Metil Ester Sulfonat MES Deterjen Cair

5 gelatin dapat berbentuk bubuk, pasta, maupun lembaran. Gelatin yang berbentuk lembaran dan butiran sebelum digunakan perlu direndam terlebih dahulu, sedangkan gelatin yang berbentuk bubuk dapat langsung digunakan. Gelatin komersial bersifat tidak berasa, tidak berbau, warnanya kekuningan sampai tidak berwarna. Penggunaan gelatin pada berbagai jenis industri, perlu memperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin tersebut, seperti konsentrasi, bobot molekul, suhu, pH dan penambahan senyawa lain Meyer, 1982. Menurut Pouradier dan Venet 1950 di dalam Fatimah 1996, berat molekul gelatin rata-rata berkisar antara 15.000- 250.000, sementara menurut Ward dan Courts 1997 sekitar 90.000 sedangkan rata-rata berat molekul gelatin komersial berkisar antara 20.000- 70.000.

B. Metil Ester Sulfonat MES

Metil Ester Sulfonat MES merupakan kelompok surfaktan anionik Matheson, 1996. MES dapat diperoleh dari proses sulfonasi dari metil ester. Metil ester diperoleh dari reaksi esterifikasi asam lemak atau transesterifikasi terhadap minyak atau lemak nabati Gervasio, 1996. MES memiliki beberapa karakteristik yang menguntungkan. Pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dibandingkan surfaktan anionik lain. MES memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. MES dibandingkan LAS, dengan konsentrasi yang sama, memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. Disamping itu formulasi produk pembersih yang menggunakan enzim, MES mampu mempertahankan kerja enzim lebih baik dibandingkan LAS Watson, 2001. O R – CH – C – OCH 3 SO 3 Na Gambar 2 . Struktur molekul metil ester sulfonat Watkins, 2001 6 Reaksi sulfonasi pembentukan MES menurut Pore 1983 dapat dilihat pada gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins 2001 dapat dilihat pada gambar 3. O O R – CH 2 – C – OCH 3 + NaHSO 3 R – CH – C – OCH 3 SO 3 Na Gambar 3 . Reaksi pembentukan metil ester sulfonat Pore, 1993 Penggunaan MES merupakan salah satu cara untuk membuat suatu deterjen yang mudah terdegradasi. Menurut Matheson 1996, MES memperlihatkan karakteristik yang baik, diantaranya mudah terdegradasi biodegradable dan memiliki sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi.

C. Deterjen Cair

Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan Woolat, 1985, sedangkan Watkins 2001 hanya membedakan deterjen cair sebagai bentuk lain dari sediaan pembersih. Deterjen cair termasuk golongan emulsi karena terdiri atas beberapa bahan yang memiliki sifat dan kepolaran yang berbeda dan dicampur untuk membentuk produk yang homogen. Schueller dan Romanowsky 1998 menyatakan, emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Deterjen cair dikelompokkan sebagai pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua jenis deterjen cuci cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian kelompok P dan yang digunakan 7 dalam pencucian alat dapur kelompok D. Penggunaan produk deterjen cair yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk kelompok P di dalam SNI 06- 4075-1996. Standar SNI untuk deterjen cair disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 . Syarat mutu deterjen cair menurut SNI No. Kriteria Satuan Persyaratan 1 Keadaan: Bentuk Bau Warna - - - Cairan homogen Khas Khas 2 pH 25 o C - 6-8 3 Bahan aktif Min. 10 4 Bobot jenis gml 1.0-1.2 5 Total mikroba Kolonig Maks. 1 x 10 5 Sumber : SNI06-4075-1996 Hipschman 1995 menyatakan beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh deterjen cair :  Deterjen cair memiliki busa yang stabil  Daya pembersihan yang efektif  Lembut ditangan atau tidak menyebabkan iritasi  Tidak merusak perlengkapan yang dicuci  Penampakan dan aroma yang dapat diterima  Stabil selama penyimpanan dan mudah untuk dikemas dan digunakan Komposisi utama deterjen cair adalah surfaktan. Surfaktan yang digunakan tidak sebagai surfaktan tunggal tetapi dalam bentuk kombinasi agar menghasilkan kemampuan melepas kotoran dan mempertahankan kotoran dalam suspensi sekaligus memberikan daya pembusaan yang baik dari segi volume dan stabilitas busa Hipschman, 1995. Selain surfaktan bahan-bahan lain yang terkadang ditambahkan adalah garam, hydrotop, alkohol, dan disinfektan. Pewarna dan parfum pada umumnya digunakan untuk membedakan sebuah produk deterjen cair 8 brand identity dengan produk sejenis lainnya Idris, 2004. Penambahan pengental digunakan untuk menambah nilai estetika deterjen tersebut. Tabel 3 . Formulasi deterjen cair untuk laundry Bahan Persentase Surfaktan 20-40 Soap 0-5 Builders 0-10 Hydrotropes 5-10 Others enzyme, bleach, optical brightener, perfume, coloring 1-2 Sumber : Matheson 1996 Surfaktan merupakan senyawa kimia dengan struktur molekul yang terdiri atas dua gugus yang memiliki perbedaan kecenderungan, yaitu hidrofilikpolar dan hidrofobiknon polar. Gugus polar dapat bermuatan negatif, positif, zwitterionik ataupun tidak bermuatan nonionik dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap pelarut polar. Sedangkan gugus nonpolarnya dapat terdiri atas rantai hidrokarbon, linear ataupun bercabang, berasal dari petroleum ataupun oleokimia dan pada umumnya mengandung lebih dari delapan atom karbon serta memiliki afinitas yang rendah terhadap pelarut polar Schueller dan Romanousky, 1998; Gervasio, 1996; Goddard, 1993; Tadros, 1992. Konsentrasi yang cukup pada molekul-molekul surfaktan beragregat membentuk sebuah struktur spherical yang disebut micel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar misel. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi misel kritis KMK atau critical micelle concentration CMC. Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah Schueller dan Romanousky, 1998. 9 Apabila jumlah surfaktan dalam air meningkat diatas nilai CMC, misel yang berbentuk spherical akan menampung kelebihan molekul surfaktan dengan memperpanjang ukuran menjadi berbentuk silinder. Larutan yang tersusun oleh misel yang berbentuk spherical akan lebih kental dibandingkan dengan yang tersusun dari surfaktan yang tidak bersatu karena ada banyak titik yang akan kontak diantara spheres, tetapi transisi bentuk sphere menjadi bentuk silinder akan membentuk garis kontak yang membuat viskositas meningkat tajam Hargreaves, 2003. Lebih lanjut menurut Hargreaves 2003, peningkatan jumlah molekul surfaktan membuat jumlah molekul air menjadi berkurang untuk mengisi spaces antara silinder, akibatnya silinder-silender tersebut akan berkumpul menjadi susunan berbentuk heksagonal. Dalam bentuk heksagonal ini jumlah molekul air masih cukup untuk ditarik ke kepala hidrofilik molekul surfaktan. Terakhir dimana surfaktan tersusun rapi, surfaktan akan berubah bentuk lagi. Dalam konsentrasi ini, ketika air yang tersedia tinggal sedikit, misel berubah bentuk menjadi bentuk lamella dengan molekul surfaktan tersusun dalam bentuk palisade dimana ekor lipofilik berbentuk struktur layer. Kepala hidrofilik saling tolak menolak yang membuat struktur layer bebas bergerak yang mengakibatkan penurunan kekentalan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Penelitian ini menggunakan surfaktan MES dan SLES Sodium Lauril Ester Sulfat. SLES adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan elektrolit Gervasio, 1996. Pada suhu ruang SLES berbentuk pasta dan tidak berwarna Cognis, 2003. Surfaktan ini memiliki daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di Inggris mengkombinasikan SLES dengan surfaktan anionik lainnya dalam formulasi deterjen cair Woolat, 1985. Sodium Tripolyphospaet STPP digunakan sebagai builders dalam formulasi deterjen ini. Fungsi utama builders adalah untuk melembutkan air. Pelembutan air ini dilakukan melalui pensekuesteran sequestration atau pengkelatan chelation mengkekalkan mineral kekerasan dalam larutan, 10 pemendakan membentuk bahan tak larut, atau melalui pertukaran ion. Garam phosphate digunakan sebagai builders dalam deterjen dimana phosphate menghasilkan pelembut, alkalinitas, suspensi, dan dispersi tanah. Phosphate yang sering diaplikasikan untuk pembuatan deterjen adalah sodium dan potassium dari pyrophosphate dan tripolyphosphate Matheson, 1996. Phosphate dapat didegradasi oleh alam, akan tetapi dalam jumlah banyak menyebabkan eutrofikasi dalam perairan. Gambar 4 . Perubahan bentuk misel dalam bentuk molekul surfaktan dalam air Hargreaves, 2003 Bleaching atau pemutih dalam penelitian ini menggunakan Hidrogen Peroksida H 2 O 2 . Hidrogen Peroksida H 2 O 2 dalam bentuk murni berupa cairan tak berwarna. Bahan ini membeku pada suhu 0,9 o C dan mendidih pada suhu 151 o C. sifat kimia Hidrogen Peroksida H 2 O 2 11 dalam bentuk yang murni atau dalam air larutan yang mengandung air, dicirikan oleh kecenderungan untuk mengurai menjadi air dengan membebaskan oksigen. Penguraian Hidrogen Peroksida menjadi air dan oksigen merupakan reaksi eksoterm Wood et al.., 1966. Menurut Wood et al., 1996 sifat Hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, maka bahan ini merupakan bahan yang istimewa, karena bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah. Pigmen rambut yang hitam, cepat dioksidasi pada suhu kamar menjadi rambut yang berwarna putih atau rambut yang kaku seperti jerami yang berwarna kuning, semuanya itu karena aktivitas Hidrogen Peroksida ini. Lebih jauh Wood et al.., 1966 menyatakan bahwa proses produksi yang lebih murah dari hydrogen peroksida telah membawa bahan ini banyak digunakan sebagai pemutih untuk berbagai banyak hal. Penggunaan yang umum adalah pemutihan pulp, tekstil, barang-barang yang terbuat dari gading, kulit berbulu, kayu yang digunakan untuk mebel dan bahan-bahan lain. Parfum atau bahan pewangi fragrance sering ditambahkan pada deterjen untuk memberikan bau yang menarik. Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi berbahan sintetis, atau minyak wangi yang berbahan sintetis Ismayanti, 2002. Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma menyenangkan dan menutupi bau yang timbul saat proses pencucian Günter dan Löhr, 1987 Menurut Woolat 1985 deterjen cair selain memiliki karakteristik utama, seperti daya pembersihan yang baik, juga memiliki karakteristik sekunder yang penting. Karakteristik sekunder diantaranya kesan pada kulit, warna dan aroma. Woolat 1985 juga menyatakan bahwa penambahan aroma pada formulasi deterjen cair selain dapat diterima atau disukai oleh konsumen juga harus mampu menghilangkan bau tidak sedap yang ditimbulkan kotoran. 12

D. Parameter Fisikokimia dan Kinerja Deterjen Cair