat dengan lebih mudah diatasi bila pasangan merasakan kepuasan dalam relasi mereka. Kepuasan berelasi merupakan suatu konstruk dimensional yang memiliki berbagai faktor penentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepuasan berelasi memiliki kaitan dengan rasa percaya, keintiman, dan komitmen Lydon, Pierce, O’regan, 1997 dalam suatu hubungan. Kecerdasan emosional juga merupakan faktor yang memiliki kaitan positif dengan kepuasan berelasi Schutte et al, 2001. Selain itu, kepuasan berelasi terkait dengan kepuasan seksual pada pasangan Lewandowski Schrage, 2010. Dari berbagai hal yang terkait dengan kepuasan berelasi, attachment atau kelekatan menjadi faktor yang penting untuk dibahas. Bowlby 1969 menyatakan bahwa attachment merujuk pada hubungan bayi dan pengasuh atau figur orang tua yang nantinya akan diaplikasikan dalam relasi romantis pada masa dewasa Jimenez, 2010. Attachment atau kelekatan merupakan salah satu bentuk perilaku yang dihasilkan dalam hubungan dekat seseorang terhadap individu lain yang disukai Bowlby dalam Mikulincer Shaver, 2007. Pada masa dewasa, khususnya pada relasi romantis, pasangan adalah individu lain yang dekat dan disukai, sehingga mengganti figur lekat orang tua saat masa kecil. Individu dikatakan memiliki kelekatan yang aman ketika individu mempunyai persepsi bahwa figur lekat dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki kelekatan tidak aman ketika individu kurang memiliki persepsi bahwa figur lekat akan hadir dan responsif terhadap kebutuhan individu, sehingga individu tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman dari figur lekat Cassidy dalam Cassidy Shaver, 2008. Adult attachment atau kelekatan dewasa merupakan hasil interaksi intrapersonal dan interpersonal yang melibatkan aspek perilaku, kognisi, emosi, dan fisik Mikulincer Goodman, 2006. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keyakinan irasonal irrational belief pada salah satu tipe kelekatan tidak aman, yaitu tipe avoidant attachment, memberikan kepuasan yang lebih rendah dalam berelasi Stackert Bursik, 2003. Di samping itu, penelitian Gulledge, Gulledge, Stahmann 2003 menemukan bahwa afeksi fisik memiliki korelasi yang tinggi dengan kepuasan berelasi. Penelitian lain memperlihatkan bahwa mahasiswa dengan gaya kelekatan tidak aman insecure attachment kurang memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan pasangan yang baik, sehingga mengalami kepuasan dan kestabilan hubungan yang kurang baik dibandingkan mahasiswa dengan gaya kelekatan aman secure attachment Creasey Hesson-McInnus dalam Steuber, 2005. Selain itu, ada pula penelitian lain yang menyatakan bahwa kelekatan tidak aman memiliki kaitan yang negatif dengan kepuasan Feeney dalam Cassidy Shaver, 2008. Semakin tinggi kelekatan tidak aman yang dimiliki individu, maka semakin rendah pula kepuasan berelasinya. Beragam hasil penelitian menunjukkan bahwa kelekatan tidak aman memiliki kaitan yang cukup penting dengan variabel yang bersinggungan dengan relasi. Oleh karena itu, hasil interaksi yang salah satunya adalah kepuasan dalam suatu relasi, menjadi hal yang cukup penting untuk dipelajari kaitannya dengan kelekatan, secara khusus pada relasi romantis. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait kepuasan berelasi dalam hubungan romantis, secara lebih spesifik hubungan berpacaran jarak jauh. Peneliti ingin melihat apakah kelekatan tidak aman pada masa dewasa memiliki hubungan dengan kepuasan berelasi, secara khusus pada mahasiswi yang menjalani hubungan berpacaran jarak jauh di Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah